FATWA
HAI`AH KIBARIL ‘ULAMA
SAUDI
‘ARABIA
Ketetapan No. 34 14 / 2 / 1395 H
tentang : Hukum Perpegang Pada Hisab Falaki untuk Penentuan
Waktu Ibadah
بسم الله
الرحمن الرحيم
Hukum Berpegang Pada Hisab Falaki
Untuk Penentuan Waktu Ibadah
( …… ) [1])
Setelah
Majelis mempelajari berbagai ketetapan, arahan, fatwa, dan pendapat terkait
dengan masalah ini, dan setelah meninjau ulang pembahasan sebelumnya yang telah
disiapkan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah Li Al-Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta’
(Komisi Tetap untuk Pembasah Ilmiah dan Fatwa) tentang Penyatuan Awal Bulan
Qamariyyah, serta menelaah ketetapan yang dikeluarkan oleh Hai`ah pada
Daurah II no. 2 tanggal 13 - 2 - 1393 H, dan setelah mendiskusikan semuanya,
maka majelis menetapkan sebagai berikut :
Pertama : Bahwa yang dimaksud dengan hisab dan
perbintangan di sini adalah pengetahuan tentang benda-benda langit dan
peredarannya, perhitungan atas perjalan Matahari dan Bulan, serta penentuan
waktu dengannya, seperti waktu terbit Matahari, waktu Matahari berada di tengah,
waktu tenggelamnya, waktu ijtima’ (konjungsi) Matahari - Bulan
dan waktu terpisahnya, serta waktu gerhana Matahari dan gerhana Bulan. Ilmu
tersebut adalah ilmu yang dikenal dengan Hisab At-Taisir. [2])
Bukanlah
yang dimaksud dengan ilmu perbintangan di sini adalah berdalil dengan peredaran
benda-benda langit atas berbagai kejadian di muka Bumi [3]), seperti petanda akan lahirnya orang besar
atau wafatnya, atau petanda akan datangnya bencana besar, atau petanda
kebahagian dan keberuntungan, atau yang semisalnya yang mengaitkan
kejadian-kejadian di muka bumi dengan benda-benda langit, untuk mengetahui waktu
kejadian atau pengaruhnya. Semuanya itu merupakan perkara-perkara ghaib, yang
tidak mengetahui perkara ghaib tersebut kecuali Allah. Dengan penjelasan ini,
maka jelaslah masalah yang akan dibahas.
Kedua : Bahwa semata-mata kelahiran Bulan baru [4]) belum memenuhi kriteria syar’i
untuk penetapan awal dan akhir bulan-bulan qamariyah, selama tidak ada
ru`yah yang syar’i. Hal ini berdasarkan ijma’
(konsesus/kesepatakan para ‘ulama). Ini terkait dengan penentuan waktu
ibadah. Barangsiapa pada masa ini yang menyelisihi hal tersebut, maka ia telah
didahului oleh ijma’ para ‘ulama sebelumnya.
Ketiga : Bahwa dalam kondisi cerah pada malam
ke-30, ru`yatul hilal satu-satunya yang dijadikan landasan (secara
syar’i) untuk penetapan awal dan akhir bulan-bulan qamariyah, terkait dengan
penentuan waktu ibadah. Bila al-hilal tidak terlihat (pada malam itu)
maka para ‘ulama sepakat menggenapkan bilangan (bulan sebelumnya) menjadi 30
hari.
Adapun jika
langit mendung pada malam ke-30 tersebut, maka mayoritas ‘ulama berpendapat
menyempurnakan bilangan (bulan sebelumnya) menjadi 30 hari, berdasarkan hadits
:
فإن غم
عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
“Bila
(al-hilal) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (bulan
sebelumnya) menjadi 30 hari.” [5])
Hadits ini
merupakan tafsir atas riwayat lainnya yang berlafazh :
فاقدروا
له
“Maka
perkirakanlah.” [6])
Al-Imam
Ahmad -dalam riwayat lain dari beliau [7]) - dan sebagian ‘ulama berpendapat bahwa dalam
situasi mendung bulan Sya’ban dijadikan 29 hari dalam rangka berhati-hati untuk
bulan Ramadhan. Mereka menafsirkan riwayat ( فاقدروا له ) “Maka
perkirakanlah.” dengan makna “Persempitlah”, berdasarkan firman
Allah :
” ومن قدر
عليه رزقه فلينفق مماءاتاه الله”
Barangsiapa yang ditentukan atasnya rezkinya, hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”
[Ath-Thalaq : 7]
(ditentukan) yakni :
‘disempitkan’ rezkinya.
Penafsiran
ini tertolak dengan riwayat hadits lainnya yang tegas dan jelas dengan lafazh
:
فاقدروا له
ثلاثين
“Maka
tentukanlah bilangannya menjadi 30 (hari).” [8])
Dalam
riwayat lain dengan lafazh :
فأكملوا عدة
شعبان ثلاثين
“Maka
sempurnakanlah bilangan (bulan) Sya’ban menjadi 30 hari.” [9])
An-Nawawi v
menyebutkan dalam syarh (penjelasan) beliau terhadap kitab
Shahih Muslim, yaitu pada hadits : فإن غم عليكم
فاقدروا له (”Jika (al-hilal) terhalangi atas kalian maka
perkirakanlah.”); pendapat dari Ibnu Juraij dan beberapa ‘ulama
lainnya, di antaranya Mutharrif bin ‘Abdillah - yaitu Ibnu Asy-Syakhir- Ibnu
Qutaibah dan lainnya, yang memperhitungkan perkataan para ahli astronomi (ahli
hisab) untuk penetapan awal dan akhir bulan-bulan qamariyah, yakni ketika langit
mendung.
Al-Imam
Ibnu ‘Abdil Barr v mengatakan : “Telah diriwayatkan dari Mutharrif bin
Asy-Syakhir, namun riwayatnya tidak sah, kalaupun sah maka tidak boleh mengikuti
pendapat beliau tersebut, karena ketidakbenaran pendapat beliau dalam masalah
ini dan menyelisihi hujjah (dalil).”
Kemudian
beliau menyebutkan dari Ibnu Qutaibah seperti itu, lalu beliau mengatakan : “Ini
bukan bidangnya Ibnu Qutaibah, dan beliau tidak bisa dijadikan rujukan dalam
bidang seperti ini.”
Berikutnya
beliau juga menyebutkan dari Khuwaiz Mindad bahwa dia menukilkan dari Al-Imam
Asy-Syafi’i, lalu Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr pun mengatakan : “Riwayat yang sah
dari beliau (Asy-Syafi’i) dalam kitab-kitab beliau dan yang ada para murid-murid
beliau, dan mayoritas ‘ulama, adalah berbeda dengan itu. [10]) ” - sekian-
Dengan ini
jelaslah, bahwa letak perbedaan pendapat di antara para fuqaha’ adalah ketika
kondisi mendung dan yang semakna. [11]) Itu semuanya kaitannya dengan penentuan
waktu-waktu ibadah. Adapun dalam masalah muamalah, maka silakan manusia
menentukan waktu berdasarkan pedoman yang mereka kehendaki.
Keempat : Bahwa yang menjadi landasan syar’i
untuk penetapan bulan-bulan qamariyah adalah ru`yatul hilal saja, tidak
dengan hisab peredaran Matahari dan Bulan, karena alasan-alasan berikut :
a. Nabi e
memerintahkan melaksanakan shaum berdasarkan ru`yatul hilal,
demikian juga ber’idul fitri berdasarkan ru`yatul hilal dalam sabda
beliau :
صوموا
لرؤيته، وأفطروا لرويته
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul
fitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal.” [12])
Bahkan
beliau e membatasi hanya dengan ru`yatul hilal dalam sabda beliau :
لا تصوموا
حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه
“Janganlah kalian bershaum sampai kalian melihatnya
(al-hilal), dan janganlah kalian ber’idulfitri sampai kalian melihatnya.”
[13])
Beliau e
memerintahkan kaum muslimin jika cuaca mendung pada malam ke-30 untuk
menyempurnakan bilangan (bulan sebelumnya), dan beliau e sama sekali tidak
memerintahkan untuk merujuk kepada ahli astronomi (ahli hisab). Kalau seandainya
perkataan mereka (ahli hisab) merupakan landasan hukum yang tersendiri, atau
landasan hukum lainnya dalam penetapan bulan qamariyah, niscaya Nabi e
memerintahkan untuk merujuk kepada mereka. Maka hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada yang bisa dijadikan landasan secara syar’i untuk penetapan bulan qamariyah
kecuali ru`yatul hilal atau dengan menyempurnakan bilangan bulan
menjadi 30 hari. Ini merupakan syari’at yang terus berlaku hingga Hari Kiamat,
dan tidaklah Rabbmu lupa.
Adapun
klaim yang menyatakan bahwa “ru`yah” pada hadits tersebut yang dimaksud
adalah ilmu atau dugaan kuat akan wujudul hilal atau imkanur
ru`yah, bukan ibadah dengan aktivitas ru`yah itu sendiri; maka
klaim tersebut tertolak/terbantah. Karena kata “ru`yah” pada hadits
tersebut mengenai atau bekerja pada satu objek saja (yaitu pada kata
al-hilal saja). Sehingga maknanya adalah ru`yah bashariyyah
(ru`yah dengan mata) bukan ru`yah ‘ilmiah (ru`yah
dengan ilmu). [14]) Dan
karena para shahabat memahami bahwa ru`yah tersebut adalah dengan mata,
mereka (para shahabat) adalah orang yang paling mengerti tentang bahasa ‘arab
dan maksud-maksud syari’at. Demikian pulalah berlangsungnya praktek amaliah pada
masa Nabi e dan pada masa mereka (para shahabat). Mereka sama sekali tidak
merujuk kepada para ahli astronomi (ahli hisab) untuk penentuan waktu
ibadah.
Tidak benar
pula kalau dikatakan bahwa Nabi e ketika bersabda : “Apabila (al-hilal)
terhalangi atas kalian, maka perkirakanlah.” maksud beliau memerintahkan
kita untuk memperhitungkan tempat-tempat peredaran Bulan, supaya kita
mempelajari ilmu hisab untuk menentukan awal dan akhir bulan qamariyah. Karena
riwayat tersebut telah ditafsirkan oleh riwayat : “maka hitunglah menjadi
30.” dan riwayat-riwayat lain yang semakna. Padahal mereka yang
mendung-dengungkan misi penyatuan awal bulan qamariyah berpendapat untuk
berpegang pada ilmu hisab baik dalam kondisi cerah maupun mendung. Sementara
dalam hadits tersebut hanya khusus kalau situasi mendung saja. [15])
b. Bahwa
mengaitkan penetapan bulan-bulan qamariyah dengan ru`yatul hilal sangat
sesuai dengan misi syari’at yang mudah. Karena ru`yatul hilal sifatnya
umum dan menyeluruh, mudah bagi mayoritas manusia. Berbeda kalau seandainya
mengaitkannya dengan hisab, maka yang demikian akan menyebabkan kesulitan yang
bertentangan dengan misi syari’at. Dan klaim bahwa sifat ummi dalam
bidang ilmu perbintangan telah hilang dari umat ini, kalaupun itu kita terima,
maka yang demikian tidak bisa mengubah ketetapan syari’at dalam masalah
tersebut.
c. Bahwa
para ‘ulama umat, pada masa-masa awal Islam, telah ber-ijma’
(berkonsensus/bersepakat) untuk hanya berlandaskan para ru`yatul hilal
untuk penetapan bulan qamariyah, tidak dengan hisab. Tidak pernah ada
seorangpun dari mereka yang berpegang pada hisab ketika kondisi mendung atau
semisalnya. Adapun dalam kondisi mendung, maka tidak ada seorang pun dari para
‘ulama yang beralih pada hisab untuk menetapkan hilal, atau mengaitkan hukum
umum dengan berlandaskan hisab.
Kelima : Perhitungan waktu setelah tenggelamnya
Matahari agar memungkin terlihatnya al-hilal -kalau tidak ada
penghalang- merupakan perkara yang bersifat perkiraan dan ijtihadiyah,
yang pendapat para ahli hisab berbeda-beda. [16]) Demikian juga dalam menentukan faktor-faktor
penghalang. Sehingga berpegang pada hisab untuk penentuan waktu-waktu ibadah
tidak bisa merealisasikan persatuan yang selama ini senantiasa
didengung-dengungkan. [17]) Oleh
karena itulah syari’at menetapkan bahwa hanya ru`yatul hilal sajalah
sebagai landasan, tidak dengan hisab.
Keenam : Tidak benar menentukan mathla’
satu negara atau negeri tertentu saja - Makkah misalnya- sebagai acuan
ru`yatul hilal. Karena hal itu konsekuensinya meskipun ru`yatul
hilal berhasil di negeri lain, penduduknya tetap tidak wajib bershaum
selama di negeri yang menjadi acuan mathla belum terlihat
al-hilal.
Ketujuh : Lemahnya dalil-dalil orang-orang yang
berpegang pada perkataan para ahli astronomi (ahli hisab) untuk penetapan
bulan-bulan qamariyah. Hal ini akan jelas dengan menyebutkan dalil-dalil mereka
dan bantahannya :
a. Mereka
(para ahli hisab) mengatakan : Allah telah memberitakan bahwa Dia menentukan
perjalanan Matahari dan Bulan dengan perhitungan yang sangat teliti. Dia
menjadikan keduanya (Matahari dan Bulan) sebagai dua ayat, dan menentukan
posisi-posisinya, dalam rangka kita mengambil pelajaran dan mengetahui bilangan
tahun dan hisab. [18]) Jika
sekelompok orang sudah tahu secara pasti dengan ilmu hisab bahwa hilal telah
wujud setelah tenggelamnya Matahari para hari ke-29, meskipun tidak mungkin
untuk diru`yah atau hilal telah wujud dan memungkikan untuk
diru`yah kalau tidak ada penghalang, dan sejumlah orang dari mereka
mengabarkan kepada kita -dan jumlah mereka telah mencapai mutawatir-
maka wajib untuk menerima berita mereka. Karena beritanya tersebut ditegakkan di
atas keyakinan, dan mustahil para pemberi berita tersebut berdusta karena
jumlahnya yang telah mencapai derajat mutawatir. Kalaupun jumlahnya
belum mencapai mutawatir, namun mereka orang-orang yang adil, maka
berita mereka menunjukkan pada dugaan kuat. Yang demikian sudah cukup untuk
menegakkan hukum-hukum ibadah di atasnya.
Bantahan : Fakta bahwa Matahari dan Bulan sebagai
ayat untuk bisa diambil ‘ibrah darinya, direnungkan kondisinya yang
menunjukkan pada Penciptanya dan Yang menjalankannya dengan aturan yang sangat
cermat tidak ada kekurangan ataupun kekacauan sedikitpun padanya, serta
menetapkan sifat kemulian dan kesempurnaan untuk Allah, ini merupakan yang tidak
diragukan lagi.
Adapun
berdalil dengan hisab perjalanan Matahari dan Bulan untuk penentuan waktu-waktu
ibadah, maka yang demikian tidak bisa diterima.[19]) Karena Rasulullah e –beliau adalah orang
yang paling tahu dan paling mengerti tentang tafsir Al-Qur’an- sama sekali tidak
mengaitkan masuk dan keluarnya bulan-bulan qamariyah dengan ilmu hisab. Namun
beliau mengaitkannya dengan ru`yatul hilal, atau menyempurnakan
bilangan bulan ketika dalam kondisi mendung. Maka wajib untuk mencukupkan
dengannya. Inilah yang selaras dengan keluwesan dan kemudahan syari’at,
disamping padanya (ru`yatul hilal) lebih cermat dan lebih tepat.
Berbeda halnya dengan perhitugan peredaran bintang, maka perkaranya tersembunyi,
tidak ada yang mengetahuinya kecuali segelintir orang saja. Maka yang seperti
ini tidak bisa ditegakkan di atasnya hukum-hukum ibadah.
b. Mereka
mengatakan : Para fuqaha dalam banyak masalah merujuk kepada para ahli. Mereka
merujuk kepada para dokter untuk memutuskan seorang yang sakit boleh berbuka
pada bulan Ramadhan. Merujuk kepada ahli bahasa dalam menafsirkan nash-nash
Al-Qur`an dan As-Sunnah, dan dalam berbagai masalah lainnya. Maka hendaknya
mereka juga merujuk kepada para ahli hisab untuk mengetahui permulaan dan akhir
bulan-bulan qamariyah.
Bantahan : Ini merupakan analogi
(qiyas) dua hal yang sangat jauh berbeda. Karena syari’at
memerintahkan untuk merujuk kepada orang-orang yang memiliki keahlian pada
bidangnya, dalam perkara-perkara yang tidak ada nash padanya. Adapun penetapan
hilal maka telah ada nash yang tegas yang menetapkan satu-satunya cara adalah
dengan ru`yatul hilal atau menyempurnakan bilangan bulan, tanpa merujuk
pada yang lainnya.
c. Mereka
mengatakan : Bahwa penentuan waktu awal dan akhir bulan qamariyah tidaklah
berbeda dengan penentuan waktu shalat lima waktu dan penentuan awal dan akhir
shaum setiap harinya. Kaum muslimin berpedoman pada ilmu hisab dalam
menentukan waktu shalat lima waktu dan shaum. Maka hendaknya kaum
muslimin juga menggunakan hisab dalam menentukan awal dan akhir bulan
qamariyah.
Bantahan : bahwa syari’at mengaitkan hukum dalam
penentuan waktu (shalat lima waktu dan shaum) dengan keberadaanya
(wujudnya). [20] Allah berfirman
:
أقم الصلاة
لدلوك الشمس إلى غسق الليل وقرءان الفجر
“Dirikanlah shalat sejak tergelincirnya Matahari sampai
gelapnya malam, dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh
itu disaksikan (oleh malaikat).” [Al-Isra : 78]
Allah juga
berfirman :
وكلوا
واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلى
الليل
“dan
makan minumlah kalian hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah shaum itu sampai (datang) malam.”
[Al-Baqarah : 187]
Kemudian
hadits-hadits Rasulullah memberikan perincian tentang waktu-waktu tersebut.
Sementara
itu untuk kewajiban shaum Ramadhan, syari’at mengaitkannya dengan
ru`yatul hilal [21])
dan sama sekali tidak mengaitkannya dengan ilmu hisab. Maka yang menjadi pedoman
adalah dalil.
d. Mereka
mengatakan : bahwa firman Allah :
فمن شهد
منكم الشهر فليصمه
“Karena
itu, barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan itu, maka ia harus
bershaum pada bulan itu. [Al-Baqarah : 185]
maknanya
adalah : ‘Barangsiapa di antara kalian yang mengetahui masuknya
bulan, maka ia harus bershaum pada bulan tersebut.’ Baik ia mengetahui masuknya
bulan dengan cara ru`yatul hilal secara mutlak, ataupun dengan cara
ilmu hisab perbintangan.
Bantahan : bahwa makna ayat tersebut adalah :
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya)
di bulan itu,maka ia harus bershaum pada bulan itu. “
Dengan
dalil lanjutan ayat berikutnya :
ومن كان
مريضاً أو على سفر فعدة من أيام أخر
“dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib atas
mengganti sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain.”
Kalaupun
diterima bahwa tafsirnya adalah persaksian dengan ilmu, maka yang dimaksud
adalah ilmu yang didapat dengan cara ru`yatul hilal, dengan dalil
hadits :
لا تصوموا
حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه
“Janganlah kalian bershaum sampai kalian berhasil meru`yah
(al-hilal), dan janganlah kalian ber’idul fitri sampai kalian berhasil
meru`yahnya.” [22])
e. Mereka
mengatakan : bahwa ilmu hisab itu berdasarkan rumus-rumus yang bersifat pasti
dan meyakinkan. Sehingga bersandar pada ilmu hisab untuk menetapkan bulan-bulan
qamariyah lebih dekat kepada kebenaran dan lebih mewujudkan persatuan antara
kaum muslimin dalam pelaksanaan ibadah dan hari raya mereka.
Bantahan : argumentasi tersebut tidak bisa
diterima. Karena kepastian dan keyakinan itu justru terdapat pada aktivitas
melihat bintang bukan pada menghisab/menghitung peredarannya. Karena
hisab itu perkara yang bersifat akal dan tersembunyi, tidak diketahui kecuali
oleh segelintir orang saja -sebaimana telah dijelaskan di atas- karena :
- perlu
benar-benar mempelajari dan memperhatikan secara khusus. [23])
- adanya
kemungkinan jatuh kepada kesalahan dan perbedaan, hal ini sebagaimana fakta yang
ada yaitu terdapat adalah perbedaan hasil-hasil perhitungan di berbagai negeri
muslimin.
Maka tidak
boleh bersandar pada ilmu hisab dan dengan ilmu hisab tidak bisa mewujudkan
persatuan antara kaum muslimin dalam waktu-waktu ibadah dan hari raya
mereka.
f. Mereka
mengatakan : bahwa pengaitan hukum penentuan bulan qamariyah dengan al-hilal
karena adanya ‘illah (sebab) yaitu sifat umat ini yang
ummiyyah (tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung). Namun pada
masa ini sifat tersebut sudah hilang, karena sudah banyak di tengah umat ini
para ahli ilmu perbintangan. Dengan demikian gugur pulalah pengaitan hukum
dengan ru`yatul hilal. Ilmu hisab menjadi dasar yang berdiri sendiri
atau dasar alternatif di samping ru`yah.
Bantahan : sifat umat sebagai umat yang
ummiyyah masih terus ada, yaitu dalam hal ilmu tentang perederan
Matahari dan Bulan serta segenap bintang lainnya. Para ahli ilmu tersebut jarang
dan sangat sedikit. Yang banyak hanyalah alat dan berbagai sarananya. Dan itu
justru bisa membantu pelaksanaan ru`yatul hilal dan tidak mengapa
menggunakannya untuk membantu ru`yatul hilal dan penetapan bulan
qamariyah berdasarkan ru`yah, sebagaimana digunakannya alat-alat untuk
membantu mendengar suara atau melihat benda-benda kecil.
Kalau seandainya
diterima bahwa sifat ummiyyah telah hilang dari umat ini dalam bidang
dalam ilmu hisab, maka tetap tidak boleh untuk bersandar pada ilmu hisab untuk
penetapan/pemastian al-hilal. Karena Rasulullah e mengaitkan hukum
dengan ru`yah atau menyempurnakan bilangan bulan, dan beliau tidak
memerintahkan untuk merujuk kepada hisab. Dan praktek ini terus berjalan kepada
kaum muslimin sepeninggal beliau.
وصلى الله
على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم
Ditetapkan
pada
14 Shafar
1395 H
Hai`ah Kibaril ‘Ulama
Pimpinan
Daurah VI
‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
(sumber :
Abhats Hai`ah Kibaril ‘Ulama` jilid III)
diterjemahkan dan diberi catatan kaki oleh :
Abu
‘Amr Ahmad Alfian
[1] Bagian ini sengaja tidak diterjemahkan untuk
mempersingkat.
[2] Yaitu astronomi.
[3] Yaitu astrologi. Atau yang dikenal pula
dengan ilmu nujum.
[4] Bulan baru terjadi sesaat setelah konjungsi.
Tentu saja peristiwa ini tidak bisa diru`yah. Namun peristiwa inilah
yang dijadikan acuan oleh para ahli hisab. Agar sesuai dengan kriteria syar’i
-menurut anggapan mereka- maka ditambahkan beberapa kriteria lain. Dalam
menetapkan kriteria-kriteria tersebut para ahli hisab berselisih dalam berbagai
kelompok, antara lain :
-
Ijtima’ Qablal Ghurub, bahwa untuk menyatakan esok
hari sebagai awal bulan harus terjadi ijtima’ sebelum tenggelamnya Matahari.
-
Wujudul Hilal, yang menyatakan bahwa
ijtima’ qablal qhurub saja tidak cukup, tapi harus ditambahkan kriteria
bahwa ketika Matahari tenggelam, Bulan masih di atas ufuk, berapa pun
ketinggiannya.
-
Imkanur Ru`yah, yang menyatakan bahwa wujudul
hilal saja tidak cukup, tapi harus menentukan ketinggian minimum agar hilal
yang memungkinkan untuk diru`yah disamping faktor-faktor lainnya. Maka
mereka pun juga berselisih dalam menentukannya.
[5] HR. Al-Bukhari 1907.
[6] HR. Al-Bukhari 1906,
Muslim 1080.
[7] Perhatian! : Telah
dinisbahkan kepada Al-Imam Ahmad pendapat wajibnya bershaum pada tanggal 30
Sya’ban jika pada malamnya hilal terhalangi oleh mendung dan semisalnya. Hal ini
telah dibantah, sebagaimana terdapat dalam Kitab
Al-Mughni di mana Ibnu Qudamah menukilkan perkataan Al-Imam
Ahmad : “Tidaklah wajib shiyam dan tidak pula masuk pada rangkaian Ibadah
Shiyam Ramadhan jika seseorang shaum pada hari itu.”
Syaikhul
Islam v mengatakan : “Tidak boleh shaum di hari itu dan ini adalah
madzhabnya Al-Imam Ahmad“.
Dalam kitab
Al-Furu‘ : “Saya tidak
mendapati riwayat dari Al-Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan wajibnya shiyam di
hari itu dan tidak pula memerintahkannya.”
Asy-Syaikh
‘Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh juga mengatakan :
“Tidak diragukan lagi, bahwa para ‘ulama dari kalangan Hanabilah dan selain
mereka berpendapat tidak wajibnya shiyam di hari itu bahkan hukumnya makruh atau
haram.” (Lihat Taudhihul Ahkam Jilid 3 hal.
132-133).
Maka pendapat ini tidak boleh disandarkan kepada Al-Imam
Ahmad v
[8] HR. Muslim 1080.
[9] HR. Al-Bukhari 1909.
[10] Artinya tidak benar jika pendapat merujuk
kepada ahli hisab dalam kondisi mendung tersebut dinisbahkan kepada Al-Imam
Asy-Syafi’i v. Justru pendapat beliau, sebagaimana ada dalam kitab-kitab beliau
dan pada murid-murid beliau, adalah sebagaimana pendapat mayoritas ‘ulama, yaitu
: bersandar pada ru`yatul hilal, apabila mendung/hilal tidak terlihat
maka menggenapkan bilangan menjadi 30 hari.
[11] Itupun pendapat yang menyatakan merujuk
pada ahli hisab pada kondisi mendung tertolak, karena jelas-jelas menyelisihi
nash/dalil yang jelas dan tegas, sebagaimana dijelaskan di atas.
[12] HR. Al-Bukhari 1909,
Muslim 1081.
[13] HR. Al-Bukhari 1906,
Muslim 1080.
[14] Dalam bahasa ‘arab, kata ru`yah
jika mengenai dua objek, bisa bermakna ru`yah ‘ilmiyyah. Misalnya
رَأَيْتُ
هَذَا الأَمْرَ خَيْرًا (saya melihat perkara ini baik). Kata ru`yah
pada kalimat tersebut mengenai dua objek, maka maknanya ru`yah
‘ilmiyyah.
[15] Maksudnya kalau mereka konsekuen
berpegang dengan riwayat “maka perkirakanlah” maka mestinya mereka
menggunakan hisab falaki hanya pada situasi mendung saja, karena memang
haditsnya khusus berbicara pada kondisi mendung saja. Adapun ketika cuaca cerah,
maka mestinya tidak menggunakan hisab. Namun faktnya, mereka tetap berpegang
pada ilmu hisab dalam semua kondisi, baik situasi cerah maupun mendung.
[16] Sehingga di kalangan ahli hisab, muncul
berbagai kriteria. Ada kriteria wujudul hilal yang mempersyaratkan
hanya wujudnya hilal di atas ufuk, beberapa pun ketinggiannya. Ada juga kriteri
Imkanur Ru`yah yang mempersyaratkan ketinggian tertentu. yang syarat
tersebut saling berbeda, ada yang mencukupkan 2 derajat, ada yang 4 derajat, 7
derajat, bahkan ada yang sampai 12 derajat.
[17] Demikianlah faktanya. Sama-sama berpegang
pada hisab, belum tentu hasilnya sama. Karena tergantung kriteria apa yang
dijadikan pegangan. Beda kriteria beda hasil. Bukan berbeda hasil hitungannya,
tapi berbeda dalam mengaplikasikan hasil hitungan tersebut.
[18] Seperti firman Allah dalam surat
Al-Isra ayat 12 yang artinya : “Dan Kami jadikan malam dan
siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda malam dan kami jadikan tanda
siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Rabbmu, dan supaya kamu
mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan (hisab). Dan segala sesuatu
telah Kami terangkan dengan jelas.
[19] Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil
oleh para ahli hisab semuanya sama sekali tidak berbicara tentang ketentuan cara
penetapan awal bulan qamariyah.
[20] Yakni tidak harus
melihat/meru`yah. Cukup dengan wujud/keberadaan
tanda-tandanya.
[21] Artinya al-hilal harus
benar-benar terlihat. Tidak cukup sekadar sudah wujud di langit. Kalau
seandainya cukup sekadar wujud maka untuk mengetahuinya tidak harus dengan
melihatnya, boleh dengan menghisab. Karena untuk mengetahui wujud atau tidaknya
tidak harus dengan melihat.
[22] HR. Al-Bukhari 1906,
Muslim 1080.
[23] Yang ini merupakan pekerjaan yang berat
dan tidak semua orang bisa melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar