Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib
Mukadimah
Sudah
bukan rahasia lagi kalau cita-cita kebanyakan orang saat ini—termasuk
tak sedikit dari kaum muslimin—, adalah mengumpulkan harta
sebanyak-banyaknya, dengan cara apa saja. Banyak pula di antara mereka
yang tidak peduli dari mana harta itu mereka dapatkan, bersumber dari
sesuatu yang halal ataukah haram?
Kenyataannya,
banyak dari kita justru berpandangan, “Yang haram saja sulit (untuk
mendapatkannya), apalagi yang halal.” Keadaan kaum muslimin pun juga tak
jauh berbeda dengan kebanyakan manusia. Bagi kaum muslimin, saat ini
yang halal adalah apa yang ada di tangannya, sedangkan yang haram adalah
yang tidak sampai ke tangannya. Oleh sebab itu, apa dan bagaimana
caranya dia memperoleh kekayaan sudah bukan persoalan yang perlu
dipikirkan. Wallahul musta’an (Allah subhanahu wa ta’ala-lah yang dimintai pertolongan). Akhirnya, pantaslah berlaku atasnya firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan
kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan
yang batil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan.” (al-Fajr: 19—20)
Di
sana-sini selalu ada pelatihan melejitkan potensi dan pengembangan diri,
untuk apa? Melejitkan kedudukan dan kekayaan? Hanya seputar itu. Ada
yang dengan merakit ayat-ayat suci al-Qur’an dan hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, ada pula yang dengan kisah-kisah nyata ‘keberhasilan’ sejumlah konglomerat di seluruh dunia. Wallahul musta’an.
Qarun
Siapa
yang tidak kenal Qarun? Kekayaannya yang berlimpah menjadi buah bibir,
bahkan menjadi mimpi dan angan-angan bagi orang-orang yang datang
belakangan. Sampai saat ini, setiap orang yang menemukan harta terpendam
atau memperoleh kekayaan yang berlimpah, selalu disebut mendapat harta
Qarun (diindonesiakan menjadi harta karun, -red.).
Siapakah
Qarun dan mengapakah dia, sehingga menjadi tamsil (permisalan) bagi
orang-orang yang datang sesudahnya? Pelajaran apa yang dapat diambil
dari perjalanan hidupnya? Mudah-mudahan kisah ini memberi pelajaran
berharga bagi kita.
Para ulama berbeda pendapat tentang nasabnya. Ada yang mengatakan dia adalah putra paman Nabi Musa ‘alaihis salam, yaitu Qarun bin Yashhur bin Qahits bin Lewi bin Ya’qub, sedangkan Nabi Musa adalah putra ‘Imran bin Qahits. [1]
Ahli sejarah Muhammad bin Ishaq bin Yasar berpendapat bahwa dia adalah paman Nabi Musa ‘alaihis salam sendiri. Akan tetapi, pendapat yang masyhur adalah yang pertama. Wallahu a’lam.
Kita
tidak akan mempersoalkannya lebih jauh karena berita al-Qur’an sudah
jelas menyatakan bahwa dia adalah salah seorang dari kaum Nabi Musa ‘alaihis salam. Jadi, termasuk salah seorang dari Bani Israil, keturunan Nabi Ishaq bin Ibrahim al-Khalil ‘alaihis salam.
Sebagaimana
telah dijelaskan pada beberapa edisi yang lalu, kisah-kisah yang
termaktub di dalam al-Qur’anul Karim pasti mengandung pelajaran yang
sangat berharga. Akan tetapi, siapakah yang mampu memetik hikmahnya dan
menerapkannya dalam kehidupannya? Jawabnya sudah tentu orang-orang yang
beriman, yaitu orang-orang yang mempunyai akal sehat atau akal itu masih
berfungsi.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf: 111)
Kisah ini diceritakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sesudah memaparkan tentang Fir’aun dan kekuasaannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Sesungguhnya
Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap
mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta
yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang
kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah kamu
terlalu bangga. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
terlalu membanggakan diri.” Carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi; berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Qarun berkata,
“Sesungguhnya aku diberi harta itu tidak lain karena ilmu yang ada
padaku.” Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah
membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih
banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada
orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah
Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang
menghendaki kehidupan dunia, “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti
apa yang telah diberikan kepada Qarun. Sesungguhnya ia benar-benar
mempunyai keberuntungan yang besar.” Berkatalah orang-orang yang
dianugerahi ilmu, “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah
lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta tidak
diperoleh pahala itu, melainkan oleh orang-orang yang sabar.” Maka Kami
benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya
suatu golongan pun yang menolongnya dari azab Allah, dan tiadalah ia
termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (al-Qashash:
76—81)
Dalam ayat-ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan
keadaan Qarun, perbuatannya, dan apa yang diterimanya, termasuk nasihat
dan peringatan yang sampai kepadanya dengan jelas dan gamblang.
Qarun adalah salah seorang kaum Nabi Musa ‘alaihis salam. Termasuk salah seorang di antara Bani Israil yang telah dilebihkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di
atas manusia pada masa itu. Akan tetapi, Qarun justru melampaui batas
dan zalim terhadap sesamanya. Dia merasa dirinya serba lebih dari orang
lain karena diberi harta yang berlimpah.
Harta itu demikian banyaknya,
sampai-sampai kunci gudang hartanya harus dipikul oleh beberapa pria
yang kekar. Entah sudah berapa banyak orang yang berilmu memberi nasihat
dan mengingatkan Qarun agar tidak merasa bangga dan melampaui batas
terhadap orang lain dengan harta yang dimilikinya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat.”
Demikianlah
nasihat yang mereka berikan kepada Qarun. Artinya, hendaklah yang
menjadi tekad dan cita-cita atau tujuan hidupmu adalah mencari pahala
dari Allah subhanahu wa ta’ala di akhirat (surga). Sebab,
itulah kesenangan yang lebih baik dan lebih kekal. Akan tetapi, jangan
pula melupakan bagianmu dari urusan dunia ini. Carilah dengan hartamu
itu apa yang sudah dihalalkan oleh Allah subhanahu wa ta’alau ntukmu, dan berbuat baiklah, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berbuat baik kepadamu. Jangan sekali-kali engkau melakukan perbuatan yang merusak—dengan berbuat jahat kepada hamba Allah subhanahu wa ta’ala—sebagai balasanmu atas kebaikan yang telah diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepadamu. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Begitu
lembut nasihat mereka. Hal ini menunjukkan bahwa mereka menginginkan
kebaikan bagi Qarun. Itulah salah satu bukti keimanan sekaligus tanda
cinta terhadap sesama muslim di dalam hati mereka yang memberi nasihat
tersebut. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحبُّ لِنَفْسِه
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya.” [2]
Akan
tetapi, Qarun tidak menerima nasihat dan peringatan tersebut, bahkan
menyombongkan diri dan melampaui batas. Dia berkata (sebagaimana dalam
ayat),
“Sesungguhnya aku diberi harta itu tidak lain karena ilmu yang ada padaku.”
Artinya,
dia mengatakan kepada mereka bahwa harta yang dimilikinya itu
diperolehnya karena pengetahuannya tentang berbagai bentuk usaha dan
sebab kecerdasannya. Atau karena ilmu Allah subhanahu wa ta’ala bahwa dia memang pantas menerimanya. Oleh sebab itu, mereka tidak perlu menasihatinya tentang apa yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya.
Alangkah
halusnya sebuah kesyirikan. Begitu perlahan dia menyelinap dalam hati
setiap orang, bagai langkah-langkah semut hitam di atas batu hitam di
dalam kegelapan malam yang pekat. Betapa kita sering mengucapkan, “Kalau
tidak ada dia, pasti kita gagal atau celaka,” “Untung ada satpam,” atau
kalimat lain yang mengandung ungkapan lupa terhadap Allah subhanahu wa ta’ala yang memberinya nikmat. Padahal, kalimat-kalimat ini ternyata masuk dalam syirik ashghar (syirik kecil). [3]
Syirik
ashghar ini mengurangi kesempurnaan tauhid, bahkan bisa menyeret
pemiliknya kepada syirik akbar, yang apabila dia mati sebelum bertobat,
akan kekal di neraka selama-lamanya. Oleh karena itu, tidak selayaknya
kita menyandarkan kesenangan atau keberhasilan kita kepada sesuatu
selain Allah subhanahu wa ta’ala. Dialah yang menjadikan semua
sebab, dan Dia pula yang menjadikan akibat dari sebab tersebut, serta
Dia pula yang menentukan akibat itu berhubungan dengan sebabnya ataukah
tidak.
Seperti itu pula kenyataan yang
ada di sekitar kita. Betapa banyak orang-orang yang ‘berhasil’ dalam
urusan dunianya—ataupun akhiratnya—, menyandarkan
keberhasilan/kesuksesan itu kepada keuletan, kesungguhan, kecerdasan,
kemauan belajar, dan etos kerjanya untuk meraih keberhasilan tersebut.
Mereka lupa bahwa Allah subhanahu wa ta’ala-lah yang memberi karunia kepada mereka berupa keberhasilan tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala-lah
yang memberi jalan kepada mereka, memudahkan berbagai urusan mereka
untuk meraih sesuatu yang dianggap ‘keberhasilan’ itu.
Mulai dari
pemikiran, perencanaan, pengelolaan, pemeliharaan, pengembangan, dan
seterusnya. Semua itu adalah karunia Allah subhanahu wa ta’ala, di awal perjalanan kariernya, dan di akhir setiap usahanya, bahkan kehidupannya.
Kebanyakan
kita tidak menyadari, apabila rezeki-rezeki kita terhalang dari satu
pintu, pasti akan terbuka melalui pintu yang lain.
Perhatikanlah
janin di dalam rahim ibunya. Apa usahanya mencari rezeki demi
kelangsungan hidupnya? Dari mana rezekinya (makanannya)? Dari ibunya,
melalui plasenta. Itulah jalan satu-satunya. Siapa yang mengatur rezeki
itu agar sampai kepada janin tersebut? Allah Yang Mahakuasa, Yang Maha
Mengatur lagi Maha Penyayang.
Setelah dia lahir, dari mana rezekinya? Ingat, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun.” (an-Nahl: 78)
Tentu
saja termasuk sesuatu yang tidak dia ketahui, adalah usaha mencari
rezeki. Akan tetapi, dengan rahmat-Nya, bayi itu memperoleh rezeki
berupa ASI dan makanan tambahan, yang lebih lezat daripada makanannya
yang pertama selama di dalam rahim.
Setelah sempurna penyusuan, minimal dua tahun, dia disapih, maka dari mana lagi rezekinya? Ternyata Allah subhanahu wa ta’ala masih membukakan pintu rezekinya berupa dua jenis makanan (nabati dan hewani) dan dua jenis minuman (air dan susu).
Setelah dia mati, tertutuplah jalur makanan dan minumannya. Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala masih
memberinya rezeki—kalau dia termasuk golongan kanan—dari delapan jalur,
yaitu delapan pintu surga yang boleh dimasukinya dari pintu mana saja.
Itulah kekuasaan dan kemurahan Allah subhanahu wa ta’ala.
Dia tidaklah menghalangi seorang mukmin pun dari dunia sama sekali,
namun justru memberinya sesuatu yang lebih berharga dan bermanfaat, yang
tidak diberikan-Nya kepada selain mukmin.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya
dunia ini di sisi Allah setara dengan sehelai sayap nyamuk, niscaya Dia
tidak akan memberi minum seorang kafir pun meskipun seteguk air.” 4
Ibnu Mas’ud radhiyallahu `anhu pernah mengatakan, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memberikan
harta itu kepada siapa saja, baik yang dicintai-Nya maupun tidak. Akan
tetapi, Dia tidak memberikan keimanan itu selain kepada yang Dia
cintai.”
Sumber: Majalah Asy Syariah
————————————————-
Catatan Kaki:
1. Demikian dinukil dari Qatadah dan an-Nakha’i serta yang lainnya. Wallahu a’lam.
2. HR. al-Bukhari no. 13 dan Muslim (1/49, no. 45 dan 71).
3. Pelakunya tidak keluar dari Islam, tetapi melakukan salah satu dosa yang paling besar. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar