Pengantar
Sudah mafhum di masyarakat bahwa banyaknya organisasi-organisasi Islam, pastinya dengan bermacam-macam tujuan yang berbeda; cara (uslub), metode (thariqah), bahkan manhaj sekalipun, walaupun mereka juga menamakan dirinya “organisasi Islam”, saling berpecah belah dan berselisih satu sama lain. Mereka yang pada awalnya bertujuan untuk mengorganisasi dakwah dan menegakkan syariat Islam –dengan cara mereka sendiri-sendiri- berubah menjadi saling menghujat dan saling menyalahkan antar kelompok dakwah. Bahkan mereka tidak segan-segan untuk menyampaikan hujatannya kepada khalayak.
Tapi amat disayangkan sekali, mereka saling menyalahkan terkadang tidak dilandasi dengan ilmu, tapi dengan pendapat-pendapat mereka sendiri. Jadi, organisasi mana yang tidak bersesuaian dengan pendapat serta ide-ide mereka, maka mereka dengan serta merta mengkritik habis-habisan organisasi tersebut. Padahal kita semua tahu, jika seseorang mengkritik seseorang, minimal dia harus punya bukti secara meyakinkan akan kesalahan seseorang itu, tentu saja dengan penjelasan yang ilmiah tentang kesalahannya. Sedangkan untuk mengkritik suatu organisasi Islam, haruslah dengan dasar-dasar syariat Islam, menjelaskan kesesatannya dengan memakai dan menempatkan dalil secara tepat.
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan tentang manhaj dakwah Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Tentu saja tulisan ini merujuk pada pendapat-pendapat ulama yang berdakwah sesuai manhaj para pendahulu (salaf) mereka, yaitu Rasulullah dan para sahabat beliau. Tulisan ini juga bertujuan untuk membongkar kedok suatu organisasi Islam yang mereka mengatakan bahwa mereka berdakwah sesuai manhaj salaf, namun dalam kenyataannya –baik dalam tulisan-tulisannya, ide-idenya, maupun perilaku mereka- sangat bertentangan dengan para salafiyyun (orang-orang yang bermanhaj salaf), bahkan mereka sangat keras sekali permusuhannya dengan salafiyyun ini. Selanjutnya juga akan dijelaskan ide-ide mereka yang rusak dan sumber dari ide-ide mereka, serta mendudukkan secara tepat bagaimana salafiyyun memandang suatu masalah yang mereka khilaf (berbeda pendapat) dengan para musuh salaf ini. Organisasi Islam yang dimaksud saya khususkan kepada Hizbut Tahrir, yang mana organisasi ini sudah mendunia, baik di negeri-negeri Islam ataupun negeri-negeri kufur.
Mengenal Manhaj Salaf
Seperti kita ketahui, bahwa kebenaran hanyalah satu. Tidaklah mungkin kebenaran itu bersifat mendua dalam satu permasalahan, termasuk pula dalam permasalahan manhaj. Sebagai perumpamaan, Adik bertanya kepada ayah dan kakak berapa umur nenek, ayah menjawab bahwa nenek berumur 79 tahun, sedangkan kakak menjawab bahwa nenek berumur 97 tahun, lalu manakah yang benar? Hanya dua kemungkinan yang tersedia, pertama; salah satu jawaban benar, kedua; kedua jawaban salah, tidaklah mungkin bahwa nenek berumur 79 tahun sekaligus berumur 97 tahun dalam waktu yang bersamaan. Jika seseorang bertanya, “siapakah pembawa kebenaran itu?” maka tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam sang pembawa kebenaran, dan sekaligus ia adalah salaf (pendahulu) terhadap umatnya, sabda Nabi kepada Fathimah, “Aku adalah sebaik-baiknya salaf (pendahulu) bagimu.” (HR Muslim).
Orang-orang yang mendekati kebenaran adalah orang-orang yang bersama beliau semasa hidupnya, karena mereka langsung menafsirkan Al Qur-an sesuai tafsir Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam dan orang orang yang mengikuti mereka (sahabat) dengan baik. Maka orang-orang yang mengikuti Nabi dan para sahabatnya untuk selanjutnya disebut sebagai salafiyyun. Abu Rosyid berkata:
“Manhaj salaf adalah suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh sahabat Rasulullah, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dinul Islam (agama Islam) yang dibawa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut salafy atau as-salafy, jamaknya adalah salafiyyun atau as-salafiyyun.”
Seorang dalam berdakwah haruslah menjadikan Al Qur-an dan as-sunnah sebagai dasar dari dakwahnya. Ini adalah syarat yang harus dipenuhi oleh seorang atau organisasi Islam. Apabila tidak ada salah satunya maka dipastikan bahwa dakwahnya tertolak, karena syarat diterimanya suatu amalan adalah ikhlas karena Allah semata dan sesuai dengan sunnah Rasul. Suatu organisasi akan keluar dari jalan lurus ini (tersesat) manakala ia tidak memahami Al Qur-an sesuai dengan pemahaman Nabi Shalallahu alaihi wasallam, dan tentu saja pemahaman para sahabat Nabi tidak akan bertentangan dengan Nabi. Nashiruddin Al-Albani berkata:
“Oleh sebab itu sudah menjadi kesepakatan di kalangan kaum Muslimin, yang pasti bahwa tidak mungkin bisa memahami Al Qur-an kecuali dengan penjelasan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dan ini adalah perkara yang telah disepakati. Akan tetapi sesuatu yang diperselisihkan kaum muslimin sehingga menimbulkan berbagai pengaruh setelahnya yaitu bahwa semua firqah sesat dahulu tidak mau memperhatikan dasar yang ketiga ini yaitu mengikuti salafush-shalih, maka mereka menyelisihi ayat yang aku sebutkan berulang-ulang : “… dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min.” (QS An-Nisa’: 115).”
Jadi sudah bisa disimpulkan bahwa suatu organisasi Islam dalam dakwahnya dan kegiatannya haruslah bertumpu pada tiga hal; yaitu Al Qur-an, sunnah Rasul, dan pemahaman generasi terbaik (salafush-shalih). Jika salah satu tidak ada, maka diragukan organisasi tersebut berjuang untuk Islam, walaupun dalam perkataannya mereka membela Islam dan mereka ikhlas dalam tindakannya.
Pemahaman Aneh Hizbut Tahrir
Sebelum kita membahas berbagai keanehan Hizbut Tahrir, ada baiknya kita mengenal dulu kelompok mu’tazilah yang pernah subur semasa Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, karena kerangka pemikiran Hizbut Tahrir ini ternyata modifikasi dari mu’tazilah. Ciri yang paling tampak dari mu’tazilah ini adalah mereka menempatkan akal manusia secara berlebihan. Dampak daripada ini adalah akal dijadikan alat untuk menilai atau menghukumi Al Qur-an dan as-sunnah, maksudnya adalah apabila ayat Al Qur-an atau as-sunnah tidak sesuai dengan akal, maka mereka dengan berbagai argumentasi dan alasan akan menolaknya. Ini sangat berbahaya karena menyangkut keimanan sesorang kepada Allah dan Rasul-Nya.
Realisasi dari pemikiran seperti itu adalah bahwa Hizbut Tahrir menolak hadits ahad dijadikan sebagai sandaran aqidah. Mereka berpendapat bahwa aqidah harus terbangun dari kabar yang sifatnya qath’i (jelas) dan mutawatir (banyak yang meriwayatkannya). Bahkan seandainya mereka mendapati hadits yang shahih tapi diriwayatkan secara ahad, maka mereka akan berkata bahwa hadits tersebut tidak berfaedah dan tidak memberikan ilmu untuk keimanan mereka, lebih aneh lagi mereka berkata bahwa hadits ahad hanya bisa dipakai sebagai dasar hukum Islam, tidak sebagai dasar aqidah.
Ada pertentangan antara pemikiran mereka dengan ucapan mereka ketika menemukan hadits Nabi, bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam berkata ketika duduk tasyahud akhir di dalam shalat, maka berdoalah untuk minta perlindungan kepada Allah dari siksa neraka jahannam, dari siksa kubur, dan dari fitnah dajjal. Hadits ini diriwayatkan secara ahad dan shahih. Untuk mengimani neraka jahannam mereka menerimanya karena telah disebutkan dalam Al Qur-an , tapi untuk mengimani adzab kubur mereka kebingungan. Kebingungan mereka dikarenakan hadits tersebut adalah hadits ahad, tapi memuat hukum Islam (tata cara shalat) sekaligus masalah aqidah (mengimani adzab kubur). Sedangkan menurut mereka hadits ahad boleh untuk dijadikan dasar dari hukum Islam tapi tidak untuk masalah aqidah. Karena mereka bingung sendiri dengan pemikirannya, akhirnya mereka memberikan jawaban yang aneh, “kami percaya bahwa adzab kubur itu ada, tapi kami tidak mengimaninya”.
Ternyata pemikiran seperti ini diprakarsai oleh Muhammad Al-Ghazaly. Dia berkata :
“Saya tegaskan sekali lagi, bahwa tidak seharusnya hadits-hadits ahad mengacaukan apa yang mesti dijaga dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, atau ia harus menampakkan hakikat-hakikat agama yang justru mengandung tuduhan”
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil berkata :
“Maka orang yang tidak mengambil hadits ahad dalam masalah aqidah, niscaya mereka menolak beberapa hadits ahad tentang aqidah lainnya, seperti tentang :
1. Keistimewaan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam melebihi semua Nabi ‘alaihimus salam
2. Syafaatnya yang besar di akhirat
3. Syafaatnya terhadap umatnya yang melakukan dosa besar
4. Semua mu’jizat selain Al Qur-an
5. Proses permulaan makhluk, sifat malaikat dan jin, sifat neraka dan surga yang tidak diterangkan dalam Al Qur-an
6. Pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir di dalam kubur
7. Himpitan kubur terhadap mayit
8. Jembatan, telaga, dan timbangan amal
9. Keimanan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan kepada semua manusia akan keselamatannya, sengsaranya, rezekinya, dan matinya ketika masih dalam kandungan ibunya
10. Keistimewaan Nabi Shalallahu alaihi wasallam yang dikumpulkan Imam Suyuthi dalam kitab Al-Khasha’is Al-Kubra, seperti Rasulullah shalallahu alaihi wasallam masuk ke surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta hal-hal yang disediakan untuk orang yang bertakwa
11. Berita kepastian bahwa sepuluh sahabat dijamin masuk surga
12. Bagi orang yang melakukan dosa besar tidak kekal selama-lamanya dalam neraka
13. Percaya kepada hadits shahih tentang sifat hari kiamat dan padang mahsyar yang tidak dijelaskan dalam Al Qur-an
14. Percaya terhadap semua tanda kiamat, seperti keluarnya Imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa alaihis salam, keluarnya api, munculnya matahari dari barat, dan binatang-binatang, dan lain-lain.”
Penolakan terhadap khabar ahad ini ternyata tidak sesuai dengan perilaku Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Rasulullah sering menyampaikan perintah aqidah hanya kepada satu orang, seperti perkataan Nabi kepada Muadz bin Jabal yang diperintahkan untuk berdakwah kepada masyarakat Yaman:
“Hendaknya perkara yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka adalah syahadat bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah. (HR Bukhari dan Muslim)
Muadz berdakwah sendirian kepada masyarakat Yaman. Seandainya khabar ahad tidak bisa dijadikan landasan aqidah itu benar adanya, maka dakwah Muadz tidaklah diterima oleh Allah, keimanan semua masyarakat Yaman tidak bisa dipertanggungjawabkan alias keimanan palsu, dan secara tidak langsung mereka menuduh bahwa perkataan Nabi Shalallahu alaihi wa sallam adalah omong kosong, karena sia-sialah jika beliau tidak mengatakannya kepada sahabat yang lain. Masya Allah, ini adalah senyata-nyatanya kebatilan…
Untunglah, tak satupun ulama salaf yang punya pemikiran seperti ini, mereka sangat patuh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mencari-cari argumentasi untuk menghindar dari perintah Rasul karena tidak bersesuaian dengan hatinya, atau karena perkataan Rasul yang dinilai tidak masuk diakal. Mereka menggunakan kaidah “kami dengar dan kami taat” dengan sebenar-benarnya. Oleh sebab itulah adanya ilmu rijalul-hadits yang sangat rumit untuk dipelajari, yang gunanya untuk mengetahui apakah benar suatu hadits itu berasal dari Rasulullah. Setelah dipastikan benar dari Rasulullah (shahih), maka mereka tanpa ragu mengambilnya sebagai landasan aqidah, syariat Islam, muamalah, dsb. Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits, apabila sudah shahih semua umat Islam sepakat wajib untuk mengikutinya.”
Selain pemikiran aneh ini, menolak hadits ahad walaupun shahih, mereka juga punya pemikiran takfir (mengkafirkan). Mereka menganggap bahwa semua negara di dusnia ini adalah negara kafir dikarenakan tidak menjadikan hukum Allah sebagai aturannya. Sebagaimana yang ditulis di dalam booklet mereka :
“Berhubung kaum Muslimin saat ini hidup di darul kufur –karena diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur yang tidak diturunkan Allah Subhanahu wa ta’ala- maka keadaan negeri mereka serupa dengan Mekkah ketika Rasulullah diutus (menyampaikan risalah islam).”
Bayangkan saja, kita semua ini dihukumi kafir dikarenakan kita tidak berhukum dengan hukum Allah, walaupun kita melakukan perintah Allah seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Tapi tidakkah mereka berpikir, jika mereka menganggap semua Muslim adalah kafir karena hidup di negeri kufur, bukankah hal tersebut juga mencakup diri-diri mereka? Ini senjata makan tuan. Kalau kita tanyakan pada mereka, “bukankah dengan demikian kamu juga kufur kepada Allah?”, mereka akan menjawab, “ya, keadaan kami tetap kufur selama hukum Allah tidak diterapkan.”, atau orang-orang diantara mereka yang tidak mau disebut kufur akan menjawab, “tidak, kami tidak kufur karena kami berjuang untuk menegakkan hukum Allah”. Kalau dipikir-pikir memang masuk akal jawabannya, tapi hanya sebatas akal saja, tapi apakah pendapat mereka ini sesuai dengan syariat? Kalau jawaban mereka seperti itu berarti mereka menelan ludah sendiri.
Kesalahan dalam mendefinisikan negara kufur dengan negara Islam ini berdampak pada tindakan-tindakan mereka yang kerap kali disebut masyarakat sebagai radikal. Tentu saja para aktivis Hizbut Tahrir menganggap bahwa tindakan mereka yang seperti itu merupakan perwujudan dari ke-“istiqomah”-an perjuangan. Tidak masalah bagaimana mereka menganggap diri mereka, tapi yang harus diluruskan adalah tentang definisi negara kafir dengan negara Islam.
Tolok ukur dalam menilai suatu negara apakah kafir atau tidak adalah dengan melihat keadaan masyarakatnya. Negara itu disebut sebagai negara Islam bila mayoritas masyarakatnya adalah orang Islam, syiar-syiar agama ditegakkan, dan tidak ada gangguan ketika kita menjlankan ibadah kepada Allah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu ‘Abdillah Luqman Ba’abduh:
“Sebagaian ulama menyebutkan bahwa Daulah Islamiyyah adalah: sebuah daulah yang mayoritas penduduknya muslimin dan ditegakkan padanya syiar-syiar Islam seperti adzan, shalat berjamaah, shalat jumat, shalat’Id, dalam bentuk pelaksanaan yang bersifat umum dan menyeluruh. Dengan demikian, jika pelaksanaan syiar-syiar Islam itu diterapkan tidak dalam bentuk yang umum dan menyeluruh, namun hanya terbatas pada minoritas muslimin maka negeri tersebut tidak tergolong negeri Islam. Hal ini sebagaimana yang terjadi di beberapa negara Eropa, Amerika, dan yang lainnya dimana syiar-syiar Islam dilakukan oleh segelintir muslimin yang jumlahnya minoritas. (lihat penjelasan ini dalam kitab Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin).”
Mungkin Hizbut Tahrir berdalih bahwa semua penguasa itu kafir, karena menerapkan hukum selain hukum Allah. Kita katakan bahwa tidaklah semua yang berhukum dengan selain hukum Allah itu kafir, sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz :
“ 1. seseorang yang mengatakan: “aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam”, maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
2. seseorang yang mengatakan, “aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama atau sederajat dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga dengan syariat Islam”, maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
3. seseorang yang mengatakan, “aku berhukum dengan hukum ini dan berhukum dengan syariat Islam lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah”, maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.
4. seseorang yang mengatakan, “aku berhukum dengan hukum ini”, namun dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan. Dia juga mengatakan bahwa berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya, tapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini), atau dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil yang tidak mengeluarkannya dari keislaman, dan teranggap sebagai dosa besar. (At-Tahdziru Minattasarru’ Fittakfir, Muhammad Al-‘Uraini hal 21-22)”
Dampak dari pemikiran takfir ini tercermin dalam kegiatan mengkritik dan mendiskreditkan pemimpin / pemerintah oleh aktivis Hizbut Tahrir, yang menuju pada pemberontakan, dan berakhir pada kudeta. Sudah bisa dipastikan akan memakan korban jiwa yang tidak sedikit dari kalangan Muslim, terlebih lagi dakwah Islam akan semakin terhambat. Hal ini tampak dalam tulisan mereka:
“Perjuangan politik ini juga tampak jelas dalam kegiatannya menentang para penguasa, mengungkap pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya tatkala mereka mengabaikan hak-hak umat, tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, melalaikan salah satu urusan umat, atau menyalahi hukum-hukum Islam.”
Demikianlah, mereka tidak merenungkan sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan dari seorang sahabat, ‘Iyadh bin Ghunm : Rasulullah bersabda : “Barangsiapa ingin menasehati penguasa tentang suatu perkara, maka janganlah secara terang-terangan. Sampaikanlah kepadanya secara pribadi, jika ia menerima nasehat tersebut maka itulah yang diharapkan. Namun jika tidak menerimanya maka berarti ia telah menunaikan kewajibannya nasehatnya.” (HR Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah, hadits no. 1096)
Seperti kita ketahui bahwa Hizbut Tahrir kerap kali mengadakan diskusi publik, seminar, dan daurah ilmiah. Di dalam acara-acara mereka pasti tidak terlepas dari kritikan yang diikuti dengan caci-maki kepada pemerintah selaku penguasa. Lalu apakah pemerintah mendengar kritikan mereka? Jawabnya tidak sama sekali. Tujuan mereka melakukan hal demikian adalah untuk menanam bom-bom kebencian di dada umat Islam yang bisa meledak setiap saat, tidak bertujuan untuk menasehati pemerintah.
Hizbut Tahrir Melawan Para Salaf
Kita tahu garis besar dari aqidah dan akhlaq Hizbut Tahrir yang sangat berselisihan dengan manhaj dakwah para salaf. Mereka (Hizbut Tahrir) yang berkata bahwa mereka dalam berdakwah mengikuti Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dan para sahabat, ternyata pada kenyataannya malah menyelisihi mereka. Para ulama salafpun telah mentahdzir (memperingatkan umat akan penyimpangannya) Hizbut Tahrir; seperti Syaikh Nashiruddin Al-Albani yang berkata bahwa Hizbut Tahrir adalah mu’tazilah gaya baru, Syaikh Abdul’Aziz bin Baz, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, dan masih banyak lagi deretan ulama salaf yang telah mentahdzir Hizbut Tahrir.
Karena banyak ulama salaf yang tidak sependapat dengan Hizbut Tahrir, maka merekapun menghujat ulama-ulama salaf teresebut. Maka terkuaklah sudah apa yang selama ini tersembunyi di dalam dada mereka, yaitu kebencian terhadap salafiyyun. Malah mereka meyakini bahwa manhaj salaf itu tidak ada, yang ada adalah orang-orang Wahabi yang menurut mereka adalah antek-antek orang kafir. Tapi dalam kenyataannya hujatan itu tidak terbukti, hujatan itu ternyata tidak dilandasi dengan ilmu dan bersifat emotif. Hujatan kepada Muhammad bin Abdul Wahab ini kembali kepada diri-diri mereka, ternyata merekalah yang punya loyalitas kepada orang kafir. Ini terbukti ketika Khomeini menjadi pemimpin Iran, Hizbut Tahrir malah meminta Khomeini agar Iran dijadikan Khilafah Islamiyyah dan Khomeini sebagai khalifahnya. Bahkan Hizbut Tahrir merekomendasikan kitab Al-Hukumiyyah Al-Islamiyyah yang ditulis oleh Khomeini, seorang Syi’ah. Tawaran untuk membentuk Khilafah ini tidak ditanggapi oleh Khomeini. Kalau Hizbut Tahrir meminta Khomeini menjadi khalifah, mengapa tidak sekalian saja mereka meminta Bill Clinton pada waktu itu untuk menerapkan syariat Islam di Amerika?
Banyak sekali hujatan-hujatan mereka kepada salafiyyun, bahkan dalam kehidupan saya pribadipun saya sering menjumpainya. Seperti yang bisa kita lihat di situs milik organisasi bawahan Hizbut Tahrir, www.islamuda.com :
“Munafiq teh gaya anjen kitu,kalo bicara bohong, seperti anjen bilang perkara yg direhai allah adalah tauhid, tetapi tauhied kalian dibagi dua, tauhid buat orang kapir jeng tauhid buat orang Islam
eleuh…eleuh kumaha tauhid aya dua,,,,jang…jang yg namanya tauhid teh Satu Oiiii,,,,mana ada orang kafir kenal tauhied (tauhid rububiyah wa Uluhiyah)
eta munafiq namina ucapan jeng kenyataan beda, ayena mah lihat saja waktu iraq diserang,,,apakah arab saudi bukan munafiq??
AKHIRNA TEH AYA JULUKAN BARU BAGI JENG SALAFIYYUN SBG MUNAFIQ,,, Moal berkawan jeng munafiq mah!!”
Apakah kita melihat ada ilmu yang melandasi ucapannya?, atau dalil, atau argumentasi ilmiah? Tidak. Ucapan ini hanya bermodal semangat dan emosi semata.
Tapi anehnya, salah seorang aktivis Hizbut Tahrir yang juga seorang temanku pernah berkata padaku bahwa dia ingin ikut kajiannya salafiyyun, tapi hanya masalah fiqh saja. Dia mengatakan bahwa salafiyyun kalau membahas fiqh sangat terperinci, lengkap dengan dalil, hadits, dan tafsir dari para mufassirin salafiyyun. Bukankah itu merupakan pujian untuk salafiyyun?
Memang tidak semua kader mempunyai sikap ‘ashobiyyah (fanatisme kelompok), tapi secara perlahan mereka tanamkan sikap ‘ashobiyyah kepada kader-kader mereka yang diharapkan nantinya bisa memperjuangkan ide-ide Hizbut Tahrir. Ke-ashobiyyah-an Hizbut Tahrir ini dengan sangat jelas dikatakan di dalam booklet mereka, bahwa yang menjadi pemersatu antara kader Hizbut Tahrir adalah ide-ide Hizbut Tahrir disamping aqidah Islamiyyah, berikut kutipannya:
“Cara mengikat individu-individu ke dalam Hizbut Tahrir adalah dengan memeluk Aqidah Islamiyyah, matang dalam tsaqafah Hizbut Tahrir, serta mengambil dan menetapkan ide-ide dan pendapat-pendapat Hizbut Tahrir. Dia sendirilah yang mengharuskan dirinya menjadi anggota Hizbut Tahrir, setelah sebelumnya ia melibatkan dirinya dengan (pembinaan dan aktivitas dakwah) Hizbut Tahrir; ketika dakwah telah berinteraksi dengannya dan ketika dia telah mengambil dan menetapkan ide-ide serta persepsi-persepsi Hizbut Tahrir.”
Celakalah bagi mereka yang beramal tidak ikhlas karena Allah, yang menisbahkan kegiatannya dengan menamakan organisasi atau kelompok, apalagi orang-orang yang berjuang memperjuangkan ide-idenya hanya demi kelanggengan kelompok dan meraih dukungan yang sebanyak-banyaknya dari masyarakat. Sebenarnya ikatan-ikatan di dalam umat Islam hanyalah tauhid dan aqidah Islamiyyah, bukan dengan ide-ide kelompok, apalagi kalau ide-ide itu ternyata menyelisihi Islam.
Itulah sekelumit fakta tentang Hizbut Tahrir, sebenarnya masih banyak lagi fakta yang masih terselubung yang masih belum diketahui khalayak. Banyak sekali pemuda-pemuda yang tertipu dengan kulit Hizbut Tahrir yang terlihat “hebat” di mata orang awam. Tapi ternyata konsep berpikir mereka sangat jauh dari apa yang dibawa oleh pendahulu kita (salaf), yaitu Rasulullah, para sahabat beliau, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Organisasi yang berpecah belah seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin – Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan sebagainya telah menyalahi kaidah Islam tentang larangan untuk berpecah belah. Selama ada kelompok-kelompok seperti itu yang mengatasnamakan Islam sebagai landasan juangnya, maka persatuan umat Islam selama itu pula tidak akan terwujud.
Penutup
Dakwah itu adalah kewajiban, baik itu oleh negara, jama’ah, ataupun perorangan. Kegiatan dakwah ini bertujuan untuk menyebarkan kebenaran yang berasal dari Yang Maha Benar. Dakwahpun juga mempunyai syarat-syarat, yaitu berdasarkan Al Qur-an, mengikuti as-sunnah, dan dengan kerangka berpikir serta pemahaman generasi terbaik umat Islam. Sayang sekali, kebanyakan kelompok-kelompok dakwah sekarang tidak mempunyai dasar ketiga, yaitu pemahaman salaful-ummah.
Sumber dari kekacauan dan perpecahan di tubuh umat Islam ini disebabkan karena mereka tidak merasa cukup dengan apa-apa yang telah ditinggalkan oleh pendahulu mereka. Masalah-masalah yang dulu sudah terselesaikan, ketika muncul kembali pada saat ini, malah menjadi rumit dan tidak terselesaikan karena adanya ruwaibidhah (orang yang sok berbicara tentang urusan orang banyak) yang menyelesaikan setiap masalah berdasarkan keilmuan mereka masing-masing.
Untuk setiap kelompok umat Islam, termasuk Hizbut Tahrir, yang masih menginginkan persatuan umat Islam, maka yang pertama kali harus mereka lakukan adalah keluar dari kelompok mereka, membubarkannya, dan kembali ke tengah-tengah umat Islam dengan tanpa ikatan-ikatan kebanggaan jahiliyyah seperti organisasi, partai, lembaga dakwah yang membuat mereka terdikotomikan di tengah-tengah umat Islam. Dan juga yang paling penting mereka harus meluruskan ide-ide mereka ke jalan pendahulu mereka, dan menyerahkan permasalahan umat ini kepada para ulama salaf dan yang mengikuti mereka (ulama salaf) dengan baik. Sungguh akan berantakan apabila suatu permasalahan tidak diserahkan kepada ahlinya, bukankah kita punya banyak ulama salaf yang siap untuk menyelesaikan masalah umat ini?
——————————————————–
Referensi
· Bin Shalih Al-Fauzan, Abdullah. Syarah 3 Landasan Utama. Solo: Pustaka At-Tibyan
· Al-Albani, Nashiruddin. Hizbut Tahrir Mu’tazilah Gaya Baru. Maktabah As-Sunnah. http://assunnah.cjb.net (diakses 4 November 2005)
· Bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil, Yusuf. Kehujjahan Atas Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah. Maktabah As-Sunnah. http://assunnah.cjb.net (diakses 4 November 2005)
· Bin Hadi Al-Madkhali, Rabi’. Tikaman Terhadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan As-Sunnah. Maktabah As-Sunnah. http://assunnah.cjb.net (diakses 4 November 2005)
· Bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, Zaid. Terorisme Dalam Pandangan Islam. Maktabah As-Sunnah. http://assunnah.cjb.net (diakses 4 November 2005)
· Ramadhani Al-Jazairy, Abdul Malik. Politik Yang Syar’i. Maktabah As-Sunnah. http://assunnah.cjb.net (diakses 4 November 2005)
· Bin Fauzan Al-Fauzan, Shalih. Kata Pengantar Manhaj Dakwah Para Nabi. Maktabah As-Sunnah. http://assunnah.cjb.net (diakses 4 November 2005)
· Bin Hadi Al-Madkhali, Rabi’. Manhaj Dakwah Para Nabi. Maktabah As-Sunnah. http://assunnah.cjb.net (diakses 4 November 2005)
· Tahrir, Hizbut. 2004. Mengenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologis. Hizbut Tahrir Indonesia
· Tahrir, Hizbut. 2005. Seruan Hizbut Tahrir Kepada Umat Islam: Khususnya Kalangan Militer. Hizbut Tahrir Indonesia
· Engkus. 2006, Benarkah Konsep Khilafah Hizbut Tahrir??. Islamuda Organizer. http://www.islamuda.com/imud=forum&menu=baca&id=372& page=2.html (diakses 2 Januari 2006)
· Rosyid, Abu. 2003. Manhaj salaf – jalan tepat dalam memahami Islam. Salafy Online Indonesia. http://www.salafy.or.id/manhaj/Manhajsalaf–jalantepat dalammemahamiIslam.html (diakses 10 November 2005)
· Umar As-Sewed, Muhammad. 2004. Sekali lagi : Mengapa harus manhaj Salaf ?. Salafy Online Indonesia. http://www.salafy.or.id/manhaj/ Sekalilagi:MengapaharusmanhajSalaf.html (diakses 10 November 2005)
· Bin Sulaimi Lc, Ruwaifi’. 2005. Kelompok Hizbut Tahrir dan Khilafah: Sorotan Ilmiah Tentang Selubung Sesat Suatu Gerakan. Majalah Asy-Syariah no. 16 : 5-10
· Luqman Ba’abduh, Abu Abdillah. 2005. Khilafah di Atas Manhaj Nubuwwah. Majalah Asy-Syariah no. 16 : 11-16
Sudah mafhum di masyarakat bahwa banyaknya organisasi-organisasi Islam, pastinya dengan bermacam-macam tujuan yang berbeda; cara (uslub), metode (thariqah), bahkan manhaj sekalipun, walaupun mereka juga menamakan dirinya “organisasi Islam”, saling berpecah belah dan berselisih satu sama lain. Mereka yang pada awalnya bertujuan untuk mengorganisasi dakwah dan menegakkan syariat Islam –dengan cara mereka sendiri-sendiri- berubah menjadi saling menghujat dan saling menyalahkan antar kelompok dakwah. Bahkan mereka tidak segan-segan untuk menyampaikan hujatannya kepada khalayak.
Tapi amat disayangkan sekali, mereka saling menyalahkan terkadang tidak dilandasi dengan ilmu, tapi dengan pendapat-pendapat mereka sendiri. Jadi, organisasi mana yang tidak bersesuaian dengan pendapat serta ide-ide mereka, maka mereka dengan serta merta mengkritik habis-habisan organisasi tersebut. Padahal kita semua tahu, jika seseorang mengkritik seseorang, minimal dia harus punya bukti secara meyakinkan akan kesalahan seseorang itu, tentu saja dengan penjelasan yang ilmiah tentang kesalahannya. Sedangkan untuk mengkritik suatu organisasi Islam, haruslah dengan dasar-dasar syariat Islam, menjelaskan kesesatannya dengan memakai dan menempatkan dalil secara tepat.
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan tentang manhaj dakwah Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Tentu saja tulisan ini merujuk pada pendapat-pendapat ulama yang berdakwah sesuai manhaj para pendahulu (salaf) mereka, yaitu Rasulullah dan para sahabat beliau. Tulisan ini juga bertujuan untuk membongkar kedok suatu organisasi Islam yang mereka mengatakan bahwa mereka berdakwah sesuai manhaj salaf, namun dalam kenyataannya –baik dalam tulisan-tulisannya, ide-idenya, maupun perilaku mereka- sangat bertentangan dengan para salafiyyun (orang-orang yang bermanhaj salaf), bahkan mereka sangat keras sekali permusuhannya dengan salafiyyun ini. Selanjutnya juga akan dijelaskan ide-ide mereka yang rusak dan sumber dari ide-ide mereka, serta mendudukkan secara tepat bagaimana salafiyyun memandang suatu masalah yang mereka khilaf (berbeda pendapat) dengan para musuh salaf ini. Organisasi Islam yang dimaksud saya khususkan kepada Hizbut Tahrir, yang mana organisasi ini sudah mendunia, baik di negeri-negeri Islam ataupun negeri-negeri kufur.
Mengenal Manhaj Salaf
Seperti kita ketahui, bahwa kebenaran hanyalah satu. Tidaklah mungkin kebenaran itu bersifat mendua dalam satu permasalahan, termasuk pula dalam permasalahan manhaj. Sebagai perumpamaan, Adik bertanya kepada ayah dan kakak berapa umur nenek, ayah menjawab bahwa nenek berumur 79 tahun, sedangkan kakak menjawab bahwa nenek berumur 97 tahun, lalu manakah yang benar? Hanya dua kemungkinan yang tersedia, pertama; salah satu jawaban benar, kedua; kedua jawaban salah, tidaklah mungkin bahwa nenek berumur 79 tahun sekaligus berumur 97 tahun dalam waktu yang bersamaan. Jika seseorang bertanya, “siapakah pembawa kebenaran itu?” maka tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam sang pembawa kebenaran, dan sekaligus ia adalah salaf (pendahulu) terhadap umatnya, sabda Nabi kepada Fathimah, “Aku adalah sebaik-baiknya salaf (pendahulu) bagimu.” (HR Muslim).
Orang-orang yang mendekati kebenaran adalah orang-orang yang bersama beliau semasa hidupnya, karena mereka langsung menafsirkan Al Qur-an sesuai tafsir Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam dan orang orang yang mengikuti mereka (sahabat) dengan baik. Maka orang-orang yang mengikuti Nabi dan para sahabatnya untuk selanjutnya disebut sebagai salafiyyun. Abu Rosyid berkata:
“Manhaj salaf adalah suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh sahabat Rasulullah, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dinul Islam (agama Islam) yang dibawa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut salafy atau as-salafy, jamaknya adalah salafiyyun atau as-salafiyyun.”
Seorang dalam berdakwah haruslah menjadikan Al Qur-an dan as-sunnah sebagai dasar dari dakwahnya. Ini adalah syarat yang harus dipenuhi oleh seorang atau organisasi Islam. Apabila tidak ada salah satunya maka dipastikan bahwa dakwahnya tertolak, karena syarat diterimanya suatu amalan adalah ikhlas karena Allah semata dan sesuai dengan sunnah Rasul. Suatu organisasi akan keluar dari jalan lurus ini (tersesat) manakala ia tidak memahami Al Qur-an sesuai dengan pemahaman Nabi Shalallahu alaihi wasallam, dan tentu saja pemahaman para sahabat Nabi tidak akan bertentangan dengan Nabi. Nashiruddin Al-Albani berkata:
“Oleh sebab itu sudah menjadi kesepakatan di kalangan kaum Muslimin, yang pasti bahwa tidak mungkin bisa memahami Al Qur-an kecuali dengan penjelasan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dan ini adalah perkara yang telah disepakati. Akan tetapi sesuatu yang diperselisihkan kaum muslimin sehingga menimbulkan berbagai pengaruh setelahnya yaitu bahwa semua firqah sesat dahulu tidak mau memperhatikan dasar yang ketiga ini yaitu mengikuti salafush-shalih, maka mereka menyelisihi ayat yang aku sebutkan berulang-ulang : “… dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min.” (QS An-Nisa’: 115).”
Jadi sudah bisa disimpulkan bahwa suatu organisasi Islam dalam dakwahnya dan kegiatannya haruslah bertumpu pada tiga hal; yaitu Al Qur-an, sunnah Rasul, dan pemahaman generasi terbaik (salafush-shalih). Jika salah satu tidak ada, maka diragukan organisasi tersebut berjuang untuk Islam, walaupun dalam perkataannya mereka membela Islam dan mereka ikhlas dalam tindakannya.
Pemahaman Aneh Hizbut Tahrir
Sebelum kita membahas berbagai keanehan Hizbut Tahrir, ada baiknya kita mengenal dulu kelompok mu’tazilah yang pernah subur semasa Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, karena kerangka pemikiran Hizbut Tahrir ini ternyata modifikasi dari mu’tazilah. Ciri yang paling tampak dari mu’tazilah ini adalah mereka menempatkan akal manusia secara berlebihan. Dampak daripada ini adalah akal dijadikan alat untuk menilai atau menghukumi Al Qur-an dan as-sunnah, maksudnya adalah apabila ayat Al Qur-an atau as-sunnah tidak sesuai dengan akal, maka mereka dengan berbagai argumentasi dan alasan akan menolaknya. Ini sangat berbahaya karena menyangkut keimanan sesorang kepada Allah dan Rasul-Nya.
Realisasi dari pemikiran seperti itu adalah bahwa Hizbut Tahrir menolak hadits ahad dijadikan sebagai sandaran aqidah. Mereka berpendapat bahwa aqidah harus terbangun dari kabar yang sifatnya qath’i (jelas) dan mutawatir (banyak yang meriwayatkannya). Bahkan seandainya mereka mendapati hadits yang shahih tapi diriwayatkan secara ahad, maka mereka akan berkata bahwa hadits tersebut tidak berfaedah dan tidak memberikan ilmu untuk keimanan mereka, lebih aneh lagi mereka berkata bahwa hadits ahad hanya bisa dipakai sebagai dasar hukum Islam, tidak sebagai dasar aqidah.
Ada pertentangan antara pemikiran mereka dengan ucapan mereka ketika menemukan hadits Nabi, bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam berkata ketika duduk tasyahud akhir di dalam shalat, maka berdoalah untuk minta perlindungan kepada Allah dari siksa neraka jahannam, dari siksa kubur, dan dari fitnah dajjal. Hadits ini diriwayatkan secara ahad dan shahih. Untuk mengimani neraka jahannam mereka menerimanya karena telah disebutkan dalam Al Qur-an , tapi untuk mengimani adzab kubur mereka kebingungan. Kebingungan mereka dikarenakan hadits tersebut adalah hadits ahad, tapi memuat hukum Islam (tata cara shalat) sekaligus masalah aqidah (mengimani adzab kubur). Sedangkan menurut mereka hadits ahad boleh untuk dijadikan dasar dari hukum Islam tapi tidak untuk masalah aqidah. Karena mereka bingung sendiri dengan pemikirannya, akhirnya mereka memberikan jawaban yang aneh, “kami percaya bahwa adzab kubur itu ada, tapi kami tidak mengimaninya”.
Ternyata pemikiran seperti ini diprakarsai oleh Muhammad Al-Ghazaly. Dia berkata :
“Saya tegaskan sekali lagi, bahwa tidak seharusnya hadits-hadits ahad mengacaukan apa yang mesti dijaga dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, atau ia harus menampakkan hakikat-hakikat agama yang justru mengandung tuduhan”
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil berkata :
“Maka orang yang tidak mengambil hadits ahad dalam masalah aqidah, niscaya mereka menolak beberapa hadits ahad tentang aqidah lainnya, seperti tentang :
1. Keistimewaan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam melebihi semua Nabi ‘alaihimus salam
2. Syafaatnya yang besar di akhirat
3. Syafaatnya terhadap umatnya yang melakukan dosa besar
4. Semua mu’jizat selain Al Qur-an
5. Proses permulaan makhluk, sifat malaikat dan jin, sifat neraka dan surga yang tidak diterangkan dalam Al Qur-an
6. Pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir di dalam kubur
7. Himpitan kubur terhadap mayit
8. Jembatan, telaga, dan timbangan amal
9. Keimanan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan kepada semua manusia akan keselamatannya, sengsaranya, rezekinya, dan matinya ketika masih dalam kandungan ibunya
10. Keistimewaan Nabi Shalallahu alaihi wasallam yang dikumpulkan Imam Suyuthi dalam kitab Al-Khasha’is Al-Kubra, seperti Rasulullah shalallahu alaihi wasallam masuk ke surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta hal-hal yang disediakan untuk orang yang bertakwa
11. Berita kepastian bahwa sepuluh sahabat dijamin masuk surga
12. Bagi orang yang melakukan dosa besar tidak kekal selama-lamanya dalam neraka
13. Percaya kepada hadits shahih tentang sifat hari kiamat dan padang mahsyar yang tidak dijelaskan dalam Al Qur-an
14. Percaya terhadap semua tanda kiamat, seperti keluarnya Imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa alaihis salam, keluarnya api, munculnya matahari dari barat, dan binatang-binatang, dan lain-lain.”
Penolakan terhadap khabar ahad ini ternyata tidak sesuai dengan perilaku Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Rasulullah sering menyampaikan perintah aqidah hanya kepada satu orang, seperti perkataan Nabi kepada Muadz bin Jabal yang diperintahkan untuk berdakwah kepada masyarakat Yaman:
“Hendaknya perkara yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka adalah syahadat bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah. (HR Bukhari dan Muslim)
Muadz berdakwah sendirian kepada masyarakat Yaman. Seandainya khabar ahad tidak bisa dijadikan landasan aqidah itu benar adanya, maka dakwah Muadz tidaklah diterima oleh Allah, keimanan semua masyarakat Yaman tidak bisa dipertanggungjawabkan alias keimanan palsu, dan secara tidak langsung mereka menuduh bahwa perkataan Nabi Shalallahu alaihi wa sallam adalah omong kosong, karena sia-sialah jika beliau tidak mengatakannya kepada sahabat yang lain. Masya Allah, ini adalah senyata-nyatanya kebatilan…
Untunglah, tak satupun ulama salaf yang punya pemikiran seperti ini, mereka sangat patuh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mencari-cari argumentasi untuk menghindar dari perintah Rasul karena tidak bersesuaian dengan hatinya, atau karena perkataan Rasul yang dinilai tidak masuk diakal. Mereka menggunakan kaidah “kami dengar dan kami taat” dengan sebenar-benarnya. Oleh sebab itulah adanya ilmu rijalul-hadits yang sangat rumit untuk dipelajari, yang gunanya untuk mengetahui apakah benar suatu hadits itu berasal dari Rasulullah. Setelah dipastikan benar dari Rasulullah (shahih), maka mereka tanpa ragu mengambilnya sebagai landasan aqidah, syariat Islam, muamalah, dsb. Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits, apabila sudah shahih semua umat Islam sepakat wajib untuk mengikutinya.”
Selain pemikiran aneh ini, menolak hadits ahad walaupun shahih, mereka juga punya pemikiran takfir (mengkafirkan). Mereka menganggap bahwa semua negara di dusnia ini adalah negara kafir dikarenakan tidak menjadikan hukum Allah sebagai aturannya. Sebagaimana yang ditulis di dalam booklet mereka :
“Berhubung kaum Muslimin saat ini hidup di darul kufur –karena diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur yang tidak diturunkan Allah Subhanahu wa ta’ala- maka keadaan negeri mereka serupa dengan Mekkah ketika Rasulullah diutus (menyampaikan risalah islam).”
Bayangkan saja, kita semua ini dihukumi kafir dikarenakan kita tidak berhukum dengan hukum Allah, walaupun kita melakukan perintah Allah seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Tapi tidakkah mereka berpikir, jika mereka menganggap semua Muslim adalah kafir karena hidup di negeri kufur, bukankah hal tersebut juga mencakup diri-diri mereka? Ini senjata makan tuan. Kalau kita tanyakan pada mereka, “bukankah dengan demikian kamu juga kufur kepada Allah?”, mereka akan menjawab, “ya, keadaan kami tetap kufur selama hukum Allah tidak diterapkan.”, atau orang-orang diantara mereka yang tidak mau disebut kufur akan menjawab, “tidak, kami tidak kufur karena kami berjuang untuk menegakkan hukum Allah”. Kalau dipikir-pikir memang masuk akal jawabannya, tapi hanya sebatas akal saja, tapi apakah pendapat mereka ini sesuai dengan syariat? Kalau jawaban mereka seperti itu berarti mereka menelan ludah sendiri.
Kesalahan dalam mendefinisikan negara kufur dengan negara Islam ini berdampak pada tindakan-tindakan mereka yang kerap kali disebut masyarakat sebagai radikal. Tentu saja para aktivis Hizbut Tahrir menganggap bahwa tindakan mereka yang seperti itu merupakan perwujudan dari ke-“istiqomah”-an perjuangan. Tidak masalah bagaimana mereka menganggap diri mereka, tapi yang harus diluruskan adalah tentang definisi negara kafir dengan negara Islam.
Tolok ukur dalam menilai suatu negara apakah kafir atau tidak adalah dengan melihat keadaan masyarakatnya. Negara itu disebut sebagai negara Islam bila mayoritas masyarakatnya adalah orang Islam, syiar-syiar agama ditegakkan, dan tidak ada gangguan ketika kita menjlankan ibadah kepada Allah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu ‘Abdillah Luqman Ba’abduh:
“Sebagaian ulama menyebutkan bahwa Daulah Islamiyyah adalah: sebuah daulah yang mayoritas penduduknya muslimin dan ditegakkan padanya syiar-syiar Islam seperti adzan, shalat berjamaah, shalat jumat, shalat’Id, dalam bentuk pelaksanaan yang bersifat umum dan menyeluruh. Dengan demikian, jika pelaksanaan syiar-syiar Islam itu diterapkan tidak dalam bentuk yang umum dan menyeluruh, namun hanya terbatas pada minoritas muslimin maka negeri tersebut tidak tergolong negeri Islam. Hal ini sebagaimana yang terjadi di beberapa negara Eropa, Amerika, dan yang lainnya dimana syiar-syiar Islam dilakukan oleh segelintir muslimin yang jumlahnya minoritas. (lihat penjelasan ini dalam kitab Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin).”
Mungkin Hizbut Tahrir berdalih bahwa semua penguasa itu kafir, karena menerapkan hukum selain hukum Allah. Kita katakan bahwa tidaklah semua yang berhukum dengan selain hukum Allah itu kafir, sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz :
“ 1. seseorang yang mengatakan: “aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam”, maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
2. seseorang yang mengatakan, “aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama atau sederajat dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga dengan syariat Islam”, maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
3. seseorang yang mengatakan, “aku berhukum dengan hukum ini dan berhukum dengan syariat Islam lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah”, maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.
4. seseorang yang mengatakan, “aku berhukum dengan hukum ini”, namun dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan. Dia juga mengatakan bahwa berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya, tapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini), atau dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil yang tidak mengeluarkannya dari keislaman, dan teranggap sebagai dosa besar. (At-Tahdziru Minattasarru’ Fittakfir, Muhammad Al-‘Uraini hal 21-22)”
Dampak dari pemikiran takfir ini tercermin dalam kegiatan mengkritik dan mendiskreditkan pemimpin / pemerintah oleh aktivis Hizbut Tahrir, yang menuju pada pemberontakan, dan berakhir pada kudeta. Sudah bisa dipastikan akan memakan korban jiwa yang tidak sedikit dari kalangan Muslim, terlebih lagi dakwah Islam akan semakin terhambat. Hal ini tampak dalam tulisan mereka:
“Perjuangan politik ini juga tampak jelas dalam kegiatannya menentang para penguasa, mengungkap pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya tatkala mereka mengabaikan hak-hak umat, tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, melalaikan salah satu urusan umat, atau menyalahi hukum-hukum Islam.”
Demikianlah, mereka tidak merenungkan sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan dari seorang sahabat, ‘Iyadh bin Ghunm : Rasulullah bersabda : “Barangsiapa ingin menasehati penguasa tentang suatu perkara, maka janganlah secara terang-terangan. Sampaikanlah kepadanya secara pribadi, jika ia menerima nasehat tersebut maka itulah yang diharapkan. Namun jika tidak menerimanya maka berarti ia telah menunaikan kewajibannya nasehatnya.” (HR Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah, hadits no. 1096)
Seperti kita ketahui bahwa Hizbut Tahrir kerap kali mengadakan diskusi publik, seminar, dan daurah ilmiah. Di dalam acara-acara mereka pasti tidak terlepas dari kritikan yang diikuti dengan caci-maki kepada pemerintah selaku penguasa. Lalu apakah pemerintah mendengar kritikan mereka? Jawabnya tidak sama sekali. Tujuan mereka melakukan hal demikian adalah untuk menanam bom-bom kebencian di dada umat Islam yang bisa meledak setiap saat, tidak bertujuan untuk menasehati pemerintah.
Hizbut Tahrir Melawan Para Salaf
Kita tahu garis besar dari aqidah dan akhlaq Hizbut Tahrir yang sangat berselisihan dengan manhaj dakwah para salaf. Mereka (Hizbut Tahrir) yang berkata bahwa mereka dalam berdakwah mengikuti Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dan para sahabat, ternyata pada kenyataannya malah menyelisihi mereka. Para ulama salafpun telah mentahdzir (memperingatkan umat akan penyimpangannya) Hizbut Tahrir; seperti Syaikh Nashiruddin Al-Albani yang berkata bahwa Hizbut Tahrir adalah mu’tazilah gaya baru, Syaikh Abdul’Aziz bin Baz, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, dan masih banyak lagi deretan ulama salaf yang telah mentahdzir Hizbut Tahrir.
Karena banyak ulama salaf yang tidak sependapat dengan Hizbut Tahrir, maka merekapun menghujat ulama-ulama salaf teresebut. Maka terkuaklah sudah apa yang selama ini tersembunyi di dalam dada mereka, yaitu kebencian terhadap salafiyyun. Malah mereka meyakini bahwa manhaj salaf itu tidak ada, yang ada adalah orang-orang Wahabi yang menurut mereka adalah antek-antek orang kafir. Tapi dalam kenyataannya hujatan itu tidak terbukti, hujatan itu ternyata tidak dilandasi dengan ilmu dan bersifat emotif. Hujatan kepada Muhammad bin Abdul Wahab ini kembali kepada diri-diri mereka, ternyata merekalah yang punya loyalitas kepada orang kafir. Ini terbukti ketika Khomeini menjadi pemimpin Iran, Hizbut Tahrir malah meminta Khomeini agar Iran dijadikan Khilafah Islamiyyah dan Khomeini sebagai khalifahnya. Bahkan Hizbut Tahrir merekomendasikan kitab Al-Hukumiyyah Al-Islamiyyah yang ditulis oleh Khomeini, seorang Syi’ah. Tawaran untuk membentuk Khilafah ini tidak ditanggapi oleh Khomeini. Kalau Hizbut Tahrir meminta Khomeini menjadi khalifah, mengapa tidak sekalian saja mereka meminta Bill Clinton pada waktu itu untuk menerapkan syariat Islam di Amerika?
Banyak sekali hujatan-hujatan mereka kepada salafiyyun, bahkan dalam kehidupan saya pribadipun saya sering menjumpainya. Seperti yang bisa kita lihat di situs milik organisasi bawahan Hizbut Tahrir, www.islamuda.com :
“Munafiq teh gaya anjen kitu,kalo bicara bohong, seperti anjen bilang perkara yg direhai allah adalah tauhid, tetapi tauhied kalian dibagi dua, tauhid buat orang kapir jeng tauhid buat orang Islam
eleuh…eleuh kumaha tauhid aya dua,,,,jang…jang yg namanya tauhid teh Satu Oiiii,,,,mana ada orang kafir kenal tauhied (tauhid rububiyah wa Uluhiyah)
eta munafiq namina ucapan jeng kenyataan beda, ayena mah lihat saja waktu iraq diserang,,,apakah arab saudi bukan munafiq??
AKHIRNA TEH AYA JULUKAN BARU BAGI JENG SALAFIYYUN SBG MUNAFIQ,,, Moal berkawan jeng munafiq mah!!”
Apakah kita melihat ada ilmu yang melandasi ucapannya?, atau dalil, atau argumentasi ilmiah? Tidak. Ucapan ini hanya bermodal semangat dan emosi semata.
Tapi anehnya, salah seorang aktivis Hizbut Tahrir yang juga seorang temanku pernah berkata padaku bahwa dia ingin ikut kajiannya salafiyyun, tapi hanya masalah fiqh saja. Dia mengatakan bahwa salafiyyun kalau membahas fiqh sangat terperinci, lengkap dengan dalil, hadits, dan tafsir dari para mufassirin salafiyyun. Bukankah itu merupakan pujian untuk salafiyyun?
Memang tidak semua kader mempunyai sikap ‘ashobiyyah (fanatisme kelompok), tapi secara perlahan mereka tanamkan sikap ‘ashobiyyah kepada kader-kader mereka yang diharapkan nantinya bisa memperjuangkan ide-ide Hizbut Tahrir. Ke-ashobiyyah-an Hizbut Tahrir ini dengan sangat jelas dikatakan di dalam booklet mereka, bahwa yang menjadi pemersatu antara kader Hizbut Tahrir adalah ide-ide Hizbut Tahrir disamping aqidah Islamiyyah, berikut kutipannya:
“Cara mengikat individu-individu ke dalam Hizbut Tahrir adalah dengan memeluk Aqidah Islamiyyah, matang dalam tsaqafah Hizbut Tahrir, serta mengambil dan menetapkan ide-ide dan pendapat-pendapat Hizbut Tahrir. Dia sendirilah yang mengharuskan dirinya menjadi anggota Hizbut Tahrir, setelah sebelumnya ia melibatkan dirinya dengan (pembinaan dan aktivitas dakwah) Hizbut Tahrir; ketika dakwah telah berinteraksi dengannya dan ketika dia telah mengambil dan menetapkan ide-ide serta persepsi-persepsi Hizbut Tahrir.”
Celakalah bagi mereka yang beramal tidak ikhlas karena Allah, yang menisbahkan kegiatannya dengan menamakan organisasi atau kelompok, apalagi orang-orang yang berjuang memperjuangkan ide-idenya hanya demi kelanggengan kelompok dan meraih dukungan yang sebanyak-banyaknya dari masyarakat. Sebenarnya ikatan-ikatan di dalam umat Islam hanyalah tauhid dan aqidah Islamiyyah, bukan dengan ide-ide kelompok, apalagi kalau ide-ide itu ternyata menyelisihi Islam.
Itulah sekelumit fakta tentang Hizbut Tahrir, sebenarnya masih banyak lagi fakta yang masih terselubung yang masih belum diketahui khalayak. Banyak sekali pemuda-pemuda yang tertipu dengan kulit Hizbut Tahrir yang terlihat “hebat” di mata orang awam. Tapi ternyata konsep berpikir mereka sangat jauh dari apa yang dibawa oleh pendahulu kita (salaf), yaitu Rasulullah, para sahabat beliau, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Organisasi yang berpecah belah seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin – Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan sebagainya telah menyalahi kaidah Islam tentang larangan untuk berpecah belah. Selama ada kelompok-kelompok seperti itu yang mengatasnamakan Islam sebagai landasan juangnya, maka persatuan umat Islam selama itu pula tidak akan terwujud.
Penutup
Dakwah itu adalah kewajiban, baik itu oleh negara, jama’ah, ataupun perorangan. Kegiatan dakwah ini bertujuan untuk menyebarkan kebenaran yang berasal dari Yang Maha Benar. Dakwahpun juga mempunyai syarat-syarat, yaitu berdasarkan Al Qur-an, mengikuti as-sunnah, dan dengan kerangka berpikir serta pemahaman generasi terbaik umat Islam. Sayang sekali, kebanyakan kelompok-kelompok dakwah sekarang tidak mempunyai dasar ketiga, yaitu pemahaman salaful-ummah.
Sumber dari kekacauan dan perpecahan di tubuh umat Islam ini disebabkan karena mereka tidak merasa cukup dengan apa-apa yang telah ditinggalkan oleh pendahulu mereka. Masalah-masalah yang dulu sudah terselesaikan, ketika muncul kembali pada saat ini, malah menjadi rumit dan tidak terselesaikan karena adanya ruwaibidhah (orang yang sok berbicara tentang urusan orang banyak) yang menyelesaikan setiap masalah berdasarkan keilmuan mereka masing-masing.
Untuk setiap kelompok umat Islam, termasuk Hizbut Tahrir, yang masih menginginkan persatuan umat Islam, maka yang pertama kali harus mereka lakukan adalah keluar dari kelompok mereka, membubarkannya, dan kembali ke tengah-tengah umat Islam dengan tanpa ikatan-ikatan kebanggaan jahiliyyah seperti organisasi, partai, lembaga dakwah yang membuat mereka terdikotomikan di tengah-tengah umat Islam. Dan juga yang paling penting mereka harus meluruskan ide-ide mereka ke jalan pendahulu mereka, dan menyerahkan permasalahan umat ini kepada para ulama salaf dan yang mengikuti mereka (ulama salaf) dengan baik. Sungguh akan berantakan apabila suatu permasalahan tidak diserahkan kepada ahlinya, bukankah kita punya banyak ulama salaf yang siap untuk menyelesaikan masalah umat ini?
——————————————————–
Referensi
· Bin Shalih Al-Fauzan, Abdullah. Syarah 3 Landasan Utama. Solo: Pustaka At-Tibyan
· Al-Albani, Nashiruddin. Hizbut Tahrir Mu’tazilah Gaya Baru. Maktabah As-Sunnah. http://assunnah.cjb.net (diakses 4 November 2005)
· Bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil, Yusuf. Kehujjahan Atas Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah. Maktabah As-Sunnah. http://assunnah.cjb.net (diakses 4 November 2005)
· Bin Hadi Al-Madkhali, Rabi’. Tikaman Terhadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan As-Sunnah. Maktabah As-Sunnah. http://assunnah.cjb.net (diakses 4 November 2005)
· Bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, Zaid. Terorisme Dalam Pandangan Islam. Maktabah As-Sunnah. http://assunnah.cjb.net (diakses 4 November 2005)
· Ramadhani Al-Jazairy, Abdul Malik. Politik Yang Syar’i. Maktabah As-Sunnah. http://assunnah.cjb.net (diakses 4 November 2005)
· Bin Fauzan Al-Fauzan, Shalih. Kata Pengantar Manhaj Dakwah Para Nabi. Maktabah As-Sunnah. http://assunnah.cjb.net (diakses 4 November 2005)
· Bin Hadi Al-Madkhali, Rabi’. Manhaj Dakwah Para Nabi. Maktabah As-Sunnah. http://assunnah.cjb.net (diakses 4 November 2005)
· Tahrir, Hizbut. 2004. Mengenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologis. Hizbut Tahrir Indonesia
· Tahrir, Hizbut. 2005. Seruan Hizbut Tahrir Kepada Umat Islam: Khususnya Kalangan Militer. Hizbut Tahrir Indonesia
· Engkus. 2006, Benarkah Konsep Khilafah Hizbut Tahrir??. Islamuda Organizer. http://www.islamuda.com/imud=forum&menu=baca&id=372& page=2.html (diakses 2 Januari 2006)
· Rosyid, Abu. 2003. Manhaj salaf – jalan tepat dalam memahami Islam. Salafy Online Indonesia. http://www.salafy.or.id/manhaj/Manhajsalaf–jalantepat dalammemahamiIslam.html (diakses 10 November 2005)
· Umar As-Sewed, Muhammad. 2004. Sekali lagi : Mengapa harus manhaj Salaf ?. Salafy Online Indonesia. http://www.salafy.or.id/manhaj/ Sekalilagi:MengapaharusmanhajSalaf.html (diakses 10 November 2005)
· Bin Sulaimi Lc, Ruwaifi’. 2005. Kelompok Hizbut Tahrir dan Khilafah: Sorotan Ilmiah Tentang Selubung Sesat Suatu Gerakan. Majalah Asy-Syariah no. 16 : 5-10
· Luqman Ba’abduh, Abu Abdillah. 2005. Khilafah di Atas Manhaj Nubuwwah. Majalah Asy-Syariah no. 16 : 11-16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar