(Cukup) Sekali Lagi Tentang Fatwa Karma “Islami”
Dalam Sangkar Pembelaan Facebooker Hanan Bahanan
(Wajibnya Membantah Kebatilannya)
Sebenarnyalah, bagi orang-orang yang
jujur, berakal dan mengharapkan kebaikan, telah lebih dari cukup
bukti-bukti dan referensi yang ditampilkan dalam tulisan-tulisan yang
terkait hukum karma:
Sehingga berkesimpulan kokoh tak tergoncangkan
bahwa ISLAM, AL QUR’AN DAN AS-SUNNAH AN NABAWIYAH TIDAK BISA DIKAITKAN
(DARI CELAH SESEMPIT APAPUN, DARI ARAH MANAPUN, DENGAN TRIK APAPUN)
DENGAN HUKUM KARMA, LA MIN QARIB WALA MIN BA’ID, TIDAK DARI DEKAT DAN
TIDAK PULA DARI JAUH.
Hanya saja, kenyataan sangat
memprihatinkan yang harus kita saksikan dan dengarkan (dengan munculnya
makalah yang menggugat keras ADANYA HUKUM KARMA DI DALAM ISLAM DENGAN
DALIL AYAT DAN HADITS YANG DICOMOTNYA, seindah apapun dia -menipu dan
membodohi kaum muslimin- dengan membungkus makna karma agar nampak
Islami, sadar ataupun tidak) menimbulkan reaksi tak sehat, kalap, jauh
dari sikap ilmiyah dan cenderung frustasi semisal ucapan KENAPA USTADZ
DZULQARNAIN TIDAK DIKAFIRKAN SEKALIAN?!
Subhanallah! Apakah mereka ini telah
sedemikian parah pemahamannya sehingga sampai mengira bahwa tujuan
membantah pernyataan batil bahwa ada ayat dan hadits yang membenarkan
adanya hukum karma adalah agar para pembaca BISA MENGKAFIRKAN AL USTADZ
DZULQARNAIN?! Wallahul musta’an.
Apakah mereka separah ini pula dalam
memahami bahwa mengembalikan definisi karma ke dalam kamus bahasa
Indonesia, ke dalam pengertian agama Hindu, Budha dan Jain (selaku
pemilik sah aqidah tersebut) dan definisi karma yang telah dijelaskan
dan diuraikan kebatilannya oleh para ulama adalah untuk membuktikan
bahwa Al Ustadz Dzulqarnain benar-benar sepenuhnya meyakini Karma
sebagaimana yang diyakini orang-orang kafir tersebut agar pembaca dapat
mengkafirkan beliau?! Wal’iyadzubillah.
(Kami ulang lagi) inilah pemaparan dari
seorang Profesor di Jami’ah Madinah yang beliau ini adalah mantan Hindu
terkait aqidah Karma. Apakah beliau juga menjadikan dalil ayat dan
hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menjustifikasi keabsahan
karma ada di dalam Islam ya ustadz?
http://www.4shared.com/mp3/hQMULS03/AQIDAH_HINDU.html
Justru pemaparan bukti-bukti di atas
adalah sebagai pembanding ilmiyah untuk membuktikan bahwa pengertian
karma yang beliau ucapkan adalah salah dan tentu saja untuk membuktikan
bahwa pendalilan ayat dan hadits yang beliau bawakan adalah batil dan
menyesatkan. Karma tidak ada kaitannya dengan dienul Islam, apalagi jika
karma (yang mengingkari taqdir Allah Ta’ala dan ampunanNya) dikaitkan
pula dengan kaidah mulia Al Jazaa’ min Jinsil ‘Amal. Maka bagaimana
mungkin kebatilan semacam ini diberi pembenaran dengan ayat dan hadits
yang beliau bawakan?
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ (٣٠)
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah banyak yang maafkan.” (QS.As Syuura: 30)
Dari ayat di atas, adalah hal yang sangat
memprihatinkan jika masih ada yang berani mengaitkan /melazimkan
karma dengan prinsip mulia Al jazaa’ min jinsil ‘amal.
Saya heran dan sungguh sangat heran
dengan sikap menakjubkan dari orang-orang yang dipanggil ustadz tersebut
(dan para pengekor fanatiknya) dimana mereka sama sekali tidak
tersinggung dan marah ketika Islam, Al Qur’anul Karim dan Hadits-hadits
Nabi dijadikan dalih pembenaran adanya hukum karma!! Merekapun tidak
marah manakala ayat dan hadits direndahkan untuk menjustifikasi karma
najis ada di dalam Islam!! Mereka juga tidak marah ketika dienul Islam,
Al Qur’an, bahasa Arab dilecehkan dan dihinakan orang-orang kafir
penyembah berhala karena ulah segelintir orang Islam pengembat hukum
karma itu!! Tetapi justru mereka marah dengan kemarahan yang membara,
tersinggung dan mengarahkan senjata serbunya (berupa fitnah, bualan dan
kebohongan), melaporkannya kepada Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullah
terhadap orang-orang yang membantah, mengungkap kebatilan dan kesesatan
fatwa hukum karma ada di dalam Islam, menyingkap dan menelanjangi
kebatilan pendalilan ayat dan hadits yang dicomotnya dengan selera hawa
nafsunya sendiri!! Alasannya apa?? BAWALAH PERKATAAN SAUDARAMU KEPADA
MAKNA YANG BENAR, JAGALAH PERSATUAN!! Adakah makna yang benar bisa
muncul dari kesesatan, kebatilan dan kekufuran aqidah milik para
penyembah berhala ya ustadz?! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Apakah perintah Rasulullah shallallahu
alaihi was salam untuk mengingkari kemungkaran TIDAK BOLEH DITERAPKAN
KEPADA SESAMA AHLUS SUNNAH KARENA ITU AKAN MENGHANCURKAN PERSATUAN?!
Jawablah dengan jujur dan ilmiah kalau kalian adalah orang-orang yang
benar!! Ada bantahan Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary hafizhahullah
terhadap syubhat semacam ini.
Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam telah bersikap keras terhadap Umar radhiyallahu ‘anhu ketika
beliau membawa lembaran-lembaran Taurat?! Bukankah beliau bersikap keras
terhadap Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang membunuh orang yang
telah mengucapkan syahadat?! Bukankah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersikap keras terhadap Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu yang
terlalu lama mengimami manusia dalam shalat? Bukankah beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menyebut bahwa Abus Sanabil telah berdusta ketika dia
berfatwa bahwa wanita yang melahirkan yang ditinggal mati oleh
suaminya, iddahnya selama 4 bulan 10 hari seperti wanita lain yang
ditinggal mati suaminya?! Dan masih banyak sikap keras beliau dalam
mengingkari kesalahan shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in yang ini
tidak tersamar bagi siapa saja yang mempelajari hadits-hadits beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kemudian, apakah makna perintah
Asy-Syaikh Rabi’ untuk menjaga persatuan adalah mendiamkan kemungkaran?!
Bukankah beliau baru-baru ini membantah Ar-Ruhaily dan seorang yang sok
berilmu dan tertipu yang menuduh para ulama sebagai orang-orang
Murji’ah? Dan ingatlah wahai para ikhwah bahwa salah satu teman hizbi
dari si facebooker pendusta besar Hanan Bahanan (yang dia bebaskan
mengumbar syubhat-syubhat jahat dan menyesatkan di tembok ratapan
facebooknya) adalah orang yang telah menyebarluaskan fitnah keji bahwa
Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullah telah ditahdzir Ulama karena beliau
terkena paham Irja’!! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kalau dipahami seperti itu lalu bagaimana
pendapat kalian tentang bantahan Asy-Syaikh Rabi’ terhadap Asy-Syaikh
Bakr Abu Zaid? Apakah itu maknanya ketika itu beliau langsung memvonis
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid sebagai hizbi (bukan Sunny lagi)? Juga bantahan
Asy-Syaikh Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiry terhadap Faqihul Ashr
Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam masalah
ma’iyyah yang mana beliau telah rujuk dan mengumumkan rujuknya tersebut
di dalam muqadimmah bantahan Asy-Syaikh At-Tuwaijiry terhadap beliau,
yang ini merupakan bukti ketawadhuan dan keikhlasan beliau yang
seharusnya kita semuanya meneladaninya (dan bukannya bersikap arogan bak
preman, cari alamatnya, ancam labrak sana dan labrak sini). Juga baru
saja di tulisan sebelum ini tentang penegasan tahdzir Asy-Syaikh
Muhammad bin Hady terhadap Al-Hajury yang dungu.
Kalau dipahami seperti kaidah mereka ini
(orang yang dibantah masih Ahlussunnah, jaga persatuan) niscaya siapapun
yang mengaku Ahlussunnah bisa saja berbicara seenaknya tanpa boleh ada
yang mengingkari sehingga kehancuranlah yang akan terjadi karena
kebenaran akan dianggap kebatilan dan sebaliknya kebatilan akan dianggap
sebagai kebenaran. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Siapakah sebenarnya yang lebih pantas
disebut pemecah belah?! Orang yang berbicara dalam masalah agama secara
ngawur dan menuduh orang lain secara zhalim dan dusta tanpa bukti
ataukah orang yang membantah kesalahannya dalam rangka menjaga perintah
Allah dan Rasul-Nya?!
Kemudian secara khusus kepada Hanan
Bahanan, kami kembalikan kaidah buatanmu sendiri yang mengingkari
bantahan terhadap orang yang masih sunny dan belum mubtadi’: Apakah
Al-Ustadz Luqman Ba’abduh itu sudah hizbi/mubtadi’ dan bukan seorang
Sunny lagi sehingga kamu secara ngawur, dusta dan kotor menjatuhkan
kehormatan beliau?! Apakah Al-Ustadz Muhammad Afifuddin juga telah
engkau cap sebagai hizbi/mubtadi’ sehingga kamu vonis pula sebagai
menyuarakan pembelaan dan pembenaran perbuatan setan?!! Laa haula wa laa
quwwata illa billah.
Gambar 1. Screenshot vonis gelap mata
sang facebooker pendusta HB terhadap Al-Ustad Muhammad Afifuddin setelah
beliau menyampaikan fatwa tahdzir Asy-Syaikh Rabi’ terhadap Rodja dan
adanya orang-orang (bukan dari kalangan Sururiyyun) yang tidak puas
dengan fatwa Asy-Syaikh Rabi’ tersebut. Siapa saja mereka? Tanya saja
kepada sang facebooker ini. Semoga dia memiliki keberanian untuk
menyebutkannya.
Gambar 2. Screenshot “testimoni” Gatot
(gagal total) mencari PEMBENARAN memang beda tipis dengan kata mencari
KEBENARAN tetapi terpisah jurang hawa nafsu menganga dengan makna
memcari PEMBENARAN. Hizbiyyun Mumayyi’un-pun urung gembira.
Ya ikhwah, bagaimanapun mereka ini
mengelabui umat dengan berbagai trik pemaknaan yang menipu, Karma
tetaplah istilah sesat, batil dan keyakinan kufur milik para penyembah berhala.
Jangan kita mengambil, memakai dan mengaku-aku dengan sesuatu yang
bukan milik kita. Adalah syubhat yang menyesatkan jika seseorang (yang
dipanggil sebagai ustadz, hadahullah) berani menyatakan dan
menyebarluaskan bahwasanya Karma memiliki makna yang benar!! Sekali
lagi, adakah makna yang benar bisa muncul dari kesesatan, kebatilan dan
kekufuran ya ustadz?! Allahu yahdik.
Gambar 3. Screenshot opsi nasihatonline TIDAK ADA YANG BENAR ALIAS SALAH SEMUANYA
Harus saya ingatkan lagi kepada saudara
facebooker Pendusta Besar Hanan Bahanan dan siapapun yang mencoba untuk
membela fatwa batil hukum karma ada di dalam Islam, ada dalilnya dari
Al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar bisa
berfikir jernih dan ilmiyah bahwa kita tidak membahas hukum Karma
menurut ustadz fulan atau kyai allan yang tentu saja memiliki batasan
keilmuan yang tidak mungkin sama pun memiliki pengetahuan yang berbeda
terkait pertanyaannya (KARMA). Mungkinkah syari’at Islam yang datangnya
dari Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Mulia memberikan dua hukum dalam satu
permasalahan (AQIDAH KARMAPHALA) yang keduanya saling bertentangan,
bertolak belakang, hukum batil dan hukum benar yang tentu
saja tidak mungkin untuk dikompromikan?!! Maka mengembalikan makna Karma
menurut pemahamannya masing-masing manusia untuk kemudian diatasnamakan
Islam tidak lebih dari seruan untuk memahami Islam sesuai timbangan
hawa nafsunya sendiri-sendiri. Persoalannya bukanlah HUKUM KARMA DALAM
PANDANGAN AL-USTADZ/KYAI FULAN tetapi HUKUM KARMA DALAM PANDANGAN ISLAM.”
Maka untuk membantah ucapan yang batil
dan menyesatkan (semisal Karma ada di dalam Islam), tidak ada kaidah
bahwa: orang yang mengucapkan tersebut harus meyakini (sebagaimana
keyakinan Karma yang dipahami seutuhnya oleh orang-orang kafir penyembah
berhala) apa yang dia ucapkan. Cukuplah kita menghukumi secara zhahir
bahwa apa yang dia nyatakan adalah batil dan menyesatkan.
Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
مَنْ أَظْهَرَ لَنَا خَيْرًا
أَحْبَبْنَاهُ وَوَالَيْنَاهُ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ سَرِيرَتُهُ
بِخِلَافِ ذَلِكَ وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا شَرًّا أَبْغَضْنَاهُ عَلَيْهِ
وَإِنْ زَعَمَ أَنَّ سَرِيرَتَهُ صَالِحَةٌ.
“Barangsiapa yang menampakkan kepada kami
kebaikan maka kami akan mencintainya dan akan membelanya, meskipun
batinnya menyelisihi lahirnya. Dan barangsiapa yang menampakkan
keburukan kepada kami maka kami akan marah kepadanya meskipun dia
mengaku bahwa batinnya baik.”
Jadi merupakan hal yang mengada-ada jika
Hanan Bahanan sampai melemparkan bualan dusta dan fitnah (hanya untuk
membela perkataan batil dan sesat):
Gambar 4. Screenshot Tour de Bualan
dari si pendusta besar di tembok ratapan facebooknya. Darimana si
pendusta besar ini tahu? Apakah membantah ucapan yang batil, mendustakan
tuduhan dusta dan fitnah tujuannya untuk menjatuhkan seseorang?
Alangkah rendahnya tujuan ini. Apakah dia telah membelah dada AG dan
melongok isi hatinya? Haadza buhtaanun ‘azhiim.
Apakah menjawab tuduhan-tuduhan fitnah
dan kedustaan orang yang bergelar ustadz adalah dalam rangka menjatuhkan
nama baiknya? Masya Allah, ada tulisan khusus berupa bantahan ulama
terhadap syubhat murahan seperti ini.
Ataukah ciri Salafy yang baik dan sopan
salah satunya adalah HARUS DIAM MEMBISU karena yang melemparkan tuduhan
dusta dan fitnah kepada dirinya adalah orang yang dipanggil sebagai
ustadz atau Syaikh sekali pun?! Ini syari’at dari mana? Allahul
musta’an.
Dengan kaidahmu ya facebooker pendusta, apakah kalau tidak ditahdzir oleh Syaikh Rabi’ berarti memang benar ada ayat dan hadits hukum karma di dalam Islam?!
Memang kalau lisan sudah dibiasakan untuk
dusta dan fitnah (wal’iyadzubillah), takkan berat baginya untuk
menghambur-hamburkan fitnah dan kedustaan yang berikutnya.
هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ (١١)
“Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah”(QS.Al Qalam:11)
Jadi, kita hanya menghukumi lahiriyah
yang terucap dan memang manhaj Salaf mengajarkan untuk membantah ucapan
yang batil dan menyesatkan, siapapun yang mengucapkannya. Dan ini adalah
perkara-perkara yang besar dan penting yang ditempuh Salafush Shalih
dalam rangka menjaga agama mereka yang benar dan melindunginya dari
perubahan-perubahan bid’ah dan dari kesalahan-kesalahan.
Inilah nukilan dan faidah ilmiyah dari Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullah dari pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Syaikhul Islam rahimahullah berkata di dalam kitab beliau Dar’ut Ta’arudh baina Aqli wan Naqli juz 1 halaman 254:
فطريقة السلف والأئمة أنهم يراعون
المعاني الصحيحة المعلومة بالشرع والعقل. ويرُاعون أيضاً الألفاظ الشرعية،
فيعبرون بها ما وجدوا إلى ذلك سبيلا. ومن تكلم بما فيه معنى باطل يخالف
الكتاب والسنة ردوا عليه. ومن تكلم بلفظ مبتدع يحتمل حقا وباطلا نسبوه إلى
البدعة أيضا، وقالوا: إنما قابل بدعة ببدعة وردَّ باطلا بباطل.
“Metode yang ditempuh Salaf dan para imam
bahwasanya mereka selalu menjaga makna-makna yang shahih yang diketahui
berdasarkan syari’at dan akal. Dan mereka juga menjaga lafazh-lafazh
syar’i tersebut semampunya. Dan siapa saja yang berbicara yang
mengandung makna yang batil yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah maka
mereka membantahnya[1]. Dan barangsiapa yang berbicara dengan lafazh
bid’ah yang mengandung kemungkinan yang haq dan batil maka mereka juga
menganggapnya sebagai bid’ah[2] dan mereka menyatakan: orang yang
seperti ini hakekatnya dia menghadapi bid’ah dengan bid’ah dan membantah
kebatilan dengan kebatilan yang lain”-selesai nukilan-
Gambar 5. Screenshot nukilan ucapan Syaikhul Islam rahimahullah:…Dan siapa saja yang berbicara yang mengandung makna yang batil yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah maka mereka membantahnya
Saya (Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullah -pent) katakan:
Di dalam masalah ini terdapat
penjelasan perkara-perkara yang besar dan penting yang ditempuh Salafush
Shalih dalam rangka menjaga agama mereka yang benar dan melindunginya
dari perubahan-perubahan bid’ah dan dari kesalahan-kesalahan, diantara penjelasan tersebut adalah:
1. Kerasnya sikap kehati-hatian
mereka dari berbagai macam bid’ah dan upaya mereka menjaga lafazh-lafazh
dan makna-makna yang benar yang diketahui berdasarkan syari’at dan akal.
Jadi mereka sebisa mungkin tidak mengungkapkan kecuali dengan
lafazh-lafazh syar’iy dan tidak memutlakkannya kecuali atas makna-makna
syar’iy yang benar yang tetap berdasarkan syari’at Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
2. Mereka adalah penjaga dan pelindung agama ini, maka
barangsiapa berbicara dengan sebuah ucapan yang mengandung makna yang
batil yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah maka mereka
membantahnya[3]. Dan barangsiapa yang berbicara dengan lafazh bid’ah
yang mengandung makna yang benar dan batil maka mereka juga
menganggapnya sebagai bid’ah walaupun dia ini membantah ahlul batil[4]. Dan mereka menyatakan: “Orang
seperti ini hakekatnya dia membantah kebid’ahan dengan kebid’ahan yang
lain dan membantah kebatilan dengan kebatilan yang lain walaupun orang
yang membantah ini termasuk orang yang memiliki kedudukan tinggi dari
kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah” dan mereka tidak mengatakan: “Tidak
akan mungkin untuk mengatakan bahwa ucapannya yang mujmal (global) itu
akan dibawa kepada makna yang rinci karena kita mengetahui dia ini masih
Ahlussunnah…[5]”
Gambar 6. Screenshot penegasan Asy Syaikh
Rabi’ hafizhahullah …Orang seperti ini hakekatnya dia membantah
kebid’ahan dengan kebid’ahan yang lain dan membantah kebatilan dengan
kebatilan yang lain walaupun orang yang membantah ini termasuk orang yang memiliki kedudukan tinggi dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah
Catatan kaki (-penulis):
[1] Maka bagaimana jika yang
dibicarakannya mengandung makna kufur kemudian Al Kitab dan As Sunnah
malah dijadikan sebagai dalih pembenarannya?
[2] Maka bagaimana jika yang diucapkannya
bukanlah sekedar lafazh-lafazh bid’ah, tetapi lafazh/istilah murni
keyakinan kufur penyembah berhala?
[3] Lalu bagaimana jika yang dibicarakannya mengandung makna kufur yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah kemudian
Al Kitab dan As Sunnah malah dijadikan sebagai dalih pembenarannya?
Layakkah kita membelanya, memujinya, menyebarkan tazkiyah para ulama
untuk memalingkan umat dari ucapannya yang batil dan mencarikan udzur
(baca:dalih) pembenaran hanya karena orang ini termasuk orang yang memiliki kedudukan tinggi dari kalangan Ahlussunnah?!
[4] Lalu bagaimana jika yang diucapkannya
bukanlah lafazh-lafazh bid’ah tetapi lafazh/istilah murni yang menjadi
keyakinan kufur milik penyembah berhala? Layakkah kita membelanya,
memujinya, menyebarkan tazkiyah para ulama untuk memalingkan umat dari
ucapannya yang batil dan mencarikan udzur (baca: dalih) pembenaran hanya karena orang ini termasuk orang yang memiliki kedudukan tinggi dari kalangan Ahlussunnah?! Wallahu a’lam.
[5] Maksudnya -wallahu a’lam-: Jika orang
yang berbicara tersebut adalah seorang ahlus sunnah, maka kita berbaik
sangka bahwa dia mungkin tidak memaksudkan seperti itu, hanya saja
karena dia menggunakan lafazh yang bathil maka tetap harus dibantah
karena itu merupakan kesalahan, walaupun dia tidak meyakininya. Jadi
tidak tepat kalau ucapan batil orang itu dibela-bela dengan
kalimat-kalimat seperti: “Maksud beliau itu tidak seperti itu, kita
harus berbaik sangka, mungkin beliau salah ucap saja, jangan berlebihan
menilai ucapan seseorang, kita tahu kok keilmuan beliau, beliau nggak
mungkin meyakini seperti itu.”
Kita telah berbaik sangka dengan tidak
memastikan bahwa dia meyakini (Karma seutuhnya sebagaimana keyakinan
orang-orang kafir) nya karena dia masih ahlus sunnah. Urusan
keyakinannya adalah satu hal lain tetapi ucapan yang salah dan batil
tetap harus dikatakan salah dan batil. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar