Radio Muwahiddin

Selasa, 20 Agustus 2013

Agar Kekuasaan Tetap Jaya dan Langgeng ( Khutbah Jum’at asy-Syaikh Khalid bin ‘Abdirrahman al-Mishri (26 Sya’ban 1434 H/5 Juli 2013 M) Menjelang keberangkatan beliau menuju ‘umrah. Paska lengsernya Muhammad Mursi dari kursi presiden )


Khutbah Jum’at asy-Syaikh Khalid bin ‘Abdirrahman al-Mishri

(26 Sya’ban 1434 H/5 Juli 2013 M)
Menjelang keberangkatan beliau menuju ‘umrah.
Paska lengsernya Muhammad Mursi dari kursi presiden.

عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: كَانَ مُحَمَّدُ بْنُ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَلَغَ مُعَاوِيَةَ وَهُوَ عِنْدَهُ فِي وَفْدٍ مِنْ قُرَيْشٍ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ العَاصِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَيَكُونُ مَلِكٌ مِنْ قَحْطَانَ، فَغَضِبَ مُعَاوِيَةُ، فَقَامَ فَأَثْنَى عَلَى اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ رِجَالًا مِنْكُمْ يَتَحَدَّثُونَ أَحَادِيثَ لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ، وَلاَ تُؤْثَرُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأُولَئِكَ جُهَّالُكُمْ، فَإِيَّاكُمْ وَالأَمَانِيَّ الَّتِي تُضِلُّ أَهْلَهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ «إِنَّ هَذَا الأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لاَ يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ، إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ عَلَى وَجْهِهِ، مَا أَقَامُوا الدِّينَ» رواه البخاري 7139

Artinya, dari az-Zuhri berkata, bahwa Muhammad bin Jubair bin Muth’im – yang kala itu bersama rombongan utusan dari Quraisy – menyampaikan bahwa telah sampai berita kepada Mu’awiyah kalau ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash menyampaikan bahwa ada datang seorang raja dari bangsa Qahthan. Maka marahlah Mu’awiyah. Beliau pun berdiri (berkhutbah) seraya memuji Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, kemudian beliau berkata, Amma Ba’d, sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwa beberapa orang dari kalian menyampaikan sebuah pembicaraan yang tidak terdapat dalam Kitabullah, tidak pula diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang bodoh di antara kalian. Hati-hatilah kalian dari cerita-cerita yang bisa menyesatkan. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya urusan ini (kekuasaan/khilafah) berada di tangan bangsa Quraisy. Tidaklah seorangpun yang menentang mereka (Quraisy) kecuali pasti Allah serert dia ke dalam Neraka. (Kejayaan itu) selama mereka (Quraisy) menegakkan agama.” (HR. al-Bukhari 7139)

Penjelasannya,


Seorang shahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash menyampaikan kepada umat manusia bahwa akan muncul seorang raja sebagai penguasa yang berasal dari bangsa Qahthan. Sementara Qahthan bukan Quraisy. Maka Amirul Mukminin Mu’awiyah (bin Abi Sufyan) marah mendengar hal itu. Kenapa? Karena beliau telah tahu dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa khalifah kaum muslimin, yang akan memerintah kaum kaum muslimin baik di penjuru timur maupun barat, di antara syaratnya adalah dia harus berasal dari Quraisy. Maka tatkala Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu mengetahui bahwa pernyataan ‘Abdullah bin ‘Amr tadi bertentangan dengan hadits Nabi, beliau pun mengingkari ucapan tersebut dan marah. Karena ucapan tersebut bertentangan dengan hadits yang mengatakan bahwa hukum asal seorang khalifah tertinggi itu haruslah berasal dari Quraisy.

Mu’awiyah pun berdiri berkhutbah di hadapan manusia. Beliau mengatakan dalam khutbahnya tersebut, “Sesungguhnya telah sampai berita kepadaku bahwa orang-orang mengatakan akan muncul raja yang berasal dari Qahthan. Mereka (yang mengatakan itu) adalah orang-orang bodoh di antara kalian. Hati-hati kalian dari omong kosong yang menyesatkan pengucapnya. Karena sesungguhnya aku mendengar Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Urusan ini (yaitu khalifah dan pemerintah tertinggi) akan terus berada di tangan Quraisy. Tidak ada seorangpun yang menentang mereka (Quraisy) kecuali akan Allah seret dia ke dalam neraka. Kejayaan itu selama mereka (Quraisy) menegakkan agama.”

Dari sini, apa yang bisa kita ambil pelajaran dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kejayaan itu selama mereka (Quraisy) menegakkan agama.”?

Yaitu bahwa kekuasaan di muka bumi, dan seorang pemimpin tidak akan langgeng dan kokoh kekuasaannya kecuali apabila dia menegakkan agama.

Adapun apabila dia tidak menegakkan agama ini, maka dia tidak akan diberi kekuasaan. Apabila dia ditentang/dimusuhi/dikudeta maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menolongnya menghadapi para penentang/pengkudeta tersebut.

Namun apabila pemimpin tersebut menegakkan agama, menjalankan hukum-hukum agama Allah, menegakkan syari’at Allah, maka ketika itu Allah akan membelanya.

Sebagaimana dalam hadits di atas, “Tidak ada seorangpun yang menentang mereka (Quraisy) kecuali pasti akan Allah seret dia ke dalam neraka! Kejayaan itu selama mereka (Quraisy) menegakkan agama.”" Jadi, syarat agar kekuasaan seorang pemimpin senantiasa eksis dan kokoh adalah dia harus menegakkan agama Allah.

Banyak pemimpin yang berjatuhan, banyak penguasa yang direndahkan. Namun Allah Ta’ala hanyalah mengokohkan kekuasaan seorang pemimpin yang mau menegakkan agama Allah.

Allah Ta’ala berfirman,
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (an-Nur : 55)

Maka kekuasaan itu tidaklah diperoleh dengan cara pergolakan/revolusi. Kekuasaan itu tidaklah diperoleh dengan cara pembunuhan umat manusia dengan tangan besi. Demikian pula kekuasaan tidaklah diperoleh dengan cara berpartai-partai dan berkelompok-kelompok, yang masing-masing saling menjatuhkan demi meraih kekuasaan.

Memang benar, bahwa tidak ada yang mengetahui ilmu ghaib kecuali Allah. Dan barangsiapa mengklaim mengetahui ilmu ghaib maka dia kafir. Namun ahlus sunnah memandang dengan bimbingan cahaya sunnah. 
Sehingga dia bisa benar dalam mayoritas kesimpulan-kesimpulannya.

Ketika di Mesir yang tampil sebagai penguasa berasal dari pihak yang berpaham dengan paham khawarij, maka aku katakan – sebelum dia dilantik – bahwa dia tidak akan langgeng kekuasaannya! Ini bukan meramal ilmu ghaib. Ini berdasarkan bimbingan as-Sunnah. Yaitu apabila seorang pemimpin menyimpang dari syari’at dan rusak aqidahnya, maka kita masih tetap wajib mendengar dan mentaatinya dalam hal yang bukan maksiat. Namun kita tahu, bahwa kekuasaannya tidak akan langgeng.

Sebagaimana kaum muslimin negeri al-Jazair berhasil sampai ke tampuk pimpinan dan sukses dalam Pemilu. Salah seorang imam Ahlus Sunnah – yaitu al-Imam al-Albani – mengatakan, “Ini hanya busa sabun.” Yakni kemenangan yang akan segera sirna, tidak akan berlangsung lama. Namun khawarij terus berjalan, kelompok-kelompok Islam terus bergerak, mengambil posisi di pemerintahan. Pada prakteknya mereka justru menjadikan umat benci kepada agama Allah. (Karena pada prakteknya mereka) menuduh fulan dengan zina, mengkafirkan si fulan, menuduh si fulan sebagai pendusta, pengkhianat, dan melakukan suap, mencela para hakim, dan mencela semua yang berbeda dengan mereka. Akhirnya membuat umat phobi terhadap agama Allah, benci kepada orang-orang berjenggot. Hingga bangkitlah umat melakukan revolusi dan terjadilah kudeta. Maka tentunya wajib mentaati siapa yang berhasil tampil sebagai pemimpin.

Ahlus sunnah – walillahil hamd – tidaklah kontroversi. Ketika (di Mesir) terjadi revolusi pertama (yakni tampilnya pemerintahan Muhammad Mursi), maka kami (ahlus sunnah) mendengar dan mentaati pemerintah yang berkuasa, dalam kondisi kami tahu kesesatan dan penyimpangan yang ada pada pemerintah. Namun kewajiban kami adalah bersabar.

Sekarang terjadi kudeta berikutnya, tampillah pemimpin yang baru dengan kekuatan militernya. Maka pemerintah ini pun juga wajib didengar dan ditaati. Bagi Ahlus Sunnah, sikap ini bukanlah sikap yang kontroversial. Kami (ahlus sunnah) berpindah dari satu bai’at ke bai’at berikutnya, demi menjaga darah kaum muslimin. Karena memang kami sama sekali tidak ada kepentingan terhadap kekuasaan dan kedudukan, tidak pula kami berupaya untuk mendapatkan andil di pemerintahan. Ahlus Sunnah tidak ada kepentingan sama sekali terhadap kekuasaan. Kepentingan kami hanyalah bagaimana mengupayakan umat manusia agar mau berjalan di atas as-Sunnah.

Namun mereka (rezim Mursi) kini berupaya untuk menentang dan memerangi penguasa yang berhasil mengalahkan mereka. Akibatnya banyak korban berjatuhan di negeri ini. Kenapa demikian? Karena sebagaimana kami katakan sejak awal, bahwa mereka adalah berpaham khawarij. …

Mereka sebelum ini telah berhasil sampai ke kursi kekuasaan. Namun apakah ada dari syari’at ini yang mereka terapkan? Kami (ahlus sunnah) ketika itu menahan lisan-lisan kami, karena prinsip kami adalah tidak boleh membicarakan/mencela waliyul amr, dan tidaklah kami menasehatinya kecuali dengan cara tersembunyi jika memungkinkan. Namun faktanya mana dari syari’at ini yang mereka terapkan? Mana dari agama ini yang mereka tegakkan? Dulu dalam pemilu mengkampanyekan bahwa Islam adalah solusi. Tatkala berhasil menguasai negara, manakah dari hukum Islam yang mereka terapkan?

Semoga Allah merahmati al-Imam al-Albani, ketika dulu beliau mengatakan, bahwa kelompok-kelompok Islam yang saling berlomba dan saling menjatuhkan demi meraih kekuasaan, maka meskipun telah sampai di kursi kekuasaan mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa sebelum mereka mendidik rakyat di atas agama dan syari’at. Kalau tidak, maka yang pertama kali menjatuhkan mereka adalah rakyat itu sendiri! Ini bukan meramal ilmu ghaib. Namun ini adalah cara pandang ahlus sunnah, yang meninjau setiap permasalahan berdasarkan ilmu.

Kalian berlomba untuk meraih kursi kekuasaan, dan kalian pun berhasil sampai ke kekuasaan tersebut, namun kalian tidak mendidik rakyat untuk berpegang kepada agama yang benar, maka ketika itu rakyat itu sendiri yang balik menjatuhkan kalian.

Oleh karena itu, mereka (kelompok-kelompok Islam) bukanlah para da’i yang menyeru kepada agama dan syari’at, namun mereka tidak lebih para penyeru yang mengajak kepada kekuasaan. Oleh karena itu, ketika militer berhasil, maka sang al-Mursyid al-’Am Ikhwanul Muslimin Muhammad Badi’ – pentolan khawarij – mengumumkan penentangan. Padahal, bukankah kalian telah memberi minum umat dengan gelas sama sebelum ini? Maka sekarang giliran kalian yang meminum dari gelas yang sama. Inilah buah dari revolusi dan perebutan kekuasaan. Setiap kali rakyat tidak suka pada pemerintahnya, maka mereka memberontak, menentang, dan ditumpahkanlah darah, serta dilanggarlah kehormatan. Inilah yang sejak dulu sudah kami peringatkan pada awal revolusi yang terjadi pada beberapa tahun ini.

Oleh karena itu tidak ada jalan bagi seorang pemimpin untuk kokoh kekuasaannya – siapapun dia – kecuali dengan cara menegakkan agama Allah dengan sebenar-benarnya. Bukan malah menjadikan agama ini sekedar sebagai slogan dan baju saja, demi mencapai kepentingan-kepentingannya. Tega menipu orang-orang yang tidak mengerti, menipu para pemuda yang tidak berilmu.

Sungguh menjaga darah kaum muslimin merupakan di antara kewajiban yang paling ditekankan. Sungguh hilangnya dunia ini masih lebih ringan di sisi Allah dibandingkan mengalirnya darah seorang muslim!!

Maka dari fakta ini, tahulah umat kenapa kami (ahlus sunnah) memperingatkan dari kelompok-kelompok pergerakan. Kenapa kami menyebut mereka sebagai khawarij? Baik kelompok Jama’ah Islamiyah, Ikhwanul Muslimin, atau pun yang lainnya. Juga orang-orang seperti Yasir Burmahi, dan pentolan takfiriyin di Kairo Muhammad Abdul Maqshud, dan si mubtadi’ fattan (ahlul bid’ah dan penyeru fitnah) Muhammad Hassan.

Namun sebagimana dalam hadits yang shahih, dari shahabat Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, yang ketika itu beliau sebagai Amirul Mukminin dan Khalifah kaum muslimin.

كَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى عَائِشَةَ أُمِّ المُؤْمِنِينَ أَنِ اكْتُبِي إِلَيَّ كِتَابًا تُوصِينِي فِيهِ، وَلَا تُكْثِرِي عَلَيَّ، فَكَتَبَتْ عَائِشَةُ إِلَى مُعَاوِيَةَ: سَلَامٌ عَلَيْكَ. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنِ التَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ، وَمَنِ التَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ، وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ»

Amirul Mukminin Mu’awiyah menulis surat kepada ‘Aisyah Ummul Mukminin, (yang isinya) tulislah kepada sebuah surat yang di dalamnya engkau memberikan wasiat kepadaku namun jangan terlalu panjang. Maka ‘Aisyah pun menulis kepada Mu’awiyah:
Salamun ‘alaika. Amma Ba’d:

Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mencari ridha Allah walaupun dengan kemurkaan manusia, maka Allah akan cukup dia dari merasa butuh kepada manusia. Namun barangsiapa yang mencari keridhaan manusia dengan kemurkaan Allah, maka serahkan dia pada manusia.”
Wassalam ‘alaika
(HR. at-Tirmidzi 2414)

Wahai kaum muslimin,

Sesungguhnya ilmu dan fiqh dalam agama merupakan jalan menuju kekuasaan. Bani Israil, Allah kisahkan tentang mereka sepeninggal Nabi Musa ‘alahish shalatu was salam.
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوا قَالُوا وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ (246) وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (247)} [البقرة: 246، 247]
“Apakah kalian tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami bisa berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka itu menjawab: “Mungkin sekali jika kalian nanti diwajibkan berperang, malah kalian tidak mau berperang”. Mereka menjawab: “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari negeri kami dan dari anak-anak kami?” Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, ternyata merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. dan Allah Maha mengetahui siapa orang-orang yang zhalim.

Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi raja kalian.” Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak terhadap kekuasaan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih dia (sebagai raja) atas kalian dan menganugerahinya ilmu yang luas dan fisik yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui.” (al-Baqarah : 246-247)

Jadi orang-orang yang berperang demi meraih kekuasaan, maka mereka telah menyerupai orang-orang Yahudi. Yaitu ketika orang-orang Yahudi mengatakan kepada Nabi mereka, “bagaimana Thalut menjadi pimpinan, sementara kami lebih berhak atas kekuasaan/kepemimpinan dibanding dia.” Ini perbuatan Yahudi dan Khawarij, yaitu mereka memandang diri mereka lebih berhak terhadap kekuasaan dibandingkan orang lain. “… dan dia tidak diberi harta sedikitpun.” Yakni, justru kamilah yang menguasai harta, pemiliki kekayaan, dan menguasai perekonomian, maka kami lebih berhak terhadap kekuasaan daripada orang yang diangkat oleh Allah ini.

Kemudian lihat apa jawaban sang Nabi terhadap orang-orang Yahudi, “Sesungguhnya Allah telah memilih dia (sebagai raja) atas kalian dan menganugerahinya ilmu yang luas dan fisik yang perkasa.”

Yakni sebab kenapa dia (Thalut) berhak menjadi raja (penguasa), adalah dua hal, yaitu ilmu dan kekuatan fisik. Jadi yang pertama adalah ilmu. Dengan ilmu seseorang diberi kekuasaan di bumi Allah. Sebaliknya dengan kebodohan akan terjadi pertumpahan darah dan berbagai fitnah. Dulu khawarij mengkafirkan pemerintah-pemerintah muslimin, karena dinilai tidak berhukum dengan syari’at Islam, dan berhukum dengan undang-undang buatan manusia. Kemudian ketika ada salah seorang dari khawarij berhasil meraih kekuasaan, maka Muhammad ‘Abdul Maqshud berbicara selama 2 jam lebih membela undang-undang buatan manusia!!  Ini merupakan penyimpangan dari agama.

Aku mendidik para penuntut ilmu, ketika terjadi revolusi Mesir, aku ditanya, “Apa sikap kita?” aku katakan kepada mereka, “Shalat Zhuhur sebelum revolusi berapa rakaat?” 4 rakaat. “Setelah revolusi berapa rakaat?” tetap 4 rakaat. Nah, itulah. Jadi tidak ada yang baru (tidak ada perubahan) bagi kita. Kita adalah Ahlus Sunnah sebenarnya. Al-Haq adalah pasti, tidak ada keraguan padanya. Kita mengikuti para imam, Ahmad bin Hanbal, asy-Syafi’i, Malik, al-Bukhari, Muslim, dan para imam lainnya. Kita mengajarkan al-Kitab dan as-Sunnah kepada umat manusia, kita tidak berpaling kepada kekuasaan. Prinsip kita adalah bersabar. Jika dia adalah penguasa yang baik maka kita bersyukur kepada Allah. Namun jika dia adalah penguasa yang jahat maka kita bersabar dan mengharap pahala dari Allah. Kita tidak membentuk partai atau kelompok, tidak pula mendukung atau mengajak kepada partai atau kelompok tertentu, bahkan kita melarang hal itu dengan larangan yang sangat keras.

Kita menyatakan bahwa menerapkan syari’at adalah wajib, dan barangsiapa tidak menerapkannya maka dia tidak akan mendapat kekuasaan sebelum dan sesudahnya. Kita melarang dari pengkotak-kotakan umat. Kita melarang dari pertumpahan darah. Kita menyeru kepada tauhid. Kita melarang dari peribadatan kepada kubur, dari thawaf di kuburan. Kita memerintahkan umat kepada yang ma’ruf, mencegah mereka dari yang mungkar. Inilah agama yang dibawa oleh para nabi dan para rasul.

Oleh karena itu lihatlah sikap al-Imam Ahmad, tatkala penguasa saat itu mengikuti pendapatnya kelompok sesat Jahmiyah. Sehingga pemerintah membunuh kaum muslimin untuk memaksakan pendapat bahwa al-Qur`an adalah makhluk. Namun al-Imam Ahmad tetap bersabar, dan beliau mengatakan, “Bersabarlah kalian, sampai berhentinya kesulitan ini atau berakhirnya kekuasan penguasa yang zhalim ini.” Maka kita pun juga terus mengatakan, “Bersabarlah kalian, sampai berhentinya kesulitan ini atau berakhirnya kekuasan penguasa yang zhalim ini.” Jika dia adalah penguasa yang baik maka kita bersyukur kepada Allah. Namun jika dia adalah penguasa yang jahat maka kita bersabar dan mengharap pahala dari Allah. Kita tidak mencabut ketaatan terhadap penguasa selama penguasa masih menegakkan shalat dan tidak melakukan kekufuran yang nyata.

Ketika berakhir kekuasaan penguasa jahmiyyah, dan pemerintahan muslimin dipegang oleh khalifah al-Mutawakkil, maka al-Imam Ahmad mengirim surat kepadanya – sebagaimana diriwayatkan oleh kedua putra al-Imam Ahmad sendiri, ‘Abdullah dan Shalih – berisi bai’at dan pernyataan siap mendengar dan taat, dan beliau mengatakan bahwa umat sebelum ini berada dalam fitnah, ujian, dan kebid’ahan hingga Allah hilangkan itu semua dengan Amirul Mukminin (yakni khalifah al-Mutawakkil sebagai penguasa yang baru). Semoga Allah menambahkan taufiq kepadanya. Demikianlah sikap ahlus sunnah.

Adapun ketika datang pemimpin baru kemudian rakyat mengangkat senjata memberontak kepadanya, memeranginya, menumpahkan darah karenanya, maka tidakkah darah yang tertumpah tersebut mencegah kalian?! Subhanallah, namun bagi kaum khawarij, baik dari kalangan kelompok-kelompok Islam, ataupun dari kalangan orang-orang yang menamakan dirinya pro-revolusi yang berafiliasi kepada partai sekuler atau liberal, bagi mereka darah itu murah. Adapun Ahlus Sunnah, maka mereka tahu nilai mahalnya darah. Oleh karena itu, sebagaimana dalam Shahih al-Bukhari, bahwa yang pertama kali diselesaikan antar manusia pada hari Kiamat kelak adalah urusan darah. Dan juga dalam Shahih al-Bukhari, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin itu akan terus berada dalam kelapangan agamanya selama dia tidak menumpahkan darah yang haram.”

Maka kepada semua pihak hendak masing-masing bertaqwa kepada Allah. Hendanya masing-masing menetapi rumahnya. Janganlah dia mengulurkan tangannya untuk terlibat dalam pertumpahan darah. “Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb sekalian alam.” (al-Mai’dah)       

Kalau seorang diganggu rumah dan hartanya, maka silakan dia membela diri. Namun apabila yang meminta adalah penguasa, yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, maka dia wajib mendengar dan taat.

Oleh karena itu wajib kepada semua pihak untuk bertaqwa kepada Allah. Dan kepada kelompok-kelompok Islam yang jahil ini, wajib atas mereka untuk serius mendalami ilmu agama, serta menanyakan berbagai persoalan kepada ahlus sunnah, baik dari kalangan ‘ulama atau penuntut ilmu (yang kokoh keilmuannya). Hendaknya mereka mempelajari agama demi menghilangkan kedunguan dan kebodohon dari diri mereka. Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya akan Allah beri taufik. Sebaliknya barangsiapa yang Allah butakan mata hatinya, maka kita sama sekali tidak punya harapan terhadapnya.

Aku memohon kepada Allah agar menghilangkan fitnah dari negeri-negeri kaum muslimin, dan menurunkan rahmat-Nya kepada negeri dan hamba-hamba-Nya.


SUMBER: http://dammajhabibah.net/2013/08/19/agar-kekuasaan-tetap-jaya-dan-langgeng/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."