Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary hafizhahullah
Diantara tipu daya murahan hizbiyyun
kepada umat untuk mengelabui hakekat penyimpangan mereka adalah
mempublikasikan keberhasilan mereka mendatangkan ulama Ahlussunnah dalam
acara-acara yang mereka gagas. Datangnya para ulama tersebut dijadikan
sebagai pembenaran dakwah hizbiyah mereka….
Maka berikut ini tanya jawab seputar syubhat dan tipuan hizbiyyun bersama Asy Syaikh Abdullah Al Bukhary hafizhahullah.
Pertanyaan:
Ada sebuah syubhat yang disebarkan di
tengah-tengah Salafiyun bahwa mereka mendiamkan sebagian masayikh yang
menyampaikan muhadharah yang diselenggarakan oleh yayasan-yayasan yang
menyimpang, maka bagaimana membantah orang-orang yang melempar syubhat
tersebut?
Jawaban:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
الْحَمْدُ للهِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Saya tidak mengetahui apakah orang yang
menyebarkan syubhat ini dia orang yang berusaha mencari kebenaran,
ataukah dia berusaha mencari pembenaran terhadap kebathilan yang sedang
dia gandrungi. Jika adalah orang yang berusaha mencari kebenaran maka
tidak boleh baginya untuk bertanya dengan konteks semacam ini. Adapun
jika dia ingin mencari pembenaran terhadap kebathilan yang dia gandrungi
maka konskwensi dari ucapannya adalah:
“Karena saya di atas kebathilan, maka
orang yang datang kepada saya berarti di atas kebathilan juga. Dan
karena kalian mendiamkannya maka kalian juga harus mendiamkanku dan
mendiamkan kebathilanku.”
Pepatah Arab mengatakan:
مَا هكَذَا يَا سَعْدُ تُوْرَدُ الْإِبِلُ
Wahai Sa’ad, tidak demikian cara menggiring onta
(Ini perumpamaan bagi orang yang ngawur dalam bertindak –pent)
Ini yang pertama.
Yang kedua:
Siapa yang mengatakan kepadanya bahwa
Ahlus Sunnah dan Salafiyun mendiamkan orang yang salah?! Kita menilai
ada orang yang mukhthi’ dan ada yang khaathi’. Orang yang mukhthi’
sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama berbeda dengan khaathi’,
orang yang mukhthi’ adalah yang berusaha mencari yang benar tetapi tidak
mendapatkan taufik kepadanya. Adapun khaathi’ maka dia adalah orang
yang memang sengaja menyelisihi kebenaran. Faedah ini didapatkan dari
pembagian para ulama, baik ahli bahasa yang berbicara tentang kata-kata
yang gharib (yang jarang diketahui oleh manusia) maupun para ahli
hadits, pada sabda Nabi shallallahu alaihi was sallam dalam Shahih
Muslim:
لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ
“Tidak menimbun barang (yang dibutuhkan
orang banyak dan merupakan kebutuhan pokok namun langka agar harganya
melambung -pent) kecuali orang yang berdosa.”
(Shahih Muslim no. 1605 –pent)
Sebagian ulama ada yang menganggap
keduanya sama saja yaitu mukhthi’ dan khaathi’ semakna. Sedangkan
sebagian lain membedakan, dan inilah pendapat yang benar.
Jadi –baarakallahu fiik– siapa yang
mengatakan bahwa Ahlus Sunnah diam tidak membantah khaathi’ yaitu orang
yang sengaja menyelisihi kebenaran atau mendiamkan mukhthi’ yaitu yang
menginginkan kebenaran tetapi tidak meraihnya?!
Jadi Ahlus Sunnah membantah yang ini dan
juga membantah yang itu. Hanya saja terhadap mukhthi’, Ahlus Sunnah
memberinya udzur karena dia menginginkan kebenaran tetapi tidak
meraihnya. Jadi terjatuhnya dia dalam sebuah perkara yang menyelisihi
kebenaran bukanlah karena kesengajaan.
Ketika kita mengatakan bahwa wajib
membantah siapa saja yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu
alaihi was sallam dan wajib menjelaskan kesalahan, seperti terhadap
orang-orang yang mengedapankan akalnya lalu mereka lebih memilih
pendapat mereka dan menyelisihi hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, sehingga datanglah celaan terhadap mereka. Saya buat contoh
dengan Imam Malik yang beliau merupakan salah seorang imam Ahlus Sunnah
rahimahullah, beliau menyelisihi beberapa hadits, bahkan berupa nash
(dalil yang maknanya jelas dan tidak ada kemungkinan makna lain –pent)
hadits. Laits bin Sa’ad rahimahullah mengatakan: “Saya menghitung Malik
menyelisihi nash hadits Rasulullah shallallahu alaihi was sallam pada 70
masalah.” Ini tidak berarti Laits mencari-cari kesalahan Malik, hanya
saja ketika masalah-masalah tersebut dinukil dan beliau telah meneliti
dan memastikan bahwa Malik rahimahullah berpendapat demikian, ternyata
sebagian masalah tersebut menyelisihi nash. Misalnya hadits dalam
riwayat Muslim yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi was sallam
bersabda:
لَا تَخْتَصُّوْا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ وَلَا تَخُصُّوْا يَوْمَهَا بِصِيَامٍ.
“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat dan jangan menkhususkan siangnya dengan puasa.”
(Lihat: Shahih Muslim no. 1144 –pent)
Imam Malik ditanya tentang menkhususkan
hari Jum’at dengan puasa, beliau menjawab: “Saya tidak mengetahui ada
yang melarangnya, ini termasuk ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah
yang paling agung.”
Jadi jawaban Imam Malik radhiyallahu anhu
menyelisihi nash hadits.
Kenapa demikian?! Di sana ada sekian
udzur, bisa jadi ketika beliau berfatwa beliau lupa terhadap hadits
tersebut, dan yang semacam ini bisa saja terjadi, sehingga menyebabkan
seseorang terkadang berfatwa menyelisihi nash. Atau bisa jadi beliau
tidak lupa terhadap hadits tersebut, tetapi beliau memiliki dalil untuk
menolaknya atau hadits tersebut tidak shahih menurut beliau, atau udzur
yang lainnya.
Oleh karena inilah ketika para ulama
mengomentari pendapat Imam Malik ini, mereka mengatakan: “Semoga Allah
merahmati Malik, beliau berpendapat namun menyelisihi As-Sunnah, dan
As-Sunnah lebih pantas untuk diikuti.” Selesai sudah, para ulama tidak
mengatakan bahwa beliau termasuk orang-orang yang mengedepankan akalnya
dan tidak pula termasuk pengekor hawa nafsu. Karena prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah yang menjadi pijakan Imam Malik adalah prinsip Sunni
Salafy.
Tidak tergambar dan tidak seorang pun
termasuk Laits yang mengetahui dengan benar masalah-masalah tersebut ada
yang menggambarkan bahwa Malik rahimahullah bermaksud menyelisihi
kebenaran sama sekali. Tetapi beliau berijtihad namun tidak sesuai
dengan kebenaran di dalam menjawabnya. Bagaimana sikap yang tepat
terhadap beliau? Yang tepat adalah berpendapat yang sesuai dengan
As-Sunnah, memberi udzur bagi beliau, dan menjelaskan bahwa beliau
keliru. Jadi yang dilakukan di sini adalah menjelaskan kesalahan,
membantah kesalahan, memberi udzur karena prinsip beliau adalah sunni
salafy, dan mengatakan pendapat yang sesuai dengan As-Sunnah. Cukup
sudah.
Oleh karena inilah Syaikhul Islam
rahimahullah dan Imam Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum wal Hikam
menjelaskan bahwa sebuah kalimat (yang bathil –pent) yang dikatakan oleh
dua orang, terkadang salah seorang dari keduanya ditabdi’ sedangkan
yang lainnya diberi udzur.
Jadi menurut cara si penanya ini, yaitu pertanyaan: “Kenapa
kenapa kalian tidak berbuat demikian, dan kenapa kenapa kalian tidak
berbuat demikian?!” Hal itu karena dia bodoh terhadap kebenaran dan
bodoh terhadap jalan yang ditempuh orang-orang yang mengikuti kebenaran,
sehingga dia menyatakan: “Bagaimana kok bisa yang ini mengatakan
demikian lalu dia divonis sebagai mubtadi’, padahal yang lain juga
mengatakan ucapan yang sama namun kok diberi udzur?!
Jawabanya seperti yang telah kita
sebutkan. Orang yang pertama karena prinsipnya Sunni Salafy,
kaidah-kaidahnya di atas As-Sunnah, dia seorang yang mengagungkan
As-Sunnah, mencintainya, berusaha mencarinya, mengerahkan segenap
kemampuannya untuk mencari kebenaran, tidak menginginkan kecuali
kebenaran, dia berijtihad namun tidak sesuai dengan yang benar, maka
terhadap orang yang seperti ini kita memberikan udzur untuknya. HANYA
SAJA PEMBERIAN UDZUR KEPADANYA BUKAN BERARTI KITA MENERIMA KESALAHANNYA.
Sedangkan orang yang satunya karena
prinsipnya khalafy, bid’ah, menyelisihi kebenaran, tidak berusaha
mencari keselamatan, tidak bermaksud mencari kebenaran, tetapi justru
suka mencari-cari masalah yang mutasyabih (yang samar dan tidak
diketahui semua orang) untuk membenturkannya dengan masalah-masalah yang
muhkam (jelas dan gamblang), dan seterusnya, MAKA ORANG YANG SEMACAM
INI DIVONIS SEBAGAI MUBTADI’ DAN TIDAK DIBERI UDZUR.
Jadi ketika sebagian mereka ada yang
mengatakan: “KALIAN (SALAFIYUN) MEMBANTAH ABUL HASAN, MEMBANTAH SI
FULAN, AL-MAGHRAWY, DAN YANG LAINYA, PADAHAL SEBAGIAN MASAYIKH ADA YANG
MEMUJINYA, NAMUN KENAPA TIDAK MENGATAKAN BAHWA ULAMA YANG MEMUJINYA
TERSEBUT SAMA DENGAN MEREKA?!”
MAKA ORANG YANG MENGATAKAN UCAPAN SEPERTI INI DIA ADALAH ORANG YANG DUNGU,
jawaban terhadap ucapannya sama persis dengan penjelasan di atas.
Karena ulama ini yang beliau berbaik sangka kepada mereka (orang-orang
yang menyimpang) itu, kita meyakini bahwa beliau tidak sengaja
menyelisihi kebenaran. Seandainya beliau sengaja menyelisihi kebenaran,
pasti beliau akan digabungkan atau disamakan dengan mereka. Ini jawaban
pertama.
Kedua:
Ulama tersebut tidak menjadikan al-wala’
wal bara’ di atas ucapan dan pendapat beliau. Jadi jika engkau
mengambil pendapat beliau maka marhaban (selamat datang, kami senang
menerimanya), namun jika engkau tidak mengambil pendapatnya maka beliau
tidak menyerangmu.
Ketiga –baarakallahu fiikum–:
Ulama sendiri menentang mereka dalam hal
sikap fanatik sengit yang mereka lakukan, serta mati-matian membela
dengan cara yang bathil, dengan kedustaan, dengan kebohongan dan
mengada-ada. Inilah persangkaan terhadap orang-orang yang mengikuti
kebenaran. Tinggal masalahnya apakah pendapat beliau pantas untuk
didahulukan atau apakah beliau benar dalam masalah ini. Maka kita
katakan: beliau adalah orang yang shalih, namun salah dalam menjawab.
Selesai sudah.
Saya katakan bahwa syubhat semacam ini
terus diulang-ulang. Mereka mengatakan: “Kenapa kalian tidak bersikap
demikian, kalau begitu kami akan berbuat demikian?!” Hal ini juga
seperti yang mereka katakan tentang Samahatul Mufti (Asy-Syaikh Abdul
Aziz Alus Syaikh): “Kenapa kalian (Salafiyun) tidak memvonis beliau
sebagai mubtadi’ padahal beliau telah memuji Sayyid Quthub?!” (juga
menjamu Abdurrahman Abdul Khaliq –pent). Ucapan semacam ini mereka
katakan.
Baiklah, apakah Mufti diyakini dan
disangka bahwa beliau juga mengatakan ucapan Sayyid Quthub dalam perkara
wihdatul wujud, mencela Shahabat atau beberapa Shahabat, mencela
Utsman, dan bahkan mencela sebagian nabi?! Apakah beliau mengatakan
demikian?!
DEMI ALLAH, SEANDAINYA BELIAU MENGATAKAN
DEMIKIAN PASTI BELIAU JUGA AKAN DISAMAKAN DENGAN SAYYID QUTHUB. Tetapi
hal ini sangat jauh sekali dari beliau. Bahkan yang diketahui dari
beliau adalah yang menyelisihi semua ini. Bahkan tatkala beliau ditanya
tentang sebagian ucapan Sayyid Quthub sebelum beliau mengetahui siapa
yang mengucapkannya, beliau mencelanya dan mengingkarinya dengan keras.
Jelas?!
Jadi beliau adalah seperti para ulama
yang lainnya yang bisa benar dan bisa salah. Dan di sini kita katakan
bahwa beliau salah (dalam memuji Sayyid Quthub), dan kita tidak
melampaui batas. Itu adalah kesalahan, beliau berijtihad namun tidak
mencocoki kebenaran. Selesai sudah.
Adapun para pengekor hawa nafsu yang
mati-matian membela Sayyid Quthub, seperti Safar (Hawaly) dan
semisalnya, maka kita tidak memberi udzur untuk mereka, karena prinsip
mereka berjalan di atas pemikiran yang rusak ini, dan mereka tidaklah
membela Sayyid Quthub kecuali dalam rangka membela madzhab yang rusak,
yaitu madzhab takfir (gampang mengkafirkan kaum Muslimin) yang diyakini
oleh Sayyid Quthub dan kelompoknya. Kalian paham? Baarakallahu fiikum.
download audionya di sini
sumber:
http://tukpencarialhaq.com/2014/08/30/kenapa-salafiyun-tidak-mentabdi-masayikh-yang-mengisi-muhadharah-yang-diselenggarakan-oleh-hizbiyun-menjawab-syubhat-tipuan-hizbiyun/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar