Radio Muwahiddin

Selasa, 19 Agustus 2014

Di Bawah Langit Mahwit


 Oleh : Al Ustadz Abu Nasiim Mukhtar ‘iben‘ Rifa’i La Firlaz
.
“Rasa-rasanya, bintang di langit cerah justru nampak lebih indah saat ia berkelap-kelip. Kadang cahayanya menguat, terkadang meredup… Subhaanallah !” (Kamis Malam, 13 Juni 2013, 22.19.43)
.
Mahwit, Yaman
Mahwit, Yaman
.
Kata-kata di atas adalah bunyi SMS yang ana kirimkan kepada beberapa kawan di Yaman. Begitulah… Kata-kata seakan menjadi sahabat ana yang paling bisa mengerti dan memahami rindu. Menulis surat semacam ini pun –bagi ana– menjadi obat dan penawar rindu. Derasnya rindu yang mengalir di hati membutuhkan hilir sebagai muaranya dan kata-kata adalah laut lepasnya…


Salah seorang ikhwan di Shan’a asal Lombok bernama Haidar menjawab SMS tersebut,

“Bintang gemintang adalah bintang Allah. Awan gemawan adalah awan Allah. Semoga yang kerlap itu, kerlap penuh semangat untuk beramal. Semoga redup itu menyimpan bara ikhlas nan membara”

Malam itu… ana sedang berbaring menatap langit cerah di atas selembar selimut beralaskan karpet tipis di halaman sebuah masjid. Heningnya malam yang menyimpan ketenangan masih bisa ana rasakan ketika menulis surat ini. Baarakallahufiik…
.
Seorang kawan Yaman yang berasal dari sebuah propinsi bernama Mahwit rupanya tertarik mengajak ana untuk menengok kampung halamannya. Wah… tawaran yang sangat tidak mungkin untuk ana tolak. Ana sangat tertarik untuk jalan-jalan menembus batas-batas wilayah…

Kamis pagi 13 Juni 2013, kami bergerak meninggalkan pondok Dzamar dengan mengendarai sebuah bis berukuran sedang. Perjalanan selama empat jam dihiasi dengan relief-relief alam yang sangat menakjubkan. Hampir tidak ada jalan dengan trap lurus. Berkelok-kelok dengan sudut sempit membuat badan bergeser ke kanan dan ke kiri. Sketsa alam berupa pegunungan batu dan jurang-jurang curam mengingatkan ana tentang tamasya bersama keluarga ke Dataran Tinggi Dieng.

Sebenarnya mata agak berat untuk diangkat…, alis mata inginnya beristirahat sejenak. Namun apa daya, kesempatan emas seperti ini eman-eman untuk dilewatkan begitu saja. Sungguh… empat jam perjalanan itu sangat berkesan. Negara Yaman yang hanya terdiri dari 26.000.000 jiwa dengan bentangan wilayahnya yang luas membuat jarak antar desa yang ana lalui sangat berjauhan.

Pikir ana… empat jam perjalanan itu sudah cukup untuk mengantarkan ana sampai ke kampung halaman kawan itu. Ternyata… belum! Kami harus mengendarai mobil khusus yang memang dikenal tangguh di medan bukit-bukit berbatu. Sebuah jeep merk Toyota yang sudah berumuran empat puluh tahun rupanya cukup setia menggendong kami menuju tujuan.

Tidak ada secenti pun jalan menuju kampung halamannya yang beraspal. Seluruh lintasan jalan dari tanah kasar penuh batu dan tidak rata. Lubang-lubang adalah sahabat akrab ban mobil Toyota itu. Kurang lebih setengah jam kami melintasi jalan-jalan berbatu yang penuh goncangan menyenangkan itu.

Kira-kira sejarak dua sampai tiga kilometer, kami melintasi padang kaktus yang hampir berbuah –buahnya manis loh–. Sejauh mata memandang adalah pohon-pohon kaktus yang seakan mengucapkan salam kedatangan untuk kami. Pohon kaktus hanyalah satu dari banyak jenis pepohonan dan tetumbuhan yang agak menghijaukan gunung dan padang berbatu di Yaman. Seluruhnya adalah pohon-pohon berduri dengan ciri khas batangnya yang keras.

Subhaanallah!

Ana salah sangka lagi untuk yang kedua kalinya! Sesampainya di pemberhentian mobil terakhir, kami harus menggunakan motor berkopling buatan Cina –motor-motor di sini memang buatan Cina– untuk melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman sang kawan.

Kampung-kampung badui! Luar biasa sekali! Pukul lima sore barulah kami benar-benar sampai. Alhamdulillah.

Kesederhanaan Kaum Badui

Kampung badui tempat kami beristirahat bernama Shanif. Kampung Shanif hanyalah sebuah kampung dari kumpulan kampung-kampung badui lainnya yang menginduk ke sebuah kabilah besar bernama Bani Sa’ad. Jarak antar kampung paling tidak satu kilometer. Padahal tiap-tiap kampung hanya berpenduduk seratus jiwa.

Di kampung Shanif, ana banyak belajar tentang kesederhanaan dan kebersahajaan.

Ternyata selama ini ana kurang-kurang bersyukur… Barangkali –seumur hidup– hanya beberapa kali saja ana pernah berucap Alhamdulillah dengan tulus dari dasar hati. Selain itu Alhamdulillah Alhamdulillah lainnya hanyalah terucap sebagai penghias bibir saja. Ya Allah… ternyata begitu banyak nikmat yang telah Engkau curahkan untuk kami. Ya Rahman… ternyata selama ini kami hidup dalam kelalaian. Ya Ghafuur… ternyata selama ini hambaMu terlalu sering mengeluh dan mengeluh…

Bayangkan saja…

Rumah-rumah mereka hanya tersusun dari batu-batu gunung tanpa semen atau cairan perekat lainnya. Atap rumah mereka adalah tumpukan ranting-ranting yang dianyam rapi di antara dahan-dahan pohon. Lantai rumah? 

Oh… begitu apa adanya. Lantai rumah mereka adalah hamparan bumi sebagaimana halaman rumah mereka.

Dalam setahun hanya beberapa kali saja hujan ditumpahkan dari langit. Tangki-tangki air (yang berisi dua atau tiga kali ukuran bak kamar mandi kami di Gang Nusa Indah) terlihat di halaman setiap rumah di kampung tersebut. Namun sekali isi tangki setara dengan harga sebesar 5.000 Real Yaman (Rp 250.000).

Masya Allah!

Bak kamar mandi kami di Gang Nusa Indah barangkali dalam sehari semalam bisa habis dipakai, sementara mereka bisa menggunakannya sampai berapa lama? Ana berpikir, sudah berapa kali 250.000 rupiah ana pakai untuk membasahi tubuh ini?

Tiap-tiap rumah mempunyai ayam, kambing, sapi dan unta untuk digembalakan. Jumlahnya bisa mencapai ratusan ekor. Tiap pagi menjelang, anak-anak mereka keluar menuju lereng gunung dan lembah untuk mengawal hewan-hewan gembalaan. Sore hari mereka pulang ke rumah masing-masing.

Ana sempat diajak kawan untuk menengok Pasar Desa… Subhaanallah! Pasar?? Pasar desa hanya terdiri dari beberapa bangunan toko sederhana. Selainnya hanyalah gubuk-gubuk kecil seperti pos ronda milik RT kami di Karang Baru. Ya Allah… berarti selama ini Engkau telah mencurahkan nikmat tak terhingga kepada kami.
 .

Pancaran Suka Cita

Wajah-wajah yang nampak tak terawat dan nilai-nilai perjuangan mereka yang tak kenal lelah dalam menjalani kehidupan, ternyata belum cukup untuk menutup pancaran bahagia… Benar… Walaupun hidup dalam kesederhanaan seperti itu, senyum mereka terlihat tulus dan lepas. Tawa mereka begitu renyah dan menyenangkan. Apalagi tamu mereka berasal dari Indonesia… Jauuuuh sekali, kata mereka.

Dalam hati ana tergores sebuah luka kecil setelah bertemu dengan mereka. Ana sangat-sangat iri dengan mereka…Hidup mereka adalah hidup apa adanya. Selain itu adalah ibadah dan ibadah. Tidak ada kesibukan lainnya. Tidak ada waktu untuk pusing dan bingung memikirkan urusan dunia.

Bagaimana dengan ana?

Walaupun kita tidak terlibat…, namun setiap hari kita disuguhi oleh informasi-informasi yang menyesakkan dada. Pertarungan di panggung politik, pembunuhan dan perampokan, pemerkosaan dan pelecehan seksual, korupsi dan kolusi…dan masih banyak lagi hal-hal membosankan lainnya.

Dunia ini memang telah tua umurnya. Sesaat lagi hari kiamat dibangkitkan. Ana teringat kembali dengan sebuah sabda Rasulullah (hadits Abu Sa’id riwayat Bukhari),
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، خَيْرُ مَالِ الرَّجُلِ المُسْلِمِ الغَنَمُ، يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الجِبَالِ وَمَوَاقِعَ القَطْرِ، يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الفِتنِ
“Akan tiba masanya nanti untuk umat ini,harta terbaik yang dimiliki oleh seorang muslim adalah kambing-kambing. Ia menggembalakannya di lereng-lereng gunung dan titik-titik hujan. Ia lari dari fitnah demi menyelamatkan agamanya”

Malam Selepas Isya’

Selepas shalat Isya’ dan makan malam yang sederhana… Roti-roti gandum yang dimasak dengan kayu bakar adalah santapan pokoknya. Minyak samin yang dipadu dengan susu sapi adalah lauknya. Ada juga semacam sayur yang terbuat dari potongan-potongan kentang dan tomat. Sebagai penutup secangkir teh panas dan kental menambah lengkap pengalaman ana di Propinsi Mahwit.
Tidak ada listrik!

Mesin genset barangkali hanya sebuah saja untuk tiap-tiap kampung. 

Untuk keperluan listrik mereka menggunakan aki-aki besar yang diisi jasa pengisian batere aki di kota.

Malam itu benar-benar berkesan…

Tidak ada rumah yang bisa menampung tamu… Pilihannya adalah halaman masjid. Sebenarnya bisa saja tidur malam di dalam masjid… Namun daerah Mahwit adalah daerah panas sangat… Jika memaksakan diri tidur di dalam masjid, bisa jadi bangun-bangun Shubuh sudah banjir keringat.

Ada tiga orang yang menemani ana malam itu… Dua orang anak muda, yang seorang sudah cukup tua… Cukup berselimutan sarung cap Gajah Duduk, ana menikmati malam itu… Sangat sulit untuk memejaman kedua mata ini.

Tak henti-hentinya ana memandang dan mengagumi keindahan langit… Suasana gelapnya malam, sketsa gunung-gunung di sekeliling kampung, juga suara-suara hewan malam semakin menambah syahdunya suasana.

Di saat itulah Ana menulis SMS di atas,

“Rasa-rasanya, bintang di langit cerah justru nampak lebih indah saat ia berkelap-kelip. Kadang cahayanya menguat, terkadang meredup… Subhaanallah!” (Kamis Malam, 13 Juni 2013, 22.19.43)

Subhaanaallah!

Sudah sekian lama Ana merindukan ketenangan dan ketentraman semacam ini… Hati sejuuuuuk sekali… Bayangan entah terbang ke sana dan ke mari… Inilah pilihan Allah untuk hamba-hamba Nya… Dan itulah yang terbaik!

Ana pun yakin bahwa kita dipilihkan Allah untuk hidup di belahan bumi yang sangat bertolak belakang dengan suasana kampung-kampung badui ini… Pasti karena hikmah yang agung… Ana yakin bahwa seandainya kita pun hidup seperti mereka di kampung-kampung badui ini, belum tentu menjadi baik untuk kita… Apa yang Allah pilihkan untuk kita itulah yang terbaik!

Hanya saja sesekali kita memang perlu merenung dan bertafakkur… agar mampu menjadi hamba yang bersabar dan bersyukur… Ternyata masih banyak saudara-saudara kita (dalam hal materi dan dunia)… yang tarafnya berada di bawah kita… Walaupun bisa jadi mereka lebih bisa merasakan bahagia dibandingkan kita yang diuji dengan limpahan nikmat dari Allah.

Ya Allah mudahkanlah kami untuk menjadi hamba-hamba Mu yang selalu bersyukur dan bersabar…
 .
_saudara Antum
_abu nasiim mukhtar “iben” rifai_helga la firlaz
_dzamar, yemen_17 Juni 2013_20.55 WIY
_sedang berdomisil di Kerajaan Rindu_

(Catatan : balasan surat Ustadzuna kepada salah seorang ikhwah Solo. Telah diedit redaksi ibnutaimiyah.org tanpa mengurangi makna)

SUMBER: http://www.ibnutaimiyah.org/2014/08/di-bawah-langit-mahwit/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."