Penjelasan Hadits Ke-27 Umdatul Ahkam ( 1 )
---------------------------------------------------------------------------------
Dari Abu Hurairah berkata : saya mendegar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Fithrah itu lima ; khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak”.
Keterangan hadits
Sabda ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Fithrah itu lima”
Bahwasanya makna fithrah sebagaimana dinukil oleh al-Imam an-Nawawi bahwa di sana terjadi khilaf, apa yang dimaksud fithrah dalam hadits ini.
Berkata Abu Sulaiman Al-Khathabi –sebagaimana dinukil oleh al-Imam an-Nawawi- : “kebanyakan para ulama, yang dimaksud dengan fithrah di sini adalah sunnah. Yakni bahwasanya merupakan sunnah-sunahnya ambiya’ (para Nabi) Shalawatullahi wa sallamu ‘alaihim”.
Dan ini yang dirajihkan oleh an-Nawawi rahimahullah.
(Shahih Muslim bisyarh an-Nawawi 3/139)
“Fithrah itu ada lima”, seakan-akan di sini ada pembatasan yang dimaukan dengan fithrah itu hanya lima saja. Akan tetapi, yang dimaukan adalah bukan pembatasan dalam hadits ini, karena datang dalam lafadh lain, dimana datang dengan lafadh “min al-fithrah”, yang mana “min” dala hadits tersebut adalah “ min taf’iliyyah” yakni maknanya : “min ba’dhi al-fithrah” (dari sebagian yang termasuk fithrah adalah…) jadi bukan merupakan pembatasan karena di sana banyak fithrah yang lain selain lima ini.
Sabda ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “yang pertama ; khitan”.
Dikatakan oleh al-Hafidh Ibnu Hajar Rahimahullah dalam Fathul Baari (10/418) :
“al-khitan dari kata “khatana” yang maknanya adalah “qatha’a”. dan khitan yang dimaksud yakni memotong bagian tertentu dari anggota badan tertentu”.
Dan berkata an-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (3/139) :
“al-khitan yang dimaksud sebagaimana dinukil para ulama; cara mengkhitan adalah berbeda dengan cara khitan bagi laki-laki dan wanita. Cara mengkhitan laki-laki adalah memotong semua kulit yang menutup ujung dzakar [kemaluan laki-laki] sampai terbuka semua ujung dzakar. Adapun cara mengkhitan perempuan adalah memotong sedikit bagian dari kulit yang berada di atas farji”.
Dan dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari (10/418) :
“yang dipotong di atas farji mar’ah [wanita], di atas tempat masuknya dzakar seperti biji atau seperti jengger”.
Masalah : Hukum Khitan?
Para ulama khilaf (berbeda pendapat) tentang hukum khitan;
- Wajib
Bahkan al-Imam Malik dalam masalah ini sangat keras sampai sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitabnya Tuhfatul Maudud fi ahkamil maulud beliau mengatakan : “barangsiapa yang tidak berkhitan maka tidak sah imamahnya -jika ia menjadi imam- dan tidak diterima syahadahnya [syahadah yang dimaksud adalah persaksian, misalnya dia menyaksikan sesuatu yang akhirnya sesuatu itu menyebabkan hududillah maka persaksiannya tidak diterima jika belum khitan. Wallahu a’lam].
Dan dinukil dari hanbal Abu Abdillah dalam kitab yang sama :
Tidak dimakan penyembelihan orang yang belum berkhitan, dan tidak ada shalat baginya sampai dia bersuci dengan cara berkhitan karena khitan itu termasuk dari kesempurnaan Islam.
- Sunnah dan berdosa jika ditinggalkan
“khitan menurut al-Imam Malik dan kebanyakan ulama adalah sunnah, akan tetapi apabila ditinggal dia akan mendapatkan dosa”. Dalam bab ini mereka meng-ithlaq-kan sunnah dengan wajib sebagaimana pendapat al-Imam Malik rahimahullah di atas.
- Sunnah
“ khitan adalah tidak wajib dan hanya sunnah saja”.
Dan dikatakan oleh Ibnu Abi Musa -termasuk pengikutnya/shahabat al-ImamAhmad- : “ al-Khitan adalah sunnah mu’akaddah/kuat”.
Dan dikatakan oleh al-Imam Ahmad rahimahullah dalam riwayatnya yang lain : “tidak wajib untuk wanita”.
Dalam hal ini banyak sekali munaqasyah [perdebatan] adu adillah [jamak dari kata dalil] antara mereka yang berpendapat wajib dan sunnah. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan sampai sekitar 15 sisi pendalilan mereka yang mewajibkan sehingga mereka mengatakan/merajihkan khitan adalah wajib. Dan Ibnul Qayyim rahimahullah juga menyebutkan terhadap 15 adillah ini, di antar dalil yang mewajibkan :
- dalam surat an-Nahl ayat 123, Allah Subhanahu wa ta`ala berfirman : “ kemudian Kami wahyukan kepada kamu untuk mengikuti millanya Ibrahim yang hanif/lurus”.
bahwasanya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam diperintahkan Allah Subhanahu wa ta`ala Ta’ala untuk khitan , sehingga ini sebagai pendalilan wajibnya khitan.
- Dan hadits-hadits yang banyak sekali.
Di antara dalil-dalil yang mewajibkan khitan, disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, namun hadits-haditsnya dha’if.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‘Berkhitanlah’ dengan fi’il amr yang artinya wajib untuk berkhitan.
Hadits ini dhaif.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Akan tetapi hadits ini dha’if.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Akan tetapi hadits ini dha’if.
- Atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu
Akan tetapi atsar inipun dha’if.
Dikatakan sebagaimana dinukil al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah dari al-Baihaqi yang mengatakan : sebaik-baik dalil yang mewajibkan adalah :
- Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu muttafaqun ‘alaih :
Makna ‘al-qudub’, khilaf ulama’
- maknanya nama alat, artinya kapak.
- Maknanya nama sebuah tempat.
Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya kami telah mewahyukan atasmu untuk mengikuti agama Ibrahim yang hanif/lurus”.
Yang di antara ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah al-khitan.
Maka ini sebaik-baik dalil untuk mengatakan wajibnya khitan dan sebagaimana juga dikatakan al-Mawardi –dinukil oleh Ibnu Hajar rahimahullah- dalam Fathul Baari (10/420) :
“Ibrahim ‘alaihis salam tidak melakukan demikian yaitu khitan di usia 80 tahun kecuali karena memang itu perintah dari Allah Subhanahu wa ta’ala”.
Dari sini bahwasanya itu adalah wajib, dalil yang lebih kuat untuk seseorang berkhitan.
- Sebagai penguat, dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah :
Dan dikatakan oleh al-Khathabi rahimahullah :
“Bahwa dengan khitan diketahui yang Muslim dan kafir apabila dijumpai orang yang berkhitan di antara orang-orang yang terbunuh selain orang yang berkhitan”.
Artinya : jika di sana terjadi peperangan dan didapati banyak yang meninggal dan tidak bisa dibedakan yang Muslim dan kafir, maka seandainya dijumpai dia dalam keadaan berkhitan maka dishalatkan dan dikubur di kuburan kaum Muslimin”.
- sebagai dalil penguat
Kemudian dijelaskan : bahwa orang yang belum berkhitan terkadang ada sisa-sisa dari kencingnya masih berada dalam dzakar, maka apabila terjadi ereksi akan jatuh air kencing tersebut sehingga mengotori pakaiannya dan menjadi najis.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : “maka diterimanya thaharahnya/shalatnya tergantung pada khitan. Dan bahwasanya orang yang tidak khitan adalah syiarnya penyembah salib dan penyembah api”.
Maka ia diperintahkan untuk menyelisihi mereka dengan al-khitan.
- sebagai penguat lainnya
Itu adalah berbagai adillah yang oleh orang-orang yang mewajibkan untuk khitan, dan itu adalah yang rajih [lebih kuat] bahwa khitan hukumnya wajib sebagaimana dirajihkan al-Albani raimahullah dalam Tamamul Minnah (hal. 69) dan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.
Dalil-dali yang mengatakan sunnah
- Hadits Saddad bin Aus dikeluarkan oleh al-Baihaqi, dengan lafadh :
“Khitan itu adalah sunnah untuk kaum laki-laki dan kemuliaan bagi kaum wanita”.
Hadits ini selain al-Baihaqi juga al-Imam Ahmad, Ibnu Abi Abi Hatim, di sana juga ada al-Hajjaj ibnu Arthah, shoduq katsirul khatha’ wa kaana yudallis [istilah dalam ilmu musthalahul hadits, ed] dan meriwayatkan dengan ‘an’anah [dengan periwayatan ‘an / dari, ed].
Maka haditsnya idhthirab [artinya goncang, istilah dalam musthalahul hadits, ed]. Dan dikatakan oleh al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah :
“dalam hadits ini ada kegoncangan sanadnya”.
Beliau rahimahullah juga mengatakan :
“haditsnya tidak tsabit dan tidak dipakai sebagai hujjah”.
Kemudian seandainya haditsnya shahih, maka kata al-khitan sunnah, maka bahwasannya sunnah di sana itu adalah sunnahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diperintahkan maka hukumnya menjadi wajib.
- Berdasarkan kaidah ushul
Yakni digabungkan dengan hal-hal yang sunnah.
Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam bab ini. Yaitu al-khitan digabungkan dengan hal-hal yang disunnahkan, maka seandainya digabungkannya dengan hal-hal yang disunnahkan maka jatuhlah hukum itu menjadi sunnah.
Akan tetapi kaidah ini dalam ilmu ushul :
“dalil-dalil yang digabungkan itu tidak mempunyai kekuatan untuk menentang dalil-dalil wajibnya al-khitan”.
Masalah : waktu berkhitan.
Berkata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah, beliau menyebutkan satu hadits dan satu atsar.
- Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, yang dikeluarkan oleh at-Thabrani :
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi al-Hasan al-Husain dan mengkhitan keduanya pada hari ke tujuh setelah kelahirannya”.
Dari dalil ini mengkhitan adalah pada hari ke tujuh.
Akan tetapi dalam sanadnya ada Walid ibnu Muslim dan ma’ruf dalam tadlis / merancukan dalam riwayat, dan ia telah meriwayatkan dengan ‘an’anah tidak bertashrih, sehingga bisa di ihtimalkan [dimungkinkan] mendengar atau tidak mendengar.
Berkata al-Albani rahimahullah : bahwa hadits ini dha’if.
- Atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
Dikatakan oleh al-Haitsami : hadits ini perowi-perowinya tsiqah.
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam al-Fath :
“Bahwasanya atsar ini dikeluarkan ath-Thabrani dalam al-Ausath dan dalam sanadnya dha’if karena ada Rawwad ibnu Jarrah”.
Di dha’ifkan juga oleh adz-Dzahabi rahimahullah dalam al-Kasyf.
Berkata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah :
“akan tetapi dua hadits ini saling memperkuat satu denga yang lainnya, karena sanad dari dua hadits tadi berbeda, dan tidak ada di sana perawi tentang kedustaannya dalam hadits, maka haditsnya bisa dijadikan hujjah”.
Berkata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah selanjutnya :
“Bahwasanya orang-orang Syafi’iyyah menyunnahkan khitan pada hari ketujuh setelah kelahiran”.
Berkata asy-Syaikh al-‘Utsaimin dalam Syarh Riyadhush-Shalihin :
“al-khitan pada hari ke tujuh setelah kelahiran dan setelahnya, maka selagi dia itu masih kecil itu lebih baik karena al-khitan pada waktu kecil biasanya yang sakit badannya saja dan tidak sakit hatinya dan berbeda dengan yang besar selain sakit badannya juga sakit hatinya. Dan seandainya ia masih kecil akan cepat pulih bekas potongannya/cepat sembuh”.
Faidah khitan
- Untuk kebersihan, kesucian, hiasan dan orang yang berkhitan dari segi pandang itu lebih baik daripada yang belum berkhitan.
- Apabila sampai dia belum khitan dan kencing akan tersisa air kencing dalam kulitnya seihngga nanti akan keluar sewaktu-waktu dan menajiskan pakaiannya.
- Al-khitan untuk menyeimbangkan syahwat. Karena dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah : “maka dari itu, kamu dapati al-aklaf (orang yang belum berkhitan dari kalangan laki-laki dan al-qalfa (orang yang belum berkhitan dari kalangan wanita) tidak puas dengan jima’. Sehingga dengan khitan akan mendapatkan kepuasan dan akan menyeimbangkan dari syahwat itu sendiri, tidak terlalu menggebu dan tidak terlalu lemah”.
- Untuk kaum wanita, seandainya dia itu tidak berkhitan dan sebaliknya jika itu dihilangkan sama sekali itu akan melemahkan syahwatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar