Asy-Syaikh Hani bin Braik hafizhahullah
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه وبعد
Ini merupakan risalah yang saya tulis
pada masa yang sulit, minimalnya buat saya sendiri, di mana saya dan
sebagian penuntut ilmu dan para dai sedang menangani sebagian kerancuan
pemahaman dakwah yang muncul dari sebagian orang-orang yang memiliki
keutamaan dan orang-orang penting yang darinya muncul peletakan
kaedah-kaedah yang tidak sejalan dengan apa yang telah ditetapkan oleh
para salaf. Risalah ini walaupun ringkas, namun saya menganggapnya akan
membawa perkara yang sangat penting, yang akan mengatasi sebagian celah
yang ada. Maka saya memohon kepada Allah agar menjadikannya bermanfaat.
MUQADDIMAH
Kebenaran adalah barang hilang dari
seorang mukmin, dan nasehat merupakan tiang agama, tidak ada yang
menentang dan menolaknya serta meremehkan pembawanya, kecuali orang yang
menyombongkan diri. Di dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi was salam bersabda:
«لا يدْخُلُ الجنةَ مَنْ كان في قلبه مثقالُ حبَّة من كِبْر»
“Tidak akan masuk syurga siapa saja yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi.”
Lalu ada seorang shahabat yang bertanya: “Sesungguhnya seseorang itu menyukai pakaiannya bagus dan sandalnya bagus?”
Maka Rasulullah shallallahu alaihi was salam menjelaskan:
«إنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ: بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ»
“Sesungguhnya Allah indah dan menyukai keindahan, sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”
(HR. Muslim no. 91 di dalam kitab
Al-Iman bab Tahrimul Kibr wa Bayanuh, Abu Dawud no. 4091 di dalam kitab
Al-Adab, bab Maa Ja’a fil Kibr, dan At-Tirmidzy no. 1999 di dalam kitab
Al-Birr wash Shilah, bab Maa Ja’a fil Kibr.
Jadi inilah definisi sombong dan orang yang sombong berdasarkan nash dari Nabi shallallahu alaihi was salam,
sehingga tidak perlu lagi penjelasan dari orang lain setelah adanya
perkataan beliau – semoga shalawat Rabbku dan salam-Nya tercurah bagi
beliau –
Sesungguhnya termasuk kebenaran yang
wajib atas siapa saja yang menyandarkan kepada ilmu, baik ‘ulama, para
dai, maupun para penuntut ilmu, untuk menerima nasehat dengan lapang
dada, telinga yang mendengarkan dengan baik, serta jiwa yang siap dan
tawadhu’ menerimanya, tanpa memandang siapakah orang yang membawanya,
apakah dia masih muda atau sudah tua, apakah dia orang yang terkenal
atau tidak dikenal, apakah dia musuh atau teman dekat, selama nasehat
tersebut sesuai dengan al-haq dan kebenaran.
Alangkah bagusnya perkataan seorang penyair:
لا تحقرن الرأي وهو موافـق حكم الصواب إذا بـــــدا مــــن ناقـــــــــــص
فالدر وهو أعز شيء يقتنــــــى ماحـط قيـمته هـــــــــــوان الغائـــــــــــــص
فالدر وهو أعز شيء يقتنــــــى ماحـط قيـمته هـــــــــــوان الغائـــــــــــــص
Jangan sekali-kali engkau remehkan sebuah pendapat jika sesuai yang benar
Hanya gara-gara yang membawanya orang yang memiliki kekurangan
Mutiara yang merupakan sesuatu yang paling berharga
Tidaklah berkurang nilainya walaupun ditelan binatang yang hina
Dan Allah telah berfirman:
أَلَا لِلَّهِ الدِّين الْخَالِص
“Ketahuilah, hanya untuk Allah saja agama yang murni.” (QS. Luqman: 3)
Agama yang murni untuk Allah adalah yang niatnya hanya untuk Allah dan benar di atas sunnah Rasulullah shallallahu alaihi was salam. Nasehat
di dalam agama adalah menjernihkan dan mensucikan pihak yang dinasehati
tanpa adanya kecurangan padanya serta menginginkan kebaikan untuknya.
Oleh karena inilah telah datang di dalam
hadits Tamim Ad-Dary radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah
shallallahu alaihi was salam bersabda:
«الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ»
“Sesungguhnya agama adalah nasehat.”
Kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau menjawab:
«لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ»
“Untuk Allah, untuk Kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum Muslimin dan untuk mereka secara keseluruhan.”
(HR. Muslim di dalam kitab Al-Iman no.
55 di dalam kitab Al-Iman, bab Bayan Annad Diina An-Nashihah, Abu Dawud
no. 4944 di dalam kitab Al-Adab, bab An-Nashihah serta An-Nasa’iy 7/156
di dalam kitab Al-Bai’ah. Bab An-Nashihah lil Imam)
Dalam Ash-Shahihain dari hadits Jarir bin Abdillah Al-Bajali radhiyallahu anhu, dia berkata: “Amma ba’du, sesungguhnya saya mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi was sallam
lalu saya berkata; ‘Saya berbaiat kepada Anda di atas Islam.’ Lalu
beliau menetapkan syarat kepada saya agar saya menyampaikan nasehat
kepada setiap muslim, maka saya pun membaiat beliau dengan hal
tersebut.”
(HR. Al-Bukhary 1/128 dan 129 di dalam
kitab Al-Iman, kitab Mawaqitush Shalah, kitab Az-Zakat, kitab Al-Buyu’,
kitab Asy-Syuruth dan kitab Al-Ahkam, serta diriwayatkan Muslim no. 56
di dalam kitab Al-Iman, Abu Dawud no. 4945 di dalam kitab Al-Adab dan
An-Nasa’iy 7/152 di dalam kitab Al-Bai’ah)
Dalam lafazh lain, pada riwayat As-Sunan
dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu disebutkan bahwasanya
Rasulullah shallallahu alaihi was salam bersabda:
«…والمسلمُ
أخو المسلمِ، لا يَخْذُلُهُ ولا يَكْذِبهُ ولا يَظْلِمُهُ، وَإِنَّ
أحدَكُم مرآةُ أخيهِ، فَإِنْ رَأى بهِ أذى فَليُمِطْهُ عنه»
“…Seorang muslim adalah saudara
muslim yang lainnya, tidak boleh menghinanya, tidak boleh berdusta
kepadanya dan tidak boleh menzhaliminya, dan sesungguhnya salah seorang
dari kalian adalah cermin bagi saudaranya (sesama muslim), maka jika dia
melihat ada kotoran pada saudaranya tersebut hendaklah dia
menghilangkan darinya.”
(HR. At-Tirmidzy no. 1927, 1928 dan 1930
di dalam kitab Al-Birr wash Shilah, bab Maa Ja’a Fii Syafaqatil Muslim
Alal Muslim, dan ini adalah hadits hasan)
Barangsiapa yang Allah kehendaki
kebaikan baginya, Dia akan menjadikan orang-orang di sekelilingnya
sebagai pemberi nasehat dan melindunginya dari orang-orang yang suka
menipu dan suka basa-basi yang mereka ini tidak henti-hentinya
menimpakan kesusahan kepadanya dan tidak mempedulikan apa yang mereka
dapatkan dengan memanfaatkan kedudukan di sisinya.
Setelah kata pengantar ini, maka saya katakan – dan hanya karena Allah saja saya memaksudkan tulisan –:
Sesungguhnya dengan tulisan ini saya
hanyalah bermaksud untuk menasehati orang-orang yang terjun dalam
mendakwahkan agama Allah dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah para
pengikut Salafush Shalih, yang mereka tidak mengedepankan apapun di
hadapan Kitabullah, sunnah Rasulullah shallallahu alaihi was salam,
dan manhaj para shahabat yang mulia -semoga Allah meridhai mereka-
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Saya tidak
mengkhususkan terhadap sebuah negeri atas negeri yang lain karena dakwah
Ahlus Sunnah adalah satu sehingga tidak mengenal batas atau wilayah.
Jadi prinsip-prinsip dan parameternya satu, tidak akan berubah dan tidak
akan berganti karena perubahan zaman dan tempat, karena itu merupakan
dakwah Islam yang benar dan cocok di setiap tempat dan waktu.
Saya mengkhususkan tulisan saya ini
dengan dua perkara yang termasuk hal-hal yang menjadi perintang dakwah
yang benar yang mana penopangnya adalah sikap komitmen dengan Al-Kitab
dan As-Sunnah serta manhaj pendahulu umat ini yang saleh. Dua perintang
dakwah ini bahayanya tersembunyi pada adanya sikap sebagian orang-orang
yang memiliki keutamaan dan keshalihan serta para dai yang menyangka
bahwa kedua hal hal ini termasuk sebab-sebab untuk menjaga dakwah dan
kemaslahatannya, namun lalai dalam menilai benar tidaknya sangkaan dan
ijtihad ini dengan prinsip-prinsip yang tetap dan kaedah-kaedah yang
kokoh dari manhaj Salafush Shalih.
Maka ketika mereka disikapi dengan hal
yang menyelisihi ijtihad dan pendapat yang mereka yakini, mereka pun
beralasan bahwa pendapat yang mereka yakini mengandung mashlahah bagi dakwah dan dengannya dakwah akan terjaga, dan pihak yang menyelisihi mereka tidak memperhatikan mashlahah ini. Padahal hakekatnya tidak lain hanya mashlahah
yang hanya sebatas dugaan yang berusaha direalisasikan dengan ijtihad
yang menyelisihi jalan yang ditempuh Salafush Shalih. Ijtihad apa pun
yang menyelisihi jalan yang ditempuh oleh Salafush Shalih maka tidak
bisa diterima. Karena mendakwahkan agama Allah ini bukan semata ijtihad
atau anggapan-anggapan baik dari pribadi-pribadi tertentu, sebagaimana
fakta menunjukkan bahwa ijtihad semacam ini akan menyebabkan upaya terus
menjaga individu-individu/pribadi-pribadi tertentu betapapun parahnya
kesalahan mereka. Justru dakwah tidak terjaga dengannya, karena menjaga dakwah adalah dengan menetapkan kebenaran agama Allah serta menolak semua yang menyelishi kebenaran ini.
Termasuk ciri khusus yang membedakan dakwah Ahlus Sunnah dengan selainnya adalah
sikap komitmen yang sempurna dengan kebenaran yang ditempuh salafush
shalih yang tidak menyisakan ruang untuk memunculkan hal-hal baru yang
tidak ada contohnya di dalam agama Allah ini. Dengan manhaj inilah agama
Islam akan terjaga.
Sungguhnya saya benar-benar ingin
menegaskan di depan tulisan saya ini bahwa, ijtihad mana saja yang
menyelisihi manhaj Salafush Shalih dalam semua permasalahan agama maka
itu tertolak, siapapun yang membawanya, walaupun kedudukannya di dalam
ilmu dan dakwah telah sedemikian tinggi. Karena sesungguhnya kesalahan
dan penyelisihan terhadap manhaj Salaf tidak boleh dilakukan walaupun
oleh seorang Ahlus Sunnah yang shalih. Jadi kesalahan harus selalu
dibantah, siapapun orang yang membawanya. Jika orang yang salah tersebut
adalah orang yang memiliki keutamaan, maka diberi udzur dengan ungkapan
dan isyarat yang baik, namun tidak boleh menyetujui dan mengikuti
kesalahan tersebut. Prinsip ini telah tetap di kalangan Ahlus Sunnah.
Pada kesempatan yang singkat ini, saya
ingin menyingkap terlebih dahulu, apakah kedua perintang utama dakwah
tersebut? – yang saya singgung di atas, sebelum saya menjelaskannya
lebih jauh – Kedua perintang tersebut telah disangka sebagai maslahat
dan upaya menjaga dakwah, padahal faktanya adalah sebaliknya, justru
merugikan dakwah.
Perintang Pertama
adalah, pujian yang melampaui batas atau berlebihan. Maksudnya di sini
secara khusus adalah melampaui batas dalam memuji para ulama dan para
dai serta para penuntut ilmu.
Perintang Kedua
adalah, mendiamkan kesalahan orang yang salah dari kalangan Ahlus
Sunnah, mencela orang yang mengingkari kesalahan tersebut, serta
berlebihan dalam memuji orang yang salah karena ingin melembutkan
hatinya.
Inilah yang ingin saya singkap, yang
berkaitan tentang penyelisihan terhadap manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Walaupun perkara ini mungkin tampak jelas bagi banyak orang, namun dari
sisi prakteknya atau faktanya di lapangan kita melihat sikap
menyelisihi perkara ini sangat jelas.
Akibatnya muncullah manhaj baru yang
dipakai oleh sebagian orang-orang shalih dan menyandarkankannya kepada
manhaj yang benar. Semua itu muncul dari mereka dengan niat yang baik
dan keinginan untuk menciptakan ishlah (perbaikan).
Tidaklah salah jika kita katakan bahwa:
sesungguhnya jalan semacam ini adalah hasil ijtihad pribadi yang tidak
pada tempatnya. Dan munculnya dari orang-orang yang memiliki keutamaan
tidaklah menghalangi untuk menyatakannya sebagai sebuah kesalahan
sebagaimana yang telah saya singgung, dan menyikapinya dengan sikap
kritis dan menilainya dengan manhaj salaf yang insya Allah kita semuanya
selalu komitmen dengannya baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Cara inilah yang hakekatnya akan menjadi
sebab terjaganya kemuliaan pribadi-pribadi tersebut, bukan dengan cara
yang lain. Adapun menjaga dakwah tidaklah akan terwujud kecuali dengan
menjaga prinsip-prinsip pokok agama ini dan parameternya, yaitu dengan
cara menetapkannya berdasarkan dalil-dalil syariat ini serta selalu
menjaga agar tidak terdapat celah padanya, serta membantah siapa saja
yang menyelisihinya dengan hujjah, penjelasan, hikmah, nasehat yang
baik, serta diskusi dengan cara yang terbaik.
Saya tidak menyangka bahwa mendiskusikan
masalah seperti ini akan menggoncang seorang pun yang memuliakan manhaj
salaf dan dia komitmen dengannya. Bahkan justru akan menyenangkan siapa
saja yang benar-benar menginginkan kebaikan dan melakukan perbaikan.
Bukan orang yang ingin bersikap berlebihan di dalam memuliakan
pribadi-pribadi tertentu dan melampaui batas-batas syariat. Tulisan ini
saya beri judul “Antara Menjaga Dakwah dan Menjaga Pribadi Tertentu.” Adapun pembicaraannya secara rinci akan menyusul Insya Allah.
http://miratsul-anbiya.net/2014/08/14/antara-menjaga-dakwah-dan-menjaga-individu-1/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar