Hukum bersandar pada Hisab Falaki
Dalam Penentuan Ramadhan dan ‘Idul Fithri [1]
Asy-Syaikh ‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah
bin Baz rahimahullah
Ramadhan merupakan ibadah yang berulang setiap tahun. Merupakan bulan
Al-Qur`an, bulan yang benuh barakah. Namun menjelang datangnya bulan Ramadhan,
“polemik tahunan” antara ru`yah - hisab untuk penentuan awal Ramadhan
dan ‘Idul Fithri kembali menghangat. Herannya, para ahli hisab makin tahun makin
arogan. Jauh-jauh hari mereka sudah berani mengumumkan hasil hisabnya, bahwa
Ramadhan dan ‘Idul Fithri akan jatuh pada hari dan tanggal sekian. Bahkan ahli
hisab mulai berani menghujat ru`yah yang merupakan satu-satunya sistem
yang ditetapkan oleh syari’at Islam. Termasuk di negeri ini ada sebagian ormas
Islam yang punya kebiasaan jauh-jauh hari mengumumkan kapan Ramadhan, ‘Idul
Fithri, dan ‘Idul Adha berdasarkan Hisab Falaki (!!). Tentu saja, suasana
perpecahan langsung terasa, menodai suasana kebersamaan dan kekhusyu’an ibadah
kaum muslimin.
Bagaimana sebenarnya hukum penggunaan Hisab Falaki untuk penentuan
Ramadhan dan ‘Idul Fitri, serta ‘Idul Adh-ha? Berikut penjelasan seorang ‘ulama
terkemuka berkaliber international. Seorang ‘ulama besar yang senantiasa dinanti
dan dicari fatwa-fatwanya, serta sangat dibutuhkan oleh umat bimbingan dan
arahannya. Beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits ‘Abdul
‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah. Semoga
bermanfaat.
________________
الحمد الله رب العالمين، والصلاة والسلام على عبد الله ورسوله محمد وعلى
آله وأصحابه والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد:
Telah banyak pembicaraan tentang penggunaan Hisab Falaki untuk
menentukan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, dan juga penentuan hari-hari raya
(’ied). Maka aku memandang perlunya untuk menjelaskan hukum permasalahan
tersebut kepada umat manusia di negeri ini dan juga negeri yang lain, agar
mereka benar-benar di atas bashirah (ilmu) dalam menjalankan ibadahnya
kepada Rabb mereka.
Maka
aku katakan -wabillahittaufiq-:
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tengan mengkaitkan
dengan Al-Hilal beberapa hukum yang banyak, seperti puasa
(shaum), haji, hari raya (’ied), masa-masa ‘iddah, ila`
(sumpah), dan yang lainnya. Karena Al-Hilal adalah sesuatu yang
bisa disaksikan oleh indera penglihatan/mata, dan pengetahuan yang paling
meyakinkan adalah sesuatu yang bisa disaksikan oleh mata.
Juga
karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menjadikan hukum
permasalahan hilal ini terkait dengan ru’yah saja, karena
ru’yah (yakni ru’yatul hilal) merupakan perkara alami yang
sangat jelas, yang keumuman manusia bisa melakukannya. Sehingga tidak terjadi
kerancuan bagi seorang pun dalam urusan agamanya. Sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
«
إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب، الشهر هكذا وهكذا وهكذا . يعني مرة تسعة وعشرين
ومرة ثلاثين »
Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi, tidak menulis dan tidak
pula menghitung. Satu bulan itu demikian, demikian, dan demikian, yakni
terkadang 29 (hari) dan terkadang 30 (hari) (HR. Al-Bukhari
1913 dan Muslim 1080)
Rasulullah
Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga bersabda :
« لا
تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
»
Janganlah kalian bershaum (Ramadhan) sampai kalian melihat hilal,
dan janganlah kalian berbuka (ber’idul fithri) sampai kalin melihat hilal. Jika
ada awan yang menghalangi kalian (dari melihat hilal), maka sempurnakanlah
bilangan (jumlah hari dalam sebulan) menjadi 30. (HR. Al-Bukhari
1906, 1907 dan Muslim 1080)
Dari
sini menjadi jelaslah bahwa pedoman untuk menetapkan waktu (pelaksanaan)
Shaum (Ramadhan), berbuka (’Idul Fithri), dan bulan-bulan yang lain
adalah dengan ru’yah atau ikmal (menyempurnakan)
bilangan hari (menjadi 30). Semata-mata lahirnya Bulan baru secara
syar’i tidaklah teranggap sebagai patokan untuk menetapkan masuk dan berakhirnya
bulan qamariyah. Ini berdasarkan kesepakatan (Ijma’) para
‘ulama yang mu’tabar, selama tidak berhasil ru`yatul hilal secara
syar’i. Ini semua adalah kaitannya dengan penetapan waktu pelaksanaan ibadah.
Barangsiapa dari kalangan orang-orang sekarang yang menyelisihi perkara
tersebut, maka dia telah didahului oleh ijma’/kesepakatan (para ‘ulama)
terdahulu, dan pendapatnya tersebut tertolak. Karena tidak berhak seorang pun
berbicara (suatu permasalahan tertentu) sementara di sana sudah ada sunnah
(hadits/ketetapan) Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam dan juga
sudah ada ijma’ para ‘ulama salaf.
Adapun Hisab (perhitungan) peredaran Matahari dan Bulan, maka itu tidak
bisa dijadikan patokan/penentu dalam permasalahan ini, disebabkan alasan yang
telah kami jelaskan barusan, dan juga disebabkan beberapa perkara sebagai
berikut :
a. Sesugguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah
memerintahkan pelaksanaan shaum (Ramadhan) berdasarkan ru`yatul
hilal, dan melaksanakan ‘Idul Fithri juga berdasarkan ru`yatul
hilal, dalam sabda beliau :
«
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته »
Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah
kalian berdasarkan ru`yatul hilal. (HR. Muslim
1080 dan An-Nasa`i
2124)
Beliau juga membatasi perkara tersebut (Ramadhan dan ‘Idul Fithri) hanya
berdasarkan ru`yatul hilal dalam sabdanya :
« لا
تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه »
Janganlah kalian melaksanakan shaum (Ramadhan) sampai kalian
berhasil melihat hilal, dan janganlah kalian melaksanakan ‘Idul Fithri sampai
kalian berhasil melihatnya. (HR. Al-Bukhari 1773
dan Muslim 1795)
Beliau memerintahkan kaum muslimin jika terdapat penghalang (sehingga
hilal tidak berhasil dilihat/diru`yah) pada malam ke 30, agar
menyempurnakan bilangan jumlah hari dalam bulan tersebut menjadi 30, dan beliau
tidak memerintahkan untuk merujuk kepada para ahli hisab. Kalau seandainya
perkataan mereka (ahli hisab) itu merupakan satu-satunya landasan (hukum untuk
penentuan Ramadhan - ‘Idul Fithri) atau landasan (hukum) lain (alternatif) di
samping ru’yah dalam menetapkan bulan tertentu, maka beliau pasti akan
menjelaskannya. Maka tatkala tidak ternukil dari Rasulullah Shallallahu
‘alahi wa Sallam hal yang demikian itu, bahkan telah ternukil dari beliau
kebalikannya, maka ini menunjukkan bahwasanya tidaklah teranggap secara
syar’i segala sesuatu selain ru’yah atau ikmal (penyempurnaan
30 hari) dalam menentukan bulan (qamariyyah). Ini adalah syari’at yang
senantiasa terus berlaku sampai hari kiamat. Allah ta’ala
berfirman
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
Dan tidaklah Rabbmu lupa. (Maryam: 64)
Anggapan yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ru’yah
dalam hadits tersebut adalah ru`yah dengan ilmu atau perkiraan kuat
akan wujudul hilal, [2]
atau imkanur ru`yah, [3] dan bukan
bermakna ibadah dengan pelaksanaan ru`yah itu sendiri, maka anggapan
ini adalah anggapan yang tertolak. Karena kata “ru’yah” dalam hadits
tersebut hanya mengenai satu obyek saja, sehingga yang dimaksud
dengannya tidak lain adalah ru’yah bashariyah (ru`yah dengan
indera penglihatan/mata), bukan ru’yah ilmiyah (ru`yah dengan
ilmu hisab). Juga karena para shahabat Nabi memahami bahwasanya kata
“ru`yah” dalam hadits tersebut bermakna ru`yah dengan mata
kepala, sementara mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang Bahasa
‘Arab dan paling mengerti tentang maksud syari’ah ini daripada orang-orang
generasi setelahnya.
Demikianlah pula, berlangsungnya praktek amalan tersebut (ru`yatul
hilal) pada zaman Nabi dan zaman shahabat. Mereka sama sekali tidak
menyerahkan permasalahan penetapan waktu tersebut kepada para ahli hisab.
Tidak benar pula sebuah pendapat yang mengatakan bahwasanya ketika Nabi
Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda
«
فإن غم عليكم فاقدروا له »
Jika terhalangi oleh kalian awan, maka tentukanlah
untuknya. (HR. Al-Bukhari 1767 dan Muslim
1799)
Beliau memaksudkan dengannya adalah perintah kepada kita agar
memperkirakan posisi-posisi Bulan, supaya kita dapat mengetahui berdasarkan
Hisab kapan awal masuk dan berakhirnya bulan (qamariyah).
(Pendapat tersebut tidak benar) karena kalimat riwayat tersebut
telah ditafsirkan oleh riwayat :
«
فاقدروا له ثلاثين »
Tentukanlah menjadi 30 hari [4] . (HR. Muslim
1796)
dan yang
semakna dengannya.
Anehnya, bersamaan dengan itu, orang-orang yang menyerukan kepada
penyatuan awal masuknya bulan, mereka bersandar kepada Hisab posisi-posisi Bulan
baik dalam cuaca cerah maupun mendung, padahal dalam hadits itu sendiri hanya
membatasi “penentuan”, yaitu ketika langit dalam keadaan mendung. [5]
b. Sesungguhnya sandaran penetapan bulan qamariyah dengan cara
ru`yatul hilal adalah telah sesuai dengan maksud dan tujuan dari
Syari’at Islamiyyah yang mudah. Karena ru’yatul hilal (melihat hilal)
merupakan suatu perkara umum yang memudahkan kebanyakan manusia, baik dari
kalangan orang-orang yang awam maupun orang-orang yang khusus, baik mereka yang
hidup di pedalaman padang pasir maupun di daerah perkotaan. Berbeda halnya kalau
seandainya syari’at menyandarkan hukum penetapan waktu tersebut dengan Hisab.
Maka hal tersebut hanya akan menimbulkan kesulitan dan tidak sesuai
(bertentangan) dengan maksud dan tujuan Syari’at Islamiyyah. Karena mayoritas
umat ini, mereka tidak mengerti tentang ilmu Hisab.
Klaim yang menyatakan bahwa sifat ummi (tidak mengerti) Hisab
Astronomis telah sirna dari umat ini, merupakan klaim yang tidak bisa diterima.
Kalaupun seandainya klaim tersebut bisa diterima, maka tetaplah yang
demikian itu tidak bisa mengubah hukum Allah. Karena penetapan syari’at
ini bersifat umum untuk umat (yang berlaku) di segenap masa/zaman.
c. Bahwasanya para ‘ulama umat ini pada masa awal-awal Islam dahulu,
mereka semua telah sepakat tentang penggunaan cara ru’yah ini untuk
penetapan bulan-bulan qamariyah, tidak dengan menggunakan Hisab (perhitungan).
Tidak pernah diketahui ada salah seorang dari mereka (para ‘ulama pada awal
Islam) menggunakan sistem Hisab dalam penetapan bulan-bulan qamariyah, baik
ketika langit terlihat mendung dan yang semacamnya, terlebih lagi kalau langit
cerah, mereka (para ulama tersebut) sama sekali tidak memakai cara Hisab.
d.
Penentuan jeda waktu (antara tenggelamnya Matahari dan Bulan di ufuk barat)
sehingga dengannya memungkinkan terlihatnya hilal setelah terbenamnya
Matahari, jika tidak ada suatu penghalang, merupakan bagian dari perkara-perkara
yang bersifat ijtihadiyah (tidak pasti) yang para tokoh ahli hisab
sendiri telah bersilang pendapat dalam menentukannya. Demikian pula dalam
menentukan faktor penghalang (terlihatnya hilal). Maka bersandar pada
Hisab Falaki pun dalam penentuan waktu-waktu ibadah tidak bisa merealisasikan
persatuan yang mereka dengung-dengungkan. Oleh karena itu datanglah syari’at ini
yang memberikan ketetapan dengan cara ru’yatul hilal saja tidak dengan
cara Hisab, sebagai rahmat bagi umat dan menutup segala perselisihan, serta
untuk mengembalikan umat ini kepada perkara yang bisa diketahui oleh semua
lapisan di manapun mereka berada.
Dan
hendaklah menjadi perhatian, bahwasanya perbedaan mathla’ termasuk dari
perkara-perkara yang terdapat padanya perselisihan pendapat di kalangan para
‘ulama. Hai’ah Kibarul ‘Ulama (Majelis Tinggi ‘Ulama Besar Kerajaan
Saudi Arabia) telah mempelajari hal ini di dalam salah satu Daurah (pertemuan
rutin) yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu, dan mereka telah mengambil
sebuah keputusan yang telah disepakati oleh mayoritas, yaitu :
Sungguhnya pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat yang
mengatakan bahwasanya di setiap negeri dapat melakukan ru’yatul hilal
sendiri, serta wajib atas mereka untuk mengembalikan permasalahan tersebut
kepada para ‘ulama. Ini sebagai bentuk pengamalan hadits Rasulullah sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam shahihnya dari Kuraib dari
shahabat Ibnu Abbas.
عن
كريب أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية في الشام . قال: فقدمت الشام فقضيت
حاجتها، واستهل علي رمضان وأنا بالشام ، فرأيت الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت
المدينة آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس، ثم ذكر الهلال فقال : متى رأيتم
الهلال ؟ فقلت : رأيناه ليلة الجمعة. فقال: أنت رأيته. فقلت: نعم، ورآه الناس
وصاموا وصام معاوية ، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل
الثلاثين أو نراه . فقلت: أولا تكتفي برؤية معاوية ؟ فقال: لا، هكذا أمرنا رسول
الله صلى الله عليه وسلم
Dari Kuraib bahwasanya Ummul Fadhl bintu Al-Harits telah mengutusnya
untuk menghadap Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata : Sampailah aku di negeri
Syam, dan aku selesaikan keperluan-keperluannya. Hingga terlihatlah hilal
Ramadhan sementara aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada
malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke kota Madinah pada akhir bulan.
Maka bertanyalah ‘Abdullah bin ‘Abbas kepadaku, hingga kemudian dia menyebutkan
tentang hilal. Ibnu ‘Abbas bertanya : “Kapan kalian melihat hilal?” Aku (Kuraib)
menjawab : “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Kemudian dia (Ibnu Abbas)
bertanya lagi : “engkau sendiri melihatnya?” Aku katakan: “Ya, dan penduduk Syam
juga melihatnya. Maka merekapun melaksanakan shaum (berdasarkan ru`yah
tersebut), demikian juga Mu’awiyah juga melaksanakan shaum (berdasarkan ru`yah
tersebut). Ibnu ‘Abbas kemudian berkata : “Namun kami di sini melihatnya pada
malam Sabtu. Maka kami terus bershaum hingga kami sempurnakan 30 hari atau kami
melihat hilal sebelumnya.” Aku (Kuraib) katakan : “Apakah engkau tidak
mencukupkan (untuk mengikuti hasil) ru’yah yang dilakukan Mu’awiyah?” Maka Ibnu
Abbas berkata : “Tidak, demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam
memerintahkan kepada kita.” (HR. Muslim
1087)
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya ru’yatul
hilal yang teranggap (bisa dijadikan patokan) adalah ru`yatul hilal
negeri Makkah saja, maka pernyataan seperti ini adalah tidak memiliki
sumber yang jelas dan tidak memiliki dalil atasnya. Pernyataan tersebut
memberikan suatu konsekuensi bahwasanya tidak wajib berpuasa jika di daerah
Makkah belum terlihat hilal walaupun di tempat lain telah terlihat hilal.
Sebagai penutup aku meminta kepada Allah untuk melimpahkan nikmat-Nya
kepada kaum muslimin berupa pemahaman terhadap agamanya dan beramal dengan
Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan sunnah (hadits-hadits dan bimbingan) Nabi-Nya, dan
semoga Allah melindungi mereka dari bahaya fitnah-fitnah. Semoga Allah
mengangkat penguasa bagi mereka (kaum muslimin) dari kalangan orang-orang
pilihan yang baik. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.
وصلى
الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين .
* * *
Sumber : Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Ibn Baz (juz 15 / hal.
109-114)
[1] Pernyataan Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin Baz rahimahullah yang diterbitkan di majalah Al-Jami’ah
Al-Islamiyyah (Universitas Islam) di kota Al-Madinah Al-Munawwarah - Saudi
‘Arabia, tahun 1394 H.
[2] Wujudul Hilal adalah salah kriteria
penentuan awal bulan Qamariyyah berdasarkan ilmu Hisab Falaki. Kriteria ini
menyatakan bahwa awal bulan dimulai ketika pada waktu maghrib, Matahari
tenggelam terlebih dahulu dibanding Bulan setelah sebelumnya terjadi ijtima’
Matahari-Bulan. Sehingga kriteria ini murni berdasarkan Hisab, tanpa
memperhitungkan apakah hilal saat itu benar-benar bisa diru`yah
ataukah tidak. Berapapun ketinggian hilal saat itu juga tidak
diperhatikan. Selama ketinggiannya positif, Matahari tenggelam terlebih
dahulu, dan didahului ijtima’, maka berarti bulan qamariyyah
sudah masuk, karena menurut mereka dalam kondisi tersebut berarti hilal
sudah wujud (ada/terjadi) di ufuk langit. Kriteria ini dianut oleh
Perserikatan Muhammadiyah, dan lainnya.
[3] Imkanur Ru`yah adalah salah satu
kriteria penentuan awal bulan Qamariyyah berdasarkan ilmu Hisab Falaki. Kriteria
ini tidak hanya menghitung kondisi wujudul hilal, tapi juga menetapkan
ketinggian tertentu dan kondisi-kondisi lainnya supaya hilal
memungkinkan untuk dilihat. Yakni sekadar memungkinkan secara perhitungan.
Dalam penentuan ketinggian hilal saja, mereka berbeda-beda. Ada yang
mematok 2 derajat, ada yang 4 derajat, ada yang 7 derajat, bahkan ada yang 12
derajat. Ada pula yang menyatakan bahwa mematok ketinggian tertentu untuk
hilal tidak cukup, tapi harus dipadukan dengan faktor-faktor lain. Dan
seterusnya. Kriteria ini di antaranya dianut oleh NU.
[4] Sehingga makna “perkirakanlah” adalah
ikmal (menggenapkan) bilangan bulan menjadi 30 hari. Bukan
bersandar kepada Hisab Falaki.
[5] Yakni kalau seandainya mereka konsekuen
berdalil dengan hadits Nabi :
«
فإن غم عليكم فاقدروا له »
“Apabila hilal terhalangi atas kalian, maka tentukanlah.”
Bahwa maksud hadits tersebut adalah tentukanlah dengan
menggunakan ilmu Hisab Falaki, mestinya mereka baru menggunakan Hisab
Falaki ketika kondisi cuaca mendung, karena hadits tersebut hanya berkaitan
ketika kondisi mendung. Ternyata faktanya, mereka tetap menggunakan Hisab
Falaki, baik ketika mendung maupun cerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar