Di
antara kebodohan dan kesesatan Habib Mundzir menganggap bid’ah dalam
agama ada yang baik (bid’ah hasanah), dia berusaha untuk menyesatkan
ummat dengan membawakan dalil-dalil yang dipahami sesuai dengan hawa
nafsunya. Perkara bid’ah bukanlah perkara yang ringan atau sepele,
perbuatan bid’ah adalah sebuah kesesatan yang besar. Berkata salah
seorang shahabat yang mulia Ibnu Abbas radhiyallahu anhu,
وأبغض الأعمال إلى الله البدع
“Dan perbuatan yang paling dibenci oleh Allah adalah bid’ah.” (Fathul Bari’, Ibnu Rajab: 2/378)
Berkata Sufyan Ats Tsauri rahimahullah,
البدعة أحب إلى إبليس من المعصية والمعصية يتاب منها والبدعة لا يتاب منها
“Bid’ah lebih disukai oleh iblis
daripada maksiat, pelaku maksiat masih berkeinginan untuk bertaubat dari
kemaksiatannya, sedangkan pelaku bid’ah tidak ada keinginan untuk
bertaubat dari kebid’ahannya (karena dia menganggap baik, bahkan
mengharap pahala dari perbuatannya –ed).” (I’tiqad Ahlissunnah al-Lallika’i: 1/132)
Berikut ini penjelasan secara ringkas
tentang makna bid’ah, beserta dalilnya yang menjelaskan bahwa semua
bid’ah adalah sesat dan sedikit bantahan terhadap syubhat Habib Mundzir
seputar masalah ini.
Pengertian Bid’ah
Bid’ah menurut bahasa: “Segala sesuatu
yang diada-adakan yang tidak ada contohnya yang mendahuluinya.” (Iqtidha
Shiratal Mustaqim: 2/95)
Bid’ah menurut istilah adalah:
كل اعتقاد أو لفظ أو عمل أحدث بعد موت النبي صلى الله عليه والسلام بنية التعبد والتقرب ولم يدل عليه الدليل من الكتاب ولا من السنة, ولا إجماع السلف
“Setiap keyakinan, atau ucapan atau perbuatan yang diada-adakan setelah kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan niat untuk beribadah dan bertaqarub padahal tidak ada dalil yang
menunjukkannya baik dari al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’ salaf.”
(al-Qaulul Mufid, Syaikh Muhammad al-Whushaby: 81)
Berkata asy-Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah tentang dhaabit (standar untuk menilai) itu perbuatan bid’ah yaitu, “Beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyariatkan.” (Silahkan lihat Majmu’ Tsamin: 2/291)
Macam-macam Bid’ah
Macam bid’ah ada lima semuanya adalah kesesatan sebagiannya lebih jelek dari sebagian yang lain.
Pertama: Bid’ah I’tiqadiyyah
(bid’ah keyakinan), yaitu setiap keyakinan yang menyelisihi kitab
(al-Qur’an) dan sunnah. Seperti orang yang meyakini Qutub-Qutub,
Badal-Badal, Ghauts-Ghauts memiliki daya upaya dalam mengatur alam atau
mengetahui perkara yang ghaib, ini merupakan kekufuran.
Kedua: Bid’ah Lafdziyyah (bid’ah
ucapan), yaitu setiap lafaz (ucapan) yang diucapkan seseorang dalam
rangka beribadah yang menyelisihi kitab (al-Qur’an) dan sunnah. Seperti
seseorang yang berdzikir dengan nama mufrad (الله) atau dengan nama
ganti (هو) lihat Majmu Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
10/226-229.
Ketiga: Bid’ah Badaniyah (bid’ah
yang dilakukan oleh badan), yaitu setiap gerakan yang dilakukan oleh
seseorang dalam rangka beribadah, sedangkan gerakan itu menyelisihi
kitab (al-Qur’an) dan sunnah. Seperti seseorang yang berjoget/bergoyang
ketika berdzikir.
Keempat: Bid’ah Maaliyah (bid’ah
yang terkait dengan harta) yaitu setiap harta yang dikeluarkan dalam
rangka beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang menyelisihi kitab
(al-Qur’an) dan sunnah. Seperti membangun kubah di atas kuburan dan
membuat tawaabit (tabut-tabut) di atasnya.
Kelima: Bid’ah Tarkiyah (bid’ah
dengan meninggalkan sesuatu), yaitu setiap orang yang meninggalkan
sesuatu dari perkara agama atau perkara yang mubah (boleh) dalam rangka
beribadah (dengan niat untuk beribadah –ed) seperti meninggalkan
menikah, atau meninggalkan memakan daging dalam rangka beribadah.
(Al-Qaulul Mufiid Fi Adilatit Tauhid, Syaikh Muhammad al-Whushaby: 182)
Dalil Semua Bid’ah Dalam Agama adalah Sesat
Banyak dalil yang menunjukkan semua bid’ah sesat di antaranya,
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan
untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Berkata al-Imam Malik rahimahullah,
من ابتدع في الإسلام بدعة
يراها حسنة فقد زعم أن محمداً خان الرسالة» لأن الله- عز وجل- قال:
?الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ? [المائدة: 3] فمن لم يكن يومئذ
ديناً فمتى يكون اليوم ديناً؟!!.
“Barangsiapa mengada-adakan di dalam
islam suatu kebid’ahan yang dia melihatnya (menganggapnya) sebagai
sebuah kebaikkan, sungguh dia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam mengkhianati risalah, karena Allah ta’aala telah
berfirman (yang artinya): ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu
agamamu.” (al-Maidah: 3). Maka sesungguhnya apa yang tidak menjadi agama pada hari itu, tidak menjadi agama pula pada hari ini ?!!!.” (Silahkan Lihat al-I’tisham, Imam Asy Syatibi: 1/64)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam suatu khutbahnya,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ
خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ
وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan dan
setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 2042 dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي ،
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ ، عَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ ،
فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Maka wajib atas kalian untuk
berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang
diberi petunjuk (yang datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi
geraham kalian. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan
(dalam urusan agama –ed.) Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru
itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Ahmad no. 17184, Abu Daud no. 4609, Ibnu Majah hadits no. 42, at-Tirmidzi no. 2676, beliau mengatakan hasan shahih)
Dan beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan (sesuatu yang baru) dalam urusan kami, apa-apa yang tidak ada darinya maka tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718 dari ‘Aisyah)
Berkata salah seorang shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
اِتَّبِعُوا وَلَا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ
“Ittibalah (ikutilah) dan janganlah kalian berbuat bid’ah, sungguh telah cukup bagi kalian.” (al Ibanah: 1/327, al-Lallika’i: 1/22)
Berkata salah seorang shahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu,
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“Semua bid’ah adalah sesat walaupun manusia melihatnya (menganggapnya) baik.” (Al Ibanah : 1/339, al-Lallika’i: 1/92)
Sungguh telah jelaslah bagi orang yang
mencari kebenaran dari dalil-dalil di atas tentang semua bid’ah dalam
agama adalah sesat, tidak ada bid’ah hasanah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengatakan semua bid’ah adalah sesat. Maka sebuah kesesatan yang nyata
dari apa yang dilakukan oleh Habib Mundzir di mana dirinya mengajak
ummat ini kepada kelam dan hitamnya perbuatan bid’ah. Dan lebih
celakanya lagi dia menyandarkan pemahaman adanya bid’ah hasanah kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat.
Para pembaca yang kami hormati pada
kesempatan ini kami akan mulai menjelaskan kesesatan Habib Mundzir dalam
masalah ini walaupun dengan ringkas. Dan hanya sebagian dari syubhat
saja yang kami jelaskan tentang kesesatannya dalam masalah ini.
Untuk mengawali penjelasan singkat akan
kebodohan, penyimpangan dan kesesatan Habib Mundzir dalam masalah ini,
kami menyukai untuk mengawali dengan membawakan perkataan asy-Syaikh
al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, di mana beliau berkata,
وإنك لتعجب من قوم يعرفون قول
رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إياكم ومحدثات الأمور،
فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار » ويعلمون أن قوله:
“كل بدعة” كلية عامة شاملة، مسورة بأقوى أدوات الشمول والعموم “كل” والذي
نطق بهذه الكلية صلوات الله وسلامه عليه يعلم مدلول هذا اللفظ وهو أفصح
الخلق، وأنصح الخلق للخلق لا يتلفظ إلا بشيء يقصد معناه. إذن فالنبي صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حينما قال: « كل بدعة ضلالة » كان يدري ما
يقول، وكان يدري معنى ما يقول، وقد صدر هذا القول منه عن كمال نصح للأمة.
وإذا تم في الكلام هذه الأمور
الثلاثة -كمال النصح والإرادة، وكمال البيان والفصاحة، وكمال العلم
والمعرفة- دل ذلك على أن الكلام يراد به ما يدل عليه من المعنى، أفبعد هذه
الكلية يصح أن نقسم البدعة إلى أقسام ثلاثة، أو إلى أقسام خمسة؟ أبدا، هذا
لا يصح.
وما ادعاه العلماء من أن هناك بدعة حسنة . فلا تخلو من حالين:
1 – أن لا تكون بدعة لكن يظنها بدعة.
2 – أن تكون بدعة فهي سيئة لكن لا يعلم عن سوئها.
فكل ما ادعي أنه بدعة
حسنة فالجواب عنه بهذا. وعلى هذا فلا مدخل لأهل البدع في أن يجعلوا من
بدعهم بدعة حسنة وفي يدنا هذا السيف الصارم من رسول الله صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « كل بدعة ضلالة ». إن هذا السيف الصارم إنما صنع في
مصانع النبوة والرسالة، إنه لم يصنع في مصانع مضطربة، لكنه صنع في مصانع
النبوة، وصاغه النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هذه الصياغة
البليغة فلا يمكن لمن بيده مثل هذا السيف الصارم أن يقابله أحد ببدعة يقول :
إنها حسنة ورسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول: « كل بدعة
ضلالة »
“Sesungguhnya kamu akan terheran dari sebuah kaum yang mengetahui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
إياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار
“Berhati-hatilah kalian dari perkara
yang baru, dikarenakan setiap perkara yang baru (dalam agama –ed) adalah
bid’ah, dan setiap (semua) bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan
tempatnya di neraka.”
Mereka mengetahui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (كل بدعة ضلالة:
semua bid’ah adalah sesat) maknanya menyeluruh, umum dan mencakup yang
didukung dengan kata yang menyeluruh dan umum yaitu lafadz ( كل /semua) yang berbicara dengan makna yang umum ini adalah Rasulullah shalawaatullah wa salaamuhu alaihi
mengetahui apa yang ditunjukkan pada lafadz ini beliau adalah
sefasih-fasih manusia, aku nasihatkan untuk berakhlak kepada makhluk
(manusia) dengan tidak berkata kecuali dengan sesuatu yang dimaksudkan
dengannya maknanya. Jika demikian ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, (كل بدعة ضلالة:
semua bid’ah adalah sesat) beliau mengetahui apa yang beliau katakan,
mengetahui makna yang beliau katakan, telah keluar perkataan ini darinya
sebagai bentuk kesempurnaan nasihat beliau kepada ummat. Apabila telah
sempurna di dalam perkataan ini tiga perkara, kesempurnaan nasehat dan iradah (maksud/tujuan), kesempurnaan penjelasan dan kefasihan, kesempurnaan ilmu dan ma’rifat
(pengenalan/pengetahuan) itu (semua –ed) menunjukkan bahwasanya
perkataan yang diinginkan adalah yang menunjukkan pada makna dari
perkataan tersebut…….Apakah setelah kalimat menyeluruh ini boleh
mengatakan bid’ah terbagi menjadi tiga atau lima? Selama-lamanya ini
tidak boleh. Apa yang dikatakan oleh ulama bahwa di sana ada bid’ah
hasanah, maka tidak lepas dari dua keadaan,
- (Yang dikatakan) bukan perkara bid’ah akan tetapi diduga perbuatan bid’ah.
- (Yang dikatakan/disebut) perkara bid’ah, bid’ah adalah perkara yang jelek akan tetapi dia tidak mengetahui kejelekkannya.
Maka segala sesuatu yang didakwahkan
(dikatakan) sebagai bid’ah hasanah (yang baik), jawabannya dengan kata
di atas, sehingga tidak ada pintu masuk bagi ahlu bid’ah untuk
menjadikan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah. Dan di tangan kami ada
pedang yang sangat tajam dari Rasulullah yakni (كل بدعة ضلالة
semua bid’ah sesat). Pedang yang sangat tajam ini dibuat di atas nubuwah
dan risalah, dan tidak dibuat di atas sesuatu yang goyah. Dan bentuk
(kalimat) ini sangat jelas, maka tidak mungkin seseorang menandingi
pedang yang tajam ini dengan mengatakan adanya bid’ah hasanah sementara
Rasulullah bersabda كل بدعة ضلالة semua bid’ah sesat.” (Al-Ibda’ Fi Kamal asy-Syar’i wa Khatiri Al Ibtida’: 13)
Di antara Syubhat yang dibawakan Habib Mundzir adalah,
Berkata Habib Mundzir: “Nabi saw
memperbolehkan kita melakukan bid’ah hasanah selama hal itu baik dan
tidak menentang syari’ah, sebagaimana sabda beliau saw :
مَنْ سَنَّ فِى
الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ
فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa membuat hal yang baru
yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya
dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangi sedikitpun
dosanya.” (Shahih Muslim hadits no 1017. Demikian pula diriwayatkan
pada Shahih Ibn Khuzaimah, sunan al-baihaqi Al-kubra, Sunan Addarimy,
Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi) Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah
Hasanah dan Bid’ah Dhalalah (Sumber buku Kenalilah Aqidahmu 2, Habib
Mundzir hlm 1)
Jawaban terhadap Syubhat Habib Munzir
Pada hadits di atas (yang dibawakan oleh Habib Mundzir) dengan lafadz hadits
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
Terjemahan hadits dari kami,
“Barangsiapa mengamalkan/mengerjakan dalam islam sunnah yang baik.” Lafadz hadits dengan lafadz سُنَّةً حَسَنَةً (sunnah yang baik). Namun Habib Mundzir menerjemahkan dengan “Barangsiapa membuat hal yang baru yang baik”???
Jawaban Pertama: Bahwasanya makna
dari hadits di atas, “Barangsiapa yang mengerjakan dalam islam sunnah
yang baik…” sebagaimana lafadz hadits di atas
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
Maknanya yaitu mengerjakan amal dalam
rangka melaksanakan atau mengikuti, bukan mengerjakan amal dengan
membuat syariat baru/amalan baru yang tidak ada contohnya dari agama.
Maksud hadits tersebut adalah beramal dengan apa-apa yang telah
disyari’atkan/ditetapkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam.
Hal ini sesuai dengan asbabul wurud (sebab datangnya hadits ini)
menunjukkan hal itu (bahwa maksud hadits di atas memang demikian –ed)
yaitu tentang shadaqah yang telah disyariatkan. Sebagaimana yang
dikisahkan oleh Jabir bin Abdillah di mana ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam
berkhutbah pada kami, maka beliau memberi semangat pada manusia untuk
bershadaqah, akan tetapi para shahabat berlambat-lambat (tidak
bersegera) sehingga nampak dari wajah Rasulullah kemarahan. Kemudian
datang seseorang dari kaum Anshar dengan membawa sekantong berisi uang
(untuk shadaqah), maka para shahabat mengikutinya, sehingga kelihatan
pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senang dan beliau bersabda: “Barangsiapa yang mengerjakan dalam islam sunnah yang baik…”” (dengan lafadz ini dikeluarkan oleh Ad-Darimi)
Maka barangsiapa yang memberikan contoh
atau menghidupkan amalan yang baik yang dicontohkan/diajarkan dalam
agama seperti shadaqah, shalat jama’ah, ta’lim dan yang lainnya lalu
orang lain mengikutinya maka dia telah mengerjakan dalam islam sunnah
yang baik. Itu yang dinginkan pada hadits di atas.
Jawaban Kedua:
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan dalam islam sunnah yang baik…”
sementara beliau juga bersabda: “Semua bid’ah adalah sesat” maka tidak
mungkin muncul dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
perkataan yang satu mendustakan perkataan yang lain. Dan tidak mungkin
perkataan ini bertentangan selama-lamanya. Yang ada adalah Habib Mundzir
memahami sesuai dengan hawa nafsunya dengan menjadikan dalil di atas
sebagai pembolehan untuk melakukan bid’ah.
Yang benar dalam memahami dua hadits di
atas adalah barangsiapa ada orang yang memberikan contoh yang baik atau
menghidupkan amalan shalih yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
kemudian diikuti oleh orang lain maka dia telah membuat sunnah yang
baik. Dan barang siapa yang mengerjakan sesuatu yang tidak ada
contohnya/tidak diajarkan dalam agama maka dia telah berbuat bid’ah dan
setiap bid’ah adalah sesat.
Jawaban Ketiga:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hadits di atas (yang dibawakan oleh Habib Mundzir)
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
“Barangsiapa mengerjakan dalam islam sunnah yang baik.” Lafadz hadits dengan lafadz سُنَّةً حَسَنَةً (sunnah yang baik).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bersabda: “Barangsiapa yang mengerjakan/berbuat bid’ah….” maka dari sini jelas berbeda yang diinginkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan apa-apa yang dipahami oleh Habib Mundzir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda dengan “… mengerjakan Sunnah…” bukan dengan kalimat
mengerjakan bid’ah pada hadits di atas. Beliau juga bersabda pada hadits
di atas: “di dalam islam…” sedangkan bid’ah bukan dari islam. Dan
beliau juga bersabda (kelanjutan hadits di atas), “..yang baik..”
sedangkan bid’ah bukan perkara kebaikan, sebagaimana dalam sabda beliau
dalam hadits yang lain. Yaitu, “Setiap bid’ah adalah sesat.”
Maka jelaslah perbedaan antara sunnah dan bid’ah, karena sunnah adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (yang diajarkan Rasulullah) sedangkan bid’ah adalah mengada-adakan perkara yang baru dalam urusan agama yang bukan darinya.
Itu jawaban singkat dari syubhat yang
dibawakan oleh Habib Mundzir, yang para ulama telah membantah syubhat
ini di antaranya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
Syubhat Kedua: (tentang perkataan Imam Syafi’i)
Berkata Habib Mundzir: “Berkata Imam Syafi’i: Bahwa
bid’ah terbagi 2, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmummah
(tercela) maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang
tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan
ucapan Umar mengenai shalat tarawih, “Inilah sebaik-baik bid’ah.” (Tafsir Qurtuby Juz: 2, hal: 86-87) (Sumber buku Kenalilah Aqidahmu 2, Habib Mundzir hlm: 9)
Jawaban pertama:
Sungguh tidak boleh mengambil perkataan manusia yang bertentangan dengan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjadi hujjah atas setiap orang, bukan perkataan seseorang yang menjadi hujjah atas perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jawaban kedua:
Sesungguhnya bagi orang yang mau berfikir
terhadap perkataan Imam Syafi’i, perkataan Imam Syafi’i dengan bid’ah
mahmudah (terpuji) hanya sebatas makna bahasa, bukan makna syar’i,
dengan dalil al-Imam Syafi’i memberi batasan terhadap perkara yang
beliau katakan, “sebagai bid’ah terpuji” yaitu yang tidak bertentangan/
menyelisihi syar’i (al-Qur’an dan as-Sunnah). Padahal bid’ah secara
syari’i adalah menyelisihi al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Dan beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan (sesuatu yang baru) dalam urusan kami, apa-apa yang tidak ada darinya maka tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718 dari ‘Aisyah)
Lalu mari kita simak di antara penjelasan ulama yang menjelaskan perkataan al-Imam Syafi’i rahimahullah, karena yang paling tahu maksud perkataan ulama ya ulama juga.
Berkata al-Imam al-Haafidz Ibnu Rajab rahimahullah,
ومراد الشافعي – رحمه
الله – ما ذكرناه مِنْ قبلُ : أنَّ البدعة المذمومة ما ليس لها أصل منَ
الشريعة يُرجع إليه ، وهي البدعةُ في إطلاق الشرع ، وأما البدعة المحمودة
فما وافق السنة ، يعني : ما كان لها أصلٌ مِنَ السنة يُرجع إليه ، وإنَّما
هي بدعةٌ لغةً لا شرعاً ؛ لموافقتها السنة .
“Yang dimaksud dengan perkataan
al-Imam Syafi’i rahimahullah yang telah kami sebutkan sebelumnya: bahwa
bid’ah yang tercela adalah sesuatu yang tidak ada asalnya (dasarnya)
dalam syari’at yang dia kembali kepadanya, inilah bid’ah menurut
syariat, adapun bid’ah terpuji (yang dikatakan oleh al-Imam syafi’i
–ed), yaitu apa-apa yang sesuai dengan sunnah (petunjuk Nabi), maksudnya
sesuatu yang ada dasarnya dari sunnah yang kembali kepadanya, hanya
saja pemahaman ini (atau penamaan ini –ed) secara bahasa bukan secara
syar’i, karena sesuai dengan sunnah.” (Jaamiul Uluum wal Hikam: 503/hadits no. 280)
Kesimpulannya bahwa bid’ah yang
dikatakan “terpuji” bukanlah perkara bid’ah akan tetapi diduga/disangka
hal itu bid’ah padahal bukanlah bid’ah.
Jika telah tetap sesuatu itu bid’ah menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah maka itu bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.
Adapun tentang perkataan shahabat yang mulia Umar bin Khaththab “nikmatnya/sebaik-baik bid’ah adalah ini”
yang dibawakan oleh Habib Mundzir di dalam perkataan al-Imam Syafi’i,
begitu juga pada tempat yang lain. Berikut penjelasannya kita serahkan
kepada ulama, karena ulamalah yang lebih memahami maksud dari perkataan
shahabat Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
أكثر ما في هذا تسمية عمر تلك
: بدعة ، مع حسنها ، وهذه تسمية لغوية ، لا تسمية شرعية ، وذلك أن البدعة
في اللغة تعم كل ما فعل ابتداء من غير مثال سابق .
وأما البدعة الشرعية : فما لم يدل عليه دليل شرعي
“Kebanyakkan orang pada penamaan Umar
itu (nikmatnya bid’ah adalah ini) dijadikan untuk dalil adanya bid’ah
hasanah, penamaan ini adalah (hanya) penamaan secara bahasa bukan
penamaan secara syar’i, padahal penamaan bid’ah secara bahasa umum
segala sesuatu yang diada-adakan yang tidak ada contohnya yang
mendahuluinya. Adapun bid’ah secara syar’i, adalah setiap yang tidak ada
dalil syar’i yang menunjukkan atasnya.” (Iqtidha Shirathal Mustaqim: 2/95)
Berkata al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah,
والبدعة على قسمين: تارة
تكون بدعة شرعية، كقوله: فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة. وتارة تكون
بدعة لغوية، كقول أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن جمعه إياهم
على صلاة التراويح واستمرارهم: نعْمَتْ البدعةُ هذه.
“Bid’ah dibagi menjadi dua: adakalanya
bid’ah secara syar’i (bid’ah menurut agama -ed) seperti perkara baru
adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan adakalanya bid’ah
bermakna bahasa seperti perkataan Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab
tentang perkumpulan mereka untuk melaksanakan shalat tarawih secara
berjama’ah dan dilakukan demikian seterusnya, nikmatnya bid’ah ini.” (Tafsir Ibnu Katsir pada surat al-Baqarah ayat 117)
Maka jelaslah bagaimana memahami
dengan benar perkataan Umar bin Khaththab dan Syafi’i yang sering
dijadikan dalil bahwa bid’ah itu ada yang baik.
Kami cukupkan penjelasan sederhana kami
pada kesesatan poin ini dan kami menyarankan untuk para pembaca merujuk
kitab-kitab para ulama yang telah membantah habis syubhat
(kerancuan/kesesatan) yang terkait dengan adanya bid’ah hasanah. Tulisan
ini pun sekedar menukil sebagian kecil dari penjelasan para ulama
terkait dengan syubhat ini. Wallahu a’alam bish shawwab.
Ditulis oleh: ‘Abdullah al-Jakarty
sumber: http://membantahquburi.wordpress.com/2013/12/09/kesesatan-ketiga-kesesatan-habib-mundzir-dalam-memahami-masalah-bidah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar