Oleh : Al Ustadz Abu Nasiim Mukhtar ‘iben‘ Rifa’i La Firlaz
.
“Rasa-rasanya, bintang di langit cerah justru nampak lebih indah saat ia berkelap-kelip. Kadang cahayanya menguat, terkadang meredup… Subhaanallah !” (Kamis Malam, 13 Juni 2013, 22.19.43)
.
.
Kata-kata di atas adalah bunyi SMS yang
ana kirimkan kepada beberapa kawan di Yaman. Begitulah… Kata-kata seakan
menjadi sahabat ana yang paling bisa mengerti dan memahami rindu.
Menulis surat semacam ini pun –bagi ana– menjadi obat dan penawar rindu.
Derasnya rindu yang mengalir di hati membutuhkan hilir sebagai muaranya
dan kata-kata adalah laut lepasnya…
Salah seorang ikhwan di Shan’a asal Lombok bernama Haidar menjawab SMS tersebut,
“Bintang gemintang adalah bintang
Allah. Awan gemawan adalah awan Allah. Semoga yang kerlap itu, kerlap
penuh semangat untuk beramal. Semoga redup itu menyimpan bara ikhlas nan
membara”
Malam itu… ana sedang berbaring menatap
langit cerah di atas selembar selimut beralaskan karpet tipis di halaman
sebuah masjid. Heningnya malam yang menyimpan ketenangan masih bisa ana
rasakan ketika menulis surat ini. Baarakallahufiik…
.
Seorang kawan Yaman yang berasal dari
sebuah propinsi bernama Mahwit rupanya tertarik mengajak ana untuk
menengok kampung halamannya. Wah… tawaran yang sangat tidak mungkin
untuk ana tolak. Ana sangat tertarik untuk jalan-jalan menembus
batas-batas wilayah…
Kamis pagi 13 Juni 2013, kami bergerak
meninggalkan pondok Dzamar dengan mengendarai sebuah bis berukuran
sedang. Perjalanan selama empat jam dihiasi dengan relief-relief alam
yang sangat menakjubkan. Hampir tidak ada jalan dengan trap lurus.
Berkelok-kelok dengan sudut sempit membuat badan bergeser ke kanan dan
ke kiri. Sketsa alam berupa pegunungan batu dan jurang-jurang curam
mengingatkan ana tentang tamasya bersama keluarga ke Dataran Tinggi
Dieng.
Sebenarnya mata agak berat untuk
diangkat…, alis mata inginnya beristirahat sejenak. Namun apa daya,
kesempatan emas seperti ini eman-eman untuk dilewatkan begitu
saja. Sungguh… empat jam perjalanan itu sangat berkesan. Negara Yaman
yang hanya terdiri dari 26.000.000 jiwa dengan bentangan wilayahnya yang
luas membuat jarak antar desa yang ana lalui sangat berjauhan.
Pikir ana… empat jam perjalanan itu
sudah cukup untuk mengantarkan ana sampai ke kampung halaman kawan itu.
Ternyata… belum! Kami harus mengendarai mobil khusus yang memang dikenal
tangguh di medan bukit-bukit berbatu. Sebuah jeep merk Toyota yang
sudah berumuran empat puluh tahun rupanya cukup setia menggendong kami menuju tujuan.
Tidak ada secenti pun jalan menuju
kampung halamannya yang beraspal. Seluruh lintasan jalan dari tanah
kasar penuh batu dan tidak rata. Lubang-lubang adalah sahabat akrab ban
mobil Toyota itu. Kurang lebih setengah jam kami melintasi jalan-jalan
berbatu yang penuh goncangan menyenangkan itu.
Kira-kira sejarak dua sampai tiga
kilometer, kami melintasi padang kaktus yang hampir berbuah –buahnya
manis loh–. Sejauh mata memandang adalah pohon-pohon kaktus yang seakan
mengucapkan salam kedatangan untuk kami. Pohon kaktus hanyalah satu dari
banyak jenis pepohonan dan tetumbuhan yang agak menghijaukan gunung dan
padang berbatu di Yaman. Seluruhnya adalah pohon-pohon berduri dengan
ciri khas batangnya yang keras.
Subhaanallah!
Ana salah sangka lagi untuk yang kedua
kalinya! Sesampainya di pemberhentian mobil terakhir, kami harus
menggunakan motor berkopling buatan Cina –motor-motor di sini memang
buatan Cina– untuk melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman sang
kawan.
Kampung-kampung badui! Luar biasa sekali! Pukul lima sore barulah kami benar-benar sampai. Alhamdulillah.
Kesederhanaan Kaum Badui
Kampung badui tempat kami beristirahat
bernama Shanif. Kampung Shanif hanyalah sebuah kampung dari kumpulan
kampung-kampung badui lainnya yang menginduk ke sebuah kabilah besar
bernama Bani Sa’ad. Jarak antar kampung paling tidak satu kilometer.
Padahal tiap-tiap kampung hanya berpenduduk seratus jiwa.
Di kampung Shanif, ana banyak belajar tentang kesederhanaan dan kebersahajaan.
Ternyata selama ini ana kurang-kurang bersyukur… Barangkali –seumur hidup– hanya beberapa kali saja ana pernah berucap Alhamdulillah dengan tulus dari dasar hati. Selain itu Alhamdulillah Alhamdulillah lainnya
hanyalah terucap sebagai penghias bibir saja. Ya Allah… ternyata begitu
banyak nikmat yang telah Engkau curahkan untuk kami. Ya Rahman…
ternyata selama ini kami hidup dalam kelalaian. Ya Ghafuur… ternyata
selama ini hambaMu terlalu sering mengeluh dan mengeluh…
Bayangkan saja…
Rumah-rumah mereka hanya tersusun dari
batu-batu gunung tanpa semen atau cairan perekat lainnya. Atap rumah
mereka adalah tumpukan ranting-ranting yang dianyam rapi di antara
dahan-dahan pohon. Lantai rumah?
Oh… begitu apa adanya. Lantai rumah
mereka adalah hamparan bumi sebagaimana halaman rumah mereka.
Dalam setahun hanya beberapa kali saja
hujan ditumpahkan dari langit. Tangki-tangki air (yang berisi dua atau
tiga kali ukuran bak kamar mandi kami di Gang Nusa Indah) terlihat di
halaman setiap rumah di kampung tersebut. Namun sekali isi tangki setara
dengan harga sebesar 5.000 Real Yaman (Rp 250.000).
Masya Allah!
Bak kamar mandi kami di Gang Nusa Indah
barangkali dalam sehari semalam bisa habis dipakai, sementara mereka
bisa menggunakannya sampai berapa lama? Ana berpikir, sudah berapa kali
250.000 rupiah ana pakai untuk membasahi tubuh ini?
Tiap-tiap rumah mempunyai ayam, kambing,
sapi dan unta untuk digembalakan. Jumlahnya bisa mencapai ratusan ekor.
Tiap pagi menjelang, anak-anak mereka keluar menuju lereng gunung dan
lembah untuk mengawal hewan-hewan gembalaan. Sore hari mereka pulang ke
rumah masing-masing.
Ana sempat diajak kawan untuk menengok
Pasar Desa… Subhaanallah! Pasar?? Pasar desa hanya terdiri dari beberapa
bangunan toko sederhana. Selainnya hanyalah gubuk-gubuk kecil seperti
pos ronda milik RT kami di Karang Baru. Ya Allah… berarti selama ini
Engkau telah mencurahkan nikmat tak terhingga kepada kami.
.
Pancaran Suka Cita
Wajah-wajah yang nampak tak terawat dan
nilai-nilai perjuangan mereka yang tak kenal lelah dalam menjalani
kehidupan, ternyata belum cukup untuk menutup pancaran bahagia… Benar…
Walaupun hidup dalam kesederhanaan seperti itu, senyum mereka terlihat
tulus dan lepas. Tawa mereka begitu renyah dan menyenangkan. Apalagi
tamu mereka berasal dari Indonesia… Jauuuuh sekali, kata mereka.
Dalam hati ana tergores sebuah luka
kecil setelah bertemu dengan mereka. Ana sangat-sangat iri dengan
mereka…Hidup mereka adalah hidup apa adanya. Selain itu adalah ibadah
dan ibadah. Tidak ada kesibukan lainnya. Tidak ada waktu untuk pusing
dan bingung memikirkan urusan dunia.
Bagaimana dengan ana?
Walaupun kita tidak terlibat…, namun
setiap hari kita disuguhi oleh informasi-informasi yang menyesakkan
dada. Pertarungan di panggung politik, pembunuhan dan perampokan,
pemerkosaan dan pelecehan seksual, korupsi dan kolusi…dan masih banyak
lagi hal-hal membosankan lainnya.
Dunia ini memang telah tua umurnya.
Sesaat lagi hari kiamat dibangkitkan. Ana teringat kembali dengan sebuah
sabda Rasulullah (hadits Abu Sa’id riwayat Bukhari),
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، خَيْرُ مَالِ الرَّجُلِ المُسْلِمِ الغَنَمُ، يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الجِبَالِ وَمَوَاقِعَ القَطْرِ، يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الفِتنِ
“Akan tiba masanya nanti untuk umat ini,harta terbaik yang dimiliki oleh seorang muslim adalah kambing-kambing. Ia menggembalakannya di lereng-lereng gunung dan titik-titik hujan. Ia lari dari fitnah demi menyelamatkan agamanya”
Malam Selepas Isya’
Selepas shalat Isya’ dan makan malam
yang sederhana… Roti-roti gandum yang dimasak dengan kayu bakar adalah
santapan pokoknya. Minyak samin yang dipadu dengan susu sapi adalah
lauknya. Ada juga semacam sayur yang terbuat dari potongan-potongan
kentang dan tomat. Sebagai penutup secangkir teh panas dan kental
menambah lengkap pengalaman ana di Propinsi Mahwit.
Tidak ada listrik!
Mesin genset barangkali hanya sebuah
saja untuk tiap-tiap kampung.
Untuk keperluan listrik mereka menggunakan
aki-aki besar yang diisi jasa pengisian batere aki di kota.
Malam itu benar-benar berkesan…
Tidak ada rumah yang bisa menampung
tamu… Pilihannya adalah halaman masjid. Sebenarnya bisa saja tidur malam
di dalam masjid… Namun daerah Mahwit adalah daerah panas sangat… Jika
memaksakan diri tidur di dalam masjid, bisa jadi bangun-bangun Shubuh
sudah banjir keringat.
Ada tiga orang yang menemani ana malam
itu… Dua orang anak muda, yang seorang sudah cukup tua… Cukup
berselimutan sarung cap Gajah Duduk, ana menikmati malam itu… Sangat
sulit untuk memejaman kedua mata ini.
Tak henti-hentinya ana memandang dan
mengagumi keindahan langit… Suasana gelapnya malam, sketsa gunung-gunung
di sekeliling kampung, juga suara-suara hewan malam semakin menambah
syahdunya suasana.
Di saat itulah Ana menulis SMS di atas,
“Rasa-rasanya, bintang di langit
cerah justru nampak lebih indah saat ia berkelap-kelip. Kadang cahayanya
menguat, terkadang meredup… Subhaanallah!” (Kamis Malam, 13 Juni 2013, 22.19.43)
Subhaanaallah!
Sudah sekian lama Ana merindukan
ketenangan dan ketentraman semacam ini… Hati sejuuuuuk sekali… Bayangan
entah terbang ke sana dan ke mari… Inilah pilihan Allah untuk
hamba-hamba Nya… Dan itulah yang terbaik!
Ana pun yakin bahwa kita dipilihkan
Allah untuk hidup di belahan bumi yang sangat bertolak belakang dengan
suasana kampung-kampung badui ini… Pasti karena hikmah yang agung… Ana
yakin bahwa seandainya kita pun hidup seperti mereka di kampung-kampung
badui ini, belum tentu menjadi baik untuk kita… Apa yang Allah pilihkan
untuk kita itulah yang terbaik!
Hanya saja sesekali kita memang perlu
merenung dan bertafakkur… agar mampu menjadi hamba yang bersabar dan
bersyukur… Ternyata masih banyak saudara-saudara kita (dalam hal materi
dan dunia)… yang tarafnya berada di bawah kita… Walaupun bisa jadi
mereka lebih bisa merasakan bahagia dibandingkan kita yang diuji dengan
limpahan nikmat dari Allah.
Ya Allah mudahkanlah kami untuk menjadi hamba-hamba Mu yang selalu bersyukur dan bersabar…
.
_saudara Antum
_abu nasiim mukhtar “iben” rifai_helga la firlaz
_dzamar, yemen_17 Juni 2013_20.55 WIY
_sedang berdomisil di Kerajaan Rindu_
(Catatan : balasan surat Ustadzuna kepada salah seorang ikhwah Solo. Telah diedit redaksi ibnutaimiyah.org tanpa mengurangi makna)
SUMBER: http://www.ibnutaimiyah.org/2014/08/di-bawah-langit-mahwit/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar