Radio Muwahiddin

Selasa, 27 Agustus 2013

Ijinkan Aku Tetap Memanggilmu Ibu (Kisah Nyata Seorang Pemuda yang Memilih Islam Sebagai Agama)



Berikut ini adalah kisah seorang teman saya, lebih tepatnya adik kelas waktu SMA. Tentang awal keyakinannya untuk memilih Islam sebagai agamanya dengan konflik yang timbul setelahnya. Pada akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa diambil ibrah untuk kita semua.

IJINKAN AKU TETAP MEMANGGILMU IBU

Aku mencoba menulis untuk diriku, menulis tentang sepenggal kisah hidupku. Yah, kalau mau kita spesifikkan tentang sepenggal episode kehidupan masa laluku. Kehidupan yang selama ini kupendam dan tak ada yang tahu selain aku, beliau, dan Rabbku. Kehidupan yang menjadi pijakan pertama untuk memulai suatu kehidupan jauh lebih indah dari yang kubayangkan sebelumnya. Kehidupan yang membuatku sadar akan pilihan yang kuambil beserta semua konsekuensinya dan kepada siapa akan kukembalikan semuanya.



Namaku Irwan. Tunggu dulu, jangan berpikir ini kisah picisan remaja galau, dan juga jangan kira ini drama percintaan bak film korea dengan segala intrik dan perang dinginnya. Bukan, Ini tentang aku dan kehidupanku.
Aku terlahir pada keluarga non-muslim yang tumbuh dan dibesarkan dalam nuansa keagamaan yang begitu kental. Keluargaku termasuk penganut ibadah yang taat. Teringat jelas bagaimana kehidupan yang kujalani saat itu. Tapi tunggu dulu, bukan kisah itu yang ingin kuceritakan. Tapi tentang kisah titik balik kehidupanku menjadi seorang muslim.

Aku mulai kisahnya pada tanggal 1 Ramadhan 1428 Hijriyah. Entah apa yang ada dibenakku saat itu tapi tiba-tiba aku merasa tertantang untuk ikut berpuasa bersama mayoritas penduduk negeri ini. Ingin kubuktikan bahwa aku juga kuat berpuasa, jangan remehkan ya! Kabar baiknya hari pertama berlalu dengan lancar tanpa ada kendala, dan kabar buruknya orang tuaku tidak tahu apa yang anaknya ini lakukan. But I think it’s not a big deal. Ikut puasa sampai 30 hari penuh, Why not?! Itu rencanaku.

Tapi semua berubah di hari ke-3. Bibiku tahu kalau aku sedang berpuasa (sial –pikirku-). Untungnya dia seorang muslimah tidak seperti kedua orang tuaku. Masih teringat jelas apa yang beliau tanyakan padaku saat itu, “Apakah kamu yakin puasamu nanti diterima oleh Yang di Atas?” Bah, pertanyaan macam apa ini! Bukan itu tujuanku ikut puasa. Aku hanya bisa terdiam membisu, hening tak berkata kemudian berlalu pergi. Pertanyaan bibiku itu dengan sukses berhasil mengganggu jadwal tidurku. Aku bertanya pada diriku sendiri, “Kenapa aku terlahir di keluarga ini? Kenapa ayah dan ibuku keluar dari agama Islam? Kenapa semua ini rasanya berat untuk terfikirkan di kepalaku?” Aku merasa iri kepada mereka yang sudah berIslam sejak lahir. Kenapa? Karena mereka tidak perlu menemukan alasan mengapa mereka beragama Islam. Bukan bermaksud menghakimi, just my opinion.

Aku sedikit belajar tentang Islam waktu di SD dan SMP. Menurutku, Islam agama yang menarik tapi belum cukup untuk membelokkanku dari jalan hidupku waktu itu. Tahun demi tahun pun berjalan sebagaimana biasanya, tanpa perbedaan. Tapi sekarang, tahun ini sepertinya akan jadi tahun yang berat dalam hidupku. Kalian tahu kenapa? Keisenganku berpuasa, pertanyaan bibiku, dan ketertarikanku dengan Islam. Semua memang sudah tertulis di Lauhul Mahfudz sana. Ini bukan kebetulan, tapi ini sebuah takdir yang telah Dia tuliskan untukku. Begitu berat tetapi Deal or no deal, it’s must be a deal. Menerima takdir adalah sebuah keharusan. Bukan sebuah kewajiban sebagaimana peraturan di sekolah yang kadang bisa dilanggar.

Semakin lama aku semakin tertarik dengan Islam. Semakin sering aku membaca tentang kisah-kisah islam, mendengarkan ceramah, dan tanpa kusadari hatiku merasa tentram bersamanya. Terselip banyak ketenangan batin ketika mempelajari itu semua. Aku merasa tahun-tahun itu menjadi tahun yang paling berkesan sepanjang hidupku.

Beberapa hari telah kulalui sejak kejadian itu. Entah sudah hari ke berapa, tapi yang jelas sudah kuputuskan. Ya, benar, sudah kuputuskan untuk menemui bibiku. Aku sudah memikirkannya, memikirkan tentang sebuah ketakutan. Takut jika ternyata keputusanku salah. Takut jika yang kulakukan selama ini sia-sia, takut jika ternyata tempat kembaliku adalah neraka, dan yang paling kutakutkan adalah jika aku kekal tinggal di sana selamanya. Wal ‘iyadzubillah. Saat itu kutetapkan hatiku untuk memilih jalanku dengan segala konsekuensi dan tanggung jawabnya. Akhirnya, kuikrarkan dua kalimat yang penuh makna itu. Syahadat…
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
Ya benar, dua kalimat Syahadat. Hatiku tak kuasa menahan haru yang luar biasa. Kini aku seorang mu’allaf.
وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَ‌ةٍ مِّنَ النَّارِ‌ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا
“… dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.” (QS. Ali Imran: 103)

Alhamdulillah, bibiku dengan senang hati mengajariku untuk berwudhu, juga sholat, beliau juga mengajariku beberapa surat pendek. Paginya, aku pertama kalinya melakukan sholat shubuh. Entah aneh rasanya, melakukan yang tidak biasa kita lakukan, rasanya seperti kita sudah terbiasa minum kopi, tapi tiba-tiba kita diharuskan terbiasa untuk minum madu dan jahe. Di roka’at kedua, tak terasa air mataku menetes. Tapi, bukan kesedihan, kegalauan, ataupun rasa berdosa yang mendera.
Ketenangan, tenang rasanya, penuh kedamaian…
Ya Allah, Allah, Allah.. tak henti-hentinya hatiku memanggilnya…
Tetesan air mata yang menemaniku diawal subuh sebagai seorang muslim..
Beberapa hari kemudian, aku menemui guru pengajar agamaku (agama yang dulu) di sekolahku. Aku menyatakan telah memeluk agama Islam. Sepertinya dia terguncang dengan pernyataanku, dia menyesalkan kenapa aku tidak terlebih dahulu berkonsultasi kepadanya. Tapi sekali lagi, It’s not a big deal. Bukan hal yang besar untuk dipermasalahkan. Baiklah, langkah selanjutnya aku harus menemui guru pengajar agama Islam untuk bisa mengikuti pelajaran beliau. Aku datang kerumah beliau dengan seorang teman yang sering aku ajak berkonsultasi tentang agama islam.
Kaget! Ya, aku kaget. Guru pengajar agama Islam, Pak Andik malah menyuruhku memikirkan ulang keputusanku memilih agama Islam. Bagiku ini bukan pilihan, tapi keharusan. Beliau menyuruhku untuk kembali ke rumahnya minggu depan, untuk menentukan pilihan dan memberikan waktu bagiku untuk memantapkan hati. Oke, hari itu cukup membuatku untuk menjadi galau, tapi bukan galaunya anak-anak boyband. Apalagi aktor BBF dari korea itu!! (Ngawur, ed) Setelah semua yang aku lalui, beliau menyuruhku untuk memikirkan kembali keputusanku. Dengan mantap aku katakan tidak! Aku tetap pada keputusanku.

Seminggu kemudian aku datang kerumah beliau dan dengan tetap pada keyakinanku. Tak tergoyahkan dan tak mengubah kemantabanku sedikitpun. Ingat, sedikitpun!! Begitu besar keyakinanku untuk memilihnya dan sungguh sesuai dugaan. Beliau senang, ternyata yang diucapkannya minggu lalu hanya untuk mengetes keyakinanku. Ingin rasanya kubilang WOW (tanpa salto, ed) waktu itu di depan beliau, tapi aku masih punya sopan satun. Baiklah, karena WOW (sekali lagi tanpa salto, ed) belum populer di masa itu. Kita sudahi pembahasan WOW tanpa salto itu, karena minggu depan aku sudah bisa mengikuti pelajaran beliau. Pelajaran Agama Islam..

Tahukah engkau wahai saudaraku, apakah manusia itu bebas berkata, “Aku beriman” lalu mereka dibiarkan saja dan tidak mendapat ujian? Kurasa semua telah paham.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَ‌كُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut: 2)

Inilah ujian berikutnya, pertengahan bulan Ramadhan, guru agamaku yang dahulu memintaku untuk bertemu dengannya. Apakah ajakan untuk berkencan? Jelas bukan! Dia memintaku untuk untuk membuat surat pernyataan bahwa aku yang sudah beragama islam. Tanpa curiga kuikuti kemauannya. Inilah awal petaka dari rentetan petaka-petaka yang ada. Malam harinya saat Ayah dan Ibuku pulang dari ibadah rutinnya, tak ada angin tak ada hujan, Ibuku membentakku, mencemooh dan memarahiku, menyesal punya anak sepertiku. Aku lupa menceritakan kepada kalian bahwa aku belum memberitahu orang tuaku bahwa anaknya telah memeluk agama Islam (But It’s not a big deal sengaja dihapus oleh editor, ed). Anak yang tak tahu balas budi. “Sepertinya ini ada hubungangnya dengan surat pernyataan itu,” pikirku -kemudian hening-. Karena satu patah kata hanya akan memperkeruh udara rumah, membuat oksigen berkurang dan udara menjadi pengap.

Ibuku menangis sejadi-jadinya, dia tidak ingin punya anak sepertiku. Baiklah, kuturuti kemauannya. Mungkin, ibuku juga butuh waktu untuk menerima kenyataan ini. Malam itu aku pergi dari rumah, dengan pakaian yang masih melekat di badan. Kemana tempat tujuanku? Sekolah, tepatnya di masjid Sekolah SMA. Rumah Allah, Rabbku, Rabb semesta alam.

Malam itu aku pergi ke masjid sekolah sambil menangis. Mengadu kepada Rabbku. Aku tidak mengeluhkan tentang beratnya ujian ini, aku hanya meminta kekuatan untuk bisa menghadapinya. Aku tahu aku tak bisa mengahadapi ini sendirian. Kukeluarkan ponselku, sekedar untuk mengetik pesan singkat kepada teman-temanku. Siapa saja, tolonglah! Aku butuh seseorang. Aku butuh teman. Tapi tak ada satupun yang datang. Baiklah, lagi-lagi aku katakan, It’s not a big deal. Tidak masalah, akhirnya kuhabiskan malam ini di sekolah.

Paginya, seorang temanku datang ke sekolah. Alhamdulillah, Allah tidak membiarkanku terlalu lama sendirian. Sendirian itu tidak enak. Siang harinya -entah dari mana mereka tahu- orang tuaku menjemputku ke sekolah. Mereka memintaku untuk pulang. Apakah kisahnya sudah selesai? Tentu saja belum.

Aku pulang dengan ragu. Ayah dan Ibu hanya diam di rumah, aku juga diam. Haripun berlalu. Keesokan harinya, saat sedang menonton TV, ibuku datang menghampiri. Beliau memperlihatkan catatan kadar gula darahnya yang di atas normal. Beliau bertanya kepadaku apakah aku tidak kasihan kepadanya. Tentu saja aku kasihan. “Aku ini anak yang normal Bu,” batinku.  Beliau mengancam akan terus menambah gula darahnya jika aku tidak kembali pada agama mereka. Lagi-lagi hanya bisa diam. Tapi kali ini aku berkata dalam hati, “Bahkan jika engkau wahai ibuku, punya 100 nyawa sekalipun, aku akan tetap memilih jalan ini.”
لاَ تَفْعَلِي يَا أُمَّه، إِنِّي لاَ أَدَعُ دِيْنِي هَذَا لِشَيْءٍ
“Jangan engkau lakukan itu wahai ibuku, sesungguhnya aku tidak akan meninggalkan agamaku ini.”
تَعْلَمِيْنَ وَاللهِ يَا أُمَّاهُ لَوْ كَانَتْ لَكِ مِئَةُ نَفْسٍ فَخَرَجَتْ نَفْسًا نَفْسًا مَا تَرَكْتُ دِيْنِيْ
“Demi Allah, ketahuilah wahai ibu seandainya engkau mempunyai seratus nyawa dan keluar satu persatu, maka aku tidak akan meninggalkan agama ini.”
(Sa’ad bin Abi Waqqash kepada ibundanya)

Maaf, apakah kalian pikir hal ini mudah bagiku? Tidak! Rasanya berat. Sungguh sangat berat. Bayangkan jika orang yang kalian cintai, sayangi dan kasihi berkata seperti itu hingga menetes air mata beliau. Tapi tetap kucoba untuk menjelaskan kepada ibuku secara perlahan tentang pilihanku, jalanku.
Bersama derai air mata, aku meminta sedikit rasa iba dari hati ibuku.
Meminta sedikit pengertian untuk menerimaku..
Aku anakmu bu.. Aku anakmu..
Anak yang kau kandung selama 9 bulan 10 hari..
Kau rawat dan kau jaga..
Aku akan tetap menyayangimu..
Akan menyayangimu..
Kupeluk ibuku dengan penuh kasih sayang..
Ibu, aku tak akan pernah membencimu..
Meneteslah air mata ibuku..
Meskipun jalan kita berbeda tapi aku anakmu, aku tetap menyayangimu. Bukan aku tak peduli dengan ancamanmu tetapi bukan itu tujuanku. Aku ingin kau menerimaku dengan ketulusanmu sama seperti ketika engkau membesarkanku mulai kecil sampai saat ini.

Ujian berikutnya datang dari paman dan bibiku, aneh. Mereka memintaku untuk kembali keagama yang dulu. Karena mereka merasa kasihan kepada ibuku, iba terhadap kondisinya. “Sekarang siapa yang jadi lemah, kalian tidak melihat aku juga sangat menderita di sini,” pikirku. Apakah kalian tak melihat tersayatnya hatiku? Ayolah, aku juga menderita. Tetapi, aku tetap di atas keyakinanku, dan jangan goyahkan itu. Kali ini aku berani mengeluarkan kata-kata karena memang aku yakin jika aku ada di atas kebenaran.



Tanggal 1 Syawal 1429 Hijriyah, pertama kalinya aku mengikuti sholat ‘ied. Alhamdulillah, sekarang ibuku menyiapkan pakaianku untuk pergi mengikuti sholat. Senang rasanya bisa menyelesaikan 30 hari berpuasa. Aku ingin menggunakan kesempatan ini untuk meminta maaf kepada Ayah dan Ibuku. Tapi saat kuhampiri ibuku yang duduk di sofa, saat kuulurkan tanganku untuk meraih tangannya, bliau enggan menyambut tanganku, beliau enggan untuk memaafkanku. Aku menangis, kuhampiri ayahku. Tapi syukurlah kali ini ayahku bersedia memaafkanku. Cukup untuk tidak membuatku lebih terluka.

Itulah sepenggal kisahku. Sekarang sudah tahun ke-5 sejak hari itu. Kini ibuku rela bangun pagi hanya untuk mengingatkan agar aku tak lupa untuk makan sahur. Beliau selalu mengingatkanku untuk menjaga kesehatan, bahkan mengingatkanku untuk rajin minum susu agar aku kuat untuk menjalani puasa. Alhamdulillah, meski kami berjalan di atas jalan yang berbeda, takkan lelah hati ini berharap mereka kelak bisa shalat berjamaah denganku, melewati puasa Ramadhan bersama, dan kembali memeluk agama yang diridhoi Allah ta’ala. Insya Allah.
Yaa Allah, tak lelah hati ini meminta dan mengiba padamu.
Tak lelah hatiku berharap kan cahaya darimu
Bimbing aku agar selalu dekat denganMu
Lindungi aku dari segala kejahatan dunia dan peluklah aku dalam naungan kasih sayangMu.
Engkaulah Rabb seluruh alam, Engkaulah tempatku meminta..
Engkau.. hanya Engkau..
ditulis oleh Irwan Abu Abdirrahman Al-Magetaniy dengan perubahan dan tambahan.

sumber: http://rizkytulus.wordpress.com/2012/12/23/ijinkan-aku-tetap-memanggilmu-ibu-kisah-nyata-seorang-pemuda-yang-memilih-islam-sebagai-agama/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."