Pembahasan
tentang niat terkait dengan ibadah ash-shaum terbagi menjadi dua pembahasan
:
1. Hukum
niat dalam shaum wajib, baik Ramadhan maupun shaum wajib lainnya seperti : shaum
qadha`, kaffarah, maupun nadzar.
2. Hukum
niat dalam shaum nafilah atau tathawwu’ (sunnah).
@ Untuk
jenis yang pertama, para ulama berijma’ bahwa niat shaum wajib dilakukan pada
malam hari, berdasarkan keumuman hadits shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab
radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى … [متفق
عليه]
Artinya
:
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung dengan niatnya, dan setiap
orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.” Muttafaqun ‘alaih
([1])
Kemudian
berdasarkan hadits dari shahabat Hafshoh dan shahabat Ibnu ‘Umar dengan lafazh
:
مَنْ لَمْ
يُبَيِتْ اَلصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِفَلاَ صِيَامَ لَهُ [رواه الخمسة]
Artinya
:
“Barang
siapa yang tidak berniat ash-shaum di malam hari sebelum terbitnya fajar maka
tidak ada shaum baginya.” H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad
([2])
Namun para
ulama’ berbeda pendapat dalam niat shaum Ramadhan : apakah cukup dilakukan di
awal bulan, atau harus dilakukan pada setiap malamnya.
Ada
beberapa pendapat, antara lain :
1. Jumhur
ulama berpendapat wajibnya niat di setiap malam bulan Ramadhan [3]), berdasarkan dalil-dalil di atas. Pendapat ini
dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa jilid 25 hal.
120, beliau berkata :
“Adapun pendapat ketiga : maka untuk shaum yang
bersifat wajib tidak sah kecuali dengan berniat pada malam harinya, berdasarkan
hadits Hafshoh dan Ibnu ‘Umar, karena seluruh waktu (sejak terbit fajar hingga
terbenam matahari) diwajibkan shaum padanya., sementara hukum niat (untuk hari
ini) tidaklah dapat mengikuti niat (untuk hari) yang telah berlalu. Sementara
shaum nafilah (sunnah) maka boleh baginya berniat dimulai pada siang hari,
sebagaimana ditunjukkan hadits : “Kalau begitu aku bershaum ” … Ini
adalah pendapat yang paling benar, dan pendapat ini merupakan pendapat Al-Imam
Asy-Syaafi’i dan Al-Imam Ahmad.”
2. Sebagian
ulama yang lain yaitu Al-Imam Malik, Al-Laits, Ash-Shan’ani, dan yang lainnya
berpendapat cukupnya sekali niat di awal bulan selama tidak terputus oleh ‘udzur
(halangan) seperti sakit atau safar. Jika terdapat halangan yang mengharuskan
dia berbuka pada salah satu hari bulan Ramadhan, maka wajib baginya untuk
memperbaharui niatnya. Pendapat ini dirajihkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
dalam Asy-Syarhul-Mumti’ jilid 6 hal. 369.
Perhatian : namun bagi orang
yang tidak mengetahui berita masuknya bulan Ramadhan kecuali pada siang hari,
maka boleh baginya memulai niat shaum pada siang hari. Kondisi ini adalah
kondisi yang diperkecualikan. Dalil yang menunjukkan atas hal itu adalah hadits
dari shahabat Salamah bin Al-Akwa’ radhiallahu ‘anhu :
بَعَثَ
رَسُولُ اللهِ r رَجُلاً مِنْ أَسْلَمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَأَمَرَهُ أَنْ
يُؤَذِّنَ فِي النَّاسِ : مَنْ كَانَ لَمْ يَصُمْ فَلْيَصُمْ، وَمَنْ كَانَ أَكَلَ
فَلْيُتِمَّ صِيَامَهُ إِلَى اللَّيْلِ.
Artinya
:
“Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam mengutus seserang dari Aslam pada Hari ‘Asyura, maka
beliau memerintahkannya untuk mengumumkan kepada khalayak : ‘Barangsiapa yang
sebelumnya tidak bershaum maka hendak bershaum (mulai sekarang), barangsiapa
yang sebelumnya sudah makan, maka hendaknya ia menyempurnakan shaumnya hingga
malam.” [4])
Bentuk pendalilan dari hadits di atas adalah :
adanya kesamaan hukum shaum ‘asyura -yang kala itu masih bersifat wajib atas
kaum muslimin- dengan shaum Ramadhan. Sehingga hukum memulai niat shaum pada
siang hari bagi yang belum mendengar berita tentang masuknya shaum Ramadhan
adalah boleh dan sah, sebagaimana boleh dan sahnya pada shaum ‘asyura kala itu.
Pendapat di atas adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Pendapat
Syaikhul Islam di atas, diikuti pula oleh Ibnul Qayyim dalam Tahdzibus
Sunan dan Zadul Ma’ad dan Asy-Syaukani dalam
Nailul Authar.
Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam
Ash-Shahihah. [5])
Jika telah
diketahui hukum di atas, perlu diketahui bahwa hukum tersebut juga berlaku bagi
anak kecil yang baligh di siang hari Ramadhan, atau seorang gila yang sadar, dan
seorang kafir yang masuk Islam pada siang hari Ramadhan. Bagi mereka semua boleh
untuk memulai niat shaum Ramadhan pada siang hari, dan sah shaum mereka tanpa
harus mengqadha` (mengganti) pada hari lain. [6])
Kalau ada yang mengatakan bahwa, pada peristiwa
shaum ‘asyura Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan pihak-pihak
yang memulai niat shaumnya pada siang hari untuk mengqadha’ pada hari lain,
sebagaimana dalam hadits dari shahabat Salamah bin Al-Akwa’ yang diriwayatkan
oleh Al-Imam Abu Dawud dengan lafazh :
أَنَّ
أَسْلَمَ أَتَتِ النَّبِيَّ e فَقَالَ : (( صُمْتُمْ يَوْمَكُمْ هَذَا؟
)) قَالُوا : لا. قَالَ : (( فَأَتِمُّوا بَقِيَّةَ
يَوْمِكُمْ وَاقْضُوهُ ))
قَالَ أَبُو
دَاوُد : يَعْنِي يَوْمَ عَاشُورَاءَ
Artinya
:
Bahwa Aslam
datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam , beliau bersabda : “Apakah
kalian bershaum pada hari ini?” para shahabat menjatab : ‘Tidak.’ Beliau
bersabda : “Maka sempurnakanlah shaum pada sisa hari ini, kemudian qadha’ (pada
hari lain)!”
Al-Imam Abu
Dawud menerangkan : yaitu para hari ‘Asyura. [7]
Maka jawabannya adalah :
Hadits
dengan riwayat Abu Dawud di atas adalah hadits yang lemah. Sebagaimana
ditegaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dha’if Sunan Abi Dawud. Bahkan dalam
Adh-Dha’ifah beliau menegaskan bahwa hadits di atas dengan lafazh seperti itu
adalah hadits yang munkar. [8])
3 Sementara
hukum niat pada jenis shaum yang kedua, yaitu shaum nafilah atau sunnah, tidak
wajib dilakukan pada malam hari. Maksudnya, apabila seseorang memulai niat shaum
sunnah pada pagi atau siang hari maka boleh dan sah shaumnya. Dalam hal ini ada
beberapa dalil, di antaranya : hadits dari shahabat ‘Aisyah radhiallahu
‘anha:
عَنْ
عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ لِي رَسُولُ
اللهِ r ذَاتَ يَوْمٍ : (( يَا عَائِشَةُ، هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟
)) قَالَتْ : فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ؛ قَالَ
: (( فَإِنِّي إذن صَائِمٌ ))
Dari
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata : Rasulullah bersabda kepadaku pada suatu
hari : “Wahai ‘Aisyah, Apakah kamu memiliki sesuatu? Aku menjawab : ‘Saya tidak
memiliki apa-apa wahai Rasulullah.’ Beliau berkata : “Kalau begitu aku
bershaum.” [9]
Dalam
riwayat An-Nasa`i dengan lafazh :
(( هَلْ عِنْدَكُمْ غَدَاءٌ ))
“Apakah
kamu memiliki makan siang?” [10]
Perhatikan
lafazh : (( فَإِنِّي إذن صَائِمٌ )) lafazh ini menunjukkan
bahwa beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memulai niat shaum sunnah pada siang
hari. Hal ini lebih dipertegas oleh riwayat An-Nasa`i, karena makanan yang
beliau minta adalah Al-Ghada` yaitu makan siang.
Atas dasar
itu, Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim meletakkan sebuah bab yang
berjudul :
باب جواز
صوم النافلة بنية من النهار قبل الزوال وجواز فطر الصائم نفلا من غير عذر
Bab
: tentang bolehnya shaum Nafilah dengan niat mulai siang hari sebelum
tergelincirnya Matahari, dan bolehnya berbuka bagi orang yang bershaum nafilah
tanpa ada ‘udzur.
Mungkin saja akan ada yang mengatakan bahwa
sebenarnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah melakukan niat untuk
bershaum sejak malam harinya, namun ketika siang hari beliau kelelahan dan
merasa tidak kuat untuk melanjutkan shaum sehingga beliau bertanya kepada
istrinya apakah ada makanan. Namun setelah dijawab bahwa tidak didapati makanan,
maka beliau melanjutkan shaumnya.
Menjawab pernyataan di atas, Al-Imam An-Nawawi
menegaskan dalam syarh Muslim dengan mengatakan : bahwa penakwilan semacam di
atas adalah bentuk penakwilan yang salah dan terlalu dipaksakan.
Dalam kitab
Syarh Al-Iqna’ diterangkan bahwa tempat niat adalah hati maka
barang siapa yang terbetik dalan hatinya untuk bershaum di keesokan harinya maka
telah berniat dan cukup makan dan minum (ketika sahur) sebagai niatnya. ([11])
Dengan
demikian melafadzkan niat dengan lisan tidak disyari’atkan dalam Islam, baik
dilakukan secara berjamaah atau furada (sendiri-sendiri). Perbuatan ini adalah
bid’ah yang munkar yang sudah tersebar di kalangan kaum muslimin dan wajib untuk
ditinggalkan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak pernah
melakukannya, tidak pula para Al Khulafaur Rasyidiin radhiyAllahu ‘anhum.
[1] Al-Bukhari hadits no. 1 dan Muslim hadits
no.1097
[2] Abu Daud Kitabush Shiyaam, bab 71, hadits
no. 2454, Shohih Sunan Abi Daud hadits no. 2454 . Hadits ini masih
diperbincangkan di kalangan ‘ulama dalam hal marfu’ atau mauqufnya. Al-Imam Al
Al-Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Daud, Abu Hatim, dan Al-Baihaqi
menguatkan bahwa hadits ini adalah mauquf serta Asy-Syaikh Muqbil bin hadi Al
Wadi’I dalam kitabnya Ijabatus Sa’il hal.175 soal no. 102 menyatakan :”…hadist
ini adalah Muthorib sehingga tidak bisa dijadikan sebagi hujah. Sedangkan
Al-Hakim, Ibnu Hazm, Abdul Haq, Ibnul Jauzi, dan As-syaukani menguatkan bahwa
hadits ini adalah marfu’serta di shohihkan oleh Asy-Syaikh Al Albani dalam
kiabnya .Al Irwa’ jilid 4 hal. 25-30 hadist no. 914 - 915.
[3] Lihat Fathul Bari
syarh hadits no. 1924.
[4] HR. Muslim 1135
[5] Lihat Ash-Shahihah
VI/251-254; penjelasan hadits no. 2624.
[6] Ibid.
[7] HR. Abu Dawud 529.
[8] Lihat Dha’if Sunan Abi Dawud
no. 529, Adh-Dha’ifah no. 5199.
[9] Muslim 1154
[10] An-Nasa`i 2324, Asy-Syaikh Al-Albani v
berkata dalam Shahih Sunan An-Nasa`i : Hasan
Shahih
[11] Taudhiihul Ahkaam jilid 4 hal. 141.
sumber: www.assalafy.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar