Awal
turunnya kewajiban shaum Ramadhan adalah pada bulan Sya’ban tahun kedua
Hijriyah, atas dasar ini para ulama berijma’ bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam menunaikan ibadah shaum Ramadhan selama
hidupnya sebanyak sembilan kali. ([1])
Ibnul
Qayyim mengatakan dalam Zadul Ma’ad, bahwa difardhukannya
shaum Ramadhan melalui tiga tahapan :
1.
Kewajibnya yang bersifat takhyir (pilihan).
2.
Kewajiban secara Qath’i (mutlak), akan tetapi jika seorang
yang shaum kemudian tertidur sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan dan
minum sampai hari berikutnya.
3.
Tahapan terakhir, yaitu yang berlangsung sekarang dan berlaku
sampai hari kiamat sebagai nasikh (penghapus) hukum
sebelumnya.([2])
Tahapan awal berdasarkan firman Allah I :
(وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ( البقرة: ١٨٤
Artinya
:
” Dan wajib
bagi orang yang berat untuk menjalankan ash-shaum maka membayar fidyah yaitu
dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barang siapa yang
dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu maka itulah yang lebih baik baginya
dan jika kalian melakukan shaum maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian
mengetahuinya.” [Surat Al-Baqarah 184]
Berkata
Al-Hafizh Ibnu Katsir :
“Adapun
orang yang sehat dan mukim (tidak musafir-pen) serta mampu menjalankan ash-shaum
diberikan pilihan antara menunaikan ash-shaum atau membayar fidyah. Jika mau
maka dia bershaum dan bila tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan memberi
makan setiap hari kepada satu orang miskin. Kalau dia memberi lebih dari satu
orang maka ini adalah lebih baik baginya.”([3])
Ibnu ‘Umar
[L] ketika membaca ayat ini فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mengatakan : “bahwa ayat
ini mansukh (dihapus
hukumnya-pen)”.([4])
Dan atsar
dari Salamah ibnu Al-Akwa’ tatkala turunnya ayat ini berkata :
“Barangsiapa hendak bershaum maka silakan bershaum dan jika tidak
maka silakan berbuka dengan membayar fidyah. Kemudian turunlah ayat yang
berikutnya yang memansukhkan (menghapuskan) hukum tersebut di atas.” ([5])
Secara
dhahir, ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
mansukh (dihapus) hukumnya
dengan ayat فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
sebagaimana pendapat jumhur ulama ([6]).
Tetapi
dalam sebuah atsar Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata :
“Ayat ini
bukanlah mansukh melainkan rukhshoh (keringanan) bagi orang tua (laki-laki
maupun perempuan) yang lemah supaya memberi makan seorang miskin untuk setiap
harinya.” ([7])
Berkata
Al-Hafizh Ibnu Katsir :
“Kesimpulan
bahwa mansukhnya ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ adalah benar yaitu khusus bagi orang yang sehat lagi mukim dengan
diwajibkannya ash-shaum atasnya. Berdasarkan firman Allah فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه Adapun orang tua yang lemah dan tidak mampu bershaum maka
wajib baginya untuk berifthor (berbuka) dan tidak ada qadha` baginya”.([8])
Dan
inilah tahapan kedua. Tetapi jika seseorang bershaum kemudian tertidur
di malam harinya sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan, minum dan jima’
sampai hari berikutnya.
Tahapan ini
kemudian mansukh (dihapuskan) hukumnya berlandaskan hadits Al Barra’ t:
كَانَ
أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ rإِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ
فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى
يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا
حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟
قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ - وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ
فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ اِمْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ :
خَيْبَةً لَكَ ! فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ
لِلنَّبِي rفَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ : )أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ
الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ( فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ
)وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ( [رواه البخاري وأبو
داود]
Artinya
:
“Dahulu
Shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara
mereka shaum kemudian tertidur sebelum dia berifthar (berbuka) maka dia tidak
boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu
berbuka lagi. Dan (salah seorang shahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al Anshory
dalam keadaan shaum, tatkala tiba waktu berbuka, datang kepada istrinya dan
berkata : apakah kamu punya makanan ? Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan
kucarikan untukmu (makanan).” - dan Qois pada siang harinya bekerja berat
sehingga tertidur (karena kepayahan)- Ketika istrinya datang dan melihatnya
(tertidur) ia berkata : ” Rugilah Engkau (yakni tidak bisa makan dan minum
dikarenakan tidur sebelum berbuka- pen) !” Maka ia pingsan di tengah harinya.
Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam, maka turunlah ayat :
)أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ(
“Telah
dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan shaum (Ramadhan) untuk berjima’
(menggauli) istri-istri kalian.”
dan para
shahabat pun berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu :
)وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ(
“Dan makan
serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar.”
[1] Lihat Kitab Taudhiihul Ahkam, Kitabush
shiyam Jilid 3 hal 123 (secara makna).
[2] Lihat Zadul ma’ad kitabus shiyam jilid 2 hal.20
[3] Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, hal. 180 (Surat
Al-Baqarah ayat 184)
[4] Al-Bukhari Kitabut Tafsiir hadits
no.4506.
[5] Al-Bukhari Kitabut Tafsir hadits no.4507;
Muslim Kitabush Shiyam hadist no. 149 - [
1145 ] dan Abu Dawud Kitabush Shiyam, bab 2, hadist
no.2312
[8] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (II/281) dalam
menafsirkan QS Al-Baqarah : 183 -185.
Peny :
Sehingga dengan ini, ayat (…وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ) masih
tetap berlaku hukumnya orang yang lanjut usia dan tidak mampu untuk
bershaum, dengan cara membayar fidyah. Namun bagi orang yang muda belia
yang muqim (tidak musafir) tetap wajib atasnya ash-shaum.
[9] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1915
dan Abu Dawud Kitabush Shiyaam, bab 1, hadits no. 2311.
sumber: www.assalafy.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar