Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Sesungguhnya,
wajib atas setiap muslim mengimani segala yang diberitakan di dalam
Al-Qur’an. Termasuk dalam hal ini, kisah dua putra Adam yang dikisahkan
oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’anul Karim. Kisah
ini menjelaskan betapa buruknya akibat kedengkian, kezaliman, dan
kejahatan serta permusuhan dalam kisah dua putra Adam tersebut, baik
pemberian nama mereka itu shahih atau tidak [1]
Baik
disebabkan perebutan calon istri, sebagaimana dinukil sebagian ulama,
ataukah sebab lainnya. Yang jelas, tujuannya adalah kita memahami sebab
dan akibat yang sama berikut hukum yang diberlakukan di balik kisah
tersebut.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
Ceriterakanlah
kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang
sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari
salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang
lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil:
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang
bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk
membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu
untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta
alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa
(membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka,
dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.”
Maka
hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya,
sebab itu dibunuhnyalah (Habil). Maka jadilah ia seorang di antara
orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak
menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana
dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai
celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini,
lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia
seorang di antara orang-orang yang menyesal. (Al-Maidah: 27-31)
Itulah kisah yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an. Kisah yang pasti mengandung pelajaran. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta’ala tegaskan dalam ayat yang lain:
“Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat.” (Yusuf:
111)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya.” (Al-Maidah: 27)
Dalam ayat-ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa ta’ala
memerintahkan kepada Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
”Ceritakanlah –wahai Rasul– kepada Bani Israil, cerita tentang dua putra
Adam, secara utuh, tidak menambah atau menguranginya.”
Ceritakanlah
agar orang yang mau mengambil pelajaran dapat memetik faedahnya, dengan
penuh kejujuran, tanpa kedustaan, sungguh-sungguh, dan bukan main-main.
Adam dan Hawwa turun ke dunia
Adam
sudah turun ke bumi. Hawwa pun demikian. Iblis tak ketinggalan, dia
diusir dan diturunkan ke dunia disertai laknat hingga hari pembalasan.
Para ulama berbeda pendapat tentang di mana Adam dan Hawwa diturunkan.
Ada yang mengatakan bahwa Adam diturunkan di India, sedangkan
Hawwa di
Jeddah. Ada pula yang berpendapat Adam turun di Shafa, sedangkan Hawwa
di Marwah.
Yang jelas, mereka semua diturunkan ke dunia ini. Wallahu a’lam.
Adam
dan Hawwa mulai merasakan pahit getir yang belum pernah mereka dapatkan
di dalam jannah. Beberapa waktu kemudian Hawwa mulai mengandung dan tak
lama dia pun melahirkan anaknya. Kemudian lahir pula putra mereka
berikutnya.
Anak-anak tersebut tumbuh
dewasa di bawah pengawasan kedua orangtua mereka. Mulailah mereka
berusaha mengolah bumi ini, mencari rezeki Allah Subhanahu wa ta’ala
Setan
yang telah bersumpah untuk menghancurkan manusia dan menyeret mereka
agar menyertainya di dalam neraka, tidak pernah berhenti mencari jalan
untuk menyesatkan mereka. Akhirnya dia melihat kesempatan tersebut.
Ketika
dua anak tersebut sudah tumbuh dewasa dan masing-masing mempunyai usaha
untuk penghidupannya, mereka diperintahkan untuk mengeluarkan sebagian
harta mereka sebagai korban untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala .
Qabil
yang bekerja sebagai petani, memilih harta yang akan dikorbankannya
dari hasil panen sawah ladangnya. Dia pun mengambil buah atau tanaman
yang buruk sebagai korbannya. Sedangkan Habil, bekerja sebagai
penggembala ternak. Dia memilih untuk korbannya salah satu ternaknya
yang terbaik, paling gemuk dan sehat.
Dalam
syariat umat terdahulu, tanda diterimanya suatu korban adalah dengan
turunnya api membakar korban tersebut. Hari berikutnya, terlihatlah
bahwa hasil panen yang dipersembahkan Qabil masih utuh di tempatnya.
Sedangkan ternak gemuk yang dikorbankan Habil tidak ada lagi, tanda
bahwa korbannya diterima. Kenyataan ini menumbuhkan kedengkian dalam
diri Qabil, dia berkata (sebagaimana dalam ayat):
“Aku pasti membunuhmu!”
Habil berkata kepadanya (seperti dalam ayat):
“‘Sesungguhnya
Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.’ Apa dosa
dan kesalahanku hingga harus kau bunuh? Tidak lain karena aku bertakwa
kepada Allah, yang takwa itu wajib atasku, atasmu, dan atas setiap
orang.”
Qabil tetap meradang dan ingin membunuh Habil. Sementara Habil, tidak ada ucapan lain selain mengingatkannya:
“Sungguh
kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku
sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu.”
Yakni,
seandainya engkau memulai untuk membunuhku, maka aku tidak akan
memulainya. Aku pun tidak akan membalas seperti yang engkau lakukan.
Tapi aku hanya mengingatkan engkau kepada Allah Rabb semesta alam.
Artinya, dia tidak ingin membela dirinya [2] bila
dibunuh oleh saudaranya. Meskipun dia lebih kuat dan mampu mengalahkan
saudaranya. Lalu Habil menerangkan apa sebabnya dia tidak ingin membalas
(sebagaimana ayat):
“Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam.”
Itulah alasan mengapa dia tidak ingin membalas. Orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak akan berani berbuat dosa, terlebih dosa-dosa besar.
Namun
Qabil tidak bergeming mendengar nasihat tersebut. Dia tetap pada
keinginannya membunuh Habil. Maka Habil beralih menakut-nakutinya dengan
azab Allah Subhanahu wa ta’ala, memberikan targhib dan tarhib.
Habil berkata kepada Qabil (sebagaimana dalam ayat):
“Sesungguhnya
aku ingin agar kamu kembali membawa dosa (membunuh)ku dan dosamu
sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian
itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.”
Artinya,
aku ingin agar kamu kembali kepada Rabb kita pada hari kiamat dengan
dosa pembunuhan yang kau lakukan terhadapku dan dosa yang kau bawa
selama hidupmu, sehingga dengan sebab itu engkau menjadi penghuni
neraka, kekal di dalamnya. Na’udzubillahi min dzalik.
Namun,
targhib dan tarhib ini pun tidak berguna bagi Qabil. Sebab, setan telah
menguasai dan memenuhi hatinya dengan hasad dan dendam kepada
saudaranya. Akhirnya:
“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap remeh membunuh saudaranya.”
Hawa nafsunya membangkitkan keberaniannya, bahkan membuatnya memandang indah sehingga dia pun membunuhnya.
“Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.”
Dia menyesal karena tidak tahu apa yang harus diperbuatnya terhadap mayat saudaranya.
Itulah
kejahatan pertama dalam sejarah peradaban manusia. Pemicunya adalah
hasad. Jadi, hasad adalah kemaksiatan pertama yang dengan itu Allah Subhanahu wa ta’ala didurhakai di muka bumi.
Inilah salah satu pangkal terjadinya kekafiran di muka bumi.
Kisah
ini menunjukkan pula kepada kita bahwa setiap orang yang memperoleh
nikmat tentu akan menjadi sasaran kedengkian dari orang yang bersifat
dengki.
Seperti diungkapkan:
وَإِذا أَرادَ اللهُ نَشْرَ فَضيلَةٍ طُوِيَتْ
أَتـاحَ لَها لِسـانَ حَسـودِ
لَوْلَا اشْتِعَالُ النَّارِ فِيمَا جاوَرَتْ
مَا كَانَ يُعرَفُ طِيبُ عُرْفِ الْعَوْدِ
Dan jika Allah ingin tersebarnya keutamaan yang tergulung
Dia bentangkan untuknya lisan orang yang dengki
Kalau bukan karena nyala api pada apa yang di dekatnya
Niscaya tak akan dikenal harumnya kayu gaharu
Orang yang dengki itu, tidak ridha dengan qadha dan qadar Allah Subhanahu wa ta’ala serta pembagian-Nya.
Al-Hasan
Al-Bashri menasihatkan: ”Wahai Bani Adam (manusia), mengapa engkau
mendengki saudaramu? Kalau sesuatu yang diberikan kepadanya itu adalah
kemuliaan baginya, maka mengapa engkau dengki kepada orang yang
dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala? Dan kalau bukan, maka untuk apa engkau dengki kepada orang yang tempat kembalinya adalah neraka?” [3]
Orang yang dengki adalah musuh bagi kenikmatan yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan.
‘Aun
bin ‘Abdillah memberi nasihat kepada Al-Fadhl bin Al-Muhallab yang saat
itu menjadi gubernur Wasith: ”Hati-hatilah, jauhilah olehmu sifat
dengki. Karena yang mendorong anak Adam membunuh saudaranya adalah
ketika dia dijangkiti rasa dengki kepada saudaranya.”
Iri dan dengki adalah kezaliman. Karena dia mengharapkan hilangnya nikmat yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepada seseorang.
Dengki(4) ini asalnya diharamkan, kecuali pada dua tempat, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak
boleh dengki kecuali pada dua hal; seseorang yang Allah beri harta lalu
dipakai untuk dihabiskan di jalan al-haq; dan seseorang yang diberi
Allah hikmah lalu dia memutuskan dengan hikmah itu dan mengajarkannya. [5]
Dengki
adalah penyakit berbahaya yang pernah menjangkiti bangsa manusia
sebelum kita. Rasulullah halallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Telah
datang dan menyebar kepada kamu penyakit umat manusia sebelum kamu;
(yaitu) dengki dan kebencian; yang ini merupakan pencukur. Saya tidak
katakan dia mencukur rambut, tetapi mencukur agama. [6]
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa rukun kekafiran ada empat, yaitu:
- Kibr (sombong, merasa besar)
- Hasad (iri, dengki)
- Marah
- Syahwat [7]
Kibr ini, didefinisikan sendiri oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
“Kibr (sombong) artinya ialah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Bersemayamnya sifat ini di dalam diri seorang manusia akan menjadi penghalang baginya untuk tunduk.
Adapun
hasad yang artinya adalah keinginan agar lenyapnya kenikmatan yang
diperoleh orang lain, walaupun dia sendiri tidak memperolehnya. Sifat
ini akan menghalangi pemiliknya untuk menerima dan memberi nasihat.
Rasa marah akan menghalangi pemiliknya dari sifat adil dan tawadhu’. Sedangkan syahwat akan menghalangi pemiliknya dari ibadah.
Maka,
apabila kesombongan itu runtuh, mudahlah bagi seseorang untuk tunduk.
Jika sifat hasad ini lenyap niscaya mudahlah baginya menerima dan
memberi nasihat. Kemudian, apabila rasa marah ini runtuh, mudahlah dia
bersikap adil dan rendah hati (tawadhu’). Jika rukun syahwat ini juga
runtuh maka mudahlah baginya untuk bersabar, memiliki sifat ‘iffah
(menjaga kehormatan dirinya), lebur dalam ibadah.
Hancur
leburnya gunung-gunung dari tempatnya, lebih mudah dibandingkan
lenyapnya keempat pilar ini dari mereka yang diuji dengannya. Terlebih
lagi jika keempatnya telah menjadi watak atau kepribadian yang melekat
dan kokoh. Karena tidak akan mungkin lurus suatu amal dikerjakan jika
keempat hal ini bersemayam dalam hati seseorang. Jiwa tidak akan menjadi
suci dengan kekalnya keempat pilar ini.
Semakin
dia bersungguh-sungguh (ijtihad) dalam beramal, maka keempat rukun ini
justru merusak amalan tersebut. Bahkan seluruh kerusakan dan kekurangan
itu terlahir dari keempat perkara ini. Maka apabila keempatnya semakin
kokoh tertanam di dalam hati niscaya dia akan memperlihatkan kebatilan
sebagai suatu kebenaran, yang benar sebagai suatu kebatilan, yang ma’ruf
dalam bentuk kemungkaran, dan kemungkaran sebagai suatu yang ma’ruf.
Dunia memang semakin dekat kepadanya, tetapi akhirat semakin jauh
darinya.
Keempat rukun ini muncul dari kebodohan pemiliknya tentang Allah Subhanahu wa ta’ala (Rabbnya),
dan tentang keadaan dirinya. Sebab, kalau dia mengenal Rabbnya, melalui
sifat-sifat dan keadaan-keadaan-Nya Yang Maha Sempurna dan Maha Mulia,
mengenal pula keadaan dirinya yang penuh kekurangan, niscaya dia tidak
akan merasa besar (sombong, takabbur), marah dan tidak dengki kepada
siapapun terhadap apa yang telah Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya. Karena kedengkian itu hakikatnya merupakan salah satu bentuk permusuhan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala karena pelakunya tidak senang dengan nikmat Allah Subhanahu wa ta’ala tercurah kepada hamba-Nya padahal Allah Subhanahu wa ta’ala mencintainya. Lalu dia ingin nikmat itu lenyap dari orang tersebut, padahal Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menyukai hal itu. Ini berarti dia menentang Allah Subhanahu wa ta’ala dalam qadha dan qadar-Nya, cinta dan benci-Nya.
Karena itulah, hakikatnya iblis menjadi musuh Allah Subhanahu wa ta’ala Sebab, dosa yang dilakukannya berangkat dari sifat kibr dan hasad.
Maka untuk menumpas kedua sifat ini, adalah dengan mengenal Allah Subhanahu wa ta’ala
dan mentauhidkan-Nya, ridha kepada-Nya, dan senantiasa kembali
kepada-Nya. Sedangkan rasa marah, dicabut dengan mengenal keadaan jiwa
kita sendiri, bahwasanya dia tidak pantas serta tidak berhak marah dan
membalas karena pribadi. Karena hal itu berarti dia mementingkan dirinya
daripada Penciptanya. Sedangkan cara paling ampuh memperbaiki hal ini
adalah dengan mengembalikannya untuk merasa marah dan ridha karena Allah Subhanahu wa ta’ala semata.
Adapun
syahwat, obatnya adalah lurusnya ilmu dan ma’rifat. Setiap kali dia
membuka pintu syahwat ini, semakin terhalanglah dia dari ilmu dan
ma’rifat tersebut.
Terakhir, rasa marah.
Seperti binatang buas, jika pemiliknya melepasnya, niscaya dia akan
menerkam pemiliknya. Syahwat itu seperti api yang dinyalakan pemiliknya
lalu membakar segalanya. Sedangkan kesombongan (kibr) seperti
pemberontak yang menggulingkan seorang raja dari kekuasaannya. Kalau dia
tidak membinasakanmu, maka dia tentu mengusirmu dari dekatnya. Dan
hasad, seperti permusuhan yang kita lancarkan kepada orang yang lebih
kuat dan berkuasa daripada kita.
Orang
yang mampu mengalahkan syahwat dan rasa marahnya, niscaya setan pun
takut mendekati bayangan orang tersebut. Sebaliknya, orang yang
dikalahkan oleh syahwat dan rasa marahnya, maka dia justru takut kepada
bayangan khayalnya sendiri. Demikian uraian Ibnul Qayyim
Adapun
Qabil, semakin panik. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap
mayat saudaranya. Akhirnya dia memikul jenazah itu beberapa hari sampai
Allah Subhanahu wa ta’ala kirim dua ekor gagak, lalu salah satunya mengorek tanah untuk menutupi bangkai gagak lainnya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
Kemudian
Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk
memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan
mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, apakah aku tidak
mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat
saudaraku ini?” Karena itu, jadilah dia seorang di antara orang-orang
yang menyesal.
Di dalam kisah ini terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil, di antaranya:
1. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dan
siapa yang melakukan satu sunnah yang buruk lalu diamalkan (orang lain)
sepeninggalnya, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang
mengamalkan sunnah itu sepeninggalnya, tanpa mengurangi dosa mereka
sedikitpun. [8]
Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Tidak
ada satu pun jiwa yang terbunuh secara zalim melainkan atas Ibnu Adam
yang pertama bagian dari darahnya. Karena dialah yang mula-mula
melakukan sunnah (tuntunan/ contoh)pembunuhan. [9]
Karena itu pula Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Oleh
karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Al-Maidah: 32)
2. Kejinya tindak pembunuhan dan betapa besar hukumannya di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala, bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
(An-Nisa’: 93)
Di dalam hadits shahih, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh, lenyapnya dunia ini lebih ringan atas Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim. [10]
Karena Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan
dunia ini untuknya agar dia melintasinya menuju kampung akhirat dan
menjadikan dunia ini sebagai ladang. Sehingga, siapa yang melenyapkan
orang yang dunia ini diciptakan untuknya, berarti dia sedang berusaha
untuk melenyapkan dunia.
Di dalam sebuah hadits, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak
ada satu dosa yang lebih pantas disegerakan Allah hukumannya di dunia
bersamaan dengan apa yang Allah persiapkan untuk pelakunya di akhirat,
daripada kezaliman dan memutuskan silaturrahmi.[11]
Sementara
kedua dosa ini dilakukan oleh Qabil terhadap Habil. Dia melakukan
kezaliman dengan membunuh Habil saudara kandungnya serta memutuskan
silaturrahmi.
3. Hasad (dengki) itu sudah ada dalam di dalam diri manusia.
Al-Hasan
Al-Bashri mengatakan: ”Tidak ada satu jasad pun melainkan ada hasad di
dalamnya.” Akan tetapi orang yang beriman tentu berusaha menjauhinya,
karena yakin akan kejelekannya.
Alangkah tepat ungkapan ini:
أَلاَ قُلْ لِمَنْ بَاتَ لِي حَاسِدًا
أَتَدْرِي عَلَى مَن أَسَأْتَ الْأَدَبَ
أَسَأْتَ عَلَى اللهِ سُبْحَانَهُ
لِأَنَّكَ لَمْ تَرْضَ لِي مَا وَهَبَ
Ingatlah, katakan kepada yang bermalam dalam keadaan hasad kepadaku
Tahukah engkau kepada siapa sesungguhnya engkau berbuat kejelekan?
Engkau berbuat jelek kepada Allah Subhanahu
Karena sesungguhnya engkau tidak ridha terhadap apa yang diberikan-Nya kepadaku
Memang, karena hal itu menunjukkan dia menentang qadha dan qadar Allah Subhanahu wa ta’ala, menyia-nyiakan dirinya serta benci kepada karunia Allah Subhanahu wa ta’ala yang diberikannya kepada seseorang.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Ataukah
mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah
telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan
Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya
kerajaan yang besar.” (An-Nisa’: 54)
4. Adanya cobaan di antara sesama saudara jika yang satu dilebihkan dari yang lain.
Inilah
yang menjadi salah satu penyebab kedengkian. Sebab lainnya di antaranya
hidup berdampingan, bertetangga, persaingan, berdampingan dalam segala
hal. Seorang pedagang kaki lima dengan pedagang lainnya. Salah satu dari
mereka dengki kepad Subhanahu wa ta’ala a lainnya. Begitu pula
wanita-wanita yang dimadu, dengki kepada madunya, kecuali mereka yang
dirahmati Allah . Kemudian cinta kedudukan, jabatan tinggi yang
diperebutkan oleh mereka yang berlomba meraihnya. Masing-masing dengki
kepada saingannya sehingga saingannya tidak berhasil menduduki jabatan
tersebut. Kedengkian inilah yang menjadi sebab kenifaqan ‘Abdullah bin
Ubai bin Salul.
Oleh karena itu, wajib atas setiap orang yang dihinggapi penyakit ini bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala
berlindung kepada-Nya ketika hawa nafsunya mendorongnya untuk berbuat
keji terhadap orang yang dihasadinya. Bahkan dianjurkan untuk dia banyak
melakukan kebaikan terhadap orang yang dihasadinya. Mudah-mudahan Allah
Subhanahu wa ta’ala melindungi kita dari penyakit yang
berbahaya ini. Membersihkan hati kita dari semua kekotorannya sehingga
kita bertemu dengan Allah Subhanahu wa ta’ala betul-betul dalam keadaan membawa hati yang selamat.
—————————————————
Catatan Kaki:
1
Penamaan Habil dan Qabil bagi kedua putra Adam ini, berasal dari
nukilan para ulama dari Ahli Kitab, dan tidak ada satu pun nash
Al-Qur’an menerangkannya, demikian pula sunnah yang tsabit (shahih).
Sehingga kita tidak bisa memastikannya begitu saja. Lihat ‘Umdatut
Tafsir Syaikh Ahmad Syakir (4/123). Tetapi untuk sekadar memudahkan kita
memahami alur cerita, kita sebut juga kedua nama tersebut, semoga
dimaklumi
2 Al-Qurthubi mengatakan:
“Ulama kita menyatakan bahwa dalam syariat kita dibolehkan untuk membela
diri, secara ijma’. Namun tentang wajib atau tidaknya, ada perbedaan
pendapat. Yang benar adalah wajib membela diri, karena di dalamnya
terkandung nahi munkar (melarang dari kemungkaran).” (ed)
3 Lihat Al-Lubab fi ‘Ulumil Kitab 7/282.
4 Dalam masalah ini, diistilahkan oleh ulama dengan ghibthah.
5 HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud.
6 HR. At-Tirmidzi dan lainnya, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Al-Irwa’ (2/290).
7 Lihat Al-Fawaid (hal. 174-176), dengan sedikit perubahan.
8 HR. Muslim
9 HR. Al-Bukhari (2/79) dan Muslim (3/1303).
10 HR. At-Tirmidzi dari Ibnu ‘Umar c, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5077.
11 HR. At-Tirmidzi dari Abu Bakrah z, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5704.
——————————————-
Sumber : Majalah Asy Syariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar