Dari penjelasan
yang telah lalu, kita mengetahui adanya tiga cara dalam menentukan masuk dan
keluarnya bulan Ramadhan, yaitu :
1. Ru’yatul
Hilal (melihat hilal),
2.
Menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari,
3.
Asy-Syahadah (persaksian) orang
yang telah berhasil melihat al-hilal atau pemberitaan/pengumuman bahwa al- hilal
telah berhasil dilihat.
Sedangkan
ilmu hisab falaki tidak boleh dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran untuk
menentukan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menyatakan :
“Tidak
diragukan lagi berdasarkan As-Sunnah (hadits-hadits) yang sah serta kesepakatan
para shahabat bahwasanya tidak boleh menyandarkan (masuk dan keluarnya bulan
Ramadhan) kepada hisab perbintangan, sebagaimana hadits yang telah sah dari
beliau (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) yang diriwayatkan dalam
Ash-Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) beliau berkata :
(( إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ
نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ))
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak dapat
menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yah
(Al-Hilal), dan berbukalah (memasukui ‘Idul Fithri) berdasarkan ru’yah
(Al-Hilal).”
Sementara
orang yang menyandarkan diri kepada ilmu hisab dalam menentukan Al-Hilal, maka
sesungguh dia bagaikan orang yang sesat dalam syari’at ini dan seorang mubtadi’
(pencetus bid’ah) dalam agama ini. Dia pun salah dalam tinjauan akal dan ilmu
hisab (perbintangan) itu sendiri. Karena sesungguhnya para pakar di bidang ilmu
hisab mengetahui bahwasanya ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti
berdasarkan perhitungan ilmu hisab. Maksimal fungsi ilmu hisab yang mereka
lakukan di saat mereka hendak mengetahui berapa derajat antara hilal (bulan) dan
matahari saat terbenam. Sementara ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti
dengan derajat tertentu, karena ru’yah tersebut berbeda sesuai dengan perbedaan
tingkat ketajaman dan kejelian pandangan, dan sangat bergantung pada tingkat
tinggi rendanya tempat yang dilakukan ru’yah terhadap hilal darinya. Sebagaimana
juga sangat bergantung kepada tingkat perbedaan cerah dan tidaknya cuaca.
Bisa saja
Al-Hilal terlihat oleh sebagian orang pada tingkat 80 (delapan
derajat), sementara yang lainnya tidak mampu melihatnya walaupun pada tingkat
120 (dua belas derajat). Atas dasar itu para pakar ilmu hisab
berselisih secara tidak menentu, dan para tokoh mereka -semacam Bathlemous
(بطليموس)- sama sekali tidak berbicara tentang pengaruh perbedaan derajat,
karena permasalahan tersebut tidak bersandar di atas ketentuan yang pasti dalam
ilmu hisab. Yang berbicara tentang hal itu hanyalah para tokoh mereka yang
datang belakangan -seperti Kusyiar Ad-Dealmi (كوشيار الديلمي ) dan yang
semisalnya- ketika mereka mendapati Asy-Syari’ah (Islam) menggantungkan
hukum-hukum kepada (Ru’yah) Al-Hilal, maka mereka (pakar ilmu hisab) memandang
ilmu hisab sebagai cara yang ru’yatul hilal dipastikan padanya. Padahal cara
tersebut bukanlah cara yang tepat, bukan pula cara yang sesuai, bahkan tingkat
kesalahannya banyak, dan itu telah terbukti, para pakar di bidang tersebut pun
banyak berselisih : apakah hilal -dengan derajat tertentu- terlihat ataukah
tidak?
Sebabnya :
karena mereka memastikan sesuatu berdasarkan ilmu hisab sementara sesuatu
tersebut tidak dapat diketahui/ditentukan berdasarkan ilmu hisab. Sehingga
dengan itu mereka menyimpang dari jalan yang benar.
Aku telah
memaparkan permasalahan tersebut secara panjang lebar dalam pembahasan selain di
tempat ini. dan aku jelaskan bahwasanya apa yang telah ditentukan oleh syari’at
yang benar ini itulah yang sesuai dengan ketentuan akal yang jelas, sebagaimana
pula aku telah menjelaskan tentang batasan hari bahwasanya hal itu tidak dapat
dipastikan berdasarkan ilmu hisab. … –sekian– [1]
Seluruh
anggota Hai`ah Kibaril ‘Ulama` (Majelis Tinggi ‘Ulama) di
Arab Saudi telah bersepakat tentang tidak bolehnya bersandar kepada ilmu hisab
falaki dalam menentukan awal bulan. Hal itu sebagaimana tertuang dalam ketetapan
Hai`ah Kibaril
‘Ulama` nomor 2, yang
ditetapkan secara ijma’ (konsesus bersama), berikut isi ketetapan tersebut
secara ringkas :
و أما ما
يتعلق بإثبات الأهلة بالحساب فقد أجمع أعضاء الهيئة على عدم اعتباره، و بالله
التوفيق. هـ القرار
Sementara
permasalahan yang terkait dengan hukum penetapan hilal pada setiap bulan
berdasarkan ilmu hisab maka para (’ulama) anggota Majelis Hai`ah bersepakat
tentang tidak bolehnya. ([2])
Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memberikan pernyataan yang senada dengan fatwa di
atas, beliau berkata :
“Ash-Shaum
tidak menjadi wajib hukumnya dengan berdasarkan ketentuan hisab (falaki)
walaupun para pakar ilmu hisab telah menetapkan bahwa malam ini merupakan bagian
dari Ramadhan padahal kaum muslimin tidak berhasil melihat Al-Hilal, maka tidak
boleh bershaum. Karena syari’at (Islam) mengaitkan hukum Shiyam berdasarkan
sesuatu yang bisa dicapai oleh indera manusia, yaitu berdasarkan ru’yatul
hilal.” ( [3])
Maka orang
yang bersandar kepada hisab falaki adalah orang yang telah menyelisihi
Al Haq dan Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah. Hal ini dilihat dari
beberapa segi :
1. Firman
Allah subhanahu wata’ala dalam Al-Qur`an :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ .البقرة: ١٨٥
Artinya
:
Karena itu
barang siapa yang menyaksikan Asy-Syahr (hilal) Ramadhan maka bershaum lah.”
[Al-Baqarah : 185].
Dalam ayat
ini Allah mengaitkan hukum Ash-Shiyam berdasarkan ru’yah Asy-Syahr
(Al-Hilal)
2.
Hadits-hadits shahih yang menjelaskan tentang kewajiban bershaum berdasarkan
ru’yatul hilal, seperi hadits
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ [البخاري]
Artinya
:
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah
berdasarlan ru’yatul hilal. Jika (hilal) terhalangi(oleh mendung atau
semisalnya) maka genapkanlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [H.R.
Al-Bukhari]([4])
Demikian
juga hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma :
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ r ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ : (( لاَ تَصُومُوا حَتَّى
تَرَوُا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ )) [متفق
عليه]
Bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berbicara tentang Ramadhan, kemudian
beliau berkata : “Janganlah kalian bershaum hingga kalian berhasil melihat
hilal, dan janganlah kalian berbuka (ber’Idul Fitri) hingga kalian berhasil
melihat hilal.”[Muttafaqun ‘alaihi] [5])
Kemudian
jika kesulitan dalam melakukan ru’yah, karena terhalang oleh awan atau yang
semisalnya, maka dengan cara menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari,
tanpa harus menyelisihi Nabi r dengan menggunakan hisab falaki.
3. Ijma’
para Shahabat, Tabi’in dan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka.
4.
Pernyataan para ahli ilmu perbintangan sendiri, bahwa ru’yah tidak bisa
ditetapkan dengan hisab falaki karena adanya perbedaan ketinggian tempat
perhitungan dan berbagai perbedaan lainnya.
5.
Kenyataan terjadinya perbedaan di kalangan ahli hisab dalam menentukan hilal dan
posisi ketinggian derajatnya untuk dapat dilihat.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar v menyatakan dalam Fathul Bari sebuah perkataan yang
bermanfaat ketika beliau mensyarh (menjelaskan) hadits no. 1913, yaitu hadits
dari shahabat Ibnu ‘Umar c dengan lafazh :
(( إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ
نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ))
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak dapat
menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yah
(Al-Hilal), dan berbukalah (memasukui ‘Idul Fithri) berdasarkan ru’yah
(Al-Hilal).”
Beliau
berkata :
“Maksud
kata ‘Al-Hisab’ dalam hadits ini adalah ilmu hisab perbintangan dan
peredarannya, mereka (para shahabat) dahulu tidak mengetahui tentang ilmu
tersebut kecuali segelintir orang saja. Sehingga atas dasar itu hukum kewajiban
bershaum dan yang lainnya dikaitkan kepada ru’yah (al-hilal) dalam rangka
meniadakan kesulitan dari mereka dalam penggunaan ilmu hisab peredaran bintang.
Hukum ini terus berlanjut dalam ketentuan ash-shaum walaupun setelah mereka
telah muncul orang-orang yang mengetahui ilmu hisab perbintangan tersebut.
Bahkan konteks hadits di atas menunjukkan penafian mutlak keterkaitan hukum
(shaum Ramadhan) berdasarkan ilmu hisab. Hal ini diperjelaskan dengan pernyataan
Rasulullah dalam hadits di atas :
(( فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ
ثَلاَثِيْنَ ))
“Jika
terhalangi (oleh mendung) maka sempurnakan bilangan (Sya’ban) menjadi tiga puluh
hari”
Tidaklah
beliau berkata : ‘Bertanyalah kalian kepada para pakar ilmu hisab’. Hikmah di
balik perintah ini adalah samanya perhitungan seluruh mukallaf (kaum muslimin)
dalam penentuan bilangan hari di saat langit mendung, sehingga hilanglah
perbedaan dan perselisihan dari mereka.
Ada suatu
pihak yang telah berkeyakinan bersandar kepada para pakar ilmu hisab dalam
permasalahan ini, mereka itu adalah kelompok Syi’ah Rafidhah, dan dinukilkan
adanya persetujuan sebagian kecil ahli fiqh terhadap mereka. Al-Imam Al-Baji
berkata : ‘Ijma (Konsesus bersama) generasi as-salafush shalih merupakan hujjah
yang membantah mereka.’ Al-Imam Ibnu Bazizah berkata : ‘ini adalah keyakinan
yang batil, karena syari’at (Islam) telah melarang untuk mendalami ilmu nujum,
karena ilmu tersebut hanya sebatas prasangka yang tidak ada kepastian padanya …’
–sekian Al-Hafizh–
Itulah
beberapa keterangan dan fatwa beberapa ‘ulama ahlus sunnah dalam menyikapi ilmu
hisab dalam keterkaitannya dengan penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan.
Semoga bisa dijadikan sebagai landasan berpijak dalam permasalahan ini.
[2] Taudhihul Ahkam
III/134-135.
[3] Asy-Syarhul Mumti’
jilid 6 hal 314.
[4] Al-Bukhari (hadits no. 1909
[5] HR. Al-Bukhari no. 1906, Muslim no.
1080.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar