Radio Muwahiddin

Sabtu, 17 November 2012

Hanan Bahanan Overload Bag.3


(Cukup) Sekali Lagi Tentang Fatwa Karma “Islami”

Dalam Sangkar Pembelaan Facebooker Hanan Bahanan

(Wajibnya Membantah Kebatilannya)


Sebenarnyalah, bagi orang-orang yang jujur, berakal dan mengharapkan kebaikan, telah lebih dari cukup bukti-bukti dan referensi yang ditampilkan dalam tulisan-tulisan yang terkait hukum karma:


Sehingga berkesimpulan kokoh tak tergoncangkan bahwa ISLAM, AL QUR’AN DAN AS-SUNNAH AN NABAWIYAH  TIDAK BISA DIKAITKAN (DARI CELAH SESEMPIT APAPUN, DARI ARAH MANAPUN, DENGAN  TRIK APAPUN) DENGAN HUKUM KARMA, LA MIN QARIB WALA MIN BA’ID, TIDAK DARI DEKAT DAN TIDAK PULA DARI JAUH.

Hanya saja, kenyataan sangat memprihatinkan yang harus kita saksikan dan dengarkan (dengan munculnya makalah yang menggugat keras ADANYA HUKUM KARMA DI DALAM ISLAM DENGAN DALIL AYAT DAN HADITS YANG DICOMOTNYA, seindah apapun dia -menipu dan membodohi kaum muslimin- dengan membungkus makna karma agar nampak Islami, sadar ataupun tidak) menimbulkan reaksi tak sehat, kalap, jauh dari sikap ilmiyah dan cenderung frustasi semisal ucapan KENAPA USTADZ DZULQARNAIN TIDAK DIKAFIRKAN SEKALIAN?!

Subhanallah! Apakah mereka ini telah sedemikian parah pemahamannya sehingga sampai mengira bahwa tujuan membantah pernyataan batil bahwa ada ayat dan hadits yang membenarkan adanya hukum karma adalah agar para pembaca BISA MENGKAFIRKAN AL USTADZ DZULQARNAIN?! Wallahul musta’an.

Apakah mereka separah ini pula dalam memahami bahwa mengembalikan definisi karma ke dalam kamus bahasa Indonesia, ke dalam pengertian agama Hindu, Budha dan Jain (selaku pemilik sah aqidah tersebut) dan definisi karma yang telah dijelaskan dan diuraikan kebatilannya oleh para ulama adalah untuk membuktikan bahwa Al Ustadz Dzulqarnain benar-benar sepenuhnya meyakini Karma sebagaimana yang diyakini orang-orang kafir tersebut agar pembaca dapat mengkafirkan beliau?! Wal’iyadzubillah.


(Kami ulang lagi) inilah pemaparan dari seorang Profesor di Jami’ah Madinah yang beliau ini adalah mantan Hindu terkait aqidah Karma. Apakah beliau juga menjadikan dalil ayat dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menjustifikasi keabsahan karma ada di dalam Islam ya ustadz?

http://www.4shared.com/mp3/hQMULS03/AQIDAH_HINDU.html

Justru pemaparan bukti-bukti di atas adalah sebagai pembanding ilmiyah untuk membuktikan bahwa pengertian karma yang beliau ucapkan adalah salah dan tentu saja untuk membuktikan bahwa pendalilan ayat dan hadits yang beliau bawakan adalah batil dan menyesatkan. Karma tidak ada kaitannya dengan dienul Islam, apalagi jika karma (yang mengingkari taqdir Allah Ta’ala dan ampunanNya) dikaitkan pula dengan kaidah mulia Al Jazaa’ min Jinsil ‘Amal. Maka bagaimana mungkin kebatilan semacam ini diberi pembenaran dengan ayat dan hadits yang beliau bawakan?
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ (٣٠)
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah banyak yang maafkan.” (QS.As Syuura: 30)

Dari ayat di atas, adalah hal yang sangat memprihatinkan jika  masih ada yang berani mengaitkan /melazimkan karma  dengan prinsip mulia Al jazaa’ min jinsil ‘amal.

Saya heran dan sungguh sangat heran dengan sikap menakjubkan dari orang-orang yang dipanggil ustadz tersebut (dan para pengekor fanatiknya) dimana mereka sama sekali tidak tersinggung dan marah ketika Islam, Al Qur’anul Karim dan Hadits-hadits Nabi dijadikan dalih pembenaran adanya hukum karma!! Merekapun tidak marah manakala ayat dan hadits direndahkan untuk menjustifikasi karma najis ada di dalam Islam!! Mereka juga tidak marah ketika dienul Islam, Al Qur’an, bahasa Arab dilecehkan dan dihinakan orang-orang kafir penyembah berhala karena ulah segelintir orang Islam pengembat hukum karma itu!! Tetapi justru mereka marah dengan kemarahan yang membara, tersinggung dan mengarahkan senjata serbunya (berupa fitnah, bualan dan kebohongan), melaporkannya kepada Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullah terhadap orang-orang yang membantah, mengungkap kebatilan dan kesesatan fatwa hukum karma ada di dalam Islam, menyingkap dan menelanjangi kebatilan pendalilan ayat dan hadits yang dicomotnya dengan selera hawa nafsunya sendiri!! Alasannya apa?? BAWALAH PERKATAAN SAUDARAMU KEPADA MAKNA YANG BENAR, JAGALAH PERSATUAN!! Adakah makna yang benar bisa muncul dari kesesatan, kebatilan dan kekufuran aqidah milik para penyembah berhala ya ustadz?! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Apakah perintah Rasulullah shallallahu alaihi was salam untuk mengingkari kemungkaran TIDAK BOLEH DITERAPKAN KEPADA SESAMA AHLUS SUNNAH KARENA ITU AKAN MENGHANCURKAN PERSATUAN?! Jawablah dengan jujur dan ilmiah kalau kalian adalah orang-orang yang benar!! Ada bantahan Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary hafizhahullah terhadap syubhat semacam ini.

Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersikap keras terhadap Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau membawa lembaran-lembaran Taurat?! Bukankah beliau bersikap keras terhadap Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang membunuh orang yang telah mengucapkan syahadat?! Bukankah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersikap keras terhadap Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu yang terlalu lama mengimami manusia dalam shalat? Bukankah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut bahwa Abus Sanabil telah berdusta ketika dia berfatwa bahwa wanita yang melahirkan yang ditinggal mati oleh suaminya, iddahnya selama 4 bulan 10 hari seperti wanita lain yang ditinggal mati suaminya?! Dan masih banyak sikap keras beliau dalam mengingkari kesalahan shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in yang ini tidak tersamar bagi siapa saja yang mempelajari hadits-hadits beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kemudian, apakah makna perintah Asy-Syaikh Rabi’ untuk menjaga persatuan adalah mendiamkan kemungkaran?! Bukankah beliau baru-baru ini membantah Ar-Ruhaily dan seorang yang sok berilmu dan tertipu yang menuduh para ulama sebagai orang-orang Murji’ah? Dan ingatlah wahai para ikhwah bahwa salah satu teman hizbi dari si facebooker pendusta besar Hanan Bahanan (yang dia bebaskan mengumbar syubhat-syubhat jahat dan menyesatkan di tembok ratapan facebooknya) adalah orang yang telah menyebarluaskan fitnah keji bahwa Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullah telah ditahdzir Ulama karena beliau terkena paham Irja’!! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Kalau dipahami seperti itu lalu bagaimana pendapat kalian tentang bantahan Asy-Syaikh Rabi’ terhadap Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid? Apakah itu maknanya ketika itu beliau langsung memvonis Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid sebagai hizbi (bukan Sunny lagi)? Juga bantahan Asy-Syaikh Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiry terhadap Faqihul Ashr Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam masalah ma’iyyah yang mana beliau telah rujuk dan mengumumkan rujuknya tersebut di dalam muqadimmah bantahan Asy-Syaikh At-Tuwaijiry terhadap beliau, yang ini merupakan bukti ketawadhuan dan keikhlasan beliau yang seharusnya kita semuanya meneladaninya (dan bukannya bersikap arogan bak preman, cari alamatnya, ancam labrak sana dan labrak sini). Juga baru saja di tulisan sebelum ini tentang penegasan tahdzir Asy-Syaikh Muhammad bin Hady terhadap Al-Hajury yang dungu.

Kalau dipahami seperti kaidah mereka ini (orang yang dibantah masih Ahlussunnah, jaga persatuan) niscaya siapapun yang mengaku Ahlussunnah bisa saja berbicara seenaknya tanpa boleh ada yang mengingkari sehingga kehancuranlah yang akan terjadi karena kebenaran akan dianggap kebatilan dan sebaliknya kebatilan akan dianggap sebagai kebenaran. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Siapakah sebenarnya yang lebih pantas disebut pemecah belah?! Orang yang berbicara dalam masalah agama secara ngawur dan menuduh orang lain secara zhalim dan dusta tanpa bukti ataukah orang yang membantah kesalahannya dalam rangka menjaga perintah Allah dan Rasul-Nya?!

Kemudian secara khusus kepada Hanan Bahanan, kami kembalikan kaidah buatanmu sendiri yang mengingkari bantahan terhadap orang yang masih sunny dan belum mubtadi’: Apakah Al-Ustadz Luqman Ba’abduh itu sudah hizbi/mubtadi’ dan bukan seorang Sunny lagi sehingga kamu secara ngawur, dusta dan kotor menjatuhkan kehormatan beliau?! Apakah Al-Ustadz Muhammad Afifuddin juga telah engkau cap sebagai hizbi/mubtadi’ sehingga kamu vonis pula sebagai menyuarakan pembelaan dan pembenaran perbuatan setan?!! Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Gambar 1. Screenshot vonis gelap mata sang facebooker pendusta HB terhadap Al-Ustad Muhammad Afifuddin setelah beliau menyampaikan fatwa tahdzir Asy-Syaikh Rabi’ terhadap Rodja dan adanya orang-orang (bukan dari kalangan Sururiyyun) yang tidak puas dengan fatwa Asy-Syaikh Rabi’ tersebut. Siapa saja mereka? Tanya saja kepada sang facebooker ini. Semoga dia memiliki keberanian untuk menyebutkannya.
Gambar 2. Screenshot “testimoni” Gatot (gagal total) mencari PEMBENARAN memang beda tipis dengan kata mencari KEBENARAN tetapi terpisah jurang hawa nafsu menganga dengan makna memcari PEMBENARAN. Hizbiyyun Mumayyi’un-pun urung gembira.

Ya ikhwah, bagaimanapun mereka ini mengelabui umat dengan berbagai trik pemaknaan yang menipu, Karma tetaplah istilah sesat, batil dan keyakinan kufur milik para penyembah berhala. Jangan kita mengambil, memakai dan mengaku-aku dengan sesuatu yang bukan milik kita. Adalah syubhat yang menyesatkan jika seseorang (yang dipanggil sebagai ustadz, hadahullah) berani menyatakan dan menyebarluaskan bahwasanya Karma memiliki makna yang benar!! Sekali lagi, adakah makna yang benar bisa muncul dari kesesatan, kebatilan dan kekufuran ya ustadz?! Allahu yahdik.
Gambar 3. Screenshot  opsi nasihatonline TIDAK ADA YANG BENAR ALIAS SALAH SEMUANYA
Harus saya ingatkan lagi kepada saudara facebooker Pendusta Besar Hanan Bahanan dan siapapun yang mencoba untuk membela fatwa batil hukum karma ada di dalam Islam, ada dalilnya dari Al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar bisa berfikir jernih dan ilmiyah bahwa kita tidak membahas hukum Karma menurut ustadz fulan atau kyai allan yang tentu saja memiliki batasan keilmuan yang tidak mungkin sama pun memiliki pengetahuan yang berbeda terkait pertanyaannya (KARMA). Mungkinkah syari’at Islam yang datangnya dari Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Mulia memberikan dua hukum dalam satu permasalahan (AQIDAH KARMAPHALA) yang keduanya saling bertentangan, bertolak belakang, hukum batil dan hukum benar yang tentu saja tidak mungkin untuk dikompromikan?!! Maka mengembalikan makna Karma menurut pemahamannya masing-masing manusia untuk kemudian diatasnamakan Islam tidak lebih dari seruan untuk memahami Islam sesuai timbangan hawa nafsunya sendiri-sendiri. Persoalannya bukanlah HUKUM KARMA DALAM PANDANGAN AL-USTADZ/KYAI FULAN tetapi HUKUM KARMA DALAM PANDANGAN ISLAM.”

Maka untuk membantah ucapan yang batil dan menyesatkan (semisal Karma ada di dalam Islam), tidak ada kaidah bahwa: orang yang mengucapkan tersebut harus meyakini (sebagaimana keyakinan Karma yang dipahami seutuhnya oleh orang-orang kafir penyembah berhala) apa yang dia ucapkan. Cukuplah kita menghukumi secara zhahir bahwa apa yang dia nyatakan adalah batil dan menyesatkan.

Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
مَنْ أَظْهَرَ لَنَا خَيْرًا أَحْبَبْنَاهُ وَوَالَيْنَاهُ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ سَرِيرَتُهُ بِخِلَافِ ذَلِكَ وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا شَرًّا أَبْغَضْنَاهُ عَلَيْهِ وَإِنْ زَعَمَ أَنَّ سَرِيرَتَهُ صَالِحَةٌ.
“Barangsiapa yang menampakkan kepada kami kebaikan maka kami akan mencintainya dan akan membelanya, meskipun batinnya menyelisihi lahirnya. Dan barangsiapa yang menampakkan keburukan kepada kami maka kami akan marah kepadanya meskipun dia mengaku bahwa batinnya baik.”

Jadi merupakan hal yang mengada-ada jika Hanan Bahanan sampai melemparkan bualan dusta dan fitnah (hanya untuk membela perkataan batil dan sesat):
Gambar 4. Screenshot Tour de Bualan dari si pendusta besar di tembok ratapan facebooknya. Darimana si pendusta besar ini tahu? Apakah membantah ucapan yang batil, mendustakan tuduhan dusta dan fitnah tujuannya untuk menjatuhkan seseorang? Alangkah rendahnya tujuan ini. Apakah dia telah membelah dada AG dan melongok isi hatinya? Haadza buhtaanun ‘azhiim.

Apakah menjawab tuduhan-tuduhan fitnah dan kedustaan orang yang bergelar ustadz adalah dalam rangka menjatuhkan nama baiknya? Masya Allah, ada tulisan khusus berupa bantahan ulama terhadap syubhat murahan seperti ini.


Ataukah ciri Salafy yang baik dan sopan salah satunya adalah HARUS DIAM MEMBISU karena yang melemparkan tuduhan dusta dan fitnah kepada dirinya adalah orang yang dipanggil sebagai ustadz atau Syaikh sekali pun?! Ini syari’at dari mana? Allahul musta’an.
Dengan kaidahmu ya facebooker pendusta, apakah kalau tidak ditahdzir oleh Syaikh Rabi’ berarti memang benar ada ayat dan hadits hukum karma di dalam Islam?!

Memang kalau lisan sudah dibiasakan untuk dusta dan fitnah (wal’iyadzubillah), takkan berat baginya untuk menghambur-hamburkan fitnah dan kedustaan yang berikutnya.
هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ (١١)
“Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah”(QS.Al Qalam:11)
Jadi, kita hanya menghukumi lahiriyah yang terucap dan memang manhaj Salaf mengajarkan untuk membantah ucapan yang batil dan menyesatkan, siapapun yang mengucapkannya. Dan ini adalah perkara-perkara yang besar dan penting yang ditempuh Salafush Shalih dalam rangka menjaga agama mereka yang benar dan melindunginya dari perubahan-perubahan bid’ah dan dari kesalahan-kesalahan.

Inilah nukilan dan faidah ilmiyah dari Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullah dari pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Syaikhul Islam rahimahullah berkata di dalam kitab beliau Dar’ut Ta’arudh baina Aqli wan Naqli juz 1 halaman 254:
فطريقة السلف والأئمة أنهم يراعون المعاني الصحيحة المعلومة بالشرع والعقل. ويرُاعون أيضاً الألفاظ الشرعية، فيعبرون بها ما وجدوا إلى ذلك سبيلا. ومن تكلم بما فيه معنى باطل يخالف الكتاب والسنة ردوا عليه. ومن تكلم بلفظ مبتدع يحتمل حقا وباطلا نسبوه إلى البدعة أيضا، وقالوا: إنما قابل بدعة ببدعة وردَّ باطلا بباطل.
“Metode yang ditempuh Salaf dan para imam bahwasanya mereka selalu menjaga makna-makna yang shahih yang diketahui berdasarkan syari’at dan akal. Dan mereka juga menjaga lafazh-lafazh syar’i tersebut semampunya. Dan siapa saja yang berbicara yang mengandung makna yang batil yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah maka mereka membantahnya[1]. Dan barangsiapa yang berbicara dengan lafazh bid’ah yang mengandung kemungkinan yang haq dan batil maka mereka juga menganggapnya sebagai bid’ah[2] dan mereka menyatakan: orang yang seperti ini hakekatnya dia menghadapi bid’ah dengan bid’ah dan membantah kebatilan dengan kebatilan yang lain”-selesai nukilan-
Gambar 5. Screenshot nukilan ucapan Syaikhul Islam rahimahullah:…Dan siapa saja yang berbicara yang mengandung makna yang batil yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah maka mereka membantahnya
Saya (Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullah -pent) katakan:
Di dalam masalah ini terdapat penjelasan perkara-perkara yang besar dan penting yang ditempuh Salafush Shalih dalam rangka menjaga agama mereka yang benar dan melindunginya dari perubahan-perubahan bid’ah dan dari kesalahan-kesalahan, diantara penjelasan tersebut adalah:
1.       Kerasnya sikap kehati-hatian mereka dari berbagai macam bid’ah dan upaya mereka menjaga lafazh-lafazh dan makna-makna yang benar yang diketahui berdasarkan syari’at dan akal. Jadi mereka sebisa mungkin tidak mengungkapkan kecuali dengan lafazh-lafazh syar’iy dan tidak memutlakkannya kecuali atas makna-makna syar’iy yang benar yang tetap berdasarkan syari’at Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
2.       Mereka adalah penjaga dan pelindung agama ini, maka barangsiapa berbicara dengan sebuah ucapan yang mengandung makna yang batil yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah maka mereka membantahnya[3]. Dan barangsiapa yang berbicara dengan lafazh bid’ah yang mengandung makna yang benar dan batil maka mereka juga menganggapnya sebagai bid’ah walaupun dia ini membantah ahlul batil[4]. Dan mereka menyatakan: “Orang seperti ini hakekatnya dia membantah kebid’ahan dengan kebid’ahan yang lain dan membantah kebatilan dengan kebatilan yang lain walaupun orang yang membantah ini termasuk orang yang memiliki kedudukan tinggi dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah” dan mereka tidak mengatakan: “Tidak akan mungkin untuk mengatakan bahwa ucapannya yang mujmal (global) itu akan dibawa kepada makna yang rinci karena kita mengetahui dia ini masih Ahlussunnah…[5]
Gambar 6. Screenshot penegasan Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullah …Orang seperti ini hakekatnya dia membantah kebid’ahan dengan kebid’ahan yang lain dan membantah kebatilan dengan kebatilan yang lain walaupun orang yang membantah ini termasuk orang yang memiliki kedudukan tinggi dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah


Catatan kaki (-penulis):
 [1] Maka bagaimana jika yang dibicarakannya mengandung makna kufur kemudian Al Kitab dan As Sunnah malah dijadikan sebagai dalih pembenarannya?
[2] Maka bagaimana jika yang diucapkannya bukanlah sekedar lafazh-lafazh bid’ah, tetapi lafazh/istilah murni keyakinan kufur penyembah berhala?
[3] Lalu bagaimana jika yang dibicarakannya mengandung makna kufur yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah kemudian Al Kitab dan As Sunnah malah dijadikan sebagai dalih pembenarannya? Layakkah kita membelanya, memujinya, menyebarkan tazkiyah para ulama untuk memalingkan umat dari ucapannya yang batil dan mencarikan udzur (baca:dalih) pembenaran hanya karena orang ini termasuk orang yang memiliki kedudukan tinggi dari kalangan Ahlussunnah?!
[4] Lalu bagaimana jika yang diucapkannya bukanlah lafazh-lafazh bid’ah tetapi lafazh/istilah murni yang menjadi keyakinan kufur milik penyembah berhala? Layakkah kita membelanya, memujinya, menyebarkan tazkiyah para ulama untuk memalingkan umat dari ucapannya yang batil dan mencarikan udzur (baca: dalih) pembenaran hanya karena orang ini termasuk orang yang memiliki kedudukan tinggi dari kalangan Ahlussunnah?! Wallahu a’lam.
[5] Maksudnya -wallahu a’lam-: Jika orang yang berbicara tersebut adalah seorang ahlus sunnah, maka kita berbaik sangka bahwa dia mungkin tidak memaksudkan seperti itu, hanya saja karena dia menggunakan lafazh yang bathil maka tetap harus dibantah karena itu merupakan kesalahan, walaupun dia tidak meyakininya. Jadi tidak tepat kalau ucapan batil orang itu dibela-bela dengan kalimat-kalimat seperti: “Maksud beliau itu tidak seperti itu, kita harus berbaik sangka, mungkin beliau salah ucap saja, jangan berlebihan menilai ucapan seseorang, kita tahu kok keilmuan beliau, beliau nggak mungkin meyakini seperti itu.”

Kita telah berbaik sangka dengan tidak memastikan bahwa dia meyakini (Karma seutuhnya sebagaimana keyakinan orang-orang kafir) nya karena dia masih ahlus sunnah. Urusan keyakinannya adalah satu hal lain tetapi ucapan yang salah dan batil tetap harus dikatakan salah dan batil. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."