Radio Muwahiddin

Jumat, 04 Juli 2014

UMMI SANG MUJAHID



Ikhwatal iman…

Jika antum ditanya, siapakah
pahlawan yang senantiasa mewarnai
lembaran perjuangan islam? Pasti
yang bermunculan dalam benak kita
adalah nama-nama harum seperti
Anas bin Malik, Al Hasan, Al Husein,
Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam
Ahmad dan sederet pahlawan islam
lainnya.

Memang benar, mereka telah
berkorban banyak untuk islam dan
muslimin. Seolah setiap hembusan
nafas, tetesan keringat, denyut nadi,
air mata, darah, derap langkah,
mereka korbankan untuk islam.

Sungguh.. sungguh kerdilnya kita di
hadapan mereka!

Namun, taukah akhi siapakah
pemeran utama dibalik kesuksesan
mereka -setelah Allah tentunya-?

Bunda. Iya, bunda. Atau kita panggil
saja Ummi.



Para kaum ummi adalah inspirasi
hampir setiap ulama. Jiwa rela
berkorban yang dimiliki ulama telah
terpatri kuat dalam kalbu saat
mereka melihat pengorbanan ummi.

Ummi yang selalu mengikatkan
imamah saat sebelum ulama pergi
ke kuttab (madrasah Alqur’an).

Ummi yang selalu menyeka air mata
saat air mata ulama tertumpah.

Ummi yang tak pernah lupa
mendoakan kesuksesan para ulama
saat semua orang belum sadar
kedudukannya, Ummi yang tak kenal
lelah dan bosan merawat ulama.

Ummi yang rela menjual rumah demi
keberhasilan tholabul ilmi ulama.

Perjuangan.. pengorbanan itulah
yang para ulama dapatkan dari
ummi.

Dalam adagium arab dikatakan “Al
Umm Shooni’atur Rijaal”, “Ummi
adalah pencetak jagoan”.

Semoga kisah ini bisa menjadi
inspirasi, motivasi dan hiburan
untuk para kaum ummi.

Tak lupa pula, kisah ini ana kirim
spesial untuk Ummi tercinta di Solo,
Allahu yubaariku fiiki.

________~~~~________

Hari itu, di salah satu sudut masjid
nabawi berkumpullah Abu Qudamah
dan para sahabatnya.

Dihati para sahabatnya, Abu
Qudamah adalah orang yang sangat
dikagumi. Itu karena Abu Qudamah
adalah seorang mujahid. Berjihad
dari satu front ke medan-medan
jihad lainnya. Seolah hidup beliau,
beliau persembahkan untuk
berjihad.

Debu yang beterbangan, kilatan
pedang, hempasan anak panah,
derap kuda adalah hal yang sudah
biasa bagi beliau. Pengalaman,
tragedi, kisah dan momen pun telah
banyak beliau saksisan di setiap
gelanggang perjuangan jihad.

“Abu Qudamah, ceritakanlah pada
kami kisah paling mengagumkan di
hari-hari jihadmu,” tiba-tiba salah
seorang sahabatnya meminta.

“Ya,” jawab Abu Qudamah.

________~~~~________

Beberapa tahun lalu. . .

Aku singgah di kota Recca. Aku ingin
membeli onta untuk membawa
persenjataanku.

Saat aku sedang bersantai di
penginapan, keheningan pecah oleh
suara ketukan.

Ku buka ternyata seorang
perempuan.

“Engkaukah Abu Qudamah?”
tanyanya.

“Engkaukah yang menghasung umat
manusia untuk berjihad?”

pertanyaannya yang kedua.

“Sungguh, Allah telah
menganugrahiku rambut yang tak
dimiliki wanita lain. Kini aku telah
memotongnya. Aku kepang agar bisa
menjadi tali kekang kuda. Aku pun
telah menutupinya dengan debu
agar tak terlihat.

Aku berharap sekali agar engkau
membawanya. Engkau gunakan saat
menggempur musuh, saat jiwa
kepahlawananmu merabung. Engkau
gunakan bersamaan saat kau
menghunus pedang, saat kau
melepaskan anak panah dan saat
tombak kau genggam erat.

Kalau pun engkau tak membutuhkan,
ku mohon berikanlah pada mujahid
yang lain. Aku berharap agar
sebagian diriku ikut di medan
perang, menyatu dengan debu-debu
fy sabilillah.

Aku adalah seorang janda. Suamiku
dan karib kerabatku, semuanya telah
mati syahid fy sabilillah. Kalau pun
syariat mengizinkan aku berperang,
aku akan memenuhi seruannya,”
ungkapnya sembari menyerahkan
kepangan rambutnya.

Aku hanya diam membisu. Mulutku
kelu walau tuk mengucapkan “iya”.

“Abu Qudamah, walaupun suamiku
terbunuh, namun ia telah mendidik
seorang pemuda hebat. Tak ada
yang lebih hebat darinya.

Ia telah menghapal Alqur’an. Ia
mahir berkuda dan memanah. Ia
senantiasa sholat malam dan
berpuasa di siang hari.

Kini ia berumur 15 tahun. Ialah
generasi penerus suamiku. Mungkin
esok ia akan bergabung dengan
pasukanmu. Tolong terimalah dia.

Aku persembahkan dia untuk Allah.

Ku mohon jangan halangi aku dari
pahala,” kata-kata sendu terus
mengalir dari bibirnya.

Adapun aku masih diam membisu.

Memahami kalimat per kalimat
darinya. Lalu tanpa sadar
perhatianku tertuju pada kepangan
rambutnya.

“Letakkanlah dalam barang
bawaanmu agar kalbuku tenang,”

pintanya tahu aku memperhatikan
kepangan rambutnya.

Aku pun segera meletakkannya
bersama barang bawaanku. Seolah
aku tersihir dengan kata-kata dan
himmahnya yang begitu
mengharukan.

Kesekoan harinya, aku bersama
pasukan beranjak meninggalkan
Recca.

Tatkala kami tiba di benteng
Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba
dari belakang ada seorang
penunggang kuda yang memanggil-
manggil.

“Abu Qudamah!” serunya.

“Abu Qudamah, tunggu sebentar,

semoga Allah merahmatimu.”

Kaki pun terhenti. Lalu aku berpesan
kepada pasukan, “tetaplah di tempat
hingga aku mengetahui orang ini.”
Dia mendekat dan memelukku.

“Alhamdulillah, Allah memberiku
kesempatan menjadi pasukanmu.

Sungguh Dia tidak ingin aku gagal,”

ucapnya

“Kawan, singkaplah kain penutup
kepalamu dahulu,” pintaku.

Ia pun menyingkapnya. Ternyata
wajahnya bak bulan purnama.

Terpancar darinya cahaya ketaatan.

“Kawan, apakah engkau memiliki
Abi?” tanyaku.

“Justru aku keluar bersamamu
hendak menuntut balas kematian
Abi. Dia telah mati syahid. Semoga
saja Allah menganugrahiku syahid
seperti Abi,” jawabnya.

“Lalu, bagaimana dengan Ummi?

Mintalah restu darinya terlebih
dahulu. Jika merestui, ayo. Jika
tidak, layanilah beliau. Sungguh
baktimu lebih utama dibandingkan
jihad. Memang, jannah di bawah
bayangan pedang, namun juga di
bawah telapak kaki ibu.”

“Duhai Abu Qudamah. Tidakkah
engkau mengenaliku.”

“Tidak.”

“Aku putra pemilik titipan itu.

Betapa cepatnya engkau melupakan
titipan Ummi, pemilik kepangan
rambut itu.

Aku, insya Allah, adalah seorang
syahid putra seorang syahid. Aku
memohon kepadamu dengan nama
Allah, jangan kau halangi aku ikut
berjihad fy sabilillah bersamamu.

Aku telah menyelesaikan Alquran.

Aku juga telah mempelajari sunnah
Rasul. Pun aku lihai menunggang
kuda dan memanah.

Tak ada seorang pun lebih berani
dariku. Maka, janganlah kau
remehkan aku hanya karena aku
masih belia.

Ummi telah bersumpah agar aku
tidak kembali. Beliau berpesan; Nak,
jika kau telah melihat musuh,
jangan pernah kau lari.

Persembahkanlah ragamu untuk
Allah. Carilah kedudukan di sisi
Allah. Jadilah tetangga Abimu dan
paman-pamanmu yang sholeh di
jannah. Jika nantinya kau menjadi
syahid, jangan kau lupakan Ummi.

Berilah Ummi syafa’at. Aku pernah
mendengar faedah bahwa seorang
syahid akan memberi syafaat untuk
70 orang keluarganya dan juga 70
orang tetangganya.

Ummi pun memelukku dengan erat
dan mendongakkan kepalanya ke
langit;

Rabbku.. Maulaku.. Inilah putraku,
penyejuk jiwaku, buah hatiku.. aku
persembahkan ia untukmu.

Dekatkanlah ia dengan ayahnya,”
terang sang pemuda

Kata-katanya terus mendobrak
tanggul air mataku. Dan akhirnya
aku benar-benar tak kuasa
menahannya. Aku tersedu-sedu. Aku
tak tega melihat wajahnya yang
masih muda, namun begitu tinggi
tekadnya. Aku pun tak bisa
membayangkan kalbu sang ibu.

Betapa sabarya ia.

Melihatku menangis, sang pemuda
bertanya, “Paman, apa gerangan
tangisanmu ini? Jika sebabnya
adalah usiaku, bukankah ada orang
yang lebih muda dariku, namun
Allah tetap mengadzabnya jika
bermaksiat!?”

“Bukan,” aku segera menyanggah.

“Bukan lantaran usiamu. Namun aku
menangis karena kalbu ibumu.

Bagaimana jadinya nanti jika engkau
gugur?”

Akhirnya aku menerimanya sebagai
bagian dari pasukan. Siang malam si
pemuda tak pernah jemu berdzikir
kepada Allah ta’ala. Saat pasukan
bergerak, ia yang paling lincah
mengendalikan kuda. Saat pasukan
berhenti istirahat, ia yang paling
aktif melayani pasukan. Semakin kita
melangkah, tekadnya juga semakin
membuncah, semangatnya semakin
menjulang, kalbunya semakin lapang
dan tanda-tanda kebahagiaan
semakin terpancar darinya

Kami terus berjalan menyusuri
hamparan bumi nan luas. Hingga
kami tiba di medan laga bersamaan
dengan bersiap-siapnya matahari
untuk terbenam.

Sesampainya, sang pemuda
memaksakan diri menyiapkan
hidangan berbuka untuk pasukan.

Memang, hari itu kami berpuasa.

Dan dikarenakan hal inilah juga
khidmatnya kepada pasukan selama
perjalanan, dia tertidur pulas. Pulas
sekali hingga kami iba
membangunkan. Akhirnya, kami
sendiri yang menyiapkannya dan
membiarkan si pemuda tidur.

Saat tidur, tiba-tiba bibirnya
mengembang menghiasi wajahnya.

“Lihatlah, ia tersenyum!” kataku
pada teman keheranan.

Setelah bangun, aku bertanya
padanya, “kawan, saat tertidur kau
tersenyum. Apa gerangan mimpimu?”

“Aku mimpi indah sekali. Membuatku
bahagia,” jawabnya.

“Ceritakanlah padaku!” pintaku
penasaran.

“Aku seperti di sebuah taman hijau
nan permai. Indah sekali.
Pemandangannya menarik kalbuku
untuk berjalan-jalan.

Saat asyik berjalan, tiba-tiba aku
berdiri di depan istana perak,
balkonnya dari batu permata dan
mutiara serta pintu-pintunya dari
emas.

Sayang, tirai-tirainya terjuntai,
menghalangiku dari bagian dalam
istana. Namun tak lama, keluarlah
gadis-gadis menyingkap tirai-
tirainya. Sungguh wajah mereka
bagaikan rembulan. Kutatap wajah-
wajah cantik itu dengan penuh
kekaguman, amboi cantiknya.

“Marhaban,” kata salah seorang dari
mereka tahu ku memandanginya.

Aku pun tak tahan hendak
menjulurkan tangan menyentuhnya.

Belum sampai tangan ini
menyentuh, dia berkata,
“Belum. Ini belum waktunya.
Janganlah terburu-buru.”

Telingaku juga menangkap sebuah
suara salah seorang mereka, “Ini
suami Al Mardhiyah.”

Mereka berkata kepadaku,
“kemarilah, yarhamukalloh.”

Baru saja kakiku hendak melangkah,
ternyata mereka telah berdiri di
depanku.

Mereka membawaku ke atas istana.
Di sebuah kamar, seluruhnya dari
emas merah yang berkilauan
indahnya. Dalam kamar itu ada
dipan yang bertahtakan permata
hijau dan kaki-kakinya terbuat dari
perak putih.

Dan diatasnya. . .
seorang gadis belia dengan wajah
bersinar lebih indah dari sekedar
rembulan!! Kalaulah Allah tidak
memantapkan kalbu dan
penglihatanku, niscaya butalah
mataku dan hilanglah akalku karena
tak kuasa menatap kecantikannya!!
“Marhaban, ahlan wa sahlan, duhai
wali Allah. Sungguh engkau adalah
milikku dan aku adalah milikmu”
katanya menyambutku, membuatku
tak terasa hendak memeluknya.

“Sebentar. Janganlah terburu-buru.
Belum waktunya.

Aku berjanji padamu, kita bertemu
besok selepas sholat dhuhur.
Bergembiralah,” sang pemuda
mengakhiri kisahnya.

Lalu, aku berusaha membangkitkan
himmahnya, “Kawan, mimpimu
begitu indah. Engkau akan melihat
kebaikan nantinya,”
Kami pun bermalam dengan
perasaan takjub dan kagum akan
mimpi sang pemuda.

Esok hari, kami bersiap menghadapi
kaum kafir. Barisan diluruskan,
formasi dan strategi dimatangkan,
senjata tergenggam kuat dan tali
kekang kuda dipegang erat.

Semangat pun semakin berkobar
saat mendengar hasungan, “wahai
segenap para tentara Allah,
tunggangilah kuda-kuda kalian.

Bergembiralah dengan jannah.

Majulah kalian, baik terasa ringan
oleh kalian ataupun terasa berat.”

Tak lama, skuadron pasukan kuffar
tiba dihadapankan kami. Banyak
sekali, bagaikan belalang yang
menyebar kemana-mana.

Perang campuh pun terjadi.

Kesunyian pagi hari sontak terpecah
oleh teriakan skuadron kuffar dan
gema takbir kaum muslimin. Suara
senjata yang saling beradu, berbaur
dengan riuh rendah suara para
prajurit yang sedang bertaruh
nyawa.

Tiba-tiba aku mengkhawatirkan
pemuda itu. Iya, dimana pemuda
itu…

Dimana pemuda itu ?

Ku berusaha mencari di tengah
medan laga. Ternyata dia di barisan
depan pasukan muslimin. Dia
merangsek maju, menyibak skuadron
kuffar dan memporak porandakan
barisan mereka.

Dia bertempur dengan hebatnya.

Dia mampu melumpuhkan begitu
banyak pasukan kuffar.

Namun begitu, tetap saja hati ini
tak tega melihatnya. Aku segera
menyusulnya di depan.

“Kawan, kau masih terlalu muda. Kau
tak tahu betapa liciknya
pertempuran. Kembalilah ke
belakang,” teriakku mencoba
menyaingi suara riuh pertempuran,
sambil menarik tali kekang kudanya.

“Paman, tidakkah kau membaca ayat
{{ wahai segenap kaum mukmin, jika
kalian telah bercampuh dengan
kaum kuffar, maka janganlah kalian
mundur ke belakang }} [Al Anfall:15].

Sudikah engkau aku masuk neraka ?”
serunya menimpali

Saat kucoba memahamkannya,
serbuan kavelari kuffar memisahkan
kami.

Aku berusaha mengejarnya, namun
sia-sia. Peperangan semakin
bergejolak.

Dalam kancah pertempuran,
terdengarlah derap kaki kuda diiringi
gemerincing pedang dan hujan
panah.

Lalu mulailah kepala berjatuhan
satu persatu. Bau anyir darah
tercium dimana-mana. Tangan dan
kaki bergelimpangan. Dan tubuh tak
bernyawa tergeletak bersimbah
darah.

Demi Allah, perang itu telah
menyibukkan tiap orang akan dirinya
sendiri dan melalaikan orang lain.

Sabetan dan kilatan pedang di atas
kepala yang tak henti-hentinya,
menjadikan suhu memuncak. Kedua
pasukan bertempur habis-habisan.

Saat perang usai, aku segera
mencari si pemuda. Terus mencari di
medan laga. Aku khawatir dia
termasuk yang terbunuh. Aku
berkeliling mengendarai kuda di
sekitar kumpulan korban. Mayat
demi mayat, sungguh wajah mereka
tak dapat dikenali, saking banyaknya
darah bersimbah dan debu
menutupi.

Dimana sang pemuda ?

Aku terus melanjutkan pencarian.

Dan tiba-tiba aku mendengar suara
lirih, ”Kaum muslimin, panggilkan
pamanku Abu Qudamah kemari!”

Itu suaranya, teriakku dalam kalbu.

Kucari sumber suara, ternyata benar,
si pemuda. Berada di tengah-tengah
kuda bergelimpangan. Wajahnya
bersimbah darah dan tertutup debu.
Hampir aku tak mengenalnya.

Aku segera mendatanginya.

“Aku di sini! Aku di sini! Aku Abu
Qudamah!” isakku tak kuasa
menahan tangis. Aku sisingkan
sebagian kainku dan mengusap
darah yang menutupi wajah
polosnya.

“Paman, demi Rabb ka’bah, aku
telah meraih mimpiku. Akulah putra
ibu pemilik rambut kepang itu. Aku
telah berbakti padanya, ku kecup
keningnya dan ku hapus debu dan
darah yang terkadang mengalir di
wajahnya,” kenangnya. Sungguh aku
benar-benar tak kuasa dengan
kejadian ini.

“Kawan, janganlah kau lupakan
pamanmu ini. Berilah dia syafa’at
nanti di hari kiamat.”

“Orang sepertimu tak kan pernah
kulupakan.”

“Jangan!” serunya lagi saat kucoba
mengusap wajahnya.

“Jangan kau usap wajahku dengan
kainmu. Kainku lebih berhak untuk
itu. Biarkanlah darah ini mengalir
hingga aku menemui Rabb-ku,
paman.

Paman, lihatlah, bidadari yang
pernah kuceritakan padamu ada di
dekatku. Dia menunggu ruhku
keluar. Dengarkanlah kata-katanya;
“sayang, bersegeralah. Aku rindu.”

Paman, demi Allah, tolong bawalah
bajuku yang berlumuran darah ini
untuk ummi. Serahkanlah padanya,
agar beliau tahu aku tak pernah
menyia-nyiakan petuahnya. Juga
agar beliau tahu aku bukanlah
pengecut melawan kaum kafir yang
busuk itu. Sampaikanlah salam
dariku dan katakan hadiahmu telah
diterima Allah.

Paman, saat berkunjung ke rumah
nanti, kau akan bertemu adik
perempuanku. Usianya sekitar
sepuluh tahun. Jika aku datang, ia
sangat gembira menyambutku. Dan
jika aku pergi, ia paling tidak mau
kutinggalkan.

Saat ku meninggalkannya kali ini, ia
mengharapkanku cepat kembali.

“Kak, cepat pulang, ya.” Itulah kata-
katanya yang masih terngiang di
telingaku.

Jika engkau bertemu dengannya,
sampaikan salamku padanya dan
katakan; Allah-lah yang akan
menggantikan kakak sampai hari
kiamat, “

kata-katanya terus membuat air
mataku meleleh. Menetes dan terus
menetes membuat aliran sungai di
pipi.

“Asyhadu alla ilaaha illalloh,
wahdahu laa syarikalah, sungguh
benar janji-Nya. Wa asyhadu anna
muhammadarrosululloh. Inilah apa
yang djanjikan Allah dan rasul-Nya
dan nyatalah apa yang dijanjikan
Allah dan rasul-Nya,” itulah kata-
kata terakhirnya sebelum ruh
berlepas dari jasadnya.

Lalu aku mengkafaninya dan
menguburkannya.

Aku harus segera ke Recca, tekadku.

Aku segera pergi ke Recca. Tak lain
dan tak bukan tujuanku hanyalah
ibu si pemuda.

Celakanya aku, aku belum
mengetahui nama si pemuda dan di
mana rumahnya. Aku berkelililing ke
seluruh kota Recca. Setiap sudut,
gang dan jalan ku telusuri. Dan
akhirnya aku mendapatkan seorang
gadis mungil. Wajahnya bersinar
mirip si pemuda.

Ia melihat-lihat setiap orang yang
berlalu didepanya. Tiap kali melihat
orang baru datang dari bepergian, ia
bertanya,

“Paman, anda datang darimana?”

“Aku datang dari jihad,” kata lelaki
itu.

“Kalau begitu kakakku ada
bersamamu?” tanyanya

“Aku tak kenal, siapa kakakmu.” kata
lelaki itu sambil berlalu.

Lalu lewatlah orang kedua dan
tanyanya,

“Paman, anda datang dari mana?”
“Aku datang dari jihad,” jawabnya.

“Kakakku ada bersamamu?”, tanya
gadis itu.

“Aku tak kenal, siapa kakakmu.”
jawabnya sambil berlalu.

Gadis itu pun tak bisa menahan
rindu kepada sang kakak. Sambil
terisak-isak, dia berkata,”mengapa
mereka semua kembali dan kakakku
tak kunjung kembali?”

Aku iba kepadanya. Ku coba
menghampiri tanpa membawa
ekspresi kesedihan.

“Adik kecil, bilang sama Ummi, Abu
Qudamah datang.”

Mendengar suaraku, sang ibu keluar.

“Assalamu’alaiki,” salamku.

“Wa’alaikum salam,” jawabnya.

“Engkau ingin memberiku kabar
gembira atau berbela sungkawa?”
lanjutnya.

“Maksud, ibu ?”

“Jika putraku datang dengan
selamat, berarti engkau berbela
sungkawa. Jika dia mati syahid,
berarti engkau kemari membawa
kabar gembira,” terangnya.

“Bergembiralah. Allah telah
menerima hadiahmu.”

Ia pun menangis terharu.

“Benarkah?”

“Iya.”

Benar-benar ia tak kuasa menahan
tangis.

“Alhamdulillah. Segala puji milik
Allah yang telah menjadikannya
tabunganku di hari kiamat,” pujinya
kepada Zat Yang Maha Kuasa.

________oo0oo________

Para sahabat Abu Qudamah
mendengarkan kisahnya dengan
penuh kekaguman.

“Lalu gadis kecil itu bagaimana?”
tanya salah seorang dari mereka.

“Dia mendekat kepadaku. Dan
kukatakan padanya, “Kakakmu
menitipkan salam padamu dan
berkata; dik, Allah-lah yang
menggantikanku sampai hari kiamat
nanti”

Tiba-tiba dia menangis sekencang-
kencangnya. Wajahnya pucat. Terus
menangis hingga tak sadarkan diri.

Dan setelah itu nyawanya tiada.

Sang ibu mendekapnya dan
menahan sabar atas semua musibah
yang menimpanya.

Aku benar-benar terharu melihat
kejadian ini. Aku serahkan padanya
sekantong uang, berharap bisa
mengurangi bebannya.

Sang ibu pun melepas kepergianku.

Aku meninggalkan mereka dengan
kalbu yang penuh kekaguman,
ketabahan sang ibu, sifat ksatria
sang pemuda dan cinta gadis kecil
itu kepada kakaknya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

yaR Rohman yaR Rohiim
Kabulkanlah seuntai do’a kami.
Memang terasa berat meniti jalan
jannah-Mu. Syahwat yang selalu
menyambar, syubhat yang terus
menghantam, setan yang tak pernah
menyerah dan nafsu jahat yang
senantiasa memberontak. Sedangkan
kalbu ini lemah, ya Rabb.
Kalaulah bukan karena-Mu, tidaklah
kami ini berislam. Tidak pula
mengerjakan sholat, tidak pula
bersedekah.
Teguhkanlah kaki kami di atas jalan-
Mu ini

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Diterjemahkan dengan beberapa
editing tanpa merubah tujuan dan
makna dari kitab ‘Uluwwul Himmah
indan Nisaa’, 212-217.

Lihat juga:
1. Masyari’ul Asywaqi ila mashori’il
Usysyaqi: 1/285-290.
2. Sifatush Shofwah: 2/369-370
3. Tarikh Islam: 1/214-215

Saat menulis ini, kupersembahkan
airmata cinta dan rindu untuk kedua
adikku di solo. Allahu yubarik fykum.
wa nas-alulloha al ikhlash.

✏ Dikirim oleh Al-akh Yahya Al-
Windany(salah satu thulab di Darul
Hadist Fuyus,Yaman)

WA THULLAB AL FIYUSY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."