Radio Muwahiddin

Kamis, 20 Juni 2013

Perjuangan dan Semangat Para Ulama dalam Mencari Ilmu (Sekilas Catatan Penyemangat Hati)




من خرج في طلب العلم فهو في سبيل الله حتى يرجع
“Barangsiapa yang keluar untuk menuntut ilmu, maka dia di jalan Allah sampai dia kembali.” (HR. At-Tirmidzi)
Sesungguhnya mendapatkan ilmu itu harus dengan didatangi. Jika ingin mendapatkan sesuatu yang berharga tentu kita akan rela mengeluarkan banyak harta untuk mendapatkannya. Apalagi untuk mendapatkan ilmu, para ulama rela berkorban jiwa raga dan harta bahkan meninggalkan sanak saudara selama berpuluh-puluh tahun untuk mendapatkan ilmu, warisan nabi.



Berkata Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullaah,
باب من العلم يتعلمه الرجل خير له من الدنيا وما فيها
Satu bab dari ilmu yang dipelajari oleh seseorang itu lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.” [1]

Al-Imam Al-Hakim memberikan gambaran tentang orang yang menempuh jalan untuk mencari ilmu,
آثروا قطع المفاوز والقفاز على التنعم في الدمن والأوطان، وتنعموا بالبؤس في الأسفار مع مساكنة أهل العلم والأخبار، جعلوا المساجد بيوتهم، وجعلوا غذاءهم الكتابة، وسمرهم المعارضة، استرواحهم المذاكرة، وخلوقهم المداد، ونومهم السهاد، وتوسدهم الحصى
“Mereka lebih memilih untuk menempuh padang gurun dan tanah kosong daripada bersenang-senang di tempat tinggal dan negeri mereka. Mereka merasakan kenikmatan dalam kesengsaraan di dalam perjalanan bersama dengan ahli ilmu dan riwayat. Mereka jadikan masjid-masjid sebagai rumah mereka. Mereka jadikan menulis sebagai makanan kesehariannya. Mencocokkan tulisan sebagai percakapan di waktu malam. Mengulang pelajaran sebagai istirahat mereka. Tinta sebagai parfum mereka. Begadang sebagai tidur mereka. Dan kerikil sebagai bantal mereka.” [2]
وقد قيل للإمام أحمد: أيرحل الرجل في طلب العلم؟ فقال: بلى والله شديداً، لقد كان علقمة بن قيس النخعي والأسود بن يزيد النخعي وهما من أهل الكوفة، كانا إذا بلغهما الحديث عن عمر رضي الله عنه لم يقنعا حتى يرحلا إلى المدينة فيسمعا الحديث منه
Dan ditanyakan kepada Al-Imam Ahmad, “Apakah diharuskan seseorang bepergian untuk mencari ilmu?” Maka beliau menjawab, “Tentu saja, demi Allah sangat diharuskan. Sungguh ‘Alqamah bin Qais An-Nakha’i dan Al-Aswad bin Yazid An-Nakha’i mereka berdua berasal dari Kufah (di Iraq). Apabila telah sampai kepada mereka sebuah hadits dari ‘Umar radhiallaahu ‘anhu, mereka tidak akan puas sampai melakukan perjalanan ke kota Madinah dan mendengarkan langsung hadits tersebut dari beliau.”
Para ulama dalam mencari ilmu tidaklah dalam waktu yang singkat, cuma satu atau dua hari saja. Bahkan berbulan-bulan, bertahun-tahun, sampai puluhan tahun. Tentu di dalam perjalanan pun banyak gangguan dan rintangan yang harus dihadapi, rasa lapar dan haus, kesusahan, kesengsaraan, dan bahaya-bahaya lain yang mengancam jiwa.
فقد رحل الإمام أبو عبد الله محمد بن إسحاق بن منده لطلب العلم وعمره عشرون سنة، ورجع إلى بلده وعمره خمسة وستون عاماً، وكانت مدة رحلته خمسة وأربعين عاماً، وسمع فيها العلم وتلقاه عن ألف وسبعمائة شيخ، فلما رجع إلى بلده تزوج وهو ابن خمسة وستين عاماً، ورزق الأولاد، وحدث الناس وعلمهم
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ishaq bin Mandah pergi melakukan perjalanan untuk mencari ilmu pada saat umur beliau masih 20 tahun. Beliau kembali ke negerinya ketika sudah berumur 65 tahun. Berarti beliau melakukan perjalanan mencari ilmu selama 45 tahun. Pada waktu tersebut beliau mendengarkan ilmu dan mengambilnya dari 1700 syaikh. Kemudian beliau kembali ke negerinya dan menikah pada usia 65 tahun dan dikaruniai beberapa anak. Kemudian beliau menyampaikan hadits kepada manusia dan mengajarkannya. [3]

Al-Imam Adz-Dzahabi mengisahkan tentang Baqi bin Makhlad,
أما بقي بن مخلد فقد قام برحلتين إلى الشام والحجاز؛ الأولى استغرقت أربعة عشر عاماً والثانية استمرت عشرين عاماً، وكلها كانت على الأقدام ماشياً كما صرح هو بذلك حيث قال: كل من رحلت إليه فماشياً على قدمي
Baqi bin Makhlad melakukan perjalanan dua kali di negeri Syam dan Hijaz; yang pertama memakan waktu 14 tahun, dan yang kedua hingga 20 tahun, semuanya ditempuh dengan berjalan kaki. Sebagaimana yang dia ceritakan sendiri, ‘Setiap orang yang aku pergi kepadanya maka semuanya dengan berjalan dengan kedua kakiku.’”[4]

Dikisahkan, Abdullah bin Al-Qasim Al-’Ataki Al-Mishri berkeinginan untuk melakukan perjalanan dari Kairo menuju Madinah untuk mencari ilmu kepada Imam Malik. Sedangkan istri Abdullah dalam keadaan hamil. Maka beliau berkata kepada istrinya,
إني قد عزمت على الرحلة في طلب العلم، وما أراني عائداً إلى مصر إلا بعد مدة طويلة، فإن شئت أن أطلقك طلقتك فتنكحين من شئت، وإن أردت أبقيك في عصمتي فعلت ولكن لا أدري متى سأرجع إليك
“Sesungguhnya aku ingin sekali melakukan perjalanan untuk mencari ilmu. Aku mengira tidak akan kembali ke Mesir kecuali dalam waktu yang lama. Jika engkau ingin aku menceraikanmu maka aku akan menceraikanmu dan engkau bisa menikah lagi dengan orang yang kamu kehendaki. Jika engkau ingin tetap berada dalam tanggung jawabku maka akan aku lakukan. Akan tetapi aku tidak tahu kapan bisa kembali lagi kepadamu.”
Istrinya memilih untuk tetap bertahan dan menjadi istrinya. Maka berangkatlah Abdullah bin Al-Qasim ke tempat Imam Malik. Dia berada di sana selama 17 tahun bersama Imam Malik dan tidak melakukan jual beli. Pikirannya tercurah untuk menuntut ilmu. Saat ini, istrinya telah melahirkan seorang anak lelaki dan telah tumbuh dewasa. Abdullah bin Al-Qasim tidak mengetahui kabar tentang kelahiran anaknya dikarenakan berita tentang istrinya telah terputus semenjak dia meninggalkan istrinya. Berkata Abdullah bin Al-Qasim,
فبينا أنا ذات يوم عند مالك في مجلسه، إذ أقبل علينا حاج مصري شاب ملثم فسلم على مالك ثم قال: أفيكم ابن القاسم؟ فأشاروا إلي، فأقبل علي يعتنقني ويقبل ما بين عيني، ووجدت منه رائحة الولد، فإذا هو ابني الذي تركت زوجتي حاملاً به وقد شب وكبر
“Suatu saat aku sedang berada di majelisnya Imam Malik. Tiba-tiba datang kepada kami jama’ah haji dari Mesir yang masih muda dengan menutup mukanya kemudian mengucapkan salam kepada Imam Malik dan berkata, ‘Adakah di antara kalian yang bernama Ibnu Al-Qasim?’ Maka mereka menunjuk kepadaku. Lalu dia datang kepadaku, memelukku, dan mencium keningku. Aku mencium bau anak darinya. Ternyata dia adalah anakku yang dulu telah aku tinggalkan bersama istriku dalam keadaan hamil dan sekarang sudah tumbuh besar.”

Al-Khatib Al-Baghdadi menjelaskan tentang Al-Imam Al-Bukhari,
والإمام البخاري رحل إلى محـدثي الأمصـار، وكـتب بخراسان والجبال ومدن العراق كلها والحجاز والشام ومصر، وورد بغداد دفعات
“Al-Imam Al-Bukhari pergi ke banyak ahli hadits di berbagai negeri. Menulis hadits di Khurasan, di gunung-gunung dan kota-kota di Iraq semuanya, di Hijaz, di Syam, dan di Mesir. Datang ke Baghdad beberapa kali.” [5]

Al-Imam Al-Bukhari menceritakan tentang dirinya,
كتبت عن ألف شيخ من العلماء وزيادة، وليس عندي حديث إلا أذكر إسناده
“Aku telah menulis lebih dari seribu syaikh dari kalangan ulama. Dan tidaklah aku memiliki satu hadits pun kecuali aku sebutkan sanadnya.” [6]
Sejarah telah mencatat begitu besarnya kesungguhan para ulama dalam mencari ilmu. Perjuangan yang tak kenal lelah di antara panasnya sengatan terik matahari dan dahsyatnya musim dingin, sampai pun mereka mengorbankan raganya. Sempitnya kehidupan dan susahnya dalam menempuh perjalanan.

Al-Imam Adz-Dzahabi mengisahkan tentang perjalanan ‘Umar bin ‘Abdul Karim Ar-Rawasi dalam mencari ilmu,
ورحل عمر بن عبد الكريم الرواسي في طلب العلم، وسمع العلم من ثلاثة آلاف وستمائة شيخ، وفي إحدى رحلاته سقطت بعض أصابعه من شدة البرد والثلج، ولم يكن معه آنذاك ما يتدفأ به
‘Umar bin ‘Abdul Karim Ar-Rawasi melakukan perjalanan untuk mencari ilmu dan mendengarkan ilmu dari 3.600 syaikh. Pada suatu perjalanan, sebagian jari-jemarinya rontok dikarenakan cuaca yang sangat dingin dan bersalju. Sedangkan tidak ada sesuatu pun padanya untuk menghangatkan badan. [7]

Al-Imam Al-Hafizh Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi menceritakan tentang kisahnya dalam mencari ilmu,
بلت الدم في طلبي للحديث مرتين: مرة ببغداد ومرة بمكة؛ وذلك أني كنت أمشي حافياً في سفري لطلب العلم في شدة الحر وعلى الرمضاء المحرقة، فأثر ذلك في جسدي فبلت دماً، وما ركبت دابة قط في طلب الحديث إلا مرة واحدة، وكنت دائماً أحمل كتبي على ظهري في أثناء سفري، حتى استوطنت البلاد وما سألت في حال طلبي للعلم أحداً من الناس مالاً، وكنت أعيش على ما يأتيني الله به من رزق من غير سؤال
“Aku mengalami kencing darah ketika sedang mencari hadits dua kali; sekali di Baghdad dan sekali di Makkah. Hal itu disebabkan aku berjalan tanpa menggunakan alas kaki dalam perjalananku mencari ilmu di cuaca yang sangat panas di atas gurun yang membakar.  Maka hal itu mempengaruhi tubuhku sehingga aku kencing darah. Aku tidak pernah sama sekali menggunakan kendaraan untuk mencari hadits kecuali hanya sekali saja. Aku selalu membawa kitab-kitabku dia atas punggung di dalam menempuh perjalanan sampai suatu negeri. Aku tidak pernah meminta harta kepada seorang pun ketika mencari ilmu. Aku hidup atas rizki yang diberikan oleh Allah kepadaku tanpa meminta-minta.” [8]
وكابدوا المجد حتى ملَّ أكثرُهُم *** وعانق المجد من أوفى ومن صبرا
لا تحسبن المجد تمراً أنت آكله *** لن تبلغ المجد حتى تَلْعَقَ الصَـبِرَا
Mereka menahan derita hingga merasa bosan kebanyakan mereka
Kemuliaan akan memeluk orang yang tetap setia dan bersabar
Janganlah kamu anggap kemuliaan itu kurma yang kamu makan
Kamu tidak akan mencapai kemuliaan hingga menjilat kesabaran
Al-Imam Ibnu Katsir meriwayatkan,
وقال أحمد بن سنان الواسطي: بلغني أن أحمد بن حنبل رهن نعله عند خباز على طعام أخذه منه، عند خروجه من اليمن. وسرقت ثيابه وهو باليمن، فجلس في بيته ورد عليه الباب، وفقده أصحابه، فجاءوا إليه فسألوه فأخبرهم، فعرضوا عليه ذهباً فلم يقبله، ولم يأخذ منهم إلا ديناراً واحداً، ليكتب لهم به ـ أي أخذ الدينار على أن يكون أجرة لما ينسخه لهم من الكتب ـ فكتب لهم بالأجر، رحمه الله تعالى
Ahmad bin Sinan Al-Wasithi berkata, “Telah sampai kepadaku berita bahwa Ahmad bin Hanbal menggadaikan sandalnya kepada seorang penjual roti karena makanan yang diambil ketika keluar dari Yaman. Baju-bajunya dicuri ketika sedang di Yaman. Maka dia duduk di dalam rumahnya dan menutup pintunya. Sahabat-sahabatnya merasa kehilangan. Maka mereka pun mendatanginya dan bertanya kepadanya, maka dia menceritakan keadaannya. Mereka menawarkan emas akan tetapi dia menolaknya. Dia tidak menerima dari mereka kecuali satu dirham sebagai upah menulis untuk mereka. Maksudnya dia mengambil dinar sebagai upah menuliskan kitab untuk mereka. Maka dia menulis untuk mereka dan mendapat upah. Semoga Allah Ta’ala selalu merahmatinya. [9]

Muhammad bin Abi Hatim bercerita,
خرجت إلى آدم بن أبي إياس، فتخلفت عني نفقتي حتى جعلت أتناول الحشيش ولا أخبر بذلك أحداً، فلما كان اليوم الثالث أتاني آت لم أعرفه فناولني صرة دنانير، وقال: أنفق على نفسك
“Aku keluar untuk menemui Adam bin Abi Iyas. Perbekalanku datang terlambat sehingga aku terpaksa makan rumput. Dan aku tidak menceritakan hal itu kepada siapa pun. Setelah hari ketiga, seseorang yang tidak dikenal datang menemuiku kemudian memberikan kantong berisi beberapa dinar dan berkata, ‘Gunakanlah untuk keperluanmu.’” [10]

MasyaAllah, begitu mengagumkan ketegaran mereka dalam mencari ilmu. Dan apabila dikumpulkan kisah-kisah mereka semua, tentu tulisan ini tidak akan selesai. Keutamaan yang mereka miliki berupa perjuangan mencari ilmu telah menjadi sebab pertolongan Allah untuk agama ini, mereka menghafalkan ilmunya dan menyebarkannya kepada manusia. Karena tidaklah dinamakan ibadah itu jika tanpa ilmu, dengan ilmu syar’i mereka telah menjaga agama ini. Ibrahim bin Adham mengatakan,
إن الله يدفع البلاء عن هذه الأمة برحلة أهل الحديث
“Sesungguhnya Allah akan menghindarkan malapetaka dari umat ini dengan perjalanan yang dilakukan oleh ahli hadits.” [11]
Selain itu penjagaan mereka terhadap ilmu yang telah mereka dapatkan sungguh mengagumkan. Mereka gunakan waktu mereka sebaik-baiknya untuk menelah dan mengulang-ulang ilmu yang telah mereka dapatkan.

Al-Imam Ibnu Katsir mengatakan tentang keadaan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah,
وهذا الإمام البخاري رحمه الله يستيقظ في الليلة الواحدة من نومه، فيوقد السراج ويكتب الفائدة تمر بخاطره، ثم يطفئ سراجه، ثم يقوم مرة أخرى وأخرى، حتى كان يتعدد ذلك منه في الليلة الواحدة قريباً من عشرين مرة
“Inilah Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah terjaga dalam tidurnya dalam satu malam. Kemudian menyalakan lentera dan menuliskan faedah yang terlintas dalam pikirannya kemudian memadamkan lenteranya. Setelah itu bangun kembali dan demikianlah seterusnya. Hingga hal itu beliau lakukan dalam satu malah hampir 20 kali.” [12]

Ibrahim An-Nakha’i berkata,
إنه ليطول علي الليل حتى ألقى أصحابي فأذاكرهم
“Sungguh terkadang malam terasa sangat panjang bagiku, maka aku menemui teman-temanku kemudian aku ajak mereka mengulang pelajaran.” [13]

Salah seorang dari salaf mengatakan,
سهري لتنقيح العـلوم ألذ لي *** من وصل غانية وطيب عـناق
وتمايلي طرباً لكـل عـويصة *** أشهى من النغمات للعـشاق
وألذ من نقـر الفـتاة لدفها *** نقري لألقي الرمل عن أوراقي
أأبيت سهران الدجى وتبيته *** نوماً وتبغي بعد ذاك لحـاقي؟
Begadangku untuk mengoreksi ilmu lebih nikmat bagiku
Daripada hubungan dengan wanita dan indahnya pelukan
Lenggak-lenggokku karena kebahagiaan untuk mengatasi sedikit kesulitan
Lebih aku sukai daripada nyanyian orang yang sedang kasmaran
Dan lebih nikmat dari tepukan gadis pada rebananya
Tepukanku untuk membuang pasir dari kertas-kertasku
Apakah aku yang begadang pada malam hari, sementara engkau semalaman
Hanya tidur, kemudian hendak menyusulku?
Apa tanggapan anda tentang perkataan di atas? Jujurlah pada masing-masing diri kita. Sungguh jauh dibandingkan mereka. Kita berangan-angan mendapatkan kemuliaan sedangkan pada hakekatnya kita enggan mengikuti jalan mereka. Maka jadikanlah hal ini sebagai lecutan penyemangat bagi kita.

Berapa pun umur kita, tidak ada kata terlambat untuk menuntut ilmu. Imam Ibnu Hazm baru belajar pada usia 26 tahun. Imam Al-Qofal baru belajar pada umur 40 tahun. Bahkan ada ulama yang belajar pada usia 80 tahun. Sungguh ini tidak ada alasan bagi kita untuk menjauh dari majelis ilmu. Pun juga alasan untuk menunda-nundanya. Sampai ajal menjemput kita.
Al-Imam Ahmad memberi teladan bagi kita,
قال محمد بن إسماعيل الصائغ: مر بنا أحمد بن حنبل ونعلاه في يديه وهو يركض في دروب بغداد ينتقل من حلقة لأخرى، فقام أبي وأخذ بمجامع ثوبه وقال له: يا أبا عبد الله! إلى متى تطلب العلم؟ قال: إلى الموت
Muhammad bin Isma’il Ash-Shaigh berkata, “Ahmad bin Hanbal melewati kami sambil menenteng kedua sandalnya dengan kedua tangannya. Beliau berlari di jalan-jalan kota Baghdad, berpindah dari satu halaqah ke halaqah yang lain. Maka berdirilah ayahku dan memegang bajunya dan bertanya, ‘Wahai Abu Abdillah! Sampai kapan engkau terus menuntut ilmu?’ Maka beliau menjawab, ‘Sampai mati.’” [14]
Sesungguhnya apabila ilmu syar’i telah ditinggalkan, maka cita-cita akan menjadi lemah dan berkurang untuk mencapainya. Semoga dengan sedikit kisah kesabaran dan kesungguhan para ulama di dalam menuntut ilmu menjadikan diri kita memiliki semangat untuk mengikuti jejak mereka dan berjalan di atas jalan mereka.
فكن رجلا رجله في الثرى وهامة همته في الثريا
Maka jadilah seorang yang kakinya berada di atas tanah
Sedangkan cita-citanya setinggi bintang tsurayya
(Ibnul Jauzi)
catatan kaki:
[1] dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Raudhatul ‘Uqala dan Ibnu Abdil Barr
[2] Ma’rifah ‘Ulumul Hadits, hal. 2
[3] Tadzkirah Al-Huffazh (3/1032) karya Al-Imam Adz-Dzahabi
[4] Tadzkirah Al-Huffazh (2/631)
[5] Tarikh Baghdad (2/4) karya Al-Khatib Al-Baghdadi
[6] Tarikh Baghdad (2/10)
[7] Tadzkirah Al-Huffazh (4/1238) dengan ringkas
[8] Tadzkirah Al-Huffazh (4/1243)
[9] Al-Bidayah wa An-Nihayah (10/329) karya Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir
[10] Ath-Thabaqat Al-Kubra (2/227) karya As-Subki
[11] Syaraf Ashhabul Hadits karya Al-Khatib Al-Baghdadi
[12] Al-Bidayah wa An-Nihayah (11/28)
[13] Al-Jami’ li Akhlaq Ar-Rawi hal. 2 karya Al-Khatib Al-Baghdadi
[14] Syaraf Ashhabul Hadits hal. 68

referensi: Waratsatul Anbiya karya Syaikh Abdul Malik Al-Qoshim

sumber:
 http://rizkytulus.wordpress.com/2013/06/05/perjuangan-dan-semangat-para-ulama-dalam-mencari-ilmu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."