Oleh: Al-Ustadz ‘Utsman
Kebahagiaan
dan kesuksesan adalah dambaan setiap orang, baik muslim maupun non
muslim, pria maupun wanita. Hal ini terlihat pada berbagai aktivitas
manusia di dunia. Jika mereka ditanya tentang tujuan aktivitas mereka,
akan muncul jawaban yang bermacam-macam, tetapi berkisar pada satu
titik: mencapai kebahagiaan, ketenangan, dan kemakmuran. Namun, ada
perbedaan antara orang yang beriman kepada Allah l dan hari akhir, dengan orang yang hanya berorientasi pada kehidupan dunia.
Muslim
sejati akan berusaha menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus.
Bahkan, kebahagiaan akhirat lebih dia utamakan daripada kebahagiaan
duniawi. Allah k sebagai pencipta dan pengatur alam semesta telah
menurunkan al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Dia pun mengutus Nabi yang
agung—penutup para nabi dan rasul, yaitu Muhammad n—sebagai panutan kita
dalam hal meraih cita-cita di dunia dan akhirat.
Kaum wanita,
yang menjadi bagian terbesar umat ini, tentu saja mendapat perhatian
besar dalam Islam agar mereka meraih kebahagiaan dan kesuksesan.
Allah l berfirman, “Demi
waktu. Sungguh, seluruh manusia berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam
kebaikan, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (al-’Ashr: 1—3)
Para sahabat g menaruh
perhatian besar terhadap surat ini. Sampai-sampai, jika dua orang dari
mereka bertemu, keduanya tidak akan berpisah sebelum salah seorang
membacakan surat ini kepada temannya. Barulah keduanya mengucapkan salam
sebelum berpisah setelah itu.[1]
Al-Imam
asy-Syafi’i t mengomentari surat ini, “Jika manusia merenungi kandungan
surat ini, tentu surat ini akan mencukupi mereka.”[2] Maksud beliau, surat ini cukup sebagai pendorong bagi seseorang agar menempuh jalan yang benar dalam meniti kehidupan ini.
Surat yang
terdiri atas tiga ayat ini telah menunjuki kita jalan yang gamblang agar
kita terhindar dari kerugian dan kebangkrutan, dengan kata lain agar
kita meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Allah l, sang Pencipta dan Pengatur alam semesta, mengingatkan bahwa semua orang pasti[3] akan
merugi, kecuali orang yang memiliki empat sifat: iman, amal saleh,
dakwah di jalan Allah, dan sabar. Orang berakal yang mendapat peringatan
dari Dzat yang mengasihinya dan Dzat yang paling mengetahui kebaikan
bagi dirinya tentu akan berusaha melepaskan diri dari kerugian. Tentu,
caranya adalah menghiasi diri dengan keempat sifat tersebut.
1. Iman
Secara
ringkas, iman adalah keyakinan yang kokoh di dalam kalbu, yang diiringi
dengan ucapan dan perbuatan anggota badan. Iman seseorang bisa bertambah
ketika dia berbuat taat, dan berkurang ketika berbuat maksiat. Iman
dibangun di atas enam hal yang lazim disebut sebagai rukun iman, yaitu
beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
rasul-Nya, dan hari akhir, serta beriman kepada takdir Allah.
Iman yang benar akan membuahkan hidup yang lurus dan penuh ketenangan. Orang yang mengimani bahwa Allah adalah al-’Alim, as-Sami’, dan al-Bashir (Maha
Mengetahui, Maha Mendengar, dan Maha Melihat) akan terarah hidupnya.
Dia tidak akan sembarangan berbuat maksiat walaupun tidak ada manusia
yang tahu. Sebab, ada Dzat yang Maha Tahu. Jangankan perbuatan maksiat,
keinginan berbuat maksiat yang baru terlintas di benaknya saja Allah l pasti mengetahuinya.
Ketika menyadari hal ini, seorang mukmin urung bermaksiat kepada Allah.
Apalagi kalau iman sudah membuatnya mencintai Allah, tidak mungkin dia
mau melakukan perbuatan yang dibenci oleh Dzat yang dia cintai. Di sisi
lain, keimanan kepada ketiga nama di atas akan menimbulkan ketenangan
hidup.
Ketika Allah
l berjanji dalam banyak ayat-Nya bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan
hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh, seorang mukmin akan selalu
merasa terjaga dan terbimbing oleh-Nya. Bagaimana pula jika hal itu
ditambah dengan iman kepada sekian banyak asmaul husna yang
semuanya mengandung makna-makna yang sangat menakjubkan dan luar biasa?
Terlebih lagi jika keimanan ini dirangkai dengan iman yang benar tentang
takdir Allah. Tentu, tidak akan tersisa dalam hidupnya kesedihan yang
berlarut-larut akibat berbagai musibah dan kesulitan hidup yang dialami.
Beban ekonomi, bisnis, masalah jodoh dan rumah tangga, serta sekian
banyak masalah duniawi lainnya akan tampak ringan jika dilihat dari kaca
mata takdir Allah dan hikmah-Nya.
Jika orang
yang mengaku beriman masih merasa ragu terhadap apa yang dia imani,
berarti imannya masih jauh dari sempurna. Untuk menepis keraguan dan
menimbulkan keyakinan yang mantap, diperlukan ilmu yang benar terhadap
apa yang diimani. Kenyataan menunjukkan, ketika iman seseorang lemah dan
tidak dilandasi oleh ilmu, dia akan mudah terpengaruh oleh
ajakan-ajakan yang menyimpang, baik berupa hawa nafsu (syahwat) maupun
kerancuan berpikir (syubhat). Terlebih kaum wanita, yang disifati oleh
Rasulullah nsebagai makhluk yang kurang akal dan kurang agama.
Mereka harus lebih berhati-hati menjaga iman. Mereka harus membekali
diri dengan ilmu agama yang cukup. Hadits shahih yang memberitakan bahwa
kebanyakan pengikut Dajjal—si Pembohong Besar yang akan keluar pada
akhir zaman—adalah kaum wanita[4], menjadi salah satu bukti akan hal ini.
Islam telah memberikan perhatian besar terhadap ilmu dan keutamaan mencari ilmu[5],
termasuk perhatian kepada kaum wanita secara khusus. Diberitakan dalam
hadits bahwa sebagian wanita sahabat meminta kepada Nabi n agar menyediakan satu hari khusus untuk mengajari mereka. Beliau pun menyanggupi permintaan tersebut. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Selain itu,
dalam berbagai kesempatan khotbah, beliau memberikan porsi khusus
nasihat bagi kaum wanita. Salah satunya adalah peristiwa Haji Wada’ (Haji
Perpisahan). Ketika itu, berkumpul lebih dari seratus ribu kaum
muslimin. Sebuah perkumpulan terbesar umat manusia pada zaman itu.
Beliau menyampaikan pesan-pesan agung yang terkait dengan kaum wanita.
Ilmu apakah yang perlu dipelajari oleh seorang muslim, terkhusus kaum wanita (muslimah)?
Jawabnya,
ilmu yang dibutuhkan untuk beramal dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu
yang terkait dengan akidah atau keyakinan harus diprioritaskan dan
dipelajari dengan baik. Sebab, penyebaran akidah yang murni adalah inti
dakwah para nabi dan rasul. Selain itu, perwujudan makna dua kalimat
syahadat adalah kunci masuk surga kelak pada hari kiamat.
Prioritas
berikutnya adalah mempelajari ibadah-ibadah yang wajib dikerjakan,
terutama shalat. Seseorang harus mempelajari syarat, rukun, dan
kewajiban shalat, dsb., termasuk hal-hal yang berkaitan erat dengan
sahnya shalat, seperti masalah bersuci, hukum-hukum seputar haid, nifas,
dan sebagainya. Adapun ibadah yang belum akan dilakukan, dia belum
wajib mempelajarinya. Misalnya, orang yang belum mampu berhaji belum
wajib mempelajari manasik haji. Contoh lain adalah masalah
kerumahtanggaan. Orang yang belum ingin berkeluarga belum wajib
mempelajari tuntunan seputar rumah tangga. Demikianlah, setiap ibadah
yang hendak dilakukan harus dilandasi oleh ilmu yang benar.
2. Amal Saleh
Amal saleh
menjadi bukti bahwa ilmu yang dimiliki seseorang adalah ilmu yang
bermanfaat. Iman yang tertancap di dalam kalbu diwujudkan dalam bentuk
ucapan dan perbuatan. Ilmu, pengetahuan, dan hafalan yang dimiliki tidak
sekadar dibangga-banggakan. Jika hal inilah yang terjadi, dia masuk
dalam ancaman Allah dalam firman-Nya,
“Saling berlomba menjadi yang paling banyak telah melalaikan kalian.” (at-Takatsur: 1)
Ibnul Qayyim
t mengingatkan bahwa saling berbangga dan menyombongkan ilmu yang
dimiliki lebih jelek daripada saling berbangga dengan harta dan
kedudukan. Sebab, ilmu yang seharusnya dia peruntukkan untuk menggapai
ridha Allah justru dia pakai untuk kepentingan dunia.[6]
Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika dalam al-Qur’an sering sekali disebutkan
iman dan amal saleh secara bersamaan karena keduanya memang berkaitan
sangat erat.
Suatu amal
dikatakan saleh jika terkumpul padanya dua syarat: ikhlas mengharap
wajah Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi n. Inilah intisari dari dua
kalimat syahadat. Jika salah satu dari kedua syarat ini hilang, suatu
amal tidak akan disebut amal saleh walaupun jumlahnya banyak.
Sebagai
penutup, mari kita renungkan satu-satunya doa yang wajib dibaca oleh
setiap muslim dalam setiap rakaat shalat. Allah, Dzat yang paling tahu
kebaikan bagi para hamba-Nya, mewajibkan doa ini untuk dibaca pada
setiap rakaat karena setiap hamba sangat membutuhkannya. Doa ini
berkaitan erat dengan kebahagiaan dunia dan akhirat seseorang. Ya, doa
ini telah kita hafal bersama. Doa ini adalah tiga ayat terakhir dalam
surat al-Fatihah. Dengannya, kita meminta agar diberi hidayah dalam
meniti ash-shirathal mustaqim, baik jalan lurus di dunia maupun shirath yang terbentang di atas Jahannam yang kelak kita semua akan menitinya.
Hidayah meniti ash-shirathal mustaqim ialah dengan kita mengikuti jalan orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan dengan menjauhi dua golongan: al-maghdhubi ‘alaihim dan adh-dhallin. Disebutkan dalam hadits shahih[7] bahwa al-maghdhubi ‘alaihim adalah kaum Yahudi dan siapa pun yang sejalan dengan mereka, yaitu orang yang memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkannya. Adh-dhallin adalah
kaum Nasrani dan siapa saja yang sejalan dengan mereka, yaitu orang
yang memiliki semangat beramal tanpa dilandasi oleh ilmu.[8] Adapun golongan yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada,dan orang-orang saleh, adalah yang mengumpulkan dua sebab kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu iman dan amal saleh. Allahu a’lam. (bersambung di edisi 2…)
[1] HR. ath-Thabarani dalam al-Ausath dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Asy-Syaikh al-Albani menyebutkannya dalam ash-Shahihah 2648.
[2] Ucapan al-Imam asy-Syafi’i t ini masyhur dari beliau, sebagaimana yang dinukil oleh para ulama, seperti Syaikhul Islam dalam al-Istiqamah, Ibnul Qayyim dalam banyak kitab beliau—di antaranya Ighatsatul Lahafan dan Miftah Daris Sa’adah, dan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya.
Adapun yang dinukil oleh asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Tsalatsatul Ushul dengan makna, “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas makhluk-Nya selain surat ini, niscaya surat ini telah mencukupi mereka”, kami tidak mendapatkan adanya ulama sebelum beliau yang menukil ucapan al-Imam asy-Syafi’i t dengan makna seperti ini. Allahu a’lam.
Adapun yang dinukil oleh asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Tsalatsatul Ushul dengan makna, “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas makhluk-Nya selain surat ini, niscaya surat ini telah mencukupi mereka”, kami tidak mendapatkan adanya ulama sebelum beliau yang menukil ucapan al-Imam asy-Syafi’i t dengan makna seperti ini. Allahu a’lam.
[3] Allah l menggunakan tiga taukid (penegasan)
sekaligus untuk memastikan bahwa kerugian akan dialami oleh semua
orang, kecuali orang yang memiliki empat sifat di atas. Ketiga taukid itu ialah sumpah (wal ‘ahsr), kata inna (sesungguhnya), dan huruf lam pada ucapan la fi khusr. Penjabaran masalah ini ada dalam ilmu ma’ani, cabang dari ilmu balaghah.
[4] HR. Ahmad dan lainnya. Asy-Syaikh al-Albani t menyebutkannya dalam ash-Shahihah no. 3081.
[5] Disebutkan secara panjang lebar dalam Miftah Daris Sa’adah.
[6] Lihat ‘Uddatush Shabirin.
[7] HR. at-Tirmidizi dan lainnya; dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh Muqbil t.
[8] Tidak ada perbedaan di kalangan ahli tafsir tentang makna ini, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Tafsir-nya.
Sumber Majalah Muslimah Qonitah
Sumber Majalah Muslimah Qonitah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar