(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc.)
Makna Politik
Politik, dalam bahasa arab disebut dengan siyasah. Dalam kamus Lisanul Arab
karya Ibnu Manzhur (juz 6 hal. 429) disebutkan bahwa kata siyasah
bermakna mengurus sesuatu dengan kiat-kiat yang membuatnya baik.
Politik itu sendiri, menurut Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah terbagi menjadi dua macam:
1. Politik yang diwarnai kezaliman. Maka ini diharamkan dalam syariat Islam.
2. Politik yang diwarnai keadilan. Maka ini bagian dari syariat Islam. (Lihat Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 4)
Politik,
bila dilihat dari sisinya yang buruk (politik yang diwarnai kezaliman)
semata, akan melahirkan trauma politik pada seseorang. Ujung-ujungnya
berkesimpulan bahwa politik itu kejam dan politikus tak lain hanyalah
ahli tipu muslihat yang kental dengan sifat makar, dusta, dan licik.
Sebenarnya bila dilihat dari segala sisinya, ada pula politik yang
syar’i (politik yang diwarnai keadilan). Bahkan ia merupakan salah satu
cabang dan pintu dari syariat Islam yang mulia ini, sebagaimana
dikatakan Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya yang monumental I’lamul Muwaqqi’in, juz 4 hal. 452. Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, politik yang syar’i disebut dengan as-siyasah asy-syar’iyyah.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala,
lantas apakah keterangan di atas merupakan legitimasi bagi politik
praktis yang ‘diimani’ partai politik (parpol) Islam sekarang ini? Untuk
mengetahui jawabannya simaklah penjelasan berikut ini.
Fatamorgana Politik Praktis
Politik
praktis merupakan cara berpolitik ala barat (baca: musuh-musuh Islam)
dalam menentukan kepala negara/pemerintahan serta anggota lembaga
legislatif (baca: politik untuk mencapai kekuasaan), yang
dijejalkan di negeri-negeri muslim. Sistem tersebut tidaklah diciptakan
dan dijejalkan di negeri-negeri muslim melainkan untuk mem-fait accompli
kekuatan umat Islam yakni agar mereka tidak punya pilihan di negerinya
sendiri (seakan-akan tidak bisa menghindarinya), sekaligus memalingkan
mereka dari mendalami agamanya (tafaqquh fiddin) dengan berbagai
kesibukan politik. Sehingga tidaklah satu negeri muslim pun yang
menganut sistem tersebut, melainkan kekuatan dan keilmuan umat Islamnya
benar-benar terpantau dengan jelas oleh musuh-musuhnya.
Mungkinkah
sistem yang diciptakan barat (baca: musuh-musuh Islam) dengan sekian
pelanggarannya tersebut dapat mengantarkan umat Islam kepada
kejayaannya? Spontan, orang yang berakal akan menjawab: “Tidak mungkin!”
Tak ubahnya fatamorgana, dari jauh seakan air yang menyejukkan, namun setelah didekati ternyata pemandangan semu belaka.
Tengoklah
kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir, pimpinan Hasan Al-Banna.
“Perjuangan” bertahun-tahun harus berakhir di tiang gantungan, penjara,
atau tembak mati. Demikian pula FIS (sebuah partai “Islam” di Aljazair)
yang berhasil menang pada putaran pertama pemilu tahun 1412 H. Impian
pun lenyap manakala militer melakukan kudeta dengan alasan ‘negeri dalam
kondisi darurat’. FIS pun meradang, genderang “jihad” melawan penguasa
ditabuh. Pertempuran bersenjata pun terjadi, dan akhirnya pertumpahan
darahlah kesudahannya.1 Lagi-lagi umat Islam sebagai tumbalnya.
Agama mereka terlantar, dakwah pun semakin hari semakin tergerus oleh
‘kejamnya’ kehidupan berpolitik mereka.2
Lebih dari
itu, konsekuensinya sangat berat khususnya bagi seorang muslim yang
berteguh diri di atas Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mengapa demikian? Karena asasnya adalah demokrasi yang ‘menuhankan’
suara rakyat (mayoritas). Kendaraannya adalah kampanye dengan segala
pelanggaran syar’i dan etikanya. Panoramanya adalah ikhtilath
(campur-baur laki perempuan). Ciri khasnya adalah persaingan ketat,
bahkan perseteruan tak sehat dengan obral janji yang (nampak)
menggiurkan. Taruhannya adalah menjual prinsip al-wala’ wal bara’.3 Wallahul Musta’an.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala, untuk mengetahui lebih rinci tentang jalan yang mengantarkan kepada kejayaan umat Islam, silakan buka kembali Majalah Asy Syariah edisi Polemik Menuju Negara Islam (No. 16/II/1426 H/2005.
Adapun rincian bahasan seputar partai politik Islam, maka dapat anda
ikuti pada Kajian Utama Majalah Asy Syariah edisi kali ini, insya Allah.
Apa Itu As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i)?
Setelah
mengikuti bahasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa as-siyasah
asy-syar’iyyah adalah bagian dari syariat Islam. Sedangkan politik
praktis, tak lain adalah ciptaan barat (baca: musuh-musuh Islam) yang
tidak ada kaitannya dengan as-siyasah asy-syar’iyyah dan sudah barang
tentu bukan dari Islam.
Bila
demikian, apa definisi as-siyasah asy-syar’iyyah menurut terminologi
syariat? Menurut terminologi syariat, as-siyasah asy-syar’iyyah bermakna
pengaturan urusan pemerintahan kaum muslimin secara menyeluruh dengan
kiat-kiat yang dapat mewujudkan kebaikan (maslahat) serta mencegah
terjadinya keburukan (mafsadah), dengan tetap menjaga batasan-batasan
syar’i dan prinsip-prinsipnya secara umum -meskipun tidak secara nash-
serta perkataan para imam ahli ijtihad. (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Abdul Wahhab Khallaf, hal. 15. Dinukil dari Madarikun Nazhar fis Siyasah hal. 126-127)
Dari
sini, diketahui bahwa as-siyasah asy-syar’iyyah disamping berpegang
dengan dalil yang tegas, juga berpijak pada maslahah mursalah, yaitu
suatu maslahat di mana tidak didapati dalil secara tegas baik yang
memerintahkan maupun yang melarang. Tentunya, yang menentukan sebagai
maslahat adalah para imam ahli ijtihad, bukan sembarang orang.
Demikianlah penjelasan Ibnu ‘Aqil, Ibnul Qayyim, Ibnu Nujaim, dan yang
lainnya rahimahumullah dari para pakar di bidang ini. (Lihat Madarikun Nazhar fis Siyasah hal. 128-129)
Mengenai
rincian as-siyasah asy-syar’iyyah, sesungguhnya telah dijelaskan para
ulama Islam dalam banyak karya tulisnya. Di antaranya; Al-Imam
Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wal Wilayat Ad-Diniyyah,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (yang
terhimpun dalam Majmu’ Fatawa, juz 28), Al-Imam Ibnul Qayyim dalam Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, dan selainnya.
Mengenal Lebih Jauh As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i)
Para
pembaca yang semoga dirahmati Allahl, mengingat as-siyasah
asy-syar’iyyah amat terkait dengan pengaturan urusan pemerintahan, maka
tentunya ada dua pihak yang saling terkait dengannya; pihak pengatur
dalam hal ini adalah para penguasa (ulil amri) dan pihak yang diatur
dalam hal ini adalah rakyat. As-siyasah asy-syar’iyyah yang dijalankan
para penguasa tersebut tak akan berjalan dengan baik tanpa adanya
sambutan ketaatan dari rakyat. Maka dari itu, adanya gayung bersambut
antara para penguasa dan rakyatnya dalam hal penerapan as-siyasah
asy-syar’iyyah merupakan keharusan. Karena dengan itulah terwujud
kehidupan yang tenteram, aman, dan sentosa. Sebagaimana yang terjadi
pada masyarakat sahabat di bawah kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga masyarakat tabi’in serta tabi’ut tabi’in di bawah kepemimpinan para penguasanya.
Di antara dasar pijakan as-siyasah asy-syar’iyyah adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ
اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا
بَصِيرًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kalian menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)
jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 58-59)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Menurut para ulama, ayat pertama (dari dua ayat di atas) turun
berkaitan dengan para penguasa (ulil amri), agar mereka menyampaikan
amanah kepada yang berhak menerimanya. Dan apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya menetapkannya dengan adil. Sedangkan ayat kedua
turun berkaitan dengan rakyat baik dari kalangan militer maupun
selainnya, agar mereka senantiasa taat kepada para penguasanya dalam hal
pembagian jatah, keputusan, komando pertempuran, dan lain sebagainya.
Kecuali jika mereka memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak boleh
menaati makhluk (para penguasa tersebut) dalam rangka bermaksiat kepada
Al-Khaliq (Allah Subhanahu wa ta’ala). Jika terjadi perbedaan
pendapat antara para penguasa dengan rakyatnya dalam suatu perkara,
hendaknya semua pihak merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika sang penguasa tidak mau menempuh jalan tersebut, maka perintahnya yang tergolong ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap
wajib ditaati. Karena ketaatan kepada para penguasa dalam perkara
ketaatan tersebut merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula hak mereka (para penguasa), tetap harus dipenuhi (oleh rakyatnya), sebagaimana yang diperintahkan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan
tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2) [Lihat Majmu’ Fatawa, juz 28 hal. 245-246]
Untuk mengenal lebih jauh tentang contoh as-siyasah asy-syar’iyyah dan penerapannya, perhatikanlah poin-poin berikut ini.
1. Suatu
tugas/jabatan diberikan kepada yang berhak menyandangnya, baik terkait
dengan kemiliteran maupun selainnya. Pemberian tugas/jabatan tersebut
tak boleh didasari kedekatan pribadi ataupun hubungan kekerabatan
(nepotisme). Sahabat Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata:
“Barangsiapa mempunyai suatu kewenangan terhadap urusan kaum muslimin,
kemudian memberikan tugas/jabatan kepada seseorang karena kedekatan
pribadi atau hubungan kekerabatan, maka ia telah berkhianat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum muslimin.”
2. Kriteria kelayakan mendapat tugas/jabatan ada dua: kuat dan dapat dipercaya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Sesungguhnya orang terbaik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26)
Kuat di
sini tergantung pada tugas/jabatan yang diemban. Kuat dalam hal
kepemimpinan perang tolok ukurnya adalah keberanian/ketegaran jiwa,
pengalaman bertempur dengan segala tipu muslihatnya serta keahlian dalam
mengatur strategi pertempuran. Kuat dalam hal memutuskan perkara
(hukum) di antara manusia tolok ukurnya adalah kepahaman tentang
prinsip-prinsip keadilan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
serta kemampuan untuk merealisasikan keputusannya tersebut. Adapun dapat
dipercaya (amanah), maka tolok ukurnya adalah rasa takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak menjual ayat Allah Subhanahu wa ta’ala dengan harga yang murah (hal-hal duniawi, red.) serta tidak takut terhadap (celaan) manusia (dalam keputusannya).
3.
Berkumpulnya dua sifat, kuat dan dapat dipercaya pada seseorang,
merupakan sesuatu yang langka. Oleh karena itu, jika ada dua orang; yang
satu lebih amanah sedangkan yang lainnya lebih kuat, maka yang
diutamakan adalah yang paling bermanfaat bagi (kelangsungan) tugas
tersebut dan yang paling sedikit mudaratnya. Atas dasar itu, yang
diutamakan dalam hal kepemimpinan perang adalah seorang yang kuat lagi
pemberani/tegar jiwanya –walaupun terkadang jatuh dalam kesalahan-
daripada seseorang yang lemah mentalnya –walaupun ia seorang yang dapat
dipercaya-. Jika suatu tugas butuh sifat amanah yang lebih, maka
diutamakanlah seorang yang dapat dipercaya, seperti tugas mengelola
perbendaharaan dan yang semisalnya. Adapun tugas pendistribusian uang
sekaligus pengelolaannya, dibutuhkan seorang yang kuat lagi dapat
dipercaya.
Dalam hal
memutuskan perkara (hukum), diutamakan hakim yang paling berilmu
tentang prinsip-prinsip keadilan, paling wara’ (berhati-hati), dan
paling mampu dalam merealisasikan keputusan. Jika ada dua hakim, yang
satu lebih berilmu sedangkan yang lain lebih wara’ (berhati-hati), maka
dalam perkara yang penyelesaian hukumnya mudah namun rawan mengikuti
hawa nafsu dalam memutuskannya, diutamakanlah hakim yang lebih wara’
(berhati-hati). Sedangkan dalam perkara yang rumit penyelesaiannya dan
dikhawatirkan terjadi kerancuan dalam memutuskannya, maka diutamakanlah
hakim yang lebih berilmu. Kemudian jika ada dua hakim; yang satu lebih
berilmu dan lebih wara’ (berhati-hati), sedangkan yang lain lebih mampu
dalam merealisasikan keputusan hukum (tegas), maka pada kasus yang
penyelesaiannya didukung penguasa diutamakan seorang hakim yang lebih
berilmu dan lebih wara’ (berhati-hati). Namun pada kasus yang
penyelesaiannya kurang mendapat dukungan dari berbagai pihak (kebijakan
yang tidak populer) dan tidak terlalu dibutuhkan ilmu dan wara’ yang
berlebih, maka diutamakan seorang hakim yang lebih mampu dalam
merealisasikan keputusan hukum tersebut.
4.
Pentingnya memerhatikan partner (pasangan) dalam suatu tugas. Jika
pemimpin suatu tugas berkarakter lembut, maka wakilnya yang berkarakter
keras. Jika pemimpin berkarakter keras, maka wakilnya yang berkarakter
lembut. Demikian itu agar tercipta suatu keseimbangan (kestabilan) dalam
lingkungan tugas tersebut. Oleh karena itu, Khalifah Abu Bakr
Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu (yang berkarakter lembut) lebih memilih Khalid bin Al-Walid radhiallahu ‘anhu (yang berkarakter keras) sebagai wakilnya dalam komando perang. Sedangkan Khalifah Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu (yang berkarakter keras) lebih memilih Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah radhiallahu ‘anhu (yang berkarakter lembut) sebagai wakilnya. Sehingga terciptalah suatu keseimbangan (kestabilan) dalam lingkup tugas tersebut.
5. Di
antara sebab langgengnya suatu kepemimpinan adalah manakala diwarnai
dengan kedermawanan dan keberanian/ketegaran jiwa. Kedermawanan di sini
adalah mendistribusikan keuangan (seperlunya) kepada orang-orang yang
berhak mendapatkannya -walaupun mereka para tokoh-, untuk stabilisasi
sosial politik, kepentingan keagamaan baik yang bersifat fisik maupun
non fisik, dan lain sebagainya. Adapun keberanian/ketegaran jiwa,
maksudnya adalah tegar dalam mengatasi masalah, bersabar, dan tidak
marah kecuali karena Allah Subhanahu wa ta’ala. Suatu
kepemimpinan yang jauh dari kedermawanan dan keberanian/ketegaran jiwa
tersebut, maka kepemimpinannya akan cepat berakhir dan berpindah ke
tangan orang lain.
(Disarikan dari kitab As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yang terhimpun dalam Majmu’ Fatawa juz 28 hal. 244-296)
Adapun poin-poin penting yang dapat disarikan dari kitab Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah adalah sebagai berikut:
1. Tugas
inti pemerintah muslim adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar
(memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran) di tengah
rakyatnya. Sedangkan poros keberhasilan dari seluruh tugas/jabatan
pemerintahan adalah kejujuran dalam pemberian informasi/data dan
keadilan dalam memutuskan suatu putusan perkara. Ada suatu tugas/jabatan
yang sangat membutuhkan kejujuran pejabatnya. Seperti penanggung jawab
keuangan yang bertugas mencatat arus keluar masuk uang negara dan juga
para staf ahli kenegaraan yang bertanggung jawab menyampaikan informasi
valid tentang perkembangan situasi dan kondisi negara kepada penguasa
(ulil amri).
Ada pula
tugas/jabatan yang sangat membutuhkan keadilan pejabatnya, yaitu
manakala posisinya sebagai pembuat keputusan yang ditaati. Seperti para
pemimpin (instansi pemerintahan) baik sipil maupun militer, hakim, dan
lain sebagainya. Oleh karena itu merupakan suatu kewajiban bagi kepala
negara (pemimpin) untuk menjadikan orang-orang yang jujur dan adil
sebagai pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahannya. Adapun
rincian deskripsi tugas pada masing-masing tugas/jabatan, maka
menyesuaikan situasi dan kondisi. [Hal. 184-185]
2.
Diperbolehkan bagi pemerintah muslim untuk menerapkan siyasah juz’iyyah
(politik parsial). Yaitu menentukan satu keputusan di luar keumuman yang
terjadi, bila diyakini dapat mendatangkan maslahat yang bersifat umum
bagi umat Islam. Contohnya;
- Keputusan Khalifah Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu agar
umat Islam (di masanya) menunaikan ibadah haji dengan jenis haji ifrad
(salah satu jenis haji yang sah dengan mengkhususkan ibadah haji semata
tanpa umrah). Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
menekankan haji tamattu’ yang padanya terdapat rangkaian ibadah haji
dan juga umrah. Keputusan tersebut diambil manakala melihat Masjidil
Haram lengang dari para mu’tamirin (orang-orang yang berumrah) di luar
musim haji. Maka dengan keputusan tersebut Masjidil Haram pun selalu
diramaikan umat Islam baik di musim haji maupun di luar musim haji.
- Ketika terjadi pertikaian sengit antara dua orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa kekhalifahan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu dalam hal bacaan Al-Qur’an dan sama-sama bersaksi bahwa itulah yang didapat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu (dengan kesepakatan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
memerintahkan penyusunan Al-Qur’an untuk kali kedua4 dengan satu dialek
bacaan saja di antara dialek-dialek yang didapat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian membakar mushaf-mushaf selainnya. [Hal. 10-18]
3. Bagi hakim selaku pemberi amar putusan dalam suatu perkara, diperbolehkan untuk:
-
Mengatakan sesuatu yang sebenarnya ia tidak akan melakukannya: “Saya
akan lakukan demikian”, dalam rangka melacak kebenaran pihak yang
ditanganinya.
-
Memutuskan sesuatu yang menyelisihi pernyataan/pengakuan pihak yang
berseteru, manakala meyakini bahwa yang benar tidaklah seperti apa yang
dinyatakan pihak yang berseteru tersebut.
- Membatalkan putusan yang dijatuhkannya disebabkan adanya putusan lain dari hakim yang setara atau lebih mumpuni darinya.
Dasar dari semua itu adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dahulu ada dua orang wanita (masing-masing) bersama anaknya. Tiba-tiba
datang seekor serigala memangsa salah satu dari anak keduanya. Kedua
wanita itu pun mengklaim bahwa anak yang dimangsa tersebut bukan
anaknya, akan tetapi anak kawannya. Akhirnya keduanya pergi ke Nabi
Dawud ‘alaihissalam untuk menyelesaikan perkaranya. Maka
diputuskanlah bahwa anak yang ada saat ini adalah milik wanita (ibu)
yang lebih tua. Kemudian keduanya pergi ke Nabi Sulaiman bin Dawud e dan
menyampaikan putusan Nabi Dawud ‘alaihissalam tersebut. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata:
“Datangkanlah kepadaku sebilah pisau untuk memotong anak tersebut
menjadi dua bagian.” Maka dengan spontan wanita (ibu) yang lebih muda
mengatakan: “Jangan kau lakukan itu -semoga Allah Subhanahu wa ta’ala merahmatimu- sungguh anak tersebut miliknya.” Akhirnya Nabi Sulaiman ‘alaihissalam pun memutuskan bahwa anak tersebut milik wanita (ibu) yang lebih muda. (HR. Al-Bukhari no. 3427)
- Memutuskan suatu putusan berdasarkan indikasi kuat, manakala diyakini dapat mengantarkan kepada putusan yang tepat.5 Sebagaimana yang ditempuh Raja Mesir Al-Aziz6 seputar kasus istrinya yang menuduh Nabi Yusuf ‘alaihissalam berbuat tak senonoh terhadap dirinya. Dengan melihat posisi koyakan baju gamis Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang
berada di bagian belakang, maka diputuskanlah oleh Al-Aziz bahwa yang
salah adalah istrinya. Karena posisi koyakan baju gamis Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang berada di bagian belakang merupakan indikasi kuat bahwa istrinyalah yang mengajak Nabi Yusuf ‘alaihissalam untuk melakukan perbuatan tak senonoh itu. Ketika Nabi Yusuf ‘alaihissalam tak menyambut ajakannya lalu pergi meninggalkannya, wanita itu pun berupaya mengejar Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan menggapai baju gamis beliau hingga koyak di bagian belakangnya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَلَمَّا رَأَىٰ قَمِيصَهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ قَالَ إِنَّهُ مِنْ كَيْدِكُنَّ ۖ إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ
“Maka
tatkala suami wanita itu (Al-Aziz) melihat baju gamis Yusuf koyak di
bagian belakang, berkatalah dia: ‘Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di
antara tipu daya kamu (istrinya), sesungguhnya tipu daya kamu sangatlah
besar’.” (Yusuf: 28) [Hal. 4-5]
4. Putusan perkara yang dijatuhkan kepada anggota masyarakat (rakyat), bermuara pada dua kasus
a.
Pengaduan (tuduhan) satu pihak terhadap pihak lainnya, baik dalam
perkara pidana maupun perdata. Dalam kasus ini, pihak yang
diadukan/dituduh terdiri dari tiga jenis;
Pertama:
Si tertuduh dinyatakan bersih dari tuduhan tersebut. Maka menurut
kesepakatan ulama, dia tidak boleh dihukum. Sedangkan si penuduh
dijatuhi hukuman atas tuduhan dustanya itu.
Kedua: Si
tertuduh adalah seorang yang majhul (tidak jelas keadaannya) dari jenis
orang baik ataukah tidak. Maka untuk sementara waktu ia ditahan hingga
jelas duduk permasalahannya.
Ketiga:
Si tertuduh dikenal dengan kejahatannya. Maka dia ditahan hingga jelas
duduk permasalahannya. Khusus jenis ini, boleh diancam dengan kekerasan
atau dipukul jika diperlukan. Adapun cara dalam memutuskan suatu putusan
perkara dalam kasus pengaduan/tuduhan tersebut ada 25 cara, sebagaimana
disebutkan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya di atas hal. 83-182.
b.
Pelanggaran yang murni terkait dengan pelaksanaan agama, baik dalam hal
ibadah, muamalah, akhlak, dan lain sebagainya (tak terkait secara
langsung dengan pengaduan/tuduhan).
Untuk
menanganinya, maka pemerintah muslim membentuk tim/badan khusus yang
dalam kitab fiqh disebut Al-Hisbah. Tugas pokoknya adalah menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari
kemungkaran). Merekalah yang bertugas memerintahkan orang-orang untuk
menunaikan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Memberikan sanksi
terhadap orang yang tidak shalat baik dengan pukulan maupun penjara.
Mengontrol para imam masjid dan muadzin. Memerintahkan orang-orang untuk
shalat Jum’at, shalat berjamaah, menunaikan amanah, dan berlaku jujur.
Menyampaikan nasihat baik dengan ucapan maupun perbuatan. Melarang dari
perbuatan khianat, mengurangi timbangan dan sukatan, serta berlaku
curang dalam produksi barang dan perdagangannya. Mengontrol para
produsen makanan maupun pakaian serta melarang mereka untuk memproduksi
produk-produk yang diharamkan dalam agama ini. Melarang transaksi yang
dilarang Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
seperti riba dan segala transaksi yang mengandung unsur judi.
Menormalkan harga pasar dan mencegah para pedagang dari menimbun
barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan menekan para
penimbun tersebut agar menjualnya dengan harga pasar yang wajar, dan
lain sebagainya. [183-223]
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala,
demikianlah selayang pandang tentang as-siyasah asy-syar’iyah (politik
yang syar’i) yang dapat disajikan dalam kesempatan kali ini. Semoga
sedikit sajian tersebut dapat membuka cakrawala berpikir umat tentang
kehidupan beragama sekaligus menjadi motivator untuk semakin mendalami
agama Islam yang haq ini.
Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Catatan Kaki:
1
Untuk mengetahui lebih rinci tentang ratap tangis politik di Aljazair,
silakan merujuk kitab Madarikun Nazhar fis Siyasah dan Fatawa Al-Ulama’
Al-Akabir Fima Uhdira min Dima’ fi Aljazair. Keduanya karya Asy-Syaikh
Abdul Malik bin Ahmad Ar-Ramadhani
2
Prinsip berpolitik praktis itu sendiri diingkari para “reformis”
Ikhwanul Muslimin (IM) seperti Sayyid Quthb (Mesir), Abul A’la
Al-Maududi (Pakistan), dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka.
Menurut mereka, “jalan satu-satunya” adalah melakukan gerakan
penggulingan kekuasaan (kudeta). Padahal dengan prinsip tersebut
-disadari ataupun tidak- mereka telah teridentifikasi sebagai
Neo-Khawarij yang diperingatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
banyak sabdanya. (Untuk lebih rincinya, lihat Manhajul Anbiya’ fid
Da’wati Ilallah, Fihil Hikmah wal ‘Aql, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi
Al-Madkhali).
Demikian
halnya dengan Hizbut Tahrir (HT). Mereka lebih memilih berada di luar
sistem dengan terus melakukan penentangan terhadap para penguasa,
mengungkapkan pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat,
melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha
menggantinya, jika hak-hak umat dilanggar atau pemerintah tidak
menjalankan kewajibannya terhadap umat, yaitu bila melalaikan salah satu
urusan umat atau menyalahi hukum-hukum Islam. Ironisnya, dengan prinsip
tersebut -disadari ataupun tidak- HT telah meniti jejak Al-Qa’adiyyah,
salah satu sekte dari kelompok sesat Khawarij. Menurut Al-Imam Abdullah
bin Muhammad Adh-Dha’if, Al-Qa’adiyyah merupakan kelompok Khawarij yang
paling jahat. (Lihat Masail Al-Imam Ahmad karya Al-Imam Abu Dawud, rahimahullah hal. 271, Tahdzibut Tahdzib juz 8 hal. 114, dan Hadyus Sari Muqaddimah Fathil Bari hal. 454, keduanya karya Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, dan rubrik Manhaji Majalah Asy Syariah, edisi Polemik Menuju Negara Islam No. 16/II/1426 H/2005).
3 Untuk
mengetahui lebih rinci tentang al-wala’ wal-bara’ khususnya yang ada
pada kelompok Ikhwanul Muslimin, lihat rubrik Manhaji Majalah Asy
Syariah edisi Sejarah Hitam IM (Ikhwanul Muslimin) (No. 20/II/1426
H/2005).
4 Penyusunan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf untuk kali pertama terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu (dengan kesepakatan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam),
ketika para ahli Al-Qur’an dari kalangan sahabat banyak yang gugur
dalam pertempuran Yamamah di mana dikhawatirkan Al-Qur’an akan lenyap di
tengah umat.
5 Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah telah berpanjang lebar dalam menjelaskan kaidah tersebut beserta contoh-contohnya, sebagaimana pada hal. 3-50.
6 Al-Aziz
adalah sebutan bagi raja Mesir, secara harfiah berarti yang mulia.
Sedangkan namanya adalah Ar-Rayyan bin Al-Walid. Silakan lihat
pembahasan tentang nama Raja Mesir di masa Nabi Yusuf ‘alaihissalam pada rubrik Tafsir edisi ini. -red
sumber: http://www.darussalaf.or.id/aqidah/memaknai-politik-syari/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar