|   Rukun  Nikah  |  
Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
 Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang  harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang  menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua  kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan  sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya  tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada  atau tidak lengkap.
 Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus  ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut.  Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan  bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat.  Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara  shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang  hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara  shalat.
 Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita  dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana  yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mu’tamad fi  Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)
 Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan  lebar, sementara ruang yang ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir  dalam permasalahan rukun dan syarat ini.
 Rukun nikah adalah sebagai berikut:
 1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan  terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi  keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang  yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan  penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang  lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan  dinikahinya seorang muslimah.
 2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali  atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan,  “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka  Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
 3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami  atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu  Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau  “Qabiltuha.”
 Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij  karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah  Subhanahu wa Ta'ala:
  فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا  زَوَّجْنَاكَهَا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya  terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha (Kami nikahkan engkau dengan  Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
 Dan firman-Nya:
  وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ  النِّسَاءِ
“Janganlah kalian menikahi (tankihu) wanita-wanita yang  telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`:  22)
 Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka dan lafadz inkah yaitu  ankahtuka. Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai  pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain.  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, demikian pula murid beliau Ibnul  Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa terjalin  dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan  lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang  diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat  jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab  Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab  qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul  Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38- 44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi,  2/283-284)
--------------------------------------------------------------------------------
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا إِنَّ السَّفِيْنَةَ لاَ تَجْرِي عَلىَ الْيَبَسِ
Kau dambakan keselamatan tapi engkau tak menempuh jalurnya. Sungguh bahtera tak kan pernah berlayar di daratan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar