oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
Jika
kita merenungi kehidupan manusia, maka kita akan menemukan bahwa
sebagian manusia ada yang memiliki watak dan tabiat buruk yang mirip
dengan hewan yang berwatak buruk, misalnya anjing, keledai, monyet.
Semua watak-watak buruk ini jika dimiliki oleh manusia, maka ia akan tercela. Anjing
–misalnya-, ia memiliki watak buruk. Jika ia kehausan, maka ia akan
senantiasa mengulurkan lidahnya, karena sangat mengharapkan makan dan
minum.
Itulah sebabnya Allah mencela suatu kaum yang berwatak anjing dalam firman-Nya,
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ
نَبَأَ الَّذِي آَتَيْنَاهُ آَيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ
الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ
بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ
تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا
بِآَيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (176) سَاءَ
مَثَلًا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا وَأَنْفُسَهُمْ
كَانُوا يَظْلِمُونَ (177) [الأعراف/175-177]
“Dan bacakanlah kepada mereka
berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami
(pengetahuan tentang isi Al Kitab), Kemudian dia melepaskan diri dari
pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda).
Karenanya, jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami
menghendaki, sesungguhnya Kami akan tinggikan (derajat)nya dengan
ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa
nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya seperti anjing;
jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu
membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. Amat
buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan
kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zhalim”. (QS. Al-A’raaf :
175-177)
Inilah perumpamaan orang-orang yang amat cinta kepada dunia.
Mulut dan perutnya tak akan penuh dan puas sampai tanah yang mengisinya
di dalam kubur. Orang yang rakus dunia akan selalu mengharapkan dunia,
walaupun sudah diberi kecukupan dan kelebihan, sehingga ia pun akan
terus meminta kekayaan yang akan mencelakakan dirinya dan menjadi beban
pertanggungjawaban baginya di akhirat. Jika tak diberi ia berburuk
sangka kepada Allah.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,لَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ“Andai anak cucu Adam memiliki sebuah lembah emas, maka ia menginginkan agar ia memiliki dua lembah emas. Tak ada yang bisa memenuhi (menutupi) mulutnya, kecuali tanah (kuburan). Allah akan memberikan tobat kepada orang yang bertobat”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Ar-Riqoq (no. 6439), dan At-Tirmidziy dalam Az-Zuhd (2337)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata usai membawakan beberapa hadits yang semakna dengan hadits di atas dari sahabat yang berbeda, “Di
dalam hadits-hadits yang ada dalam bab ini terdapat celaan terhadap
sikap rakus dan serakah pada harta. Dari sinilah mayoritas salaf lebih
mengutamakan untuk mengambil sedikit (seadanya) dari dunia, merasa cukup
dengan harta yang sedikit, dan ridho terhadap sesuatu ala kadarnya”. [Lihat Fathul Bari (11/310), cet. Darus Salam]
Para pembaca yang budiman, hewan lain yang memiliki sifat dan watak buruk adalah keledai (الحِمَارُ),
yaitu sifat bodoh. Lantaran itu, para pendeta dari kalangan Yahudi
diperumpamakan dengan “keledai” untuk menunjukkan kebodohan mereka.
Sebab, mereka itu membawa dan mengemban Taurat dan Zabur, namun mereka
tidak mengambil manfaat dari. Justru kitab-kitab suci menjadi beban yang
membuat mereka celaka di akhirat.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ [الجمعة : 5]“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim”. (QS. Al-Jumu’ah : 5)
Mereka diperumpamakan
demikian, karena mereka tidak mau mengamalkan isinya, antara lain tidak
membenarkan Al-Qur’an dan kedatangan Muhammad -Shallallahu alaihi wa
sallam-.
Penghulu para ahli tafsir, Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobariy -rahimahullah- berkata,
“Perumpamaan orang-orang
yang diberi Taurat dari kalangan Yahudi dan Nasrani; mereka dipikulkan
(dibebankan) untuk mengamalkannya, namun mereka tak mengamalkannya.
Mereka tak mengamalkan
sesuatu yang terdapat di dalamnya dan mendustakan Muhammad -Shallallahu
alaihi wa sallam-. Padahal mereka sungguh telah diperintahkan untuk
beriman kepada beliau sebagaimana dalam Taurat, mengikutinya dan
membenarkannya. (Mereka itu) laksana keledai yang membawa kitab-kitab
ilmu di atas punggungnya; keledai itu tak mengambil manfaat dengannya
dan tidak mengerti sesuatu yang terdapat di dalamnya. Demikian pula
halnya orang-orang yang diberi Taurat, yang di dalamnya terdapat
penjelasan tentang urusan (agama) Muhammad -Shallallahu alaihi wa
sallam-, mereka mirip keledai, jika mereka tak mengamalkan sesuatu yang
terdapat dalam Taurat. Perumpamaannya seperti keledai yang memikul
kitab-kitab tebal yang di dalamnya terdapat ilmu. Keledai tidaklah
mengerti Taurat dan tak mengambil manfaat padanya”. [Lihat Jami' Al-Bayan (23/377)]
Diantara sifat keledai yang
tercela, ia memiliki suara yang tinggi dan memekik serta buruk didengar.
Allah -Ta’ala- melarang kaum mukminin dari mengangkat suara dalam
berbicara agar tidak menyerupai keledai yang demikian keadaannya.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ [لقمان : 19]
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai“. (QS. Luqman : )
Al-Mubarrid
-rahimahullah- berkata, “Tafsir ayat ini, bahwa mengeraskan suara
tidaklah terpuji dan bahwa ia masuk dalam kategori suara yang buruk”.
Ibnu Qutaibah
-rahimahullah- berkata, “Allah memberitahukan tentang buruknya
mengangkat suara dalam bercakap dan berbincang dengan suara buruk
keledai. Karena, suara keledai itu tinggi”.
Ibnu Zaid -rahimahullah- berkata, “Andaikan meninggikan suara itu adalah kebaikan, maka Allah tak akan menjadikan hal itu bagi keledai”.
Sufyan Ats-Tsauriy
-rahimahullah- berkata, “Teriakan segala sesuatu adalah tasbih
(penyucian) bagi Allah -Azza wa Jalla-, kecuali keledai. Sebab keledai
itu bersuara tanpa faedah”.[1]
Demikianlah Allah memberikan
perumpamaan dalam beberapa ayat tentang buruknya sebagian hewan,
sehingga kita tak dianjurkan mengikutinya.
Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jawziyyah -rahimahullah- berkata,
ومن الناس من طبعه طبع
خنزير يمر بالطيبات فلا يلوى عليها فإذا قام الإنسان عن رجيعه قمه وهكذا
كثير من الناس يسمع منك ويرى من المحاسن أضعاف أضعاف المساوىء فلا يحفظها
ولا ينقلها ولا تناسبه فإذا رأى سقطة أو كلمة عوراء وجد بغيته وما يناسبها
فجعلها فاكهته ونقله، ومنهم من هو على طبيعة الطاوس ليس له إلا التطوس
والتزين بالريش وليس وراء ذلك من شيء، ومنهم من هو على طبيعة الجمل أحقد
الحيوان وأغلظه كَبِدًا، ومنهم من هو على طبيعة الدب أبكم خبيث، وعلى طبيعة
القرد، وأحمد طبائع الحيوانات طبائع الخيل التي هي أشرف الحيوانات نفوسا
وأكرمها طبعا وكذلك الغنم وكل من ألف ضربا من ضورب هذه الحيوانت اكتسب من
طبعه وخلقه فإن تغذى بلحمه كان الشبه أقوى فإن الغاذي شبيه بالمغتذى، ولهذا
حرم الله أكل لحوم السباع وجوارح الطير لما تورث آكلها من شبه نفوسها بها
والله أعلم
Diantara manusia, ada yang tabiatnya seperti tabiat babi.
Ia mendapat makanan yang baik, tapi ia tidak mengutamakannya dan tidak
memperdulikannya. Bila manusia telah meninggalkan kotorannya, maka babi
itu segera menyapu bersih (memakannya sampai habis) kotoran itu.
Demikian halnya kebanyakan manusia. Bila ia mendengar dan mendengar
darimu banyak kebaikan, maka ia tidak memperhatikannya dan tidak
menyebarkannya. Tapi bila ia melihat kesalahan dan aibmu, seakan ia
telah menemukan barang cariannya dan sesuatu yang semisalnya. lalu ia
menjadikannya bagai buah yang segar dan ia pun menebarkannya.
Diantara manusia ada orang yang mirip perangai buruk merak. Tak urusannya, kecuali berhias dan bergaya dengan bulunya. Padahal tak ada sesuatu yang (bernilai) di balik itu semua.
Diantara manusia ada orang
mirip dengan unta, hewan yang paling pendendam dan keras hatinya.
Diantara manusia, ada orang yang mirip perangainya dengan beruang, bisu
lagi keji; dan mirip dengan kera (monyet).
Tabiat
hewan yang paling terpuji adalah tabiat kuda yang merupakan hewan yang
terpandang jiwanya dan termulia perangainya. Demikian pula halnya dengan
kambing. Setiap orang yang akrab dengan satu jenis diantara
jenis-jenis hewan ini, maka ia memperoleh tabiat dan kebiasaannya. Jika
ia memakan dagingnya, maka kemiripan (dengan tabiat hewan itu) akan
lebih kuat. Karena, orang memakannya akan mirip dengan sesuatu (hewan)
yang ia makan. Oleh karena inilah, Allah mengharamkan makan daging hewan
buas dan burung-burung pemangsa (predator), karena sesuatu yang
diwariskan oleh hewan-hewan itu bagi orang yang memakannya berupa
kemiripan dengan jiwa hewan-hewan itu.
Wallahu a’lam”.
[Lihat Madarij As-Salikin Baina Manazil Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (1/403) karya Ibnul Qoyyim, dengan tahqiq Muhammad Hamid Al-Faqi, cet. Dar Al-Kitab Al-Arobiy, 1393 H]
[1] Lihat keempat komentar ulama ini dalam Zaadul Masiir (5/108).
sumber: http://pesantren-alihsan.org/manusia-berwatak-hewan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar