Oleh: Al-Ustadz Syafi’i bin Shalih al-Idrus
Saudariku fillah,
pada edisi sebelumnya telah disebutkan kandungan surat al-‘Ashr bahwa
semua orang pasti akan merugi, kecuali orang yang memiliki empat sifat,
yaitu iman, amal saleh, dakwah di jalan Allah, dan sabar. Pada edisi
sebelumnya telah dijelaskan dua sifat, yaitu iman dan amal saleh.
Sesungguhnya,
iman dan amal saleh adalah unsur kesempurnaan manusia. Ketika seseorang
memiliki iman yang kuat—dengan dasar ilmu yang benar dan lurus—dan kuat
pula amalnya, dia pun menjadi insan kamil(manusia seutuhnya), sempurna
sifat kemanusiaannya. Akan tetapi, dia belum menjadi seorang rabbaniyang
diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya,
كُونُوا
عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا
كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Jadilah
kalian para rabbani, dengan sebab kalian selalu mengajarkan al-Kitab dan
dengan sebab kalian terus mempelajarinya.” (Ali ‘Imran: 79)
sampai
melakukan dua sifat lainnya. Oleh karena itu, pada edisi
ini, biidznillah, kami akan menjelaskan dua hal tersebut, yaitu dakwah
di jalan Allah dan sabar.
3. Dakwah di Jalan Allah
Dakwah di
jalan-Nya adalah mengajak manusia kepada seluruh syariat Allah yang
dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dakwah di jalan
Allah adalah ibadah, bahkan termasuk ibadah yang paling agung,
berdasarkan perintah Allah,
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar,
dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Di dalam
ayat ini Allah menyebutkan keterkaitan yang sangat erat antara dakwah
dan keberuntungan. Allah menjadikan para pelaku dakwah yang mengajak
manusia ke jalan Allah sebagai orang-orang yang beruntung. Berdasarkan
ayat ini pula kita ketahui bahwa dakwah hukumnya fardhu kifayah.
Artinya, apabila telah ada sebagian kaum muslimin yang menjalankannya
dan keberadaan mereka dalam dakwah tersebut sudah cukup, gugurlah
kewajiban dakwah dari muslimin lainnya.
Barang siapa
memerhatikan kondisi kaum muslimin saat ini, dia akan mendapati bahwa
tidak setiap muslim mengetahui agamanya dan menjalankan apa yang telah
diketahuinya. Jika demikian keadaannya, ketahuilah, dakwah ini memang
bukan kewajiban setiap individu muslim atau sembarang muslim. Benar,
setiap muslim berkewajiban menyampaikan urusan agama yang telah
diketahuinya, berdasarkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam,
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” (HR. al-Bukhari)
Akan tetapi,
kewajiban berdakwah dalam bentuk tulisan, ceramah di mimbar-mimbar,
kajian ilmiah dengan menelaah sebuah kitab, daurah, dan yang semisalnya,
semua ini hanya bisa dilaksanakan oleh orang-orang khusus dari kaum
muslimin, yaitu para ulama dan penuntut ilmu. Makna inilah yang
diinginkan dari kata dakwah, berdasarkan firman Allah,
قُلْ
هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ
اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah,
‘Inilah jalanku, yang aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kalian) kepada Allah di atas bashirah. Mahasuci Allah, dan aku tidaklah
termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)
Jadi, di
antara syarat berdakwah di jalan Allah adalah di atas bashirah.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa
kata bashirah mengandung tiga hal yang harus terkumpul pada diri seorang
dai, yaitu (1) berilmu tentang hukum-hukum syariat, (2) mengetahui
metode berdakwah, dan (3) memahami kondisi orang-orang yang didakwahi.
(Lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah)
Dakwah di
jalan Allah memiliki beberapa metode sesuai dengan kondisi orang yang
didakwahi. Allah telah menjelaskan metode tersebut dalam firman-Nya,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah
(manusia) ke jalan Rabb-mu dengan hikmah dan dengan wejangan yang
baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang terbaik.” (an-Nahl: 125)
Metode
pertama dalam dakwah adalah bil hikmah (dengan hikmah). Artinya,
berdakwah sesuai dengan kondisi, daya tangkap, dan kadar ketundukan
orang yang didakwahi. Di antara hikmah adalah berdakwah dengan ilmu,
bukan dengan kebodohan; memulai dengan urusan yang paling penting;
menyampaikan dengan bahasa yang paling mudah dicerna, pada hal-hal yang
paling mudah dipahami sehingga lebih mudah diterima, dan dengan cara
lemah lembut.
Jika dakwah
dengan metode ini diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak, seorang
dai beralih ke metode kedua, yaitu al-mau’izhah al-hasanah (wejangan
yang baik). Metode ini dilakukan dengan menyebutkan perintah dan
larangan yang diiringi oleh dorongan dan ancaman. Terkait dengan
perintah—misalnya—disebutkan berbagai kemaslahatan yang terdapat di
dalamnya, pahala menjalankan perintah tersebut, dan pemuliaan Allah
terhadap siapa saja yang menaati perintah-Nya. Terkait dengan
larangan—misalnya—disebutkan berbagai kerusakan yang timbul karenanya,
dahsyatnya siksa bagi yang melanggarnya, dan kehinaan yang ditimpakan
oleh Allah kepada siapa saja yang mendurhakai-Nya.
Jika orang
yang didakwahi meyakini bahwa dirinya berada di atas kebenaran atau dia
menyeru kepada kebatilan, yang diterapkan padanya adalah metode ketiga,
yaitu membantahnya dengan cara yang terbaik. Di antaranya adalah dengan
mematahkan argumentasinya dengan dalil-dalil yang dipeganginya. Sebab,
tidak ada satu dalil pun yang dipegangi oleh ahli batil melainkan dalil
tersebut justru menghantam dirinya. (LihatTaisirul Karimir Rahman karya
asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah)
4. Sabar
Maksudnya,
sabar dalam menjalani tiga hal di atas karena mengharap ridha Allah
semata. Betapa banyak gangguan dan rintangan yang dihadapi oleh
seseorang saat pertama kali dia mendapatkan hidayah keimanan, mengenal
dakwah Ahlus Sunnah, dan belajar agama dengan benar. Tidak jarang
gangguan tersebut justru muncul dari keluarga dan orang-orang
terdekatnya.
Betapa
banyak cobaan yang harus dihadapi oleh penuntut ilmu. Lapar dan dahaga
menjadi teman akrabnya. Jauh dari kampung halaman dan keluarga menjadi
ujian tersendiri baginya. Tinggal di pondok pesantren, bersimpuh di
hadapan gurunya, menjadi kegiatan sehari-harinya. Demikian pula
menghadiri majelis ilmu; mendengarkan, mencatat, menghafal, dan
mengulang-ulang pelajarannya, dst. Semua itu membutuhkan kesabaran.
Tidak ada yang bisa teguh menjalaninya selain orang-orang yang
diteguhkan oleh Allah.
Demikian
pula ketika seseorang hendak menjalankan ilmunya, dia membutuhkan
kesabaran. Apabila seseorang beribadah berdasarkan ilmu, sesuai dengan
syariat Allah, dia akan mendapatkan ujian dari orang-orang yang
beribadah berdasarkan hawa nafsu. Ujian tersebut bisa berupa ucapan
ataupun tindakan, seperti pemukulan, bahkan pengusiran. Di sebagian
tempat, menjalankan as-Sunnah bagaikan memegang bara api. Tetap memegang
bara api itu, tangannya terbakar. Jika bara itu dilepas, akan hilang
darinya. Maka dari itu, kesabaran sangat dibutuhkan.
Begitu pula
halnya saat seseorang berdakwah, dia akan mendapatkan berbagai gangguan.
Pada saat mendakwahkan tauhid, dia harus siap menghadapi ujian dari
para penyeru kesyirikan. Pada saat mendakwahkan as-Sunnah, dia harus
siap menghadapi ujian dari para penyeru hawa nafsu dan kebid’ahan. Pada
saat memperingatkan manusia dari kemungkaran dan kemaksiatan, dia harus
siap menghadapi ujian dari orang-orang fasik lagi zalim, dst.
Menjalankan
perintah-perintah Allah membutuhkan kesabaran. Meninggalkan
larangan-larangan Allah membutuhkan kesabaran. Menghadapi musibah yang
ditakdirkan oleh Allah juga membutuhkan kesabaran. Maka dari itu,
seseorang tidak akan hidup tenteram di dunia ini melainkan jika dia
menghiasi hidupnya dengan kesabaran. Sungguh benar ‘Umar bin
al-Khaththab a yang telah mengatakan, “Kami mendapati sebaik-baik
kehidupan kami dengan kesabaran.” (Disebutkan oleh al-Imam Ahmad
dalam az-Zuhd dan al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya)
Terkait
dengan kesabaran menghadapi musibah yang ditakdirkan oleh Allah, kami
hendak memberikan penekanan, mengingat kaum wanita biasanya lebih sulit
mengendalikan diri dalam menghadapinya. Sabar dalam hal ini hanya bisa
terealisasi dengan terpenuhinya tiga faktor:
- Mengendalikan hati dari perasaan tidak terima terhadap ketetapan Allah, tidak membenci-Nya karena Dia telah menakdirkan petaka tersebut menimpa dirinya, dan tidak menyimpan rasa benci yang mendalam terhadap takdir Allah tersebut.
- Menahan lisan dari berkeluh kesah, seolah-olah mengadukan perbuatan Allah terhadapnya kepada makhluk-Nya. Adapun mengadukan musibahnya kepada Allah, hal ini boleh dan tidak menggugurkan kesabaran.
- Mengendalikan anggota tubuh dari perbuatan yang menunjukkan ketidakpasrahan terhadap ketetapan Allah. Misalnya, menangis sejadi-jadinya disertai ratapan. Tidak jarang hal itu dilakukan sambil bergulung-gulung di tanah, membentur-benturkan kepala ke tembok, menampar pipi, atau mengamuk sambil merobek-robek baju, dsb. (Lihat ‘Uddatush Shabirin karya Ibnul Qayyim rahimahullah)
Perlu
diketahui, sabar terhadap takdir-Nya akan bernilai ibadah di sisi Allah
apabila dilakukan pada awal terjadinya musibah. Adapun berkeluh kesah,
meratap, dan melakukan hal-hal yang menunjukkan ketidaksabaran saat
pertama kali musibah menyapanya, kemudian dia sadar setelah berlalu
beberapa waktu bahwa perbuatan tersebut tidak ada gunanya, lantas
mengatakan bahwa dirinya bersabar, maka kesabaran yang seperti ini
bukanlah kesabaran yang terpuji.
Sebagai
penutup, kami nukilkan ucapan Ibnul Qayyim t secara makna, “Apabila
empat hal tersebut terkumpul pada diri seseorang, jadilah dia termasuk
para rabbani.” (Lihat Zadul Ma’ad)
Itulah empat hal yang menjadi kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar