Radio Muwahiddin

Rabu, 07 Oktober 2015

URWAH BIN AZ-ZUBAIR (bagian 2) Teladan Dalam Kesabaran

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah.

Dalam bagian 1 telah dikisahkan ‘Urwah bin az-Zubair yang mendapat tugas  untuk menemui khalifah al-Walid bin ‘Abdil Malik di ibukota kekhalifahan yaitu Damaskus di negeri Syam. Maka keluarlah beliau beserta rombongan menuju kota Damaskus. Setibanya di suatu tempat yang masih dekat dengan kota Madinah yang dinamakan dengan Wadi al-Qura, terjadi pada beliau semacam luka di telapak kakinya yang kiri. Lambat laun luka tersebut mengeluarkan nanah dan semakin bertambah parah. Waktu berlalu, dan luka tersebut tidak saja semakin bertambah parah namun juga menyebabkan kakinya busuk serta semakin menjalar menggerogoti kakinya.



Dan akhirnya sampailah beliau kepada khalifah al-Walid di kota Damaskus dalam keadaan ditandu dan penyakit tersebut telah menjalar sampai setengah betis. Begitu mengetahui keadaan yang menimpa ‘Urwah, khalifah al-Walid segera memanggil para dokter ternama di kota tersebut untuk mengobati penyakit beliau.

Maka terkumpullah para dokter dan segera memeriksa penyakit yang beliau derita tersebut. Setelah memeriksa dan mendiagnosa jenis penyakit yang menimpa beliau, sampailah mereka pada keputusan bahwa kaki beliau harus secepatnya diamputasi. Sebab kalau tidak, penyakitnya akan terus menjalar ke pangkal paha dan seterusnya ke arah anggota badan yang lain, dalam keadaan penyakit tersebut sekarang telah menggerogoti sampai mencapai setengah paha kirinya. Disampaikanlah keputusan tersebut kepada beliau dan ternyata beliau bisa menerimanya dengan tabah.

Maka dimulailah persiapan untuk operasi pemotongan kaki beliau. Kemudian para dokter tersebut menawarkan obat bius kepada beliau agar nantinya tidak merasakan sakit ketika kakinya digergaji. Namun beliau menolak tawaran tersebut seraya mengatakan, “Aku tidak pernah menyangka terhadap seorang yang beriman kepada Allah bahwa dia akan minum suatu obat yang akan membuat hilang akalnya sehingga dia tidak mengenal Rabbnya. Akan tetapi kalau kalian mau memotongnya silakan, dan aku akan berusaha menahan rasa sakitnya.”

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa tatkala beliau menolak tawaran para dokter tersebut, beliau mengatakan, “Akan tetapi jika memang kalian mau memotongnya silakan lakukan saja dan biarkanlah diriku dalam keadaan salat agar aku tidak merasakan sakit dan pedihnya.”

Maka dimulailah operasi pemotongan kaki beliau yang sebelah kiri dengan gergaji pada bagian atas sedikit dari kaki yang tidak terkena penyakit.

Sewaktu proses amputasi tersebut sedang berlangsung, beliau tidak bergeming atau bergerak sama sekali dan juga tidak terdengar rintihan rasa sakit sedikitpun. Maka ketika telah selesai dari proses pemotongan kaki dan juga telah selesai dari salatnya, datanglah khalifah al-Walid menghibur beliau. Dan berkatalah ‘Urwah kepada dirinya sendiri, “Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu, dahulu aku memiliki empat anggota tubuh (dua kaki dan dua tangan), kemudian Engkau ambil satu. Walaupun Engkau telah mengambil anggota tubuhku namun Engkau masih menyisakan yang lain. Dan walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku namun masa sehatku masih lebih panjang darinya. Segala puji hanya untuk-Mu atas apa yang telah Engkau ambil dan atas apa yang telah Engkau berikan kepadaku dari masa sehat.”

Al-Walid berkata, “Belum pernah sekali pun aku melihat seorang syaikh yang kesabarannya seperti dia.”

Dan tatkala diperlihatkan potongan kaki tersebut kepadanya, beliau mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui,  bahwasanya tidak pernah sekalipun aku melangkahkan kakiku ke arah kemaksiatan.”

Dan pada malam itu juga bersamaan dengan telah selesainya operasi pemotongan kaki, beliau mendapatkan kabar bahwa salah seorang putra beliau yang bernama Muhammad -putra kesayangannya- meninggal dunia karena ditendang oleh kuda sewaktu sedang bermain-main di dalam kandang kuda.

Maka berkatalah beliau kepada dirinya sendiri, “Segala puji hanya milik Allah, dahulu aku memiliki tujuh orang anak kemudian Engkau ambil satu dan Engkau masih menyisakan enam. Maka walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku namun masa sehatku masih lebih panjang darinya. Dan walaupun Engkau telah mengambil salah seorang anakku
maka sesungguhnya Engkau masih menyisakan yang lain.”

Selama menunggu proses penyembuhan kakinya, beliau tinggal di kediaman khalifah selama beberapa hari sekaligus sambil menyelesaikan keperluan yang lain. Kemudian setelah dirasa telah sembuh dan semua urusan telah selesai, kembalilah rombongan ke kota Madinah. Selama dalam perjalanan pulang, tidak pernah terdengar sepatah kata pun lisan beliau menyebut-nyebut tentang musibah yang menimpa kakinya dan kematian yang menimpa putra kesayangannya. Dan juga tidak terlihat beliau mengeluhkan musibah yang menimpanya kepada orang lain.

Dan ketika rombongan telah sampai di tempat yang dinamakan dengan Wadi al-Qura -awal mula terjadinya musibah pada kaki beliau tersebut-, beliau membaca ayat pada surat al-Kahfi ayat 62:
فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِيْنَا مِنْ سَفَرِنَا هذَا نَصَبًا.
Artinya: “Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”. (al-Kahfi: 62)


Akhirnya sampailah rombongan di kota Madinah. Ketika mulai memasuki gerbang kota, manusia berduyun-duyun memberikan ucapan salam dan menghibur beliau atas musibah yang beliau alami.

Wasiat Berharga
Di antara wasiat beliau adalah sebagai berikut:
  1.     Nasehat beliau kepada para pemuda, “Ada apa dengan kalian ini, kenapa kalian tidak menuntut ilmu. Kalau sekarang ini kalian masih kecil, niscaya nantinya kalian akan menjadi para pembesar di kaum kalian. Dan tidak ada kebaikan pada seorang yang sudah tua sementara ia adalah seorang yang bodoh. Sungguh aku telah melihat pada diriku sendiri selang 4 tahun sebelum meninggalnya ‘Aisyah yaitu aku berkata pada diriku sendiri, ‘Kalau seandainya dia (’Aisyah) meninggal pada hari ini maka tidaklah aku menyesali dan bersedih terhadap hadits (ilmu) yang ada pada dirinya disebabkan aku telah mengambil semuanya.’ Dan sungguh telah sampai kepadaku adanya sebuah hadits dari salah seorang sahabat maka akupun berusaha untuk mendatanginya. Maka ternyata aku dapati majelisnya telah selesai, akupun pergi ke rumahnya dan duduk di depan pintu rumahnya kemudian aku bertanya kepadanya tentang hadits tersebut.”
  2. Beliau juga pernah mengatakan, “Tidaklah pernah aku menyampaikan sebuah ilmu kepada seseorang yang akal sehatnya belum bisa untuk mencernanya, disebabkan yang demikian itu akan menyesatkannya.”

Pujian Para Ulama
Ibnu Syihab az-Zuhri berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Shu’air (’Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air al-Mazini) tentang suatu permasalahan dalam bidang fikih. Namun dia menyuruhku untuk bertanya kepada Sa’id bin al-Musayyib. Maka akupun belajar kepada Sa’id selama 7 tahun dan belum pernah aku menjumpai orang yang paling ‘alim selain dia. Kemudian aku belajar kepada ‘Urwah maka aku mendapatkan pancaran ilmu yang deras sekali darinya. Aku melihat bahwa beliau adalah lautan ilmu yang tidak akan habis terkuras airnya.”

Abdurrahman bin Humaid bin Abdirrahman berkata, “Aku masuk ke dalam sebuah masjid bersama ayahku. Maka aku melihat manusia sedang berkumpul kepada seseorang.” Ayahku berkata, “Coba lihat siapa dia!” Maka akupun mendekatinya ternyata dia adalah ‘Urwah bin az-Zubair. Aku pun menceritakannya dengan perasaan kagum kepada ayahku. Ayahku kemudian berkata, “Wahai anakku, jangan engkau merasa heran, sungguh aku telah melihat para sahabat Rasululloh bertanya kepadanya.”

Ahmad bin ‘Abdillah al-’Ijli berkata, “‘Urwah bin az-Zubair adalah seorang tabi’in yang tsiqah (terpercaya), seorang yang saleh, dan tidak pernah fitnah menimpanya sedikitpun.”

Muhammad bin Sa’d berkata, “‘Urwah adalah seorang yang terpercaya, kuat dalam ilmu, amanah, banyak haditsnya, faqih, dan alim.”

Hisyam bin ‘Urwah berkata, “Ilmu itu adalah pada salah satu dari tiga keadaan: Yang pertama adalah seorang yang memiliki keturunan yang mulia maka dengan ilmu akan semakin memperindahnya, yang kedua adalah seorang yang ‘alim yang dengan ilmunya dia memimpin agamanya, dan yang ketiga adalah seorang yang akrab dengan penguasa yang dengannya banyak mendapatkan kenikmatan, dan dengan ilmu yang dimilikinya dia dapat melepaskan dari hal tersebut sehingga dia terlepas dari kebinasaan. Dan aku tidak mendapati seorangpun yang terpenuhi padanya tiga keadaan ini selain pada ‘Urwah bin az-Zubair dan ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz.

Beliau juga berkata, “Aku belum pernah mendengar seorangpun dari kalangan ahli bid’ah menyebutkan tentang ayahku (’Urwah) dengan kejelekan.”

Al-Waqidi berkata, “Beliau adalah seorang yang pandai, alim, kuat hafalannya, kokoh dalam ilmu, sebagai hujjah, dan alim dalam bidang sejarah.”


Selamat Jalan Wahai ‘Urwah…

Beliau wafat pada tahun 93 hijriyah dalam usianya yang ke-70 tahun dalam keadaan sedang berpuasa. Hisyam bin ‘Urwah mengatakan, “Dahulu ayahku berpuasa terus-menerus (banyak berpuasa) dan meninggal dalam keadaan berpuasa.”

Namanya harum dan senantiasa dikenang sepanjang masa sebagai seorang insan yang sabar dan tabah di dalam menghadapi musibah yang sangat berat.

 Semoga Allah subhanahu wata’ala merahmatinya.

Referensi:
  1. Al-Bidayah Wa Nihayah
  2. Siyar A’lamin Nubala’
  3. Tadzkiratul Huffazh
  4. Tahdzibut Tahdzib
  5. Basya’ir al-Farh bi Taqribi Fawa’idi al-Imam al-Wadi’i fi ‘Ilmi ar-Rijal Wal Mushthalah.

Dirangkum oleh Abu Abdirrahman Muhammad Rifqi dan Abu Abdillah Kediri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."