Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Pelajaran
terpenting yang bisa diambil dari kisah Nabi Nuh Alaihissallam adalah
bahwa dakwah setiap nabi dan rasul adalah satu, yaitu menyeru umat untuk
beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja (dakwah tauhid).
Nabi
Nuh alaihisallam tinggal di tengah-tengah kaumnya selama kira-kira 950
tahun dan masih hidup sepeninggal mereka selama waktu yang dikehendaki
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau termasuk salah seorang rasul
yang disebut Ulul ‘Azmi dan salah satu dari lima nabi yang diharapkan
syafaatnya pada hari kiamat. Nabi Nuh juga merupakan rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala yang pertama diutus kepada umat manusia dan beliau bapak kedua manusia sesudah Nabi Adam alaihissallam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau dan kepada para nabi seluruhnya.
Dari kisah Nabi Nuh dapat kita ambil beberapa faedah, antara lain:
1. Seluruh dakwah nabi dan rasul sejak Nuh alaihissallam sampai Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam
adalah satu, yaitu menyeru umat manusia untuk bertauhid yang murni dan
melarang mereka dari berbuat syirik. Nabi Nuh dan yang lainnya selalu
mendahulukan dakwah mereka dengan menyerukan:
“Beribadahlah
kalian hanya kepada Allah. Tidak ada sesembahan bagi kalian selain
Dia.” (al-A’raf: 59) Mereka senantiasa mengulang-ulang seruan yang utama
ini dengan berbagai cara
2. Dalam kisah
ini terdapat adab berdakwah dan hal-hal yang menyempurnakannya. Kita
lihat dalam kisah ini, Nabi Nuh berdakwah mengajak umatnya siang malam,
sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, dalam setiap kesempatan dan
keadaan yang memungkinkan berhasilnya dakwah. Beliau membangkitkan
keinginan mereka dalam meraih pahala di dunia dengan keselamatan dari
siksa, bersenang-senang dengan harta dan anak-anak, serta limpahan
rezeki seandainya mereka beriman, begitu juga dengan pahala di akhirat.
Beliau mengingatkan umatnya agar menjauhi syirik dengan bersabar dalam
menyampaikan dakwah ini dengan kesabaran yang demikian hebat seperti
juga rasul-rasul lainnya. Beliau ajak kaumnya berbicara dengan
kalimat-kalimat yang lembut dan penuh kasih sayang, dengan segala
ungkapan yang dapat menyentuh hati serta beliau paparkan berbagai bukti
tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3.
Sesungguhnya syubhat-syubhat (kerancuan) yang dilontarkan oleh
musuh-musuh para rasul terhadap risalah yang mereka bawa, justru
merupakan dalil yang sangat jelas tentang batilnya ucapan-ucapan para
pendusta itu sendiri. Karena sesungguhnya apa yang mereka katakan tidak
ada yang lain lagi kecuali itu, sama sekali tidak memiliki nilai
keilmiahan dan tidak ada artinya bagi orang yang berakal. Maka perkataan
mereka seperti yang dikisahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Kami
tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang
yang hina-dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak
melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami
yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (Hud: 27)
Perhatikanlah
kalimat-kalimat tersebut, niscaya akan Anda dapatkan tamwih
(pengaburan) yang menunjukkan bahwa mereka itu sesat dan sombong
terhadap hakikat kenyataan yang ada. Juga ucapan mereka:
“Kami tidak melihat kamu melainkan sebagai seorang manusia (biasa) seperti kami.” (Hud: 27)
Apakah
dalam suatu kebenaran yang dibawa oleh seseorang terdapat suatu
kerancuan atau syubhat yang menunjukkan bahwa kebenaran itu pada
hakikatnya bukanlah kebenaran? Pernyataan dalam ayat di atas seakan-akan
menerangkan kepada kita bahwa segala pendapat atau pemikiran yang
bersumber atau berasal dari manusia mana pun adalah batil. Tentu saja
hal ini merupakan penolakan terhadap semua ilmu tentang kemanusiaan yang
diperoleh dari manusia yang lain. Ringkasnya, pernyataan orang-orang
kafir ini membatalkan seluruh ilmu yang ada.
Bukankah ilmu yang
berada di tengah-tengah manusia, mereka ambil dari manusia yang lainnya
dan semuanya bertingkat-tingkat? Tentunya yang paling tinggi, paling
benar, dan paling bermanfaat dari ilmu-ilmu itu adalah ilmu yang mereka
peroleh dari para rasul yang ilmunya dari wahyu Ilahi.
Demikian pula
ucapan orang-orang yang kafir ini:
“Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami.” (Hud: 27)
Yakni,
kami dan kalian adalah sama-sama manusia. Ini pun sudah dibantah oleh
para rasul, sebagaimana dikisahkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Kami
tidak lain adalah manusia seperti kamu akan tetapi Allah memberi
karunia kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya.” (Ibrahim:
11)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan
bahwa Dia memberikan karunia kepada para rasul dan mengistimewakan
mereka dengan wahyu dan risalah. Padahal, pengingkaran orang-orang kafir
terhadap para rasul itu dari sisi ini, justru merupakan kebodohan dan
celaan paling besar terhadap nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena sesungguhnya nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan hikmah-Nya mengharuskan bahwa para rasul itu berasal dari kalangan
manusia agar lebih memantapkan manusia dalam mengambil ilmu dari mereka.
Sehingga mereka pun akan merasakan nikmat ini dengan mudah dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
lapangkan pula bagi mereka jalan untuk mencapainya. Orang-orang yang
dusta ini mengingkari asal kenikmatan ini, bahkan mengingkari pula jalan
yang lurus yang bermanfaat yang dibawa oleh para rasul tersebut. Adapun
perkataan mereka:
“Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina di antara kami.” (Hud: 27)
Setiap
orang yang berakal pasti mengetahui bahwa kebenaran itu dikenal dari
materinya sendiri bahwa dia adalah haq, bukan dikenal dari siapa yang
mengikutinya. Perkataan yang mereka ucapkan ini sesungguhnya bersumber
dari kesombongan mereka. Sudah jelas bahwa sikap sombong merupakan
penghalang terbesar yang ada dalam diri seorang hamba untuk mengenal
kebenaran apalagi mengikutinya.
Juga
ucapan mereka ﯦ (orang-orang yang hina-dina di antara kami). Kalau yang
mereka inginkan dengan kalimat ini adalah kemiskinan maka kemiskinan
bukanlah suatu aib (cela). Adapun kalau mereka maksudkan adalah akhlak
maka ini jelas dusta. Bahkan sesungguhnya yang hina-dina adalah mereka
yang mengucapkan kalimat ini. Apakah beriman dan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya, tunduk mengikuti kebenaran, serta selamat dari perilaku atau
watak yang tercela dan rendah, adalah suatu kehinaan serta orang-orang
yang mengikutinya adalah orang yang hina-dina? Ataukah kehinaan itu
berada pada keadaan sebaliknya, dengan meninggalkan kewajiban yang
paling tinggi dan utama, yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan bersyukur hanya kepada-Nya, serta sebaliknya memenuhi hati dengan
sikap sombong terhadap kebenaran dan terhadap sesama manusia?
Hal
yang terakhir ini, demi Allah, justru merupakan kehinaan yang paling
hina. Akan tetapi orang-orang kafir itu datang membawa kebohongan.
Tidaklah mereka menyiksa orang-orang yang baik ini melainkan karena
mereka beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.
Perkataan mereka: “Yang lekas percaya saja.” (Hud: 27)
Perkataan mereka: “Yang lekas percaya saja.” (Hud: 27)
Maksudnya
yang percaya begitu saja kepadamu, wahai Nuh. Mereka tidak
bermusyawarah dan meneliti lebih dahulu, tidak merenungkan lebih dahulu.
Seandainya mungkin bahwa ini adalah suatu hakikat (kenyataan), maka ini
semua merupakan bukti-bukti dari kebenaran tersebut. Karena
sesungguhnya pada kebenaran itu terdapat burhan (petunjuk), cahaya,
keagungan, kecemerlangan, kejujuran, dan ketenangan, yang semua itu
tidak perlu dimusyawarahkan dengan siapa pun untuk mengikutinya.
Tentunya persoalan yang membutuhkan musyawarah itu adalah
persoalan-persoalan yang masih tersamar yang belum diketahui hakikat
atau manfaatnya. Sedangkan keimanan yang cahayanya justru lebih terang
dari sinar matahari, bahkan lebih lezat dari apa pun juga, tidak ada
yang ketinggalan untuk menerimanya melainkan orang-orang yang sombong
dan sewenang-wenang seperti mereka yang durhaka ini.
Kata-kata mereka:
“Dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami.” (Hud: 27)
“Dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami.” (Hud: 27)
Apakah
dalam perkataan ini terdapat sikap yang jujur dan adil? Karena
sesungguhnya mereka di sini menerangkan keadaaan mereka sendiri. Memang
ucapan ini ada kemungkinan demikian, yakni itulah yang ada dalam hati
mereka (anggapan bahwa merekalah yang paling mulia), atau mereka hanya
mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini. Apa pun alasannya, yang haq
itu tetap wajib untuk diterima, baik yang mengatakannya orang yang
mulia atau bukan. Al-haq itu tetap lebih tinggi di atas apa pun.
Perkataan mereka:
“Bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (Hud: 27)
Padahal
sudah sama diketahui bahwa prasangka (zhan) adalah perkataan yang
paling berat dustanya. Seandainya mereka mengatakan ‘Bahkan kami tahu
bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta’, maka semua orang yang sesat
mampu mengucapkannya. Akan tetapi dengan dasar apa kalian menuduh para
rasul itu dusta? Maka alasan dan bukti yang mereka kemukakan ini justru
saling menggugurkan satu sama lain sebagaimana yang terlihat. Bagaimana
mungkin, padahal para rasul itu juga telah menghadapinya dengan dalil
(alasan-alasan), bukti yang bermacam-macam sehingga tidak menyisakan
sedikit pun keraguan pada diri seseorang bahwa tuduhan tersebut adalah
batil.
4. Antara keutamaan para nabi dan bukti-bukti risalah serta keikhlasan mereka yang sempurna tampak saat beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
secara khusus (untuk diri mereka sendiri) dan peribadatan mereka dalam
memberikan manfaat bagi sesama makhluk, seperti berdakwah, taklim
(mengajarkan ilmu), dan semua perangkatnya. Oleh karena itulah, mereka
menampakkan dan berulang-ulang memperdengarkan hal ini kepada kaumnya.
Masing-masing mereka menyatakan:
“Wahai
kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kalian (sebagai upah) bagi
seruanku. Upahku tidak lain hanya dari Allah.” (Hud: 29)
Hal
ini menjadi kedudukan yang paling mulia bagi pengikut para rasul, yang
mereka menyertai para rasul itu dalam segi ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala
jadikan untuk mereka kemuliaan di dunia dan akhirat lebih besar
daripada hal-hal yang menjadi persaingan mereka yang mengharapkan dunia.
5. Celaan
terhadap niat orang-orang mukmin dan apa yang Allah anugerahkan kepada
mereka berupa keutamaan, bahkan mereka berani bersumpah atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala,
bahwasanya Dia tidak akan memberi karunia-Nya kepada orang-orang yang
beriman. Semua itu tidak lain merupakan warisan dari musuh-musuh para
rasul. Oleh karena itulah, Nabi Nuh berkata kepada mereka tatkala mereka
bersumpah demikian, menjadikannya jalan untuk mencela kaum mukminin:
“Dan
aku juga tidak mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh
kalian, ‘Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan mereka.’
Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka.” (Hud: 31)
6. Sepantasnya untuk memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan menyebut nama-Nya ketika datangnya malapetaka dan kesulitan bahkan
dalam segala aktivitas, serta memperbanyak pujian dengan menyebut nama
Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mendapatkan kenikmatan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya’.”(Hud: 41)
“Maka
apabila engkau dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas
bahtera itu, ucapkanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang telah
menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim’.” (al-Mu’minun: 28)
Sudah
sepantasnya pula untuk berdoa, memohon berkah ketika singgah di suatu
tempat persinggahan seperti dalam perjalanan atau tiba di tempat tinggal
sendiri, rumah atau kampung halaman, karena adanya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan berdoalah, ‘Wahai Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat’.” (al-Mu’minun: 29)
“Dan berdoalah, ‘Wahai Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat’.” (al-Mu’minun: 29)
Dalam ayat-ayat tersebut disebutkan bahwa senantiasa berzikir menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala , kekuatan untuk beraktivitas ataupun diam, kepercayaan yang penuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, turunnya berkah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala,
semua itu adalah pengiring yang lebih utama bagi seorang hamba dalam
setiap keadaannya yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja olehnya.
7. Bahwasanya takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan melaksanakan segala yang dituntut oleh iman, merupakan sebagian
sebab untuk memperoleh dunia, keturunan yang banyak, rezeki dan kekuatan
fisik, meskipun untuk itu semua mesti ada sebab yang lain. Ketakwaan
ini justru merupakan sebab satu-satunya, tidak ada sebab yang lain untuk
mendapatkan kebaikan akhirat dan keselamatan dari siksanya.
8.
Keselamatan dari hukuman dunia secara umum hanyalah untuk orang-orang
yang beriman, yaitu para rasul dan para pengikut mereka. Karena hukuman
dunia ini hanya khusus akan dialami oleh orang-orang yang durhaka dan
yang mengikuti mereka dari anak cucu mereka, juga hewan-hewan meskipun
mereka tidak mempunyai dosa. Karena sesungguhnya bencana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan kepada berbagai golongan orang yang dusta itu meliputi anak-anak dan ternak-ternak yang ada.
Adapun
yang disebutkan dalam sebagian kisah Israiliyat (kisah-kisah Bani
Israil, Yahudi, dan Nasrani) bahwa kaum Nabi Nuh ataupun yang lain,
ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin menghancurkan mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala
jadikan rahim-rahim wanita mereka mandul, sehingga hukuman tersebut
tidak ikut menimpa anak-anak mereka merupakan kisah yang tidak ada
dasarnya sama sekali. Tentu saja ini bertentangan dengan perkara yang
sudah diketahui dan diperkuat pula oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan
jagalah diri kalian dari fitnah (siksaan) yang tidak hanya khusus
menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian.” (al-Anfal: 25)
(Diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari kitab Taisir al-Lathif al-Mannan hlm. 147—150)
———————————————————————-
Sumber : Majalah Asy Syariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar