Adab-Adab Puasa (3)
(selesai)
Ketujuh, Menjauhi semua perkara yang bisa menghalangi
terealisasinya tujuan dari puasa itu sendiri, yakni orang yang berpuasa menjaga diri dari
semua perkara yang dilarang oleh syari’at berupa ucapan-ucapan kotor,
perbuatan-perbuatan buruk yang diharamkan dan dibenci pada semua waktu terutama
pada bulan Ramadhan, yang kejelekan tersebut akan semakin besar
jika dilakukan oleh orang yang berpuasa. Oleh karena itulah
wajib bagi orang yang berpuasa untuk menahan lisannya dari ucapan yang tidak ada
kebaikan sama sekali padanya, seperti dusta, ghibah, namimah
(adu domba), celaan, pertengkaran, dan pemanfaatan waktu yang sia-sia untuk
mendendangkan syair-syair, mengobrol pada malam hari, membikin tertawa yang
tidak ada manfaatnya, pujian dan celaan yang tidak pantas. Sebagaimana
diwajibkan juga bagi orang yang berpuasa untuk menjaga pendengarannya dari
mendengar ucapan-ucapan yang tidak baik tersebut dan dari segala sesuatu yang
kotor dan tercela menurut syari’at.
Seorang yang berpuasa hendaknya bersungguh-sungguh untuk menahan jiwa
dan badannya dari segala bentuk syahwat dan sesuatu yang diharamkan, seperti
menundukkan pandangan, membatasi pandangan dari melihat
sesuatu yang tercela dan dibenci, menjauhkan anggota-anggota badan yang lain
dari terjerumus dalam perbuatan dosa, tidak menjulurkan tangannya untuk perkara
yang batil, tidak pula melangkahkan kakinya kepada perkara yang batil, tidak
makan kecuali makanan yang baik dan tanpa berlebihan agar terputus hawa nafsunya
dan agar menguatkan penjagaan terhadap setan dan bala tentaranya, dan bersamaan
dengan itu -setelah berbuka dan setelah mengerjakan seluruh ibadahnya- hatinya
tetap senantiasa berada pada sikap antara berharap agar puasanya diterima dan
dia menjadi orang-orang yang didekatkan kepada Allah, dengan perasaan takut
puasanya tidak diterima yang menjadikan dia termasuk orang-orang yang
dimurkai.
Tentang permasalahan di atas telah disebutkan dalam beberapa dalil yang
memperingatkan orang yang berpuasa dari kejelekan lisan dan anggota badan. Di
antara dalil-dalil tersebut adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi
wasallam
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ
بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang tidak mau meninggalkan perkataan kotor ataupun
perbuatan keji, maka Allah tidak butuh kepada upaya dia untuk meninggalkan makan
dan minumnya. (HR. Al-Bukhari)
Bukanlah yang dimaksudkan dalam pensyariatan puasa itu adalah menahan
lapar dan dahaga itu sendiri, akan tetapi yang dimaukan dari ibadah puasa adalah
apa yang ada di balik itu semua, yaitu pemutus syahwat dan tunduknya
hawa nafsu yang senantiasa memerintahkan kepada kejelekan menjadi jiwa
yang tunduk dan patuh, oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
alihi wasallam bersabda :
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ
الجُوعُ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ
Berapa banyak seorang yang berpuasa akan tetapi dia tidak
mendapatkan apa-apa dari puasanya tersebut kecuali hanya rasa lapar saja, dan
berapa banyak seorang yang shalat malam akan tetapi dia tidak mendapatkan
apa-apa dari shalat malamnya tersebut kecuali hanya sebatas begadangnya saja.
(HR. Ibnu Majah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani)
Puasa itu hakikatnya adalah menahan
perutnya dari makanan, anggota badannya dari perbuatan dosa, lisannya dari
perkataan keji dan jelek, pendengarannya dari perkataan jelek, kemaluannya dari
perbuatan keji, dan pandangannya dari melihat sesuatu yang haram. Apabila
berbicara, hendaklah tidak berbicara dengan sesuatu yang bisa merusak puasanya,
dan jika berbuat tidaklah ia berbuat dengan sesuatu yang bisa merusak puasanya.
Perkataannya adalah perkataan yang bermanfaat dan perbuatannya adalah perbuatan
yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam
bersabda :
قَالَ اللَّهُ تعالى: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ
لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِى، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ. وَالصِّيَامُ
جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ،
فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ، أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى امْرُؤٌ
صَائِمٌ
Allah ta’ala berfirman: Setiap amalan anak Adam itu untuk dirinya
sendiri kecuali ibadah puasa, karena puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendirilah
yang akan membalasnya. Puasa itu adalah perisai. Apabila suatu hari salah
seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan onar.
Apabila ada sesorang yang mencelanya atau memusuhinya maka hendaklah ia berkata
: ‘Ssesungguhnya aku sedang berpuasa.’ (Muttafaqun
‘Alaihi)
Pada
hadits yang lainnya dengan lafadz
لاَ تُسَابَّ وَأَنْتَ صَائِمٌ، فَإِنْ سَابَّكَ
أَحَدٌ فَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ، وَإِنْ كُنْتَ قَائِماً فَاجْلِسْ
Janganlah engkau mencela dalam keadaan engkau berpuasa. Jika ada
seseorang yang mencelamu maka katakanlah: sesungguhnya aku sedang berpuasa, dan
jika engkau sedang berdiri maka duduklah. (HR. Ibnu
Khuzaimah, Asy Syaikh Al Albani berkata: shahih)
Terkadang seseorang yang berpuasa tidak mendapatkan pahala walaupun dia
merasakan letih karena lapar dan haus. Hal ini disebabkan karena ia tidak
menjalankan puasanya sesuai dengan yang dimaukan syariat, yaitu dengan cara
meninggalkan perkara-perkara yang dilarang. Karena pahala puasa terkurangi
dengan sebab perbuatan maksiat, meskipun puasanya tersebut tidak batal kecuali
dengan sebab-sebab yang bisa membatalkan puasa. Pada hadits-hadits di atas ada
dorongan bagi yang berpuasa untuk memaafkan kesalahan orang-orang yang berbuat
salah padanya dan melupakan kejelekan orang-orang yang pernah berbuat jelek
padanya.
—-
Kedelapan, Menyiapkan (menjamu) hidangan berbuka bagi yang
berpuasa, dalam rangka mencari pahala seperti pahala yang
didapatkan orang-orang yang berpuasa tersebut. Telah shahih hadits yang
menyebutkan tentang keutamaan ini dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa alihi wa sallam
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ
أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَمْ يَنْقُصْ مَِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ
شَيْئًا
Barang siapa menjamu untuk berbuka bagi seorang yang berpuasa, maka
baginya pahala seperti pahala orang yag berpuasa tadi tanpa mengurangi
sedikitpun pahala orang yang berpuasa itu. (HR. At Tirmidzi, Ibnu
Majah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani)
—-
Kesembilan, Terus menjaga shalat malam dan melaksanakannya
secara berjama’ah. Selayaknya untuk terus bersemangat dalam
amalan ini dan tidak terlewatkan atau meninggalkanya karena hal ini akan
menyebabkan luputnya kebaikan yang banyak darinya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa alihi wasallam memotivasi para shahabatnya untuk melaksanakan
shalat malam ini meskipun beliau mewajibkannya. Beliau bersabda
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang menegakkan shalat malam pada bulan Ramadhan dengan
penuh keimanan dan mengharapkan dengannya pahala maka akan diampuni dosanya yang
telah lalu. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Terkhusus pada sepuluh malam terakhir yang padanya terdapat satu malam
yang lebih baik dari seribu bulan. Allah memberikan pada malam itu pahala yang
besar bagi yang menghidupkannya dan ampunan terhadap maksiat dan dosa yang telah
lalu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا
وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang menghidupkan (malam) lailatul qadr dengan penuh
keimanan dan mengharapkan dengannya pahala maka akan diampuni dosanya yang telah
lalu. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda
tentang keutamaan menegakkan shalat malam tersebut dengan berjama’ah
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا
صَلَّى مع الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ
لَيْلَةٍ
Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imam (berjama’ah) sampai
selesai maka akan dicatat baginya pahala shalat semalam penuh. (HR.
Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dishahihkan Asy-Syaikh Al
-Albani)
Maka
sepantasnya bagi seseorang yang berpuasa untuk bersemangat menjaga shalat malam
pada bulan Ramadhan secara berjama’ah agar tidak terhalangi darinya kebaikan
yang sangat besar dan pahala yang berlipat ini.
—-
Sebagai penutup,
sepantasnya bagi seorang muslim untuk memberikan perhatian terhadap perkara
agamanya, peduli terhadap perkara yang bisa memperbaiki dirinya sesuai dengan
tuntunan syariat guna mendapatkan manfaatnya. Terutama yang terkait dengan
rukun-rukun Islam dan pondasi-pondasi utamanya, termasuk ibadah puasa yang
merupakan ibadah yang berulang setahun sekali dalam kehidupan seorang
muslim.
Bagi
seorang muslim yang Allah berikan taufiq untuk berpuasa Ramadhan dan shalat pada
malam harinya, dengan penuh ikhlash dan mutaba’ah (meneladani tuntunan
dan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam), hendaknya ia
menutupnya dengan banyak beristighfar dan merasa dirinya banyak kekurangan di
hadapan Allah ta’ala. Dan istighfar (hendaknya dijadikan) penutup
setiap amalan dan semua bentuk ibadah, janganlah seorang mukmin terlena dengan
dirinya dan merasa bangga diri dengan amalannya, merasa dirinya bersih. Bahkan
wajib baginya untuk menyadari sedikit dan kurangnya amalan dia dalam menunaikan
hak Allah ta’ala, senantiasa dirinya dilingkupi perasaan antara apakah
amalannya itu diterima ataukah ditolak oleh Allah ta’ala. Oleh karena
itulah para salaf bersungguh-sungguh dalam menyempurnakan amalan dan
memantapkannya kemudian setelah itu mereka berharap agar amalannya diterima oleh
Allah ta’ala dan sekaligus takut jika amalannya tersebut tertolak.
Mereka itulah yang Allah ta’ala sifatkan
( يُؤْتُونَ
مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ )
Orang-orang yang melaksanakan apa yang mereka diperintahkan dalam
keadaan hati mereka takut. (Al Mu’minun: 60)
Yakni merasa takut (kalau-kalau amalannya tertolak) dan tidak merasa
aman dari ujian Allah, maka mereka -dalam keadaan takut amalannya tertolak-
banyak beristighfar dan bertaubat bersamaan dengan kesungguhan yang luar biasa
untuk beramal agar amalan mereka diterima, karena diterimanya amalan merupakan
tanda dari ketakwaan. Allah ta’ala berfirman
( إِنَّمَا
يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِين )
Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang
bertakwa. (Al Ma’idah: 27)
Apabila seorang munafiq gembira dengan usainya bulan Ramadhan sehingga
bisa bebas untuk melampiaskan syahwat dan berbuat maksiat yang selama satu bulan
mereka terhalangi untuk mengerjakannya, maka sesungguhnya seorang muslim
bergembira dengan usainya Ramadhan apabila dia berhasil menyempurnakan amalannya
dengan harapan mendapatkan pahala dan keutamaan-keutamaanya, kemudian
dilanjutkan dengan istighfar dan takbir serta ibadah yang lainnya.
Allah ‘azza wajalla telah memerintahkan untuk beristighfar
-yang ini merupakan syi’ar para nabi ‘alaihimussalam- dengan diiringi
tauhid. Seorang hamba itu sangatlah butuh terhadap keduanya (Istighfar dan
Tauhid) agar amalannya berada di atas tauhid dan baik dengan istighfar sebagai
bentuk pembersih amalannya dari sesuatu yang kurang atau dari berbagai bentuk
kesalahan. Dalam konteks penyertaan perintah untuk bertauhid dan beristighfar
ini Allah ‘azza wajalla berfirman :
( فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاّ اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
)
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak
diibadahi selain Allah dan beristighfarlah (mohonlah ampunan) untuk dosamu dan
untuk (dosa) kaum mukminin dan mukminat. Dan Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat kamu tinggal. (Muhammad: 19)
Dan
Allah ta’ala berfirmna tentang Nabi Yunus ‘alahis salam
( فَنَادَى فِي
الظُّلُمَاتِ أَن لاّ إِلَهَ إِلاَّ أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ
الظَّالِمِينَ )
Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: Bahwa tidak ada
Ilah yang berhak diibadahi selain Engkau. Maha suci Engkau, sesungguhnya aku
adalah termasuk orang-orang yang zhalim. (Al Anbiya’:
87)
Kita
memohon kepada Allah ta’ala agar Allah memberikan kita rizki berupa
kebaikan-kebaikan dan barakah bulan ini, dan memberikan pula rizki berupa
keutamaan-keutamaan dan pahala-pahalanya, dan kita memohon kepada-Nya agar tidak
mengharamkan kita dari beramal shalih pada bulan ini dan juga bulan-bulan yang
lainnya. Sebagaiman juga kita memohon kepada-Nya taufiq, istiqamah, diterimanya
amalan dan diampuninya segala kekurangan kita,
Alhamdulillahirabbil’alamin.
وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى
يوم الدين، وسلم تسليما.
أبو عبد المعز محمد علي
فركوس
(diterjemahkan dari mizah syahri Ramadhan wa fadha`ilish shiyam wa
fawa`idihi wa adabihi, Asy-Syaikh Muhammad ‘Ali Farkus. Diterjemahkan oleh
‘Abdullah Imam - dengan ada perubahan dan penambahan. Sumber http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=361066
)
www.assalafy.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar