Radio Muwahiddin

Senin, 21 September 2015

‘URWAH BIN AZ-ZUBAIR (bagian 1)

Teladan Dalam Kesabaran


Para pembaca yang berbahagia.

Sabar dan yakin terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala merupakan dua kunci sukses bagi seorang tuk meraih kepemimpinan di dalam agama ini, memimpin dan mengarahkan umat kepada jalan yang lurus sesuai dengan rambu-rambu agama yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Mereka itulah para ulama Rabbaniyyin -yang dengan kesabaran dan keyakinan mereka terhadap ayat-ayat Allah, telah berhasil memimpin umat dari generasi ke generasi untuk berpegang teguh dengan kitab Rabbnya dan sunnah Nabinya berdasarkan pemahaman as-salafush shalih.

Di antara tokoh ulama yang pantas untuk digelari imam yang berhasil memimpin dan membimbing umat menuju agama Allah adalah ‘Urwah bin az-Zubair rahimahullah. Kesabarannya yang luar biasa telah membuka jalan baginya untuk meraih kepemimpinan dalam agama ini. Ditambah ketinggian dan kekokohan ilmu yang dimilikinya, semakin menempatkan beliau kepada derajat ‘alim yang layak untuk diteladani.



Putra Sahabat Mulia ‘az-Zubair bin al-‘Awwam

Beliau adalah Abu ‘Abdillah ‘Urwah bin az-Zubair bin al-’Awwam bin Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay bin Kilab al-Qurasyi al-Asadi al-Madani.

Beliau adalah seorang tabi’in yang mulia, salah satu tokoh al-Fuqaha’ as-Sab’ah (tujuh tokoh ulama ahli fikih) yang masyhur dalam sejarah kaum muslimin, panutan umat, putra dari az-Zubair bin al-’Awwam radhiyallahu ‘anhu, salah seorang as-Sabiqunal Awwalun (para sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang pertama-tama masuk Islam).

Bersama dengan sembilan sahabat yang lain, Hawari (penolong) Rasululloh ini telah mendapatkan kabar gembira masuk ke dalam surga selagi mereka masih hidup di dunia.

Ibu beliau adalah Asma’ bintu Abi Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma, wanita mulia yang turut membantu persiapan ayahanda dan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam berangkat hijrah ke kota Madinah. Bermula dari sinilah beliau kemudian mendapatkan julukan Dzatun Nithaqain (yang memiliki dua ikat pinggang). Jadi, manusia terbaik setelah Rasululloh -yakni Abu Bakr ash-Shiddiq- adalah kakek beliau dari jalur ibu.

Beliau adalah adik kandung ‘Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma, salah seorang al-’Abadilah al-Arba’ah, dengan usia yang terpaut 20 tahun.

Adapun yang dimaksud dengan al-‘Abadilah al-‘Arba’ah adalah 4 sahabat muda -semuanya bernama ‘Abdullah- yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam sehingga keilmuan mereka pun sangat menonjol di kalangan para sahabat. Ayah-ayah mereka juga para sahabat yang memiliki kedudukan istimewa dalam Islam.

Mereka itu adalah
1. ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib,
2. ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab,
3. ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash, dan
4. ‘Abdullah bin az-Zubair bin al-’Awwam radhiyallahu ‘anhum.

Tentang mereka ini, seorang penyair mengatakan:

أَبْنَاءُ عَبَاسٍ وَعَمْرٍو وَعُمَرْ   وَابْنُ الزبَيْرِ هُمُ الْعَبَادِلَةُ الْغُرَرْ
Anak-anak ‘Abbas, ‘Amr, dan ‘Umar
Serta Ibnu az-Zubair mereka itu adalah al-’Abadilah yang terdepan.

Bibi beliau adalah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ibunda kaum mukminin. Dari beliaulah, keponakan yang saleh ini banyak menimba ilmu dan meriwayatkan hadits Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sehingga tidaklah mengherankan kalau kemudian ‘Urwah menjadi salah seorang tabi’in yang paling mengetahui hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, “Yang paling mengetahui hadits (yang diriwayatkan) ‘Aisyah adalah ‘Urwah, ‘Amrah, dan al-Qasim.”

Qabishah bin Dzu’aib mengatakan, “‘Urwah telah mengalahkan kami dalam masuknya beliau (untuk meriwayatkan hadits) dari ‘Aisyah, dan ‘Aisyah adalah orang yang paling berilmu.”

Beliau dilahirkan pada tahun ke-23 Hijriyyah pada masa kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan di kota Madinah. Al-Imam adz-Dzahabi menempatkan beliau pada posisi thabaqah yang kedua, thabaqahnya para tokoh besar tabi’in.

Keilmuan, Ibadah Dan Akhlak

Beliau sempat meriwayatkan hadits dari ayahnya, namun hanya sedikit. Dan juga meriwayatkan hadits dari Sa’id bin Zaid, ‘Ali bin Abi Thalib, Jabir, al-Hasan, al-Husain, Muhammad bin Maslamah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari, al-Mughirah bin Syu’bah, Usamah bin Zaid, Mu’awiyah, ‘Amr bin al-’Ash, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, Hakim bin Hizam, ‘Abdullah bin ‘Umar, dan yang lainnya.

Beliau juga menimba ilmu dari para sahabiyah (sahabat wanita) di antaranya adalah Asma’ bintu Abi Bakar ash-Shiddiq -ibunya sendiri-, ‘Aisyah Ummul Mu’minin -bibi beliau-, Asma’ binti ‘Umais, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Ummu Hani’, Ummu Syarik, Fathimah bintu Qais, Dhuba’ah bintu az-Zubair, Busrah bintu Shafwan, Zainab bintu Abi Salamah, ‘Amrah al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anhunna ajma’in.

Para ulama yang berguru dan meriwayatkan hadits dari beliau adalah Sulaiman bin Yasar, Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, Ibnu Syihab az-Zuhri, Abu Zinad, Saleh bin Kaisan, Ja’far ash-Shadiq, Ibnu Abi Mulaikah, ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ‘Atha bin Abi Rabah, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, ‘Amr bin Dinar, Yahya bin Abi Katsir, dan sejumlah ulama yang lain.

Beliau adalah orang pertama yang menulis tentang masalah al-Maghazi (peperangan) dan yang paling banyak melantunkan syair pada zamannya.

Beliau adalah salah seorang di antara sepuluh ulama di kota Madinah yang selalu menjadi rujukan khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz sewaktu beliau menjabat sebagai gubernur di kota tersebut.

Qabishah bin Dzu’aib menceritakan sebuah kisah:

Dahulu semasa khalifah Mu’awiyah, kami yaitu aku, Mush’ab bin az-Zubair, ‘Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin ‘Abdirrahman, ‘Abdul Malik bin Marwan, ‘Abdurrahman al-Miswar, Ibrahim bin ‘Abdirrahman bin ‘Auf dan ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah biasa berkumpul membuat halaqah (majelis) setiap malam di masjid. Dan pada siang harinya kami berpisah.

Maka aku belajar kepada Zaid bin Tsabit -waktu itu beliau ditunjuk sebagai ketua dalam bidang kehakiman, fatwa, qira’ah dan fara’idh (hukum waris) sejak masa khalifah ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali di kota Madinah-. Kemudian aku dan Abu Bakar bin ‘Abdirrahman belajar kepada Abu Hurairah. Dan ‘Urwah telah mendahului kami dalam belajar kepada ‘Aisyah.

Abu Zinad menceritakan:

Dahulu pernah berkumpul di al-Hijr (yakni Hijr Isma’il di Ka’bah) Mush’ab bin az-Zubair, ‘Abdullah bin az-Zubair, ‘Urwah bin az-Zubair dan Ibnu ‘Umar. Mereka mengatakan, “Mari kita berangan-angan…
‘Abdullah bin az-Zubair berkata, “Aku bercita-cita ingin menjadi seorang khalifah.”

‘Urwah berkata, “Aku bercita-cita ingin menjadi seorang yang alim.”
Mush’ab berkata, “Adapun aku, aku ingin menjadi pemimpin Iraq dan menikahi ‘Aisyah bintu Thalhah dan Sukainah bintu al-Husain.”

Adapun Ibnu ‘Umar, beliau berkata, “Kalau aku hanya menginginkan ampunan dari Alloh ‘azza wajalla.”

Maka mereka semua telah berhasil menggapai cita-citanya masing-masing dan adapun Ibnu ‘Umar semoga Alloh mengampuninya.

Suatu ketika ‘Urwah melihat seorang laki-laki melakukan shalat dengan cepat kemudian setelah selesai shalat dia berdo’a, ‘Urwah berkata, “Wahai saudaraku, tidakkah engkau memiliki kebutuhan kepada Rabb-mu dalam shalatmu? Adapun aku, aku selalu meminta sesuatu kepada Alloh sampaipun aku meminta garam.”

Dahulu kebiasaan beliau setiap kali memasuki kebun, selalu membaca surat Al-Kahfi ayat 39 dan diulang-ulanginya bacaan tersebut:

وَلَولاَ إِذْ دَخَلْتُ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ الله لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقّل مِنْكَ مَالاَ وَوَلَدًا.

Artinya: “Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap Aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (al-Kahfi: 39)

……… sampai beliau keluar darinya.

Kebiasaan beliau dalam setiap harinya adalah membaca seperempat al-Qur’an. Kemudian seperempat al-Qur’an yang beliau baca pada siang harinya tersebut, dibaca dalam shalat malamnya. Dan tidak pernah sekalipun beliau meninggalkan kebiasaan ini kecuali pada malam diamputasinya kaki beliau.

Tentang sebab dan peristiwa diamputasinya kaki beliau ini juga menjadi kisah tersendiri yang dapat menyentuh kalbu setiap insan mukmin sekaligus menunjukkan kepada kita bukti sebuah kesabaran luar biasa di dalam menghadapi suatu musibah besar yang telah ditunjukkan oleh seorang hamba Allah yang mukmin yang mungkin tiada lagi didapati kesabaran yang demikian apalagi di zaman sekarang ini.

Suatu ketika ‘Urwah bin az-Zubair mendapat tugas  untuk menemui khalifah al-Walid bin ‘Abdil Malik di ibukota kekhalifahan yaitu Damaskus di negeri Syam. Maka keluarlah beliau beserta rombongan menuju kota Damaskus. Setibanya di suatu tempat yang masih dekat dengan kota Madinah yang dinamakan dengan Wadi al-Qura, terjadi pada beliau semacam luka di telapak kakinya yang kiri. Lambat laun luka tersebut mengeluarkan nanah dan semakin bertambah parah. Waktu berlalu, dan luka tersebut tidak saja semakin bertambah parah namun juga menyebabkan kakinya busuk serta semakin menjalar menggerogoti kakinya. (bersambung)

Referensi:
  1. Al-Bidayah wa Nihayah
  2. Siyar A’lamin Nubala’
  3. Tadzkiratul Huffazh
  4. Tahdzibut Tahdzib
  5. Basya’ir al-Farh bi Taqribi Fawa’idi al-Imam al-Wadi’i fi ‘Ilmi ar-Rijal Wal Mushthalah.

Dirangkum oleh Abu Abdirrahman Muhammad Rifqi dan Abu Abdillah Kediri

sumber: http://www.nurussunnah-tegal.net/?p=95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."