Batilnya Kaidah Muwazanah
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Penulis : Al Ustadz Abu Fadhl Abdul Qodir Al-Bugishy
Editor : Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain
Membela Muwazanah dalam Mengeritik Orang
Diantara penyimpangan JM, ia membela manhaj muwazanah (menimbang antara kebaikan dan keburukan) ketika mengeritik dan men-tahdzir (memperingatkan) penyimpangan dan kesalahan sebagian orang.
Sebab menurut mereka bahwa jika hanya keburukannya saja yang disebutkan, maka ini bukanlah termasuk sikap adil!!
Jadi, menurut “pejuang” manhaj muwazanah bahwa kebaikan mereka juga harus disebutkan ketika dikritik.
Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah muwazanah ini adalah orang-orang yang berusaha bersikap “adil” terhadap ahli bid’ah. Diantara orang-orang itu adalah Salman Al-Audah, Ahmad Ash-Shuwayyan, dan lainnya.
Mereka ini tak ridho jika kita hanya menyebutkan keburukan Hasan Al-Banna, atau Sayyid Quthb ketika kita membantah keduanya, tanpa menyebutkan kebaikannya.
Juga perlu diingat bahwa Muwazanah ini hanya berlaku bila salafiyyun mengeritik mereka.
Adapun kalau mereka mengeritik salafiyyin maka tidak perlu ada muwazanah sehingga suatu hal biasa kalau kita mendengar atau membaca kritikan mereka dengan bahasa keji dan tidak bermoral terhadap salafiyyin.
Maklumlah kamus celaan mereka terhadap salafiyyin sangat tebal dan belum pernah sempurna ke huruf Z.
Para pembaca yang budiman, agar kita mengetahui hukum muwazanah ini, maka ada baiknya kami menukilkan sebagian fatwa ulama Ahlus Sunnah dalam perkara ini[1]:
(1.) Syaikh Abdul Aziz bin Baaz -rahimahullah- pernah ditanya tentang manhaj Ahlus Sunnah dalam mengeritik ahli bid’ah dan kitab-kitab mereka.
Apakah wajib menyebutkan kebaikan dan keburukan mereka, atau hanya menyebutkan keburukannya saja?
Syaikh bin Baaz -rahimahullah- menjawab,
“Yang dikenal dalam komentar para ahli ilmu adalah mengeritik kesalahan mereka untuk memberikan tahdzir (peringatan), dan menjelaskan kesalahan-kesalahan mereka yang mereka keliru di dalamnya untuk memberikan tahdzir dari bahaya kekeliruan itu.
Adapun yang baik, maka sudah dikenal dan diterima orang. Tapi maksudnya disini adalah tahdzir (memberikan peringatan) dari kesalahan-kesalahan mereka, yaitu orang-orang Jahmiyyah, Mu’tazilah, Rofidhoh, dan semisalnya.
Jika ada hajat yang mendorong untuk menjelaskan sesuatu yang ada pada mereka berupa kebenaran, maka dijelaskan.
Jika penanya bertanya, “Apa yang ada pada mereka berupa kebenaran? Perkara apa yang mereka mencocoki Ahlus Sunnah di dalamnya? Sedang yang ditanya mengetahui hal itu, maka ia jelaskan.
Tapi maksud terbesar dan yang terpenting adalah menjelaskan sesuatu yang ada pada mereka berupa kebatilan agar si penanya mewaspadainya; agar ia tidak cenderung kepada mereka”.
Penanya lain berkata, “Ada orang-orang yang mewajibkan muwazanah bahwa anda jika mengeritik mubtadi’ (ahli bid’ah) disebabkan oleh bid’ahnya dalam rangka anda mengingatkan manusia tentang bahayanya, maka anda wajib menyebutkan kebaikan-kebaikannya sehingga anda tidak menzhaliminya?”
Syaikh bin Baaz menjawab,
“Tidak, tidak mesti, tidak mesti. Oleh karena ini, jika anda membaca kitab-kitab ahlis Sunnah, maka anda akan mendapatkan bahwa maksudnya adalah memberikan peringatan (tahdzir).
Bacalah dalam kitab Al-Bukhoriy “Kholq Af’al Al-Ibad”, dalam kitab Al-Adab yang terdapat dalam Shohih Al-Bukhoriy, Kitab As-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, Kitab At-Tauhid karya Ibnu Khuzaimah, dan Rodd Utsman bin Sa’id Ad-Darimiy ala Ahlil Bida’, dan lainnya.
Mereka (para ulama itu) membawakan kebatilan mereka (ahli bid’ah) untuk memberikan tahdzir. Bukanlah tujuannya untuk menghitung kebaikan-kebaikan mereka.
Tujuannya adalah mengingatkan bahaya kebatilan mereka.
Kebaikan mereka tak ada nilainya bagi orang kafir, jika bid’ahnya membuat ia kafir; kebaikan-kebaikan mereka gugur.
Jika tidak membuatnya kafir, maka ia berada di atas kondisi bahaya. Jadi, maksudnya adalah menjelaskan kesalahan-kesalahan, dan kekeliruan mereka yang wajib untuk diwaspadai”.
(2.) Syaikh Sholih bin Fauzan -hafizhohullah- pernah ditanya,
“Baik ya Syaikh, apakah anda men-tahdzir (memperingatkan) mereka, tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka misalnya atau anda menyebutkan kebaikan dan kejelekan mereka?”
Syaikh Al-Fauzan menjawab,
“Jika aku sebutkan kebaikan mereka, artinya saya telah mengajak kepada mereka, jangan… jangan sebutkan.
Sebutkan kesalahan yang mereka lakukan saja, karena anda tidaklah dibebani untuk mempelajari kondisinya dan melakukannya…
engkau hanya dibebani untuk menjelaskan kesalahan yang ada pada mereka agar mereka bertobat darinya; agar orang lain mewaspadainya.
Adapun jika anda menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, maka mereka akan berkata, “Semoga Allah memberikan kepadamu balasan kebaikan inilah yang kami harapkan”.[2]“.
Inilah dua pernyataan dua ulama di zaman ini yang menjelaskan bahwa tidak mesti menyebutkan kebaikan ahli bid’ah saat ia dikritik, bahkan itulah yang lebih utama agar manusia mewaspadainya dan menjauhinya.
Jika kita menyebutkan kebaikannya, maka tujuan tahdzir (peringatan) tidak tercapai, sebab manusia biasanya condong kepada kebaikan orang lain sehingga akhirnya manusia akan berkata, “Dia menyimpang. Tapi kan masih ada kebaikannya”.
Akibatnya manusia akan kasihan dan simpati kepada ahli bid’ah itu, bahkan boleh jadi terseret dalam kebatilannya.
Kaedah muwazanah ini adalah batil, baik menurut tinjauan syari’at maupun tinjauan akal.
Adapun tinjauan syari’atnya, anda bisa dapatkan penjelasannya dalam kitab yang berjudul Manhaj Ahlis Sunnah wa Al-Jama’ah fi Naqd Ar-rijal wa Al-Kutub wa Ath-Thowa’if, karya Syaikh Robi’ Al-Madkholiy -hafizhohullah-.
Menurut tinjauan akal, kaedah muwazanah ini juga batil, sebab para pejuang muwazanah ini sendiri ketika membantah lawannya, maka mereka tak pernah menyebutkan kebaikan lawan.
Misalnya, orang-orang Wahdah Islamiyah saat mereka membantah Syi’ah, maka mereka tak menyebutkan kebaikan orang-orang Syi’ah.
Saat WI membantah para salafiyyun[3], maka mereka tak pernah menyebutkan kebaikan salafiyyun.
Tak usah jauh, lihat saja Al-Ustadz H. Jahada dalam ceramah yang berjudul “Benarkah Anda Bermanhaj Salaf?”.
JM dari awal sampai akhir ceramahnya, ia tak pernah menyebutkan secuil kebaikan orang-orang yang mengaku salafi.
Jika ia jujur dalam ucapannya dan menyadari kata-kata yang keluar dari mulutnya, maka ia pasti akan menyebutkan sedikit kebaikan salafiyyun.
Tapi sama sekali tidak, bahkan -katanya- mereka lebih asyaddu wa akhthor minal Khowarij wal Mu’tazilah (lebih parah dari Khowarij dan Mu’tazilah). Demikianlah jika akal tak difungsikan sebagaimana mestinya.
Tapi itu masih ringan, wahai orang-orang yang berakal.
Lebih parah dari itu Al-Ustadz Haji Jahada Mangka Lc. berusaha melegitimasi manhaj muwazanah dengan hadits Abu Hurairah tentang kisah bertemunya ia dengan setan yang mengajarinya ayat kursi.
Lalu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ
“Ingatlah, sesungguhnya dia (setan) itu jujur kepadamu, sedang ia itu pendusta”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Wakalah (2311)]
Pembaca yang budiman, perhatikan syubhat menyeret pelakunya dalam kekeliruan dan kerancuan.
Apakah kita juga melakukan muwazanah ketika menjelaskan kekafiran dan kesesatan setan, seraya berkata, “Setan memang kafir dan sesat. Tapi kan ia masih punya kebaikan!!”
Sungguh aneh orang-orang yang sufaha’ul ahlam, tidak menempatkan akalnya dan menggunakannya dengan baik.
Jika anda mau memahami makna hadits ini, maka kembalilah kepada ulama, seperti Syaikh Robi’ Al-Madkholiy yang telah menjelaskan makna hadits ini dan bahwa ia bukan dalil manhaj muwazanah dalam kitab beliau yang cemerlang Manhaj Ahlis Sunnah wa Al-Jama’ah fi Naqd Ar-rijal wa Al-Kutub wa Ath-Thowa’if.
Intinya hadits ini bukanlah dalil untuk melegitimasi manhaj muwazanah, sebab Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda demikian dalam rangka at-ta’rif wal bayan (mengenalkan dan menjelaskan) tentang jati diri orang (yakni, setan) yang ditemui oleh Abu Hurairah.
Inilah sebabnya Al-Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lam An-Nubala’, beliau terkadang menyebutkan kebaikan dan jasa ahli bid’ah untuk at-ta’rif wal bayan tentang jati diri dan perjalanan hidup orang itu.
Adapun saat membantah dan mengingkari kemungkaran, maka seorang menyebutkan penyimpangan ahli bid’ah atau pelaku kebatilan agar manusia menjauhinya dan waspada terhadap perbuatannya. Wallahu a’lam.
[1] Kami nukilkan dari kitab Manhaj Ahlis Sunnah wa Al-Jama’ah fi Naqd Ar-rijal wa Al-Kutub wa Ath-Thowa’if (hal. 8 & 10), karya Syaikh Robi’ Al-Madkholiy -hafizhohullah-, cet. Maktabah Al-Furqon, 1423 H.
[2] Maksudnya, ahli bid’ah akan gembira.
[3] Yang mereka sebut dengan mudda’is salafiyyah (para pengaku salafi)
sumber: http://muhasabah2.wordpress.com/2010/12/31/batilnya-kaidah-muwazanah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar