Marilah kita duduk sesaat,
tinggalkan segala kesibukan pikiran. Sejenak kita merenung, niscaya kita
akan mendapat manfaat, insya Allah.
Pertama, merenungi mulianya
kebenaran dan rendahnya kebatilan.
Caranya adalah dengan merenungi
keagungan Allah Subhanahuwata’ala, Rabb sekalian alam,bahwa Dia
mencintai kebenaran dan membenci kebatilan. Barang siapa mengikuti
kebenaran, ia berhak memperoleh ridha-Nya. Allah Subhanahuwata’ala pun
akan menjadi penolongnya di duniadan akhirat, sehingga
Allah Subhanahuwata’ala akan memilihkan segala sesuatu yang Dia ketahui
baik dan mulia baginya hingga Allah Subhanahuwata’ala mewafatkannya.
Allah Subhanahuwata’ala juga akan
mengangkat derajatnya, mendekatkannya kepada- Nya, serta menempatkannya
di sisi-Nya dalam keadaan mulia, diberi nikmat yang langgeng dan
kemuliaan yang abadi, yang angan-angan tidak akan mampu membayangkan
kebesarannya.
Adapun seseorang yang condong kepada
kebatilan, dia berhak mendapat kemurkaan Rabb sekalian alam dan
hukuman-Nya. Barang siapa di antara Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya
al-Mu’allimi rahimahumullah. mereka diberi-Nya sedikit kenikmatan
dunia, hal itu sesungguhnya karena rendahnya dia di sisi-Nya, untuk
menambahnya semakin jauh dari-Nya dan agar Allah Subhanahuwata’ala
melipatgandakan untuknya siksaan di akhirat dengan siksaan yang pedih
lagi kekal dan tidak dapat dibayangkan kedahsyatannya oleh akal
siapapun.
Kedua, merenungi perbandingan kenikmatan
dunia dengan ridha Rabbul Alamin beserta kenikmatan akhirat. Juga
perbandingan kesengsaraan dunia dengan murka Rabb sekalian alam dan
siksaan akhirat. Juga mentadaburi firman Allah Subhanahuwata’ala,
ڻ ۀ ۀ ہ ہ ہ ہ ھ ھ ھ
Tatkala kebenaran (al-Qur’an) itu datang
kepada mereka, mereka berkata, “Inia dalah sihir dan sesungguhnya kami
adalah orang-orangyang mengingkarinya.” Dan mereka berkata, “Mengapa al
Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua
negeri (Makkah dan Thaif) ini? Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat
Rabbmu?” Kami telah menentukan antara mereka penghidupa nmereka dalam
kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Rabbmu lebih baik daripada
apa yang mereka kumpulkan. Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari
manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami buatkan
bagi orang orang yang kafir kepada Rabb Yang Maha Pemurah loteng-loteng
perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga tangga ( perak) yang merekame
naikinya. Dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah
mereka dan (begitu pula) dipan-dipan yang mereka bertelekan di atasnya.
Dan ( Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka).
Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan k
ehidupanakhiratitudisisi Rabbmua dalahb agoi rang-orangy ang bertakwa.
(az-Zukhruf: 30—35)
Dipahami dari ayat di atas, apabila
manusia tidak jadi satu umat, tentu Allah Subhanahuwata’ala akan memberi
ujian bagi kaum mukminin dengan sesuatu yang luar biasa, di antaranya
dengan kafakiran yang sangat, mudarat, rasa takut, kesedihan, dan selain
itu. Cukup (bukti) bagi Anda bahwa Allah Subhanahuwata’ala menguji para
nabi-Nyadan orang-orang pilihannya.
Dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yangartinya),
“… permisalan seorang mukmin bagaikan
ranting yang lentur dari sebuah pohon, angin menggerakkannya, terkadang
membuatnya miring dan terkadang menegakkannya sampai kering. Adapun
permisalan orang fajir adalah bagaikan pohon khamah yang kaku, tegak
pada pangkalnya, tidak ada yang bisa menggerakkannya sehingga (bila
tumbang) tumbangnya sekaligus.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Maksudnya, ini sebagai pendidikan bagi
kaum muslimin, agar seorang mukmin tetap merasa tenang dengan kepenatan
kehidupan dan musibahnya, menghadapinya dengan ridha, sabar, dan
berharap pahala di sisi Rabbnya, dengan kalbu yang tulus, tidak
menganganangankan berbagai nikmat duniawi,serta tidak iri kepada
pemiliknya.
Kemudian ia tidak merasa tenteram dengan
keselamatan dan nikmat (yang sementara ini ada pada dirinya) serta
tidak terus condong kepadanya. Bahkan ia menyambut semua itu dengan
tetap merasa khawatir dan penuh kehati-hatian, disertai rasa takut.
Khawatir bilamana semua itu ternyata disediakan untuknyakarena adanya
cacat pada imannya.
Oleh karena itu, jiwanya berkeinginan
menyalurkan nikmat-nikmat itu menuju jalan Allah Subhanahuwata’ala ,
tidak merasa tenteram dengan kelonggarannya dan juga tidak akan kikir,
tidak bangga diri dengan karunia yang diberikan kepadanya, tidak
sombong, dan tidak teperdaya.
Hadits tersebut tidak menyinggung keadaan orang-orang kafir karena hujah terhadapnya telah jelas bagaimana pun keadaannya.
Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah di antara manusia yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى
“Para nabi kemudian yang serupa dengan
mereka, kemudian yang serupa dengan mereka berikutnya, sehingga
seseorang diuji sesuai dengan kadar agamanya. Bila agamanya kokoh, maka
ujiannya semakin menguat. Tapi bila agamanya tipis maka dia pun akan
diuji sesuai dengannya. Maka ujian itu akan terus menimpa seorang hamba
sehingga Allah Subhanahuwata’ala akan biarkan dia berjalan di muka bumi
dalam keadaan tidak punya salah.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad, dan
ad-Darimi)
Sungguh, Nabi Ayyub Alaihissalam telah
diuji dengan ujian yang telah banyak kita dengar. Nabi Ya’qub
Alaihissalam diuji dengan kehilangan dua putranya, dan sungguh
pengaruhnya begitu besar pada kalbunya sebagaimana Allah
Subhanahuwata’ala kisahkan dalam kitab-Nya,
ۋ ۋ ۅ ۅ ۉ ۉ ې ې
Dan Ya’qub berpaling dari mereka
(anak-anaknya) seraya berkata, “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf,”
dkedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang
yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). (Yusuf: 84)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diuji dengan ujian seperti yang telah kita baca pada kisah perjalanan hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
. Allah Subhanahuwata’ala bebankan kepada beliau tugas untuk mengajak
kaumnya agar meninggalkan tradisi yang mereka tumbuh di atasnya, yang
mereka ikuti dari nenek moyang mereka, baik berupa perbuatan syirik
maupun kesesatan.
Dengan tegas beliau mengajak mereka
secara sembunyi ataupun dengan terang-terangan, siang dan malam
berkeliling di tempat-tempat perkumpulan mereka dan desa-desa mereka.
Terus beliau melakukan itu selama tiga belas tahun, sedangkan mereka
justru menyakiti beliau dengan sekeras kerasnya.
Padahal, sebelum itu, beliau telah hidup
di tengah-tengah mereka selama empat puluh tahun atau lebih, dan beliau
tidak pernah tahu ada yang mengganggu beliau. Beliau berasal dari
kabilah yang mulia, di rumah keluarga yang terhormat, serta beliau pun
tumbuh di atas akhlak yang mulia, karenanya beliau dihormati manusia dan
dimuliakan manusia.
Beliau juga pada puncak rasa malu,
ghirah, dan kemuliaan jiwa. Barang siapa yang seperti ini keadaannya
tentu terasa sangat pedih saat diganggu, sangat berat baginya untuk maju
menghadapi beragam gangguan, semakin terasa berat cobaan itu dengan
jenis gangguannya.
Yang ini merendahkannya, yang itu mencelanya, yang
lain meludahi mukanya, dan yang ini berusaha menginjak lehernya saat
beliau bersujud kepada Allah Subhanahuwata’ala.
Sementara itu, yang lain meletakkan
ari-ari unta di atas punggung beliau saat sujud, yang ini memegang kerah
bajunya dan mencekiknya, serta yang ini menusuk hewan tunggangannya
sehingga tunggangannya memelantingkan beliau. Bahkan, pamannya sendiri
selalu mengikutinya ke mana dia pergi untuk mengganggunya dan
memperingatkan orang-orang darinya serta mengatakan bahwa dia
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah pendusta, orang gila.
Ada pula yang menghasut orang orang
bodoh untuk mengganggu beliau sehingga melemparinya dengan batu sampai
kedua kaki beliau bercucuran darah. Mereka memboikotnya bersama
keluarganya dalam waktu lama di sebuah lembah agar mati kelaparan.
Mereka menyiksa para pengikutnya dengan siksaan yang beraneka ragam. Di
antara mereka ada yang mereka baringkan di atas pasir yang panas saat
terik matahari tanpa diberi air.
Ada pula di antara mereka yang dilempar
ke dalam api sehingga tidak ada yang memadamkannya selain punggungnya.
Bahkan, di antara mereka ada seorang wanita yang mereka siksa agar mau
kembali ke agamanya.
Ketika mereka putus asa dari kembalinya wanita itu,
salah seorang dari mereka menikamnya pada kemaluannya sehingga mati.
Semua itu tidak lain karena beliau
mengajak mereka untuk keluar dari kegelapan menuju cahaya, dari
kerusakan menuju kebaikan, dari kemurkaan Allah Subhanahuwata’ala menuju
keridhaan-Nya, dari siksa- Nya yang kekal menuju kenikmatan-Nya yang
abadi. Tetapi mereka tidak menoleh kepada semua itu, padahal bukti
begitu nyata. Keinginan mereka, yang penting menyelisihi kemauan
muslimin.
Di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
diuji dengan wafatnya kedua orang tuanya saat beliau masih kecil, lalu
kakeknya, lalu pamannya yang dahulu melindunginya, lalu istrinya yang
selama itu menenteramkannya dan meringankan bebannya. Kemudian cobaan
terus menimpanya—dan perincian masalah ini panjang—padahal beliau adalah
pemuka anak Adam, bahkan yangpaling dicintai oleh Allah
Subhanahuwata’ala.
Perhatikanlah ini semua, agar kita
mengetahui dengan sebenar-benarnya bahwa apa yang kita perebutkan
matimatian berupa kenikmatan dunia berikut kedudukannya, ternyata tidak
ada artinya di hadapan keridhaan Allah Subhanahuwata’ala dan kenikmatan
yang abadi di sisi-Nya. Apa yang kita hindari, seperti kesengsaraan
dunia dan kesusahannya, ternyata juga tidak berarti apa-apa dibandingkan
dengan kemurkaan Allah Subhanahuwata’ala, kemarahan-Nya, dan kekekalan
di neraka jahannam.
Anas bin Malik radhiyallahu anhu meriwayatkan, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya), “Didatangkan orang yang paling merasakan
nikmat dari pendudukdunia dari penghuni neraka pada hari kiamat, lalu
dicelupkan di dalam neraka satu kali celupan, lalu dikatakan
kepadanya‘,Wahai anak Adam, apakahkamupernahsekalisajamelihat keindahan,
apakah pernah sedikit saja melewatimus uatuk enikmatan?Maka ia
menjawab,‘ Tidak, demi Allah, wahai Rabbku.’ Di datangkan pula orang
yang palingsengsara selama di dunia dari penduduksurgalalu
dicelupkandengan satu kali celupan disurga, kemudian dikatakan
kepadanya,‘Wahai anak Adam, apakah engkau pernah melihat kesengsaraan
sedikit saja? Apakah pernah melewatimu kesusahan sedikit saja? Ia
menjawab,‘ Tidak, demi Allah, wahai Rabbku, tidak pernah melewatiku
kesengsaraan sama sekali dan aku tidak pernah melihat kesusahan
samasekali’.” (Sahih, HR. Muslim) (insya Allah bersambung)
(diterjemahkan oleh Qomar Suaidi ZAdarikitab al-Qa’idila Tashihil‘Aqaid)
sumber: http://asysyariah.com/oase-10-bahan-renungan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar