Menimba Ilmu dari Ahli Bid’ah dan Berguru
Padanya
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Asy Syaikh Ibrahim bin Amir Ar
Ruhaily
Meskipun riwayat merupakan bagian dari mencari ilmu,
namun periwayatan memiliki hukum khusus. Maka para ulama ahli hadits hanya
mengacu pada kejujuran perawi tanpa melihat status lain, yang penting
muslim.
Sebab cara untuk memilah antara hadits shahih dengan
yang dhaif hanya dengan cara itu, sehingga sangat mungkin hadits dari ahli
sunnah tertolak karena pendusta. Terkadang riwayat ahli bid’ah ditolak untuk
menjaga sunnah atau menghalau kebid’ahan karena perawinya propagandis
kebid’ahan.
Adapun masalah mencari ilmu dari ahli bid’ah untuk
memahami penjelasan dan tafsir nash-nash serta menelusuri hukum-hukumnya,
berbeda dengan riwayat, bisa jadi masalah ilmu tidak mementingkan kejujuran ahli
id’ah. Hanya perlu diperhatikan pengaruh kebid’ahan kepada murid dan jenis ilmu
yang diajarkan.
Jika kita memperhatikan beberapa atsar dari para ulama
salaf, tampak jelas peringatan mereka dalam menuntut ilmu dari ahli
bid’ah.
Ali bin Thalib radiyallahu ‘anhu berkata, ”Lihatlah dari
mana kamu mengambil ilmu karena ilmu adalah agama.” (At Tankil, Al Khatib Al
Baghdadi, hal. 121). Pernyataan ini dinukil dari beberapa ulama salaf seperti
Ibnu Sirin Adh Dhahak bin Muzahim dan yang lain. (Lihat Syarh Shahih Muslim, vol
I, hal 14, Sunan Ad Darimi, vol. 1 hal 124).
Ibnu Umar radiyallahu anhuma berkata, ”Berhati-hatilah
terhadap agamamu, sebab dia adalah darah dagingmu. Lihatlah dari mana kamu
mengambilnya. Ambillah dari orang istiqomah dan janganlah mengambil dari orang
yang menyeleweng.” (Al Kifayah, hal 121).
Para sahabat dan tabi’in menekankan, agar kita mengambil
ilmu dari orang yang istiqamah bukan dari para penyeleweng, karena ilmu
dipelajari untuk diamalkan. Sedangkan ahli bid’ah tidak menanamkan kecuali
perkara bid’ah. Bisa jadi para murid terpengaruh, baik dari sisi ilmu maupun
pengalamannya. Sehingga sulit untuk diluruskan, apalagi bila belajarnya sejak
masa kecil.
Salah seorang ulama Amr bin Qais Al Mala’i berkata,
“Jika kamu melihat pemuda belajar sejak kecil kepada guru ahli sunnah
berharaplah, dan bila belajar kepada ahli bid’ah, maka anda akan putus harapan.”
(Al Ibanah Al Kubra, vol 1 hal 205 dan Al Ibanah Ash Shugra, hal.
133).
Ibnu Abdil Bar meriwayatkan pendapat Abdullah bin
Mas’ud, “Manusia akan selalu dalam keadaan baik selama mau mengambil ilmu dari
para pembesar mereka dan jika mereka mengambil dari Ashaghir dan buruk, mereka
pasti hancur.” (Jami’ Bayan al Ilmi, hal 248).
Yang dimaksud Ashaghir adalah ahli bid’ah seperti yang
diriwayatkan Ibnul Abdil Bar, bahwa Abdullah bin Mubarak ditanya, “Siapa
Ashaghir itu ?”. Ia menjawab,”Orang yang berbicara dengan ra’yu (nalar). Adapun
orang yang mengambil dari pembesar bukan termasuk Ashaghir.” (Jami’ Bayan al
Ilmi, hal 246).
Dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, Al Lalika’i
meriwayatkan perkataan Abdullah bin Mubarak, ”Ashaghir adalah ahli bid’ah.”
(Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, vol 1 hal 85).
Imam Asy Syatibi memberi komentar ucapan Ibnu Mubarak,
“Ashaghir lebih cocok untuk ahli bid’ah, karena keilmuan mereka sangat kerdil
sehingga mereka menjadi ahli bid’ah.” (Al I’thisam, vol. 2 hal
174).
Berdasarkan atsar dari Ibnu Mas’ud di atas, dilarang
mengambil ilmu dari ahli bid’ah karena bisa mendatangkan kerusakan. Fakta
membuktikan banyak orang hancur dan rusak akibat berteman dan menuntut ilmu dari
ahli bid’ah. Oleh karena itu, para ulama salaf sangat keras melarang duduk-duduk
dengan mereka, berteman dan mendengar riwayat dari mereka. Tidak diragukan lagi,
mengambil ucapan mereka penyebab utama kesesatan dan
kerusakan.
Ibnu Abdil Barr menukil perkataan Imam Malik, ”Tidak
boleh mengambil ilmu dari empat orang; orang yang sangat dungu, ahli bid’ah yang
mengajak kepada bid’ah, orang yang dikenal suka berdusta kepada manusia meskipun
tidak mendustakan hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, dan dari orang shalih
yang tidak tahu status hadits yang diriwayatkan.” (Jami’ Bayan Al Ilmi, hal
348).
Begitu juga para sahabat dan tabi’in serta para ulama
ahli sunnah melarang mengambil ilmu dari ahli bid’ah.
Imam an-Nawawi dalam menjelaskan macam-macam ghibah yang
mubah, ”Diantara ghibah yang mubah ketika seorang melihat orang alim sering
mengunjungi ahli bid’ah atau fasik untuk mengambil ilmu dan dikhawatirkan akan
memberi pengaruh buruk kepada orang alim tersebut, maka boleh bagi orang
tersebut memberi nasihat dengan mengungkapkan pribadinya dengan syarat hanya
untuk tujuan nasihat.” (Riyadhus Sholihin hal 350, Al Adzkar hal 304 dan Syarh
Shahih Muslim, hal 16 & hal 143).
Pernyataan Imam an Nawawi mengisyaratkan, larangan
mengambil ilmu dari ahli bid’ah, sehingga ketika ada seorang alim sering
berkunjung kepada seorang ahli bid’ah harus diperingatkan, meskipun dengan cara
ghibah.
Imam Adz Dzahabi berkata, ”Jika ada seorang ahli kalam
yang juga ahli bid’ah berkata: 'Jauhkan kami dari Al Quran dan As Sunnah dan
pakailah akal', maka ketahuilah dia adalah Abu Jahal. Bila ahli suluk berkata:
'Tinggalkan naql dan akal, pakailah dzauq (perasaan) dan wajd (misteri dalam
ibadah)', maka ketahuilah dia adalah iblis dalam bentuk manusia. Jika dia
mendekatimu, larilah atau perangi hingga kalah dan bacakanlah ayat kursi lalu
cekiklah.” (Siyar ‘Alam an Nubala vol 4, hal 472).
Fatwa ulama Syam, Mesir, dan Maroko, ”Para ulama
mujtahid berijma’ dilarang mengambil ilmu dari ahli bid’ah. Zina adalah dosa
besar, namun lebih ringan daripada orang yang bertanya tentang masalah agama
kepada ahli bid’ah.” (Fatawa Aimmah al Muslimin bi Qath’i al Lisan al Mubtadi’in
hal 131).
Fatwa ulama’ Maroko berbunyi, ”Setiap muslim harus
beramal sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah. Setiap orang yang benci sunnah
berarti kafir, maka harus dijauhi. Bila seorang ulama berbuat bid’ah harus
dijauhi dan tidak boleh diambil ilmunya karena akan merusak agama.” (Fatawa
Aimmah al Muslimin, hal 61).
Syaikh Salim al Hilali berkata, ”Ahli bid’ah yang
mengajak kepada bid’ah, berhak untuk mendapat sanksi agar tidak membahayakan
orang lain. Jika dia seorang mujtahid, paling tidak boleh diberi kedudukan dalam
agama serta tidak boleh diambil ilmu dan fatwanya.” (Al Bid’ah wa Atsaruha As
Sayyi’ fil Ummah, hal 51).
Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid berkata,
”Berhati-hatilah dengan seorang Abu Jahal dan ahli bid’ah yang berakidah sesat
dan tertutupi oleh khurafat, menggunakan hawa nafsu dan akal untuk mengubah nash
dan mengacak-acak hadits, sehingga Ibnu Mubarak menyebut mereka dengan sebutan
Ashaghir.” (Al Jami’ li Akhlaq Ar Rawi wa Adab as Sami’ vol 1 hal
72).
Jika kamu dalam keadaan normal, janganlah mengambil ilmu
dari Rafidhah (pengutuk Sahabat Rasulullah, red), Khawarij (penentang pemerintah
muslim, red), Murji’ah, Qadariyyah (Penganut kepercayaan ttg taqdir yang
menyimpang, red) atau Quburiyah (penyembah kuburan wali, red). Cukup banyak
pernyataan ulama agar ahli sunnah menjauhi ahli bid’ah. Wahai para pelajar,
jadilah orang yang bermanhaj salaf dan hati-hati terhadap fitnah ahli bid’ah.
Mereka menggunakan ungkapan yang manis, rayuan yang menawan dan keramat yang
penuh dengan tipuan. Namun semua sarat dengan kebid’ahan dan membutakan hati
serta jiwa. Ambillah ilmu dari ahli sunnah tanpa ragu-ragu, karena ilmu mereka
laksana madu dan pembawa harta waris para nabi.
Jadi, para ulama salaf telah membuat garis jelas tentang
larangan mengambil ilmu dari ahli bid’ah, karena bisa menjadi sumber bibit
fitnah dan kerusakan yang besar. (Hilyah Thalib al Ilmi, hal
28-30).
Maka ahli sunnah dilarang untuk mengangkat dan memberi
kepercayaan kepada ahli bid’ah untuk memegang lembaga pendidikan dan mengajar.
Karena mereka akan menebar kesesatan kepada anak didik dan mendukung mereka
untuk menyebarkan bid’ah ke tengah masyarakat.
Syaikh Hamud at Tuwaijiri berkata, ”Mengangkat ahli
bid’ah menjadi pengajar akan merusak anak didik dan dimanfaatkan untuk
menyebarkan aqidah sesat, sehingga akhlaq mereka rusak dan tidak mengindahkan
perintah dan larangan ALLAH.” (Tuhfah Al Ikhwan, hal 76).
Larangan di atas dalam keadaan normal. Namun boleh
menggunakan mereka dalam situasi darurat, seperti tidak ada yang mampu mengajar
spesialisasi ilmu tertentu kecuali ahli bid’ah dan untuk menjaga kemaslahatan
pendidikan, dengan catatan tetap waspada dan tidak menimbulkan bahaya yang lebih
besar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, ”Jika tidak mampu
menegakkan kewajiban penyebaran ilmu dan jihad kecuali harus menggunakan jasa
ahli bid’ah dan bahayanya lebih ringan daripada meninggalkan kewajiban tersebut,
maka boleh meminta bantuan kepada mereka. Namun bila sebaliknya, para ulama
berbeda pendapat.” (Majmu’ Fatawa vol 28 hal 212).
Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid berkata, ”Bila
beberapa kewajiban terlantar seperti pendidikan, jihad, kedokteran, arsitek dan
semisalnya dan tidak mampu terpenuhi kecuali harus menggunakan jasa ahli bid’ah
dan bahayanya lebih ringan daripada meninggalkan kewajiban tersebut, maka boleh
meminta bantuan kepada mereka. (Hajr al Mubtadi hal 46).
Anjuran ulama di atas lebih tertuju kepada para pemimpin
dan pihak yang berwenang. Umat, harus menaati para pemimpin dan pihak yang
berwenang serta tetap belajar kepada guru yang telah diangkat oleh pemerintah
dengan tetap berhati-hati dari para pengajar ahli bid’ah dan pengaruh buruk
mereka, tanpa harus keluar dari menaati pemimpin karena dampaknya lebih
buruk.
Syaikh Bakar Abu Zaid berkata, ”Apa yang saya sebutkan
di atas dalam keadaan normal, namun bila anda terikat dengan aturan pendidikan,
hendaklah anda tetap berhati-hati dan menjaga diri dari keburukannya dan waspada
atas segala syubhat. Ambillah yang bermanfaat dan tinggalkan apinya.” (Hilyah
Thalih al Ilmi hal 31).
Jadi, boleh bagi pemimpin menggunakan ahli bid’ah
sebagai pengajar dalam situasi terpaksa dan boleh memanfaatkan mereka pada
lembaga pendidikan ketika aman dari fitnah dan tidak mendatangkan kerugian lebih
besar.
Larangan mengambil ilmu dari ahli bid’ah ternyata
memiliki dua maksud :
Pertama : Dalam rangka menyelamatkan anak didik
dari aqidah yang rusak, sebab bisa saja mereka terpengaruh ucapan dan tingkah
laku pengajar dari kalangan ahli bid’ah.
Kedua : Bertujuan untuk memberi peringatan dan
sanksi kepada ahli bid’ah. Ini berlaku hanya khusus bagi propangandis bid’ah,
karena dia berhak untuk diberi peringatan agar sadar.
Syaikhul Islam berkata, ”Pendapat ini hakikatnya adalah
maksud dari pernyataan para ulama salaf yang melarang menerima kesaksian ahli
bid’ah, shalat di belakangnya, mengambil ilmu dari mereka dan melangsungkan
pernikahan dengan mereka sebagai sanksi agar kembali kepada Sunnah. Mereka
membedakan antara propagandis bid’ah dengan yang bukan, karena yang berhak
mendapat sanksi adalah ahli bid’ah yang menampakkan kebid’ahan. (Majmu’ Fatawa,
vol 28 hal 205).
Jika menjauhkan ahli bid’ah dari lembaga pendidikan
mengakibatkan kerugian lebih besar, maka tidak boleh menafikan kerugian kecil
dengan kerugian yang lebih besar. Suatu contoh ketika ahli bid’ah berkuasa, bila
tidak digunakan jasa mereka akan memberontak atau membuat kekacauan dalam
negeri. Maka sangat tidak menafikan kerugian kecil berupa perekrutan mereka
dengan kerugian yang lebih besar, yaitu tidak menggunakan jasa
mereka.
Apabila memanfaatkan jasa ahli bid’ah dalam proses
pendidikan tidak menimbulkan bahaya, misalnya mengajarkan mata pelajaran yang
bukan ilmu syar’i seperti ilmu kedokteran, ilmu bangunan, atau ilmu pembuatan
perangkat teknologi, karena mata pelajaran tersebut tidak membahayakan aqidah
anak didik, maka boleh menjadikan mereka sebagai pengajar materi
tersebut.
Mereka tidak dilarang mengajar mata pelajaran tersebut,
kecuali hanya untuk memberi sanksi bila dia propagandis bid’ah dan diharapkan
bisa sadar. Bila tindakan tersebut tidak bisa mengubah sikap ahli bid’ah, maka
harus tetap diberi kesempatan mengajarkan mata kuliah tersebut bila dua tujuan
di atas (memberi pengaruh negatif anak didik dan memberi sanksi) tidak
terwujud.
Dengan demikian tampak sikap ahlusunnah dalam mengambil
ilmu dari ahli bid’ah dan menggunakan jasa mereka dalam proses pendidikan, yang
didukung dengan pernyataan para ulama Salaf dan para Imam
sunnah.
Kesimpulan, para ulama salaf melarang mengambil ilmu
dari ahli bid’ah karena khawatir anak didik akan terpengaruh oleh pemikiran dan
gagasan para pengajar ahli bid’ah yang menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan
dan kehancuran. Atau larangan tersebut untuk memberi sanksi dan peringatan keras
kepada ahli bid’ah agar sadar dan kembali kepada Sunnah. Namun dalam keadaan
terpaksa, boleh menggunakan jasa mereka dalam proses pendidikan dengan syarat,
tidak ada pengajar mata kuliah tersebut selain dia dan dikhawatirkan akan timbul
kerugian yang lebih besar akibat meninggalkan ahli bid’ah dalam proses
pendidikan tersebut.
[Diambil dari kitab Mauqif Ahlus Sunnah wal Jamaah min
Ahlul Ahwa wal Bida', Edisi Indonesia Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid'ah,
Penulis Syaikh DR Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, Penerjemah Muhammad Ali Ismah
Al-Medany, Penerbit Pustaka Al- Ghuraba' Press]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar