Radio Muwahiddin

Selasa, 31 Januari 2012

Menyampaikan Kajian dengan Seijin Pemerintah, Sebuah Manhaj As-Salaf


Menyampaikan Kajian dengan Seijin Pemerintah, Sebuah Manhaj As-Salaf
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Oleh: dr. M Faiq Sulaifi

Termasuk manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah meminta ijin pemerintah dalam mengadakan kegiatan dakwah. Ketika melakukan kegiatan dakwah, mereka membangun lembaga dakwah atau yayasan dakwah sebagaimana peraturan pemerintah di negeri mereka. Begitu pula ketika mengadakan kegiatan daurah keilmuan, mereka juga harus mendapatkan ijin dari pemerintah setempat.

Sebaliknya, manhaj khawarij adalah melakukan dakwah tanpa seijin penguasa. Mereka berdakwah secara diam-diam tanpa mendirikan lembaga ataupun yayasan sehingga menyulitkan pemerintah untuk mengawasi mereka. Begitu pula ketika mengadakan daurah, mereka tidak meminta ijin pemerintah terlebih dahulu.

Matan Hadits

Dari Auf bin Malik Al-Asyja’i t, ia berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah e bersabda:

لَا يَقُصُّ إِلَّا أَمِيرٌ أَوْ مَأْمُورٌ أَوْ مُخْتَالٌ

“Tidaklah menyampaikan kisah kecuali amir (penguasa) atau orang yang diperintah (oleh amir) atau orang yang sombong.” (HR. Abu Dawud: 3180, Ibnu Majah: 3743, Ahmad: 6374, Al-Bazzar: 2397 (7/226), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir: 14849 (18/76)).


Derajat Hadits

Al-Hafizh Al-Haitsami berkata tentang riwayat Ahmad: “Diriwayatkan oleh Ahmad dan isnadnya adalah hasan.” (Majma’uz Zawaid: 907 (1/451)). Beliau juga berkata tentang riwayat Ath-Thabrani: “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dan isnadnya hasan.” (Majma’uz Zawaid: 910 (1/452)).

Riwayat Abu Dawud dan Ath-Thabrani di atas juga dinilai jayyid oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dalam kitab beliau Tahdzirul Khawash min Akadzibil Qashshash. (Tahdzirul Khawash: 173)

Al-Allamah Al-Muhaddits Al-Albani juga berkata: “Hadits ini shahih tanpa keraguan, dengan terkumpulnya 3 jalan ini. Apalagi riwayat yang terakhir juga hasan sebagaimana keterangan terdahulu. Wallahu a’lam.” (Silsilah Ash-Shahihah: 2020 (5/19)).

Makna Hadits

Al-Allamah Abdur Rauf Al-Munawi berkata:

(لا يقص على الناس) أي لا يتكلم عليهم بالقصص والإفتاء

“Maksud hadits (Tidaklah menyampaikan kisah kepada manusia) adalah tidaklah berbicara tentang kisah dan berfatwa kepada mereka.” (Faidlul Qadir: 6587).

Beliau juga menjelaskan:

(أو مأمور) أي مأذون له في ذلك من الحاكم

“Maksud sabda beliau (atau orang yang diperintah (oleh amir)) adalah orang yang diijinkan oleh penguasa untuk berfatwa atau menyampaikan kisah.” (Faidlul Qadir: 6587).

Al-Allamah Ubaidullah Al-Mubarakfuri berkata:

وفي الحديث الزجر عن الوعظ بغير إذن الإمام؛ لأنه أعرف بمصالح الرعية، فمن رأى فيه حسن العقيدة وصدق الحال يأذن له أن يعظ الناس وإلا فلا

“Di dalam hadits ini terdapat larangan yang keras dari kegiatan memberikan nasehat (ceramah) tanpa seijin imam (penguasa). Karena ia lebih mengetahui terhadap kemaslahatan rakyat. Maka orang-orang yang menurut pemerintah, memiliki kebaikan aqidah dan jujurnya keadaan maka mereka dapat diberikan ijin untuk menyampaikan nasehat kepada manusia dan begitu pula sebaliknya.” (Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 242 (1/336)).

Al-Imam Al-Baghawi menukilkan dari Ibnu Syuraih bahwa ia berkata:

وكان الأمراء يلون الخطبة يعظون فيها الناس. والمأمور : من يقيمه الإمام خطيبا ، والمختال : من نصب نفسه لذلك اختيالا وتكبرا ، وطلبا للرياسة من غير أن يؤمر به.

“Adalah pemerintah itu mengurusi masalah khutbah. Mereka berkhutbah untuk memberikan nasehat kepada manusia. Orang yang diperintah adalah orang yang ditunjuk oleh penguasa menjadi khatib. Dan orang yang sombong adalah yang menunjuk dirinya untuk berkhutbah dalam rangka berbangga-bangga, sombong dan mencari kedudukan dengan tanpa diperintahkan atau diijinkan terlebih dahulu.” (Syarhus Sunnah: 1/304).

Keterangan As-Salaf

Al-Imam Sahl bin Abdullah At-Tustari (wafat tahun 283 H) berkata:

إذا نهى السلطانُ العالمَ أن يُفتِيَ فليس له أن يُفتي، فإن أفتى فهو عاصٍ، وإنْ كان أميراً جائراً

“Jika sultan (pemerintah) melarang seorang alim untuk berfatwa, maka ia tidak boleh berfatwa. Jika ia tetap berfatwa maka ia telah berbuat maksiat meskipun sultan tersebut merupakan pemimpin yang zhalim.” (Tafsir Al-Qurthubi: 5/259, Tafsir Al-Bahrul Muhith: 4/174).

Demikian pula sikap Ammar bin Yasir y ketika menyampaikan hadits tentang tayammum kepada Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab t. Umar berkata:

اتَّقِ اللَّهَ يَا عَمَّارُ قَالَ إِنْ شِئْتَ لَمْ أُحَدِّثْ بِهِ

“Bertakwalah kepada Allah, wahai Ammar!” Maka Ammar pun berkata: “Kalau engkau mau, maka aku tidak akan menyampaikan hadits itu lagi.” (HR. Muslim: 553 dan An-Nasa’i: 314).

Dahulu Abu Musa Al-Asy’ari t pernah berfatwa tentang haji tamattu’. Kemudian sampailah kepada beliau bahwa Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab t memerintahkan haji ifrad. Maka beliau pun berkata:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ مَنْ كُنَّا أَفْتَيْنَاهُ فُتْيَا فَلْيَتَّئِدْ فَإِنَّ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَادِمٌ عَلَيْكُمْ فَبِهِ فَأْتَمُّوا

“Wahai manusia! Barangsiapa yang telah kami berikan kepadanya suatu fatwa maka hendaknya fatwa tersebut jangan dilaksanakan dulu. Karena Amirul Mukminin telah datang kepada kalian maka hanya dengannya hendaknya kalian bermakmum!” (HR. Muslim: 2143, Ad-Darimi: 1815, Ahmad: 18713 dan lain-lain).

Dari Amr bin Dinar , ia berkata:

أن تميم الداري استأذن عمر في القصص فأبى أن يأذن له ثم استأذنه فأبى أن يأذن له ثم استأذنه فقال : إن شئت وأشار بيده يعني الذبح

“Bahwa Tamim Ad-Dari meminta ijin kepada Umar untuk menyampaikan kisah-kisah maka Umar tidak mau memberikan ijin kepadanya. Kemudian ia meminta ijin lagi dan Umar tidak mengijinkannya. Pada kali yang ketiga Umar berkata: “Kalau kamu mau maka kamu akan disembelih.” Sambil berisyarat dengan tangannya.” (Atsar riwayat Ath-Thabrani dalam Al-Kabir: 1250 (2/49). Al-Haitsami berkata: “Perawinya adalah perawi Ash-Shahih kecuali bahwa Amr bin Dinar tidak pernah mendengar Umar (Majma’uz Zawaid: 905 (1/450) dan As-Suyuthi menilai jayyid isnadnya dalam Tahdzirul Khawash: 172).

Abdul Jabbar Al-Khaulani berkata:

دَخَلَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا كَعْبٌ يَقُصُّ فَقَالَ مَنْ هَذَا قَالُوا كَعْبٌ يَقُصُّ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَقُصُّ إِلَّا أَمِيرٌ أَوْ مَأْمُورٌ أَوْ مُخْتَالٌ قَالَ فَبَلَغَ ذَلِكَ كَعْبًا فَمَا رُئِيَ يَقُصُّ بَعْدُ

“Salah seorang sahabat Nabi e memasuki masjid. Ternyata di sana ada Ka’ab (Al-Ahbar) yang sedang membacakan kisah. Maka Sahabi ini bertanya: “Siapa ini?” Mereka menjawab: “Ia adalah Ka’ab yang sedang membacakan kisah.” Maka Sahabi ini berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah e bersabda: “Tidaklah menyampaikan kisah kecuali amir (penguasa) atau orang yang diperintah (oleh amir) atau orang yang sombong.” Maka hadits ini akhirnya sampai kepada Ka’ab. Kemudian ia tidak pernah terlihat lagi membacakan kisah setelah itu.” (HR. Ahmad: 17358 dan isnadnya di-hasan-kan oleh Al-Haitsami: 907 (1/451)).

Kisah Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Raja Al-Watsiq

Sesungguhnya dalam kisah ini terdapat pelajaran bagi kita. Al-Imam Ahmad pernah dicekal oleh rezim Raja Al-Watsiq yang bermanhaj mu’tazilah. Ini karena Al-Imam Ahmad mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yaitu Al-Quran adalah firman Allah, bukan makhluk. Sedangkan rezim Al-Watsiq menyatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk. Dan ini menjadi sebab pencekalan Al-Imam Ahmad. Beliau tidak boleh mengadakan perkumpulan, menyampaikan ilmu dan diharuskan bersembunyi. Dan beliau menaati perintah pencekalan ini sampai berakhirnya kekuasaan Al-Watsiq.

Al-Imam Hanbal bin Ishaq (sepupu Al-Imam Ahmad) berkata:

فبينانحن في أيام الواثق، إذ جاء يعقوب ليلا برسالة الامير إسحاق بن إبراهيم إلى أبي عبد الله: يقول لك الامير: إن أمير المؤمنين قد ذكرك، فلا يجتمعن إليك أحد، ولا تساكني بأرض ولا مدينة أنا فيها، فاذهب حيث شئت من أرض الله.

قال: فاختفى أبو عبد الله بقية حياة الواثق.

وكانت تلك الفتنة، وقتل أحمد بن نصر الخزاعي.

ولم يزل أبو عبد الله مختفيا في البيت لا يخرج إلى صلاة ولا إلى غيرها حتى هلك الواثق.

“Suatu ketika kami di masa kekuasaan Raja Al-Watsiq. Tiba-tiba Ya’qub datang pada malam hari dengan membawa sepucuk surat dari Amir (Gubernur) Ishaq bin Ibrahim kepada Al-Imam Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal). Gubernur berkata (dalam suratnya): “Sesungguhnya Amirul Mukminin (Raja Al-Watsiq) telah menyebutkanmu. Maka janganlah seorang pun berkumpul (bermajelis) kepadamu dan janganlah engkau berdiam denganku di bumi ataupun kota yang mana di situ ada aku! Pergilah ke tempat sesukamu dari bumi Allah!”

Hanbal bin Ishaq berkata: “Maka Al-Imam Abu Abdillah bersembunyi sampai masa sisa dari kehidupan Raja Al-Watsiq. Dan pada fitnah itu terbunuhlah Ahmad bin Nashr Al-Khuza’i. Dan Al-Imam Abu Abdillah senantiasa bersembunyi di rumah. Beliau tidak keluar rumah untuk menghadiri shalat jamaah tidak pula acara yang lainnya sampai Raja Al-Watsiq mati.” (Siyar A’lamin Nubala’: 11/263-264).

Ijin Pemerintah

Pada hakekatnya pemerintah RI telah memberikan jaminan kebebasan bagi warganya untuk berpendapat, berserikat dan berkumpul. Agar tertib administrasi dan hukum, pemerintah mengeluarkan UU no. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Peraturan Pemerintah no. 18 tahun 1986 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Untuk sekala kecil pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah no. 63 tahun 2008 tentang Yayasan. Sehingga orang yang berkumpul baik dalam majelis ta’lim atau apapun kegiatannya, harus mendapatkan pengesahan dari pemerintah melalui lembaga yang diatur dalam peraturannya semisal organisasi kemasyarakatan atau yayasan atau lembaga dakwah.

Penutup

Maka orang-orang yang mengadakan majelis ta’lim tanpa seijin pemerintah –yaitu tanpa mendirikan yayasan- adalah orang-orang yang menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah. Sehingga kalau mereka konsisten dengan bid’ahnya yayasan maka hendaknya mereka tidak mengadakan majelis ta’lim dan cukup duduk-duduk di rumah mereka saja. Dan kalau mereka memaksa, maka mereka termasuk orang-orang yang sombong dan mencari kedudukan. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."