Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
Taat kepada pemerintah dalam perkara kebaikan. Inilah salah satu
prinsip agama yang kini telah banyak dilupakan dan ditinggalkan umat. Yang kini
banyak dilakukan justru berupaya mencari keburukan pemerintah sebanyak-banyaknya
untuk kemudian disebarkan ke masyarakat. Akibat buruk dari ditinggalkannya
prinsip ini sudah banyak kita rasakan. Satu di antaranya adalah munculnya
perpecahan di kalangan umat Islam saat menentukan awal Ramadhan atau Hari
Raya.
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam.
Hari-harinya diliputi suasana ibadah; shaum, shalat tarawih, bacaan Al-Qur`an,
dan sebagainya. Sebuah fenomena yang tak didapati di bulan-bulan selainnya. Tak
ayal, bila kedatangannya menjadi dambaan, dan kepergiannya meninggalkan kesan
yang mendalam. Tak kalah istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan juga sebagai
salah satu syi’ar kebersamaan umat Islam. Secara bersama-sama mereka melakukan
shaum Ramadhan; dengan menahan diri dari rasa lapar, dahaga dan dorongan hawa
nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, serta mengisi
malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai macam ibadah lainnya. Tak
hanya kita umat Islam di Indonesia yang merasakannya. Bahkan seluruh umat Islam
di penjuru dunia pun turut merasakan dan memilikinya.
Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari semakin pudar, manakala
elemen-elemen umat Islam di banyak negeri saling berlomba merumuskan keputusan
yang berbeda dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Keputusan itu
terkadang atas nama ormas, terkadang atas nama parpol, dan terkadang pula atas
nama pribadi. Masing-masing mengklaim, keputusannya yang paling benar. Tak
pelak, shaum Ramadhan yang merupakan syi’ar kebersamaan itu (kerap kali) diawali
dan diakhiri dengan fenomena perpecahan di tubuh umat Islam sendiri. Tentunya,
ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa pun yang mengidamkan persatuan
umat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata: “Itu karena
adanya perbedaan pendapat di antara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan
keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh ru`yatul hilal (melihat hilal)
ataukah dengan ilmu hisab?”. Bisa juga anda mengatakan: “Karena adanya perbedaan
pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu mathla’ (tempat keluarnya
hilal) ataukah masing-masing negeri mempunyai mathla’
sendiri-sendiri?”
Bila kita mau jujur soal penyebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu,
lepas adanya realita perbedaan pendapat di atas, utamanya disebabkan makin
tenggelamnya salah satu prinsip penting agama Islam dari hati sanubari umat
Islam. Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati penguasa (pemerintah) umat
Islam dalam hal yang ma’ruf (kebaikan).
Mungkin timbul tanda tanya: “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap
penguasa dengan pelaksanaan shaum Ramadhan?”
Layak dicatat, hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu
karena:
1.
Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan suatu kebersamaan
umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap
penguasa.
2.
Penentuan pelaksanaan shaum Ramadhan merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan)
dan bukan kemaksiatan. Sehingga menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara
yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika penentuannya setelah
melalui sekian proses, dari pengerahan tim ru‘yatul hilal di sejumlah titik di
negerinya hingga digelarnya sidang-sidang istimewa.
3.
Realita juga membuktikan, dengan menaati keputusan penguasa dalam hal
pelaksanaan shaum Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fithri, benar-benar
tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya, ketika umat Islam
berseberangan dengan penguasanya, perpecahan di tubuh mereka pun sangat
mencolok. Maka dari itu, menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang
diperintahkan dalam agama Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ
عَصَىاللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي
فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa
menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku
berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti
telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini
terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam
perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga
persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat
kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Mungkin ada yang bertanya, “Adakah untaian fatwa dari para ulama
seputar permasalahan ini?” Maka jawabnya ada, sebagaimana berikut
ini:
Fatwa Para Ulama Seputar Shaum Ramadhan Bersama Penguasa
q
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama
penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun
mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama
Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25, hal.
117)
q
Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini1 dengan
ucapan (mereka): ‘Sesungguhnya shaum dan berbukanya itu (dilaksanakan) bersama
Al-Jama’ah dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi juz 2, hal. 37. Lihat
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
q
Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah
bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan,
berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul Adha, -pen.) keputusannya bukanlah di
tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri.
Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat
Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan
mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal
(bulan sabit) namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak
dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat
Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiyah ‘ala Ibni Majah, lihat Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
q
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani2 berkata: “Dan selama
belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu mathla’ (dalam
menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, -pen.), aku berpendapat bahwa setiap
warga negara hendaknya melaksanakan shaum Ramadhan bersama negaranya
(pemerintahnya) masing-masing dan tidak bercerai-berai dalam perkara ini, yakni
shaum bersama pemerintah dan sebagian lainnya shaum bersama negara lain, baik
mendahului pemerintahnya atau pun belakangan. Karena yang demikian itu dapat
mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri. Sebagaimana yang
terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. Wallahul
Musta’an.” (Tamamul Minnah hal. 398)
q
Beliau juga berkata: “Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran,
yang di antara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan
mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu
perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang
bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied,
dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat
radhiallahu ‘anhum shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal
sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan,
dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya
tidak berpendapat demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna (4
rakaat) dalam safar dan di antara mereka pula ada yang mengqasharnya (2 rakaat).
Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah
di belakang seorang imam (walaupun berbeda pendapat dengannya, -pen.) dan tetap
berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu karena adanya pengetahuan mereka
bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda
pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada
pendapat pribadinya pada momen berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu
semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia
tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu
Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat
di Mina 4 rakaat (Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya’ -pen). Maka shahabat Abdullah bin
Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku telah shalat (di
Mina/hari-hari haji, -pen.) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu
Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman
shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan di antara kalian (sebagian shalat
4 rakaat dan sebagian lagi 2 rakaat, -pen.), dan harapanku dari 4 rakaat shalat
itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”
Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4
rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas
shalatnya yang 4 rakaat, (mengapa) kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!”
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih.
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari
shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhu.
Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan
bahan renungan oleh orang-orang yang (hobi, -pen.) berpecah-belah dalam urusan
shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya
shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih beda madzhab. Demikian pula
orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum
muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli
harus berseberangan dengan mayoritas kaum muslimin. Hendaknya mereka semua mau
merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat
bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar
mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin,
karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.” (Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 444-445)
q
Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pernah ditanya: “Jika
awal masuknya bulan Ramadhan telah diumumkan di salah satu negeri Islam semisal
kerajaan Saudi Arabia, namun di negeri kami belum diumumkan, bagaimanakah
hukumnya? Apakah kami bershaum bersama kerajaan Saudi Arabia ataukah bershaum
dan berbuka bersama penduduk negeri kami, manakala ada pengumuman? Demikian pula
halnya dengan masuknya Iedul Fithri, apa yang harus kami lakukan bila terjadi
perbedaan antara negeri kami dengan negeri yang lainnya? Semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala membalas engkau dengan kebaikan.”
Beliau menjawab: “Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama
(pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ،
وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka
adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian
berkurban.”
Wabillahit taufiq. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)
q
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ditanya: “Umat Islam di
luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi berbagai macam permasalahan
seperti (penentuan) masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, serta saling berebut
jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini terjadi setiap tahun. Hanya saja tingkat
ketajamannya berbeda-beda tiap tahunnya. Penyebab utamanya adalah minimnya ilmu
agama, mengikuti hawa nafsu dan terkadang fanatisme madzhab atau partai, tanpa
mempedulikan rambu-rambu syariat Islam dan bimbingan para ulama yang kesohor
akan ilmu dan wara’-nya. Maka, adakah sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan
dapat mencegah (terjadinya) sekian kejelekan? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberikan taufiq dan penjagaan-Nya kepada engkau.”
Beliau berkata: “Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh
berpecah-belah dalam beragama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًا وَالَّذِي
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى
أَنْ أَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيْهِ
“Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepadamu, Ibrahim,
Musa, dan Isa, yaitu:’ Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah
tentangnya’.” (Asy-Syura: 13)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan
janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ
مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan
berselisih setelah keterangan datang kepada mereka, dan bagi mereka adzab yang
pedih.” (Ali ‘Imran: 105)
Sehingga umat Islam wajib untuk menjadi umat yang satu dan tidak
berpecah-belah dalam beragama. Hendaknya waktu shaum dan berbuka mereka satu,
dengan mengikuti keputusan lembaga/departemen yang menangani urusan umat Islam
dan tidak bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun harus lebih tertinggal
dari shaum kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam lainnya.” (Fatawa Fi Ahkamish
Shiyam, hal. 51-52)
q
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal-Ifta`: “…Dan tidak
mengapa bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal (bulan tsabit) di
tempat tinggalnya pada malam ke-30, untuk mengambil hasil ru`yatul hilal dari
tempat lain di negerinya. Jika umat Islam di negeri tersebut berbeda pendapat
dalam hal penentuannya, maka yang harus diikuti adalah keputusan penguasa di
negeri tersebut bila ia seorang muslim, karena (dengan mengikuti) keputusannya
akan sirnalah perbedaan pendapat itu. Dan jika si penguasa bukan seorang muslim,
maka hendaknya mengikuti keputusan majelis/departemen pusat yang membidangi
urusan umat Islam di negeri tersebut. Hal ini semata-mata untuk menjaga
kebersamaan umat Islam dalam menjalankan shaum Ramadhan dan shalat Id di negeri
mereka. Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa
shahbihi wasallam.”
Pemberi fatwa: Asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin
Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat Fatawa Ramadhan hal.
117)
Demikianlah beberapa fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar kewajiban bershaum bersama penguasa dan mayoritas umat Islam di negerinya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan ibrah bagi orang-orang yang mendambakan persatuan umat Islam.
Demikianlah beberapa fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar kewajiban bershaum bersama penguasa dan mayoritas umat Islam di negerinya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan ibrah bagi orang-orang yang mendambakan persatuan umat Islam.
Mungkin masih ada yang mengatakan bahwasanya kewajiban menaati
penguasa dalam perkara semacam ini hanya berlaku untuk seorang penguasa yang
adil. Adapun bila penguasanya dzalim atau seorang koruptor, tidak wajib taat
kepadanya walaupun dalam perkara-perkara kebaikan dan bukan kemaksiatan,
termasuk dalam hal penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan ini.
Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, jika umat dihadapkan
pada polemik atau perbedaan pendapat, prinsip ‘berpegang teguh dan merujuk
kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam’ haruslah
senantiasa dikedepankan. Sebagaimana bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
kalam-Nya nan suci:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan
janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan
kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah
Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan.
Sebagaimana Dia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al-Qur`an
dan As-Sunnah baik secara keyakinan atau pun amalan…” (Tafsir Al-Qurthubi,
4/105)
Para pembaca yang mulia, bila anda telah siap untuk merujuk kepada
Al-Qur`an dan As-Sunnah maka simaklah bimbingan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah
berikut ini:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا
أَيَّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ
وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan
Ulil Amri di antara kalian.” (An-Nisa`: 59)
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah
orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan
para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan
sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta yang lainnya.”(Syarh Shahih
Muslim, juz 12, hal. 222)
Adapun baginda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau
seringkali mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini. Di antaranya dalam
hadits-hadits beliau berikut ini:
1.
Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata:
يَا
رَسُوْلَ اللهِ! لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى، وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ
وَفَعَلَ- فَذَكَرَ الشَّرَّ- فَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوا
وَأَطِيْعُوا
“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan
(terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap
penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan
kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada
Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam
Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah
Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)
2.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ، وَلاَ
يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ، قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ
الشَّيَاطِيْنِ فِيْ جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ (حُذَيْفَةُ): قُلْتُ: كَيْفَ
أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ
لِلأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ
وَأَطِعْ!
“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak
berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di
antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan
manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya engkau mendengar
dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas
olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari
shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)
3.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ
وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهُ! أَفَلاَ
نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ،
وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ
وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun
membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu
dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka
dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih
mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka
mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan
jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat
‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)
Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang
daerah, pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan
bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini, sebagaimana
berikut:
q
Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata: “Urusan kaum muslimin
tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.”
Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa
menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?” Ali bin Abi Thalib berkata:
“Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah Subhanahu wa Ta’ala
tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam
jihad…” (Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13, hal.187, dinukil dari
kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas hal.
57)
q
Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi berkata: “Adapun kewajiban menaati mereka
(penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Karena tidak menaati
mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar
dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka
itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat.”
(Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 368)
q
Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidaklah
menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan kembali kepada dirinya
sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya akan
mendapat pahala yang sempurna insya Allah. Yakni kerjakanlah shalat berjamaah,
shalat Jum’at dan jihad bersama mereka, dan juga berpartisipasilah bersamanya
dalam semua jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Thabaqat Al-Hanabilah karya
Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hal. 14)
q
Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari berkata: “Telah sepakat para ulama ahli fiqh,
ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan Zuhhad
(orang-orang zuhud) sejak generasi pertama umat ini hingga masa kita ini: bahwa
shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji,
serta penyembelihan qurban dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang
jahat.” (Al-Ibanah, hal. 276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal.
16)
q
Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Aku telah bertemu dengan 1.000 orang lebih dari
ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan
Mesir….” Kemudian beliau berkata: “Aku tidak melihat adanya perbedaan di antara
mereka tentang perkara berikut ini –beliau lalu menyebutkan sekian perkara, di
antaranya kewajiban menaati penguasa (dalam hal yang ma’ruf)–.” (Syarh Ushulil
I’tiqad Al-Lalika`i, 1/194-197)
q
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini (riwayat
Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah di atas, -pen.) terdapat
keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang
bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan
kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.”
(Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Para pembaca yang mulia, dari bahasan di atas dapatlah diambil suatu
kesimpulan bahwasanya:
1.
Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam yang harus
dipelihara.
2.
Syi’ar kebersamaan tersebut akan pudar manakala umat Islam di masing-masing
negeri bercerai-berai dalam mengawali dan mengakhiri shaum
Ramadhannya.
3.
Ibadah yang bersifat kebersamaan semacam ini keputusannya berada di tangan
penguasa umat Islam di masing-masing negeri, bukan di tangan
individu.
4.
Shaum Ramadhan bersama penguasa dan mayoritas umat Islam merupakan salah satu
prinsip agama Islam yang dapat memperkokoh persatuan mereka, baik si penguasa
tersebut seorang yang adil ataupun jahat. Karena kebersamaan umat tidaklah
mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa. Terlebih manakala
ketentuannya itu melalui proses ru‘yatul hilal di sejumlah titik negerinya dan
sidang-sidang istimewa.
5.
Realita membuktikan, bahwa dengan bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama
penguasa (dan mayoritas umat Islam) benar-benar tercipta suasana persatuan dan
kebersamaan umat. Sebaliknya ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya,
suasana perpecahan di tubuh umat pun demikian mencolok. Yang demikian ini
semakin menguatkan akan kewajiban bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama
penguasa (dan mayoritas umat Islam).
Wallahu a’lam bish-shawab.
1
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ,
وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka
adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/ Iedul Adha di hari
kalian berkurban.”
2
Beliau merupakan salah satu ulama yang berpendapat bahwasanya pelaksanaan shaum
Ramadhan dan Idul Fithri di dunia ini hanya dengan satu mathla’ saja,
sebagaimana yang beliau rinci dalam kitab Tamamul Minnah hal. 398. Walaupun
demikian, beliau sangat getol mengajak umat Islam (saat ini) untuk melakukan
shaum Ramadhan dan Iedul Fithri bersama penguasanya, sebagaimana perkataan
beliau di atas.
sumber: majalah asysyariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar