Seruan Memperbanyak Anak
oleh:
Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
(Pengasuh Pesantren Al-Ihsan Gowa)
Di zaman ini, sebagian orang ada yang membuat suatu program pembatasan anak. Mereka memandang bahwa memiliki banyak anak yang lebih dari dua adalah perkara yang tercela. Akhirnya, mereka pun menggambarkan bahwa banyak anak adalah penyebab kemiskinan, pengangguran, dan munculnya banyak kriminal. Demikianlah
mereka menghembuskan syubhat dan keraguan diantara kaum muslimin,
sehingga banyak diantara masyarakat Islam larut dalam propaganda mereka
dan malu jika memiliki banyak anak!!
Racun yang lebih berbahaya
lagi, mereka gambarkan kepada dunia bahwa orang-orang yang punya banyak
anak adalah orang-orang bersyahwat tinggi[1]. Pada gilirannya, mereka berusaha keras dalam menghalangi “program poligami” dengan berbagai macam dalih yang lebih lemah dibandingkan sarang laba-laba.
Para pembaca yang budiman,
kalau kita ingin jujur dan melihat sejarah manusia, maka program
pembatasan anak yang memerangi seruan memperbanyak anak adalah program yang menyalahi bimbingan wahyu serta fitrah dan tabiat manusia.
Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyyah telah menganjurkan dan membimbing manusia agar memperbanyak anak. Dari sisi fitrah,
manusia menyukai jika memiliki banyak keturunan, sebab keturunan itulah
yang akan memperbanyak rezeki, memanjangkan umur, memperluas
kekerabatan, menguatkan barisan, melahirkan rasa aman, memudahkan
berbagai macam urusan dunia dan akhirat, menjadi tabungan kebaikan di
saat menghadap kepada Allah -Azza wa Jalla-.
Sebaliknya,
suatu bangsa tak akan mendapatkan banyak rezeki, bila memiliki sedikit
penduduk, bangsa itu akan cepat punah, relasi dan hubungannya akan
sempit, barisan militer dan pertahanannya akan lemah, ketakutan akan
merambah di kalangan mereka disebabkan sedikitnya jumlah mereka,
menyulitkan mereka dalam menyelesaikan berbagai macam urusan dunia dan
kenegaraan yang mestinya dapat diselesai jika banyak sumber daya
manusia. Kurang atau bahkan tak ada tabungan kebaikan akhirat baginya
dengan sedikitnya anak. Jika ia mati, maka tak ada pewaris yang akan
meneruskan kebaikan yang selama ini ia bina dan masih banyak lagi sisi
negatif lainnya yang belum kami sebutkan disini.
Para pembaca yang budiman, anak merupakan nikmat dan kegembiraan yang Allah berikan kepada sebagian diantara hamba-hambanya.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) [نوح/10- 12]“Maka Aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai”. (QS. Nuh : 10-12)
Al-Imam Al-Hafizh Muhammad Ibnu Isma’il Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata,
“Maksudnya,
“Jika kalian bertobat kepada Allah dan meminta ampunanan-Nya serta
menaati-Nya, maka rezeki kalian akan banyak dan Dia akan menyirami
kalian dengan berkah (hujan) dari langit, menumbuhkan bagi kalian berkah
dari bumi, menumbuhkan bagi kalian tanaman, melimpahkan bagi kalian air
susu hewan, serta mengaruniakan kepada kalian anak-anak, yakni memberikan kepada kalian harta benda dan anak keturunan dan
menjadikan bagi kalian kebun-kebun yang di dalamnya terdapat berbagai
macam tanaman serta menyelainya dengan sungai-sungai yang mengalir
diantara kebun-kebun itu. Ini adalah bentuk ajakan dengan (memberi) targhib (dorongan)”. [Lihat Tafsir Ibni Katsir (8/233)]
Ini menunjukkan bahwa
anak-anak yang Allah anugerahkan kepada kita merupakan nikmat yang
senantiasa diidam-idamkan oleh manusia sebagaimana halnya dengan harta
benda. Bahkan terkadang melebihi nilai harta benda. Oleh karenanya,
kita terkadang menyaksikan orang-orang yang amat berbahagia di kala ia
diberi anak dibandingkan jika ia diberi harta benda yang banyak.
Sebaliknya ia amat gelisah jika tak diberi anak[2].
Allah -Azza wa Jalla-
berfirman saat mengingatkan kepada kita tentang nikmat anak keturunan
agar kita mensyukurinya, bukan mengingkarinya,
وَاللَّهُ جَعَلَ
لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ
بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ
يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ (72) [النحل/72]
“Allah menjadikan bagi kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari isteri-isteri kalian itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah ?” (QS. An-Nahl : 72)
Jika Allah yang memberikan
anak-anak kepada kita sebagai anugerah terbesar bagi seorang manusia,
maka tentunya konsekuensi hal itu, seorang hamba akan bersyukur dan bertaqwa kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman mengingatkan hal itu,
وَاتَّقُوا الَّذِي
أَمَدَّكُمْ بِمَا تَعْلَمُونَ (132) أَمَدَّكُمْ بِأَنْعَامٍ وَبَنِينَ
(133) وَجَنَّاتٍ وَعُيُونٍ (134) إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ
يَوْمٍ عَظِيمٍ (135) [الشعراء/132-135]
“Dan bertakwalah kepada Allah Yang telah menganugerahkan kepada kalian apa yang kamu ketahui. Dia telah menganugerahkan kepadamu binatang-binatang ternak, dan anak-anak, dan kebun-kebun dan mata air. Sesungguhnya Aku takut kalian akan ditimpa azab hari yang besar”. (QS. Asy-Syu’araa’ : 132-135)
Ini menjelaskan bahwa anak keturunan adalah anugerah dari Allah Robbul alamin, anugerah yang menjadi penyejuk mata, penerus harapan dan menjadi penopang bagi rumah tangga dan bangsa serta agama.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ
الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ
وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيرًا [الإسراء/6]
“Kemudian Kami berikan kepada kalian giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantu kalian dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kalian kelompok yang lebih besar (jumlahnya)”. (QS. Al-Israa’ : 6)
Di dalam ayat ini Allah -Azza
wa Jalla- mengingatkan tentang nikmat besar yang diperoleh oleh kaum
Yahudi, dimana mereka diberi pertolongan dengan banyaknya jumlah anak
dan pasukan.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
ذَرْنِي وَمَنْ
خَلَقْتُ وَحِيدًا (11) وَجَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَمْدُودًا (12) وَبَنِينَ
شُهُودًا (13) وَمَهَّدْتُ لَهُ تَمْهِيدًا (14) ثُمَّ يَطْمَعُ أَنْ
أَزِيدَ (15) كَلَّا إِنَّهُ كَانَ لِآَيَاتِنَا عَنِيدًا (16)
[المدثر/11-16]
“Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian. Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak, dan anak-anak yang selalu bersama dia,
dan Ku-lapangkan baginya (rezki dan kekuasaan) dengan
selapang-lapangnya. Kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahnya.
Sekali-kali tidak (akan Aku tambah), karena sesungguhnya dia menentang
ayat-ayat Kami (Al Quran)”. (QS. Al-Muddatstsir : 11-16)
Semua
ayat-ayat ini menerangkan bahwa anak merupakan anugerah dan nikmat
besar di sisi Allah. Semakin banyak anak yang mampu dilahirkan dan
dididik dengan baik, maka semakin besar pula kebaikan dan pahala yang
diperoleh oleh orang tuanya.
Namun disini perlu
diperhatikan oleh setiap orang bahwa memperbanyak anak tetap harus
mempertimbangkan maslahatnya. Setiap kali ia mau memiliki anak, maka ia
memikirkan apakah ia mampu mendidiknya dan mengarahkan kehidupannya
ataukah tidak bisa?[3]
Jika mampu melakukan hal itu, maka kenapa tidak memperbanyak anak!!
Jika tak mampu, maka Allah yang akan memberikan rezeki kepada anak-anak
itu dari jalan yang tak disangka-sangka. Dengan rezki itu, ia gunakan
mendidik dan memelihara anak-anaknya.
Olehnya itu, Allah ingatkan
para orang tua agar jangan membatasi anak, apalagi membunuhnya dengan
alasan takut miskin dan takut jika ia tak mampu memberinya makan.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
“Dan janganlah kalian membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepada kalian.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (QS. An-Israa’ : 31)
Para pembaca yang budiman, harta benda dan anak merupakan perhiasan dunia yang sering menyilaukan mata para pemiliknya, jika ia tak mengarahkan dan menggunakannya dalam kebaikan. Lantaran
itu, seorang muslim harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya dengan
pendidikan islami, baik di rumah, maupun di madrasah tempat ia menuntut
ilmu. Semua itu demi melindungi mereka dari siksa neraka.
Allah -Azza wa Jalla- berfiman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ [التحريم/6]“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At-Tahrim : 06)
Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobariy -rahimahullah- berkata dalam menafsirkan ayat ini,
“Ajarilah sebagian orang
atas sebagian yang lainnya sesuatu yang dapat kalian gunakan dalam
melindungi orang yang kalian ajari dari neraka dan menghalau neraka
darinya jika ia menagamalkannya berupa ketaatan kepada Allah dan
lakukanlah ketaatan kepada Allah”.[Lihat Jami' Al-Bayan (23/491), cet. Mu'assasah Ar-Risalah]
Kemudian Ath-Thobariy menyebutkan sebuah atsar dari sahabat Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu anhu- bahwa maknanya “…peliharalah…” adalah ajarilah dan didiklah mereka.
Ini menunjukkan bahwa Islam
dari dulu sudah mendorong para suami dan penanggung jawab keluarga agar
mereka mendidik keluarganya agar mereka selamat di dunia dan akhirat
dari neraka.
Anak tiada bermanfaat bagi
orang tuanya di akhirat bila sang anak hanya menjadi perhiasan dunia
yang dibanggakan dan disombongkan di hadapan hamba-hamba Allah. Anak-anak tak akan berguna bagi pemiliknya bila tidak diarahkan dalam kebaikan[4]. Yang diharapkan oleh orang tua dari anaknya adalah amalan yang dirasakan manfaatnya oleh orang tua. Tentunya
hal seperti ini tak akan tercapai, kecuali anak-anak dilatih dan
dididik di atas agama agar mereka menjadi sholih, taat dan berbakti. Jika mereka di atas kebaikan dari hasil didikan itu, maka itulah jerih payah orang yang akan ia rasakan sendiri.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
الْمَالُ وَالْبَنُونَ
زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ
عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا (46) وَيَوْمَ نُسَيِّرُ
الْجِبَالَ وَتَرَى الْأَرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ
مِنْهُمْ أَحَدًا [الكهف/46، 47]
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.
Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan
gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan Kami
kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorangpun dari
mereka”. (QS. Al-Kahfi : 46-47)
Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobariy -rahimahullah- berkata saat memaknai ayat ini,
“Yang tertinggal (abadi) bagi mereka berupa amal-amal sholih setelah hancurnya kehidupan
dunia ini adalah lebih baik pahalanya –wahai Muhammad- di sisi Robb
(Tuhan)mu dibandingkan harta benda dan anak-anak yang dibangga-banggakan
oleh kaum musyrikin itu. Semuanya akan fana (hancur), tak akan abadi
bagi keluarganya”. [Lihat Jami' Al-Bayan (18/31)]
Jasad yang ganteng dan harta benda yang banyak lagi berharga hanyalah kebanggaan lahiriah di dunia. Adapun di akhirat yang menjadi kebanggan seseorang adalah amal sholih yang dulu dipersembahkan olehnya. Itulah sebabnya, anak –sebagai contoh- jika tidak dugunakan dalam menghasilkan buah berupa amal sholih, maka ia merupakan kerugian dan penyesalan di hari kiamat!!
Anak yang tidak dapat
menghasilkan buah seperti itu hanyalah menjadi penyejuk mata sesaat dan
kebanggaan di dunia bagi para hamba dunia. Adapun para pencari akhirat,
maka ia manfaatkan dan arahkan anaknya di atas kebaikan dan amal sholih.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ
حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ
الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ
وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ [آل عمران/14]
“Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.
(QS. Ali Imraan : 14)
Semua kesenangan dunia ini
jika diniatkan dan digunakan untuk kebaikan dan ketaatan kepada Allah
-Azza wa Jalla-, maka itulah kebaikan dan pahala besar yang akan diraih
oleh seorang mukmin.
Al-Imam Abul Faroj Abdur Rahman Ibnul Jawziy -rahimahullah- berkata,
“Perkara-perkara tersebut
ini, terkadang niat seorang hamba baik dalam melakukannya, sehingga ia
pun diberi balasannya atas perkara-perkara. Celaan (dalam
perkara-perkara tersebut) hanyalah tertuju pada buruknya niat (maksud)
di dalam (melakukannya)”. [Lihat Zadul Masir (1/308)]
Perkara-perkara dunia bagi
orang yang tidak baik niat dan maksudnya dalam menggunakannya akan
menyeret seseorang hanya bangga dan menyombongkan diri di hadapan
hamba-hamba Allah.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَلَا تُطِعْ كُلَّ
حَلَّافٍ مَهِينٍ (10) هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ (11) مَنَّاعٍ
لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ (12) عُتُلٍّ بَعْدَ ذَلِكَ زَنِيمٍ (13) أَنْ
كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِينَ (14) إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آَيَاتُنَا قَالَ
أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ (15) [القلم/10-15]
“Dan janganlah kamu ikuti
setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang
kian kemari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik,
yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu,
yang terkenal kejahatannya, karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala”. (QS. Al-Qolam : 10-15)
Ayat ini menjelaskan bahwa
seringkali dosa (berupa kesombongan dan lainnya) yang dilakukan oleh
seseorang, disebabkan oleh banyaknya harta dan anak. Realita di alam
dunia telah membuktikan bahwa betapa banyak para pemimpin, penguasa dan
orang-orang kaya menolak kebenaran akibat kekayaan dan banyaknya
pengikut.[5]
Ahli Tafsir Jazirah Arab, Al-Imam Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini,
“Maksudnya, karena banyaknya
harta benda dan anaknya, maka ia melampaui batas dan menyombongkan diri
dari kebenaran serta ia menolaknya ketika kebenaran datang dan
menganggapnya termasuk dongengan orang-orang dahulu kala yang mungkin
benar dan mungkin pula dusta”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 879)]
Sekali lagi bahwa semua
kesenangan dunia tak akan membuahkan hasil dan kebaikan bagi pemiliknya
–termasuk anak- jika pemiliknya tak memiliki maksud baik saat ia
memilikinya di dunia, sehingga ia pun tak memanfaatkannya di jalan-jalan
kebaikan, bahkan ia manfaatkan dalam perkara sia-sia dan terlarang di
sisi Allah -Azza wa Jalla-.
Allah -Tabaroka wa Ta’ala- berfirman,
يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ (88) إِلاَّ مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89) [الشعراء/88-89]
“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. (QS. Asy-Syu’araa’ : 88-89)
Para pembaca yang budiman,
memperbanyak anak adalah perkara yang dianjurkan oleh agama, dengan
catatan bahwa anak-anak itu diberikan pendidikan islami yang
mengarahkannya kepada amal sholih dan ketaatan. Jadi, anjuran itu bukanlah anjuran yang kosong dari tujuan dan maksud yang baik[6]. Tujuan dalam memperbanyak
anak adalah untuk menyebarkan kebaikan, menguatkan agama dan menjayakan
Islam dan kaum muslimin. Sebab, semakin banyak pendukung kebaikan, maka
kebaikan pun akan semakin kuat, dominan dan berkuasa. Sebaliknya, jika
pendukung keburukan yang lebih banyak, maka keburukan pasti kuat,
menguasa dan merata di kalangan manusia.
Hanya saja seseorang harus memperhatikan
-saat memperbanyak anak- bahwa anak harus ditumbuhkan dan dikondisikan
dalam kebaikan, di atas bimbingan wahyu. Mereka harus dikondisikan agar
hidup, belajar dan bergaul dalam lingkungan yang bersih dari “virus-virus kehidupan”
yang terkadang menjangkiti pemikiran mereka, sehingga mereka pun
melenceng dari rel kebenaran Islam dan sunnah yang selama ini ia pijaki
dan tempuh. Virus-virus itu banyak jumlahnya. Namun secara umum ia hanya
terdiri dari dua jenis virus saja: virus syahwat dan virus syubhat!!
Para pembaca yang budiman, agar buah (anak-anak) berbuah manis di sisi Allah, maka orang tua harus mendidik dan membiasakan anak-anaknya dalam melakukan berbagai macam jalan-jalan kebaikan,
baik dengan perbuatan kita selaku orang, maupun ucapan. Jika kita tak
mampu membimbing mereka di atas ketaatan, maka ber-ta’awun-lah
(bekerjasama) dengan seorang pendidik rabbani yang lurus dan penuh kasih
sayang, dengan harapan mereka membantu kita dalam kebaikan.
Bila seseorang selaku orang
tua melakukan usaha dalam mendidik anak, baik langsung atau pun tidak
langsung, maka –insya Allah- ia akan menuai hasil kebaikan di sisi Allah
-Azza wa Jalla- berupa pahala dan surga yang ia idamkan selama ini.
Inilah yang diisyaratkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sebuah sabdanya,
إذا ماتَ الإنسانُ انقطعَ عنهُ عملُه إلاَّ مِنْ ثلاثةٍ إلاَّ مِنْ صدقةٍ جاريةٍ أو علمٍ يُنتفعُ بهِ أوْ ولدٍ صالِحٍ يدعو له
“Jika manusia meninggal,
maka terputuslah darinya amal-amalnya, kecuali tiga hal: sedekah
jariyah, ilmu yang dirasakan manfaatnya dan anak sholih (baik) yang mendoakan kebaikan untuknya”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1631) dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-]
Al-Imam Abu Zakariyya An-Nawawiy -rahimahullah- berkata,
“Para ulama berkata,
“Makna hadits ini bahwa amal seorang mayat akan terputus dengan
kematiannya dan terputus kelanjutan pahala baginya, kecuali dalam tiga
hal ini. Karena, si mayat menjadi sebab adanya amal-amal itu.
Sesungguhnya seorang anak merupakan hasil usahanya. Demikian pula ilmu
yang ia tinggalkan berupa pengajaran dan karya tulis. Demikian pula
halnya sedekah jariyah (yang mengalir pahalanya), yaitu wakaf”. [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim (11/85)]
Hadits ini juga merupakan
dorongan untuk menikah agar memiliki banyak anak. Sebab, semakin banyak
seseorang memiliki anak yang sholih, maka semakin banyak pula yang
mendoakannya sepeninggalnya.
Al-Imam Asy-Syaukaniy Al-Yamaniy -rahimahullah- berkata,
“Di dalamnya terdapat bimbingan kepada keutamaan sedekah jariyah, ilmu yang tetap (terwarisi) setelah pemiliknya mati dan menikah yang merupakan sebab adanya anak”. [Lihat Nailul Awthor (6/92)]
Para pembaca yang budiman, memperbanyak anak
merupakan perkara yang dicintai dan dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya
-Shallallahu alaihi wa sallam-. Diantara perkara yang menunjukkan hal
itu, beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mendoakan sebagian diantara sahabatnya agar diberi anak yang banyak.
Ummu Sulaim -radhiyallahu anha- berkata,
يا رسول الله أنس خادمك ادع الله له قال ( اللهم أكثر ماله وولده وبارك له فيما أعطيته )
“Wahai Rasulullah, Anas adalah pelayanmu. Doakanlah kebaikan untuknya”. Beliau berdoa, “Ya Allah, perbanyaklah anak dan harta bendanya serta berkahilah untuknya dalam sesuatu yang Engkau berikan kepadanya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (6378) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 2480-2481)[7]
Hadits semacam ini yang
menganjurkan agar seorang muslim memiliki banyak anak, banyak kita
temukan dalam kitab-kita hadits. Diantaranya, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- menganjurkan para calon suami agar memilih wanita yang peranak, dengan melihat kepada kerabatnya[8].
Jika wanita memiliki keluarga besar jumlahnya dan orangnya penyayang
kepada suami dan anak-anaknya, maka itulah yang dipilih menurut
bimbingan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Semua ini demi menyokong suksesnya seruan memperbanyak anak!!!
Ma’qil bin Yasar Al-Muzaniy -radhiyallahu anhu- berkata,
جاء رجل إلى النبي صلى
الله عليه و سلم فقال إني أصبت امرأة ذات حسب وجمال وإنها لا تلد أفأتزوجها
؟ قال ” لا ” ثم أتاه الثانية فنهاه ثم أتاه الثالثة فقال ” تزوجوا الودود
الولود فإني مكاثر بكم الأمم ” .
“Ada seorang lelaki datang
kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, seraya ia berkata,
“Sesungguhnya aku mendapatkan seorang wanita yang memiliki kemuliaan dan
kecantikan dan sesungguhnya ia tak dapat melahirkan.
Apakah aku menikahinya?” Beliau bersabda, “Jangan!!” Kemudian orang itu
mendatangi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kedua kalinya. Lalu Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- pun melarangnya. Kemudian ia mendatangi
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- ketiga kalinya. Lalu Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Nikahilah wanita yang amat penyayang dan peranak. Karena, sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya kalian di depan para umat”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (2050) dan An-Nasa'iy dalam Sunan-nya (3227). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (3091)]
Salah satu diantara tujuan
nikah adalah untuk mendapatkan keturunan yang banyak. Disinilah
hikmahnya memperbanyak istri sampai maksimal empat orang, tak boleh
lebih darinya. Itulah orang yang terbaik. Sebab, dengan nikah ia dapat
memperbanyak anak. Dengan adanya anak, banyak jalan-jalan kebaikan yang
dapat dilakukan oleh seseorang selaku orang tua[9].
Sa’id bin Jubair -rahimahullah- berkata,
قَالَ لِي ابْنُ
عَبَّاسٍ: هَلْ تَزَوَّجْتَ؟ قُلْتُ: لاَ، قَالَ: فَتَزَوَّجْ، فَإِنَّ
خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَكْثَرُهَا نِسَاءً
“Ibnu Abbas berkata
kepadaku, “apakah kamu sudah menikah?” Aku jawab, “Belum”. Ibnu Abbas
berkata, “Menikahlah. Karena sebaik-baik umat ini adalah orang yang
banyak istrinya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (5069)]
Para pembaca yang budiman inilah sebagian diantara dalil-dalil yang kami temukan seputar anjuran memperbanyak anak di dalam Islam.
Faedah dan Ibrah
Kemudian dari dalil-dalil dan penjelasan para ulama yang telah kami nukilkan, kita simpulkan beberapa faedah berikut ini:
- Memperbanyak anak adalah program yang relevan dengan bimbingan wahyu serta fitrah dan tabiat manusia.
- Mewaspadai makar kaum kafir yang ingin mengurangi jumlah kaum muslimin melalui program pembatasan anak.
- Anak dan harta adalah perhiasan dan kebanggaan manusia dan keduanya akan bermanfaat bila digunakan dalam kebaikan.
- Memperbanyak anak bukanlah program yang kosong dari makna dan tujuan mulia. Tujuannya adalah untuk menjayakan Islam dan menyebarkan kebaikan.
- Melalui pernikahan dan poligami, program memperbanyak anak akan tercapai dengan baik. Karenanya, sokonglah kedua program itu.
- Hendaknya seorang ayah memikirkan pendidikan anak-anaknya agar mereka menjadi anak-anak sholih yang akan selalu mendoakan kebaikan bagi orang tuanya[10].
[1]
Orang yang melampiaskan syahwatnya pada istrinya yang halal baginya
dalam rangka melahirkan generasi yang banyak adalah perkara yang mulia.
Yang hina, jika seseorang tak mau dikatakan tinggi syahwat, maka ia pun
berselingkuh dengan wanita-wanita haram yang bukan istrinya. Tapi
begitulah mata hati mereka dibutakan sehingga tak mampu membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk.
Orang yang nikah untuk memperbanyak keturunan dikatakan
buruk, dan sebaliknya orang yang berzina dan selingkuh dianggap baik.
Subhanllah, sungguh aneh manusia zaman ini.
[2]
Beberapa orang yang kami kenal lama tak punya anak dalam waktu yang
lama. Dalam penantiannya ia amat gelisah, berusaha keras mendapatkan
anak dengan berbagai macam cara. Ketika ia diberi anak, maka ia pun
bercita-cita ingin mendapatkan anak setiap tahunnya. Ia amat paham bahwa
anak adalah anugerah yang harus disyukuri dan dihargai. Sebab betapa
banyak orang yang mau memiliki anak, namun ia tak diberi oleh Allah
-Azza wa Jalla-. Inilah fitrah manusia, selalu menginginkan banyak anak.
Namun anehnya, ada orang
yang diberi anak, malah ia berkeluh kesah, hanya karena malu dikatakan
banyak anak. Padahal ia mampu memelihara, mendidik dan menghidupi
mereka!! Maunya hanya punya dua anak saja!!! Tapi di masa tua barulah
terasa pentingnya anak yang banyak.
[3]
Namun hal ini jangan dijadikan alasan mati bagi setiap orang, sehingga
walaupun ia mampu mendidik dan mengarahkan kehidupannya, maka ia tetap
menyedikitkan jumlah anaknya. Seseorang harus berusaha, tak boleh
langsung pasrah dan berpangku tangan!!
[4]
Jika anak-anak menjadi buruk, bergaya preman, berandal dan nakal serta
jauh dari agama, maka orang tua tak mendapatkan hasil yang ia tunggu
berupa doa dan amal sholih dari sang anak.
[5] Salah satu diantara pengikut adalah anak-anak keturunan.
[6]
Tujuan menikah dan memperbanyak anak bukanlah hanya sekedar
bersenang-senang dan menyalurkan syahwat. Lebih dari itu, menikah dan
memperbanyak anak adalah untuk menjayakan Islam dengan adanya generasi rabbani yang terdidik di atas dan sunnah disertai bimbingan para salaf.
[7] Di akhir hadits itu, Anas -radhiyallahu anhu- berkata,
فوالله إن مالي لكثير وإن ولدي وولد ولدي ليتعادون على نحو المائة اليوم
“Demi Allah, sesungguhnya harta bendaku amat banyak,
serta anak-anakku dan anak keturunan dari anak-anakku sungguh telah
mencapai sekitar 100-an orang pada hari ini”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2481)]
[8]
Yakni, jika kerabat dekatnya rata-rata orang yang banyak anaknya, maka
itu tanda bahwa calon istri yang kita akan persunting adalah wanita
peranak. Demikian pun sebaliknya.
[9]
seperti, memberinya nafkah, mendidiknya, membiayai segala hajatnya,
mengarahkan kehidupannya. Semua ini tentunya butuh pengorbanan dari
orang tua. Namun di balik pengorbanan itu, ada segunung pahala
menantinya.
[10] Materi ini rampung 21 Rajab 1434 H bertepatan dengan 31 Mei 2013 M, pasca dauroh “Jalan Pintas Menuju Surga” oleh Syaikh Utsman bin Abdillah As-Salimiy –hafizhahullahu-
yang berlangsung 19-20 Rajab 1434 H di Al-Markaz Al-Islamiy dan Masjid
As-Sunnah, jalan Baji Rupa, no. 8. Semoga Allah memberikan balasan yang
baik kepada beliau.
sumber: http://pesantren-alihsan.org/seruan-memperbanyak-anak.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar