Radio Muwahiddin

Minggu, 20 Mei 2012

Kedudukan Nasehat, Penasehat dan Yang Dinasehati

Kedudukan Nasehat, Penasehat dan Yang Dinasehati

-----------------------------------------------------------------------------------------
 Oleh Asy-Syaikh Muhammad Abdillah Al-Imam -hafizhahullah ta’ala- 

Segala puji bagi Allah Ta’ala dan shalawat serta salam atas Rasulillah dan para pengikutnya.

Mengingat butuhnya kaum muslimin secara umum kepada nasehat, dikarenakan antara zaman mereka dengan zaman nubuwah sangatlah jauh jaraknya. Dan semakin jauh jarak tersebut semakin mudah mereka jatuh pada kekeliruan sehingga banyak keliru, dengan demikian semakin butuh untuk saling manasehati di antara mereka. Maka merupakan rahmat Allah Ta’ala kepada kaum muslimin Allah Ta’ala membukakan bagi mereka dan mencintakan pada mereka perkara nasehat menasehati. Kekeliruan kaum muslimin begitu banyak, meskipun kekeliruan orang yang teguh menegakkan syari’at lebih sedikit dibanding mereka.

Nabi -shallallahu ‘alaihi wasalam- bersabda dalam hadits Anas (muttafaq ‘alaih),

لاَ يَأْتِي زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ

“Tiada datang suatu zaman kecuali yang setelahnya itu lebih jelek darinya.”

Oleh karena itu kita butuh kepada nasehat yang bersumber dari zaman yang masih murni (zaman Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasalam- dan shahabatnya).

Perkara nasehat itu sangatlah agung dalam islam, sebagaimana disebutkan dalam shahih Muslim dari hadits Tamim Ad-Dary -radhiyallahu ‘anhu-,

الدِّينَ نَصِيحَةٌ

“Agama itu nasehat.”

Sebagian pensyarah mengatakan: Nasehat adalah suatu kalimat yang mencakup seluruh kebaikan dunia dan akhirat.

Para ulama telah menganggap hadits ini seperempat dari agama, yang lain mengatakan seperempat dari islam. Hal ini tidak lain karena ia adalah dakwah kepada Allah Ta’ala. Dan nasehat adalah bagian dari dakwah kepada Allah Ta’ala dan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar.

Maka seorang muslim hendaknya sangat berharap untuk bisa menjadi pemberi nasehat.

Kedudukan pemberi nasehat dalam agama ini sangat tinggi. Karena orang yang paling peduli memberi nasehat adalah para nabi dan rasul sebagaimana disebutkan dalam ayat yang banyak. Dan setelah mereka orang yang paling peduli memberi nasehat adalah pengikut para rasul dari kalangan para ulama (yang dahulu ataupun sekarang), para da’i dan penyampai ilmu.

Pemberi nasehat adalah seseorang yang telah tertabur pada kalbunya kecintaan untuk memberikan kebaikan pada manusia. Dan mereka itulah termasuk pengikut para nabi. Mereka orang-orang shalih yang dijadikan Allah Ta’ala sebagai pembuka kebaikan dan pebutup kejelekan.

Dan pemberi nasehat harus berpedoman pada beberapa hal diantaranya:

  1. Semata-mata karena al-haq, yaitu menasehati dalam rangka mengangkat al-haq.
  2. Semata-mata karena Allah Ta’ala, yaitu menasehati dan menginginkan dengannya apa yang di sisi Allah Ta’ala, bukan apa yang dimiliki orang yang dinasehati.

Dengan pedoman ini kalau nasehatnya ditolak tidak akan menjadikannya bermusuhan dengan yang dinasehati. Karena bisa jadi orang yang dinasehati itu menolak karena dia jahil -bodoh-, atau karena tidak paham akan yang disampaikan, atau yang selain itu yang menjadi udzur baginya.
  1. Pemberi nasehat harus berhias dengan sikap hikmah, yang membawa dia berusaha untuk bagaimana nasehatnya bisa diterima. Dengan hikmah suatu nasehat akan lebih diharapkan untuk diterima. Maka hendaknya dia melihat dan memperhatikan kapan waktu yang cocok, apakah tempatnya sesuai dan apakah keadaannya memungkinkan.
  2. Pemberi nasehat hendaknya menghindari sikap menjadikan ucapannya itu seakan-akan sebagai nasehat padahal dia menyembunyikan sesuatu di balik itu (entah berupa makar, tipu daya, rasa dengki, hasad, usaha menjatuhkannya dan lainnya). Tidakkah kita mengambil ibrah dari kisah Nabi Yusuf ‘alaihi salam dan saudara-saudaranya. Allah Ta’ala berfirman,

قَالُواْ يَا أَبَانَا مَا لَكَ لاَ تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ

“Mereka berkata: “Wahai bapak kami kenapa engkau tidak memercayai kami terhadap Yusuf, padahal kami adalah orang yang menginginkan kebaikan pada (Yusuf).” (Yusuf: 11)

Sedangkan mereka menyembunyikan makar sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumya. Allah Ta’ala berfirman,

اقْتُلُواْ يُوسُفَ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُواْ مِن بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ * قَالَ قَآئِلٌ مَّنْهُمْ لاَ تَقْتُلُواْ يُوسُفَ وَأَلْقُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ السَّيَّارَةِ إِن كُنتُمْ فَاعِلِينَ

“Bunuhlah dia atau buanglah dia ke suatu daerah agar perhatian ayah kalian tertumpah pada kalian, dan sesudah itu hendaknya kalian menjadi orang-orang shalih. Seorang diantara mereka berkata: “Janganlah kalian bunuh Yusuf, tetapi masukkan dia ke dasar sumur agar dia dipungut sebagian musafir, jika kalian hendak berbuat.” (Yusuf: 9-10)

Kalau saja hal ini terjadi pada diri anak-anak Ya’qub ‘alaihi salam, maka selain mereka lebih mungkin untuk terjerembab dalam hal ini.

Maka hendaknya kita mencontoh apa yang terjadi antara Musa ‘alaihi salam dengan orang yang memberinya saran agar menyelamatkan diri. Allah Ta’ala berfirman,

وَجَاء رَجُلٌ مِّنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ يَسْعَى قَالَ يَا مُوسَى إِنَّ الْمَلأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ

“Dan datanglah seseorang dari ujung kota bergegas seraya berkata: “Hai Musa sesungguhnya para pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini), sesungguhnya aku termasuk orang yang memberi nasehat kepadamu.” (Al-Qashash: 20)

Maka dari ini, hendaknya yang dipentingkan oleh pemberi nasehat adalah menjauhkan orang yang dinasehati dari kejelekan atau memperbaiki yang dinasehati dari kesalahan.

Adapun terkait dengan orang yang dinasehati maka dia sangat butuh untuk mempersiapkan dirinya untuk bisa menerima nasehat. Karena tidak sedikit orang yang enggan menerima nasehat dan merasa tidak perlu dengan nasehat. Maka jika engkau ingin supaya mudah menerima nasehat, berhiaslah dan tanamkan pada dirimu beberapa perkara ini:
  1. Menanamkan pada dirinya bahwa nasehat itu bermanfaat baginya, jika dirinya tidak mau menerima nasehat maka itu tanda akan jeleknya diri tersebut.
  2. Menanamkan pada dirinya bahwa nasehat itu adalah rangkaian kata yang penuh kelembutan dibanding kata-kata yaang lain. Dan orang yang menasehatinya adalah orang yang sayang dan lembut padanya, dibanding orang yang membicarakan kejelekannya saja tanpa meluruskannya.
  3. Setelah ini tanamkan rasa kecintaan kepada pemberi nasehat, jika engkau mencintainya dan membuka diri untuknya maka engkau akan menerima arahan dan nasehatnya.
  4. Dan juga dituntut dari orang yang dinasehati untuk bisa mensyukuri dan berterima kasih kepada pemberi nasehat. Karena seorang pemberi nasehat telah mencurahkan dirinya untuk mengangkat islam dan memposisikan dirinya sebagai pembuka kebaikan dan penutup pintu kejelekan.
Demikian rangkuman dari nasehat Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam -hafizhahullah ta’ala-. Wallahu ta’ala a’lam.

Kalau diperkenankan saya menambah, dan jangan lupa berdo’a agar diberi kelapangan dada agar mudah menerima nasehat, dan agar di beri kesabaran dalam memberi nasehat. Walillah at-taufiq.

Dirangkum oleh:

Umar Al-Indunisy

Darul Hadits Ma’bar, Yaman (06/05/1431H)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."