Hukum
Perkawinan Dengan Ahlul Bid'ah Bagian 1
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Syaikh Ibrahim
bin Amir Ar Ruhaili
(Bagian 1)
Pernikahan dengan Ahlul Bid'ah terlarang secara global
menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena akan memberi dampak negatif yang besar,
dan bertentangan dengan hal-hal yang disepakati dalam syariat, yaitu: tidak
ber-wala' (loyalitas), tidak mencintai mereka (Ahlul Bid'ah), wajib mengisolir
mereka, dan menjauhi mereka (Penguraian masalah ini akan dijelaskan dengan
membawakan riwayat-riwayat yang menunjukan hal itu, yaitu ucapan-ucapan para
Salaf dan contoh-contoh sebagian kerusakan yang ditimbulkan karena pernikahan
dengan Ahlul Bid'ah.)
Hukumnya haram mengadakan pernikahan dengan mereka dan
menikahi wanita- wanita mereka. Tentang hukum kepastian rusak dan sahnya
akad-akad pernikahan mereka dengan Ahlus Sunnah tergantung dengan jauh dekatnya
mereka terhadap agama. Oleh karena itu hukum terhadap mubtadi' (Ahlul Bid'ah,
yaitu orang yang mengada-adakan atau menambahi dalam perkara agama yang tidak
ada contoh dari Rasulullah, ed.) yang telah sampai ke derajat kufur disebabkan
karena kebid'ahannya tidaklah sama terhadap orang yang kebid'ahannya belum
sampai ke derajat kufur, sebagaimana juga berbedanya hukum pernikahan mereka
dengan wanita-wanita Ahlus Sunnah dan pernikahan Ahlus Sunnah dengan para wanita
mereka di sebagian keadaan.
Berikut ini perincian hukum tentang masalah di atas
menurut keadaan yang disebutkan tadi:
Adapun hukum pernikahan Ahlul Bid'ah yang
telah dihukumi dengan kekafiran adalah haram secara mutlak. Ini
disebabkan kekufuran dan kemurtadan mereka dari agama. Oleh karena itu Ahlus
Sunnah tidak halal menikahi wanita-wanita mereka. Demikian juga sebaliknya,
mereka haram menikahi para wanita Ahlus Sunnah. Hal ini dijelaskan dalam banyak
dalil, dan Ahlus Sunnah telah ijma' (sepakat) tentang keharaman menikah dengan
orang-orang kafir dan kaum musyrikin selain Ahlul Kitab dengan dua keadaan tadi
(yaitu: menikah dengan mereka dan dinikahi mereka).
Adapun keharaman seorang laki-laki muslim menikahi
wanita kafir lagi musyrik adalah berdasarkan firman Allah
Ta'ala:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu." (QS. Al-Baqarah: 221)
Juga firman Allah Ta'ala:
وَلا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
"Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan- perempuan kafir." (QS. Al-Mumtahanah:
10)
Dua ayat di atas menunjukkan keharaman menikahi
wanita-wanita musyrikah secara umum bagi kaum muslimin. Dan, yang dikecualikan
Allah hanya wanita-wanita Ahlul Kitab dengan firman-Nya:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu."
(QS. Al-Maidah: 5)
Sehingga, hal-hal yang Allah Ta'ala beri keringanan
padanya, seperti (laki-laki dari Ahlus Sunnah) menikahi para wanita Ahlul Kitab,
adalah boleh. Adapun selain mereka seperti wanita-wanita musyrik, maka hukum
keharamannya tetap berlaku secara umum, seperti wanita-wanita penyembah patung
dan berhala, atau bintang- bintang dan api. Sehingga, wanita-wanita Ahlul Bid'ah
yang telah dihukumi dengan kekafiran, hukum (pernikahan)-nya sama dengan
wanita-wanita tadi, walau mereka (wanita-wanita Ahlul Bid'ah itu) mengaku
sebagai muslimah.
Ibnu Katsir rahimahullah berkomentar dalam tafsir-nya
ayat pertama tadi (Surah Al Baqarah: 221), "Ini adalah pengharaman dari Allah
Ta'ala yang dibebankan kepada kaum mukminin, agar mereka tidak menikahi para
wanita musyrikah dari (golongan) penyembah berhala. Walaupun secara umum
tampaknya wanita-wanita musyrikah dari Ahlul Kitab tergolong kepadanya, tetapi
ada pengecualian berupa kebolehan menikah dengan wanita-wanita Ahlul Kitab
dengan firman-Nya: "(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu
telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya." (Al-Maidah:
5)(Tafsir Ibnu Katsir 1/257).
Banyak ulama yang menukil ijma' para ulama yang
mengharamkan menikahi wanita-wanita musyrikah selain wanita-wanita Ahlul
Kitab.
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata, "Dan semua
orang-kafir selain Ahlul Kitab, seperti orang yang menyembah apa yang dia anggap
baik dari berhala-berhala, batu-batu, pohon-pohon, dan hewan-hewan, maka tidak
ada perbedaan pendapat antara para ulama tentang keharaman menikahi
wanita-wanita mereka dan memakan sembelihan-sembelihan mereka." (Al-Mughni
9/548)
Syikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam
kandungan pembicaraannya tentang Qadariyah (kelompok yang menolak takdir, ed.)
dan hukum-hukum tentang mereka, "Dan adapun kaum musyrikin, maka umat ini telah
sepakat terhadap keharaman menikahi wanita-wanita mereka dan memakan makanan
mereka." (Majmu' Fatawa 8/100)
Dr. Wahbah Az-Zahaili berkata tentang kesimpulan masalah
ini dalam pembahasannya, "Telah sepakat tidak halal untuk menikahi wanita yang
tidak memiliki kitab, seperti para penyembah berhala dan penyembah api (Majusi),
karena tidak ada satu kitab pun ditangan para pengikutnya sekarang dan kita
tidak yakin kalau mereka memilikinya sebelumnya, maka kita harus berhati-hati."
(Al-Fiqhul Islami wa Adillatuha, Dr. Wahbah Az-Zahaili
7/152).
Dengan ini, tegaslah keharaman menikahi wanita-wanita
musyrikah selain Ahlul Kitab, menurut keterangan dua ayat tadi dan ijma' para
ulama terhadap hukum itu.
Sudah pasti termasuk ke dalam keharaman itu, keharaman
menikahi para wanita Ahlul Bid'ah yang musyrikah seperti wanita-wanita Jahmiyah,
Qadariyah, dan Syi'ah Rafidlah. Sebab, firqah-firqah (kelompok) ini telah
dihukumi sebagai firqah yang kufur dan murtad. Yang lebih keras dari keharaman
itu adalah keharaman menikahi wanita-wanita dari firqah Bathiniyah seperti
Daruliz, Nushairiyah, dan lain-lain yang tergolong kelompok zindiq, seperti
Hululiyah dan Tanasukhiyah, karena para pengikut kolompok-kelompok ini adalah
orang-orang musyrik lagi telah keluar dari Islam (sudah murtad). Tidak halal
menikahi wanita-wanita mereka sama sekali, menurut keterangan yang telah saya
sampaikan, (ini ucapan Dr. Ibrahim Ruhaili, ed.) berupa ucapan-ucapan para ulama
yang khusus berbicara tentang mereka, dengan menambahkan masuknya keharaman
menikahi para wanita mereka. Hal itu, di bawah keumuman dalil yang berisikan
kepastian haramnya menikahi wanita- wanita musyrikah, kecuali wanita-wanita
Ahlul Kitab, yang telah disebutkan di atas.
Inilah sebagian ucapan-ucapan para ulama tentang hal
itu:
Ibnu Baththah Rahimahullah meriwayatkan dari Thalhah bin
Musharaf rahimahullah [1], bahwa dia berkata, "Tidak boleh menikahi para wanita
dari Syi'ah Rafidlah, tidak boleh memakan sembelihan mereka, karena mereka
adalah orang-orang murtad." (Al-Ibanah Ash-Shughra, Ibnu Baththah hal.
161)
Dari Sahl bin Abdillah, dia pernah ditanya tentang hukum
shalat di belakang Mu'tazilah dan menikah dengan mereka, maka dia berkata,
"Tidak. Tidak ada kemuliaan bagi mereka, mereka adalah orang-orang kafir."
(Tafsir Al-Qurthubi, 7/141)
Al-Baghawi menukil di akhir kitabnya, Al-Farqu Bainal
Firaq, beberapa ucapan para Imam Islam, dari para tokoh empat madzhab terhadap
sebagian hukum-hukum firqah-firqah tadi.
Maka beliau menyebutkan, "Kelompok ekstrim dari kalangan
Syi'ah Rafidlah As- Siba'iyah, Bayaniyah, Muniriyah, Mansyuriyah, Janahiyah,
Khithabiyah, Hululiyah, Bathiniyah, dan Yazidiyah dari kalangan Khawarij dan
Maimunah." Kemudian berkata, "Hukum terhadap kelompok-kelompok yang kita
sebutkan tadi, terhadap mereka diperlakukan hukum orang-orang yang murtad dari
agama. Tidak halal memakan sembelihan-sembelihan mereka, dan tidak halal
menikahi para wanita mereka." (Al-Farqu Bainal Firaq hal.
357)
Abul Hamid Al-Ghazali berkata ketika membicarakan
hukum-hukum terhadap kelompok Bathiniyah setelah menukil madzhab mereka dengan
rinci dalam kitab Fadla'ilul Bathiniyah, "Adapun menikahi para wanita mereka
haram hukumnya, sebagaimana tidak bolehnya menikahi wanita yang murtad. Tidak
halal menikahi wanita Bathiniyah -secara keyakinan- disebabkan kekafiran mereka
yang telah kita sebutkan sebabnya, seperti pendapat-pendapat (mereka yang, ed.)
menjijikkan yang telah kita rinci. Kalau wanita itu seorang yang baik agamanya
kemudian menelan madzhab mereka, maka gugurlah nikah di waktu itu juga."
(Fadla'ilul bathiniyah hal. 157)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di
awal pembicaraannya tentang kelompok Syi'ah Rafidlah ekstrim dan kelompok
ekstrim lainnya (yang ekstrim, ed.) terhadap Ali radliallahu 'anhu, seperti
Nushairiyah dan Ismailiyah, "Semua mereka ini adalah orang-orang kafir yang
lebih kufur dari Yahudi dan Nashara. Jika tidak tampak hal itu dari salah
seorang mereka, maka dia termasuk orang-orang munafik yang mereka berada dikerak
neraka. Siapa yang menampakkan hal itu, maka dia lebih keras kekafirannya dari
orang kafir, maka dia tidak boleh tinggal di antara kaum muslimin, tidak dengan
jizyah (pajak atau denda) dan tidak dengan dzimmah (orang kafir yang dilindungi
di negeri muslim, ed.), dan tidak halal menikahi para wanita mereka, tidak boleh
memakan sembelihan-sembelihan mereka, karena mereka adalah orang-orang murtad,
bahkan termasuk orang-orang murtad yang sangat jahat." (Maj'mu Fatawa
28/474-475)
Beliau Rahimahullah juga berkata tentang kelompok
Nushairiyah, "Para ulama Islam telah sepakat bahwa tidak boleh menikahi mereka,
dan tidak boleh seorang lelaki menikahkan para maula-nya (baca: budaknya, ed.)
(yang wanita) dengan mereka, dan jangan seorang wanita menikah dengan mereka,
dan tidak boleh memakan sembelihan-sembelihan mereka." (Majmu' Fatawa
35/154)
Adapun keharaman menikahnya seorang wanita muslimah
dengan pria musyrik yang sama saja apakah dia seorang mubtadi' atau selainnya,
maka hujjah dalam hal itu jelas dalam Al-Kitab (Al-Qur'an) dan ijma' umat
Islam.
Allah Ta'ala berfirman:
وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
"Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.." (Al-Baqarah:
221)
Juga firman Allah Ta'ala:
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ
إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ
لَهُنَّ
"Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka." (Al-Mumtahanah:
10)
Dua ayat ini menjelaskan keharaman menikahkan wanita
muslimah dengan pria kafir dan musyrik secara mutlak, sama saja apakah dia (sang
pria) seorang Ahlul Kitab, atau penyembah berhala yang tidak memiliki kitab.
Di atas itu terjadilah ijma' umat ini, sebagaimana yang
dinukil Al-Qurthubi dalam ucapannya, "Dan umat ini telah ijma' bahwa seorang
pria musyrik tidak boleh menikahi seorang wanita mukminah sama sekali, karena
itu akan menimbulkan kerendahan Islam." (Tafsir Al-Qurthubi
3/72)
Ijma' tersebut juga dinukil oleh Syaikh Muhammad 'Ulaisy
[2] dari kalangan para ulama Malikiyah dalam Taqrirat-nya terhadap Hasyiyah
Ad-Dasuqi (Lihat Taqriqat, Al-'Allamah Muhammad 'Ulaisy terhadap Hasyiyah
Ad-Dasuki yang dicetak dengan catatan kaki Ad-Dasuki 2/249.) dan Doktor
Az-Zahaili dalam Al-Fiqhul Islami. (Lihat Al-Fiqhul Islami 'ala Adillatuhu
7/152)
(Diambil dari kitab Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama'ah min
Ahlul Ahwa wal Bida', Edisi Indonesia Hukum Perkawinan Dengan Ahli Bid'ah,
Penulis Syaikh Dr Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, Penerjemah Muhammad Ali Ismah
Al-Medany, Penerbit Pustaka Al- Ghuraba' Press, hal. 1-13)
__________
Foote Note
[1]. Thalhah bin Musharraf bin 'Amr bin Ka'b Al-Yami Al-Kufi, dia seorang Tsiqah (dipercaya), Qari lagi terhormat. Wafat tahun 112 H. (Lihat At-Taqrib hal. 283).
[2]. Syaikh Muhammad 'Ulaisy adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, 'Ulaisy Ath-Tharablisi Ad-Daarul Mishri, beliau seorang syaikh dari madzhab Maliki di sana. Beliau banyak melahirkan ulama-ulama Al-Azhar dari beberapa tingkatan. Beliau banyak memiliki karangan dalam beberapa disiplin ilmu, yang mayoritasnya telah dicetak. Wafatnya tahun 1299 H di Mesir. (Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah, Muhammad Makhluf 1/385)
Foote Note
[1]. Thalhah bin Musharraf bin 'Amr bin Ka'b Al-Yami Al-Kufi, dia seorang Tsiqah (dipercaya), Qari lagi terhormat. Wafat tahun 112 H. (Lihat At-Taqrib hal. 283).
[2]. Syaikh Muhammad 'Ulaisy adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, 'Ulaisy Ath-Tharablisi Ad-Daarul Mishri, beliau seorang syaikh dari madzhab Maliki di sana. Beliau banyak melahirkan ulama-ulama Al-Azhar dari beberapa tingkatan. Beliau banyak memiliki karangan dalam beberapa disiplin ilmu, yang mayoritasnya telah dicetak. Wafatnya tahun 1299 H di Mesir. (Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah, Muhammad Makhluf 1/385)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar