Radio Muwahiddin

Selasa, 14 Agustus 2012

Hukum-hukum Terkait Shalat Dan Hari ‘Id (Ringkas) II

Hukum-hukum Terkait Shalat Dan Hari ‘Id (Ringkas) II


Kapan khutbah dilakukan?
Melakukan khutbah setelah dua raka’at dan tidak mendahulukan khutbah sebelum shalat. Hal ini berdasarkan ucapan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menunaikan shalat dua ‘id sebelum melakukan khutbah.”
Inilah sunnah dan amalan keumuman para ulama. At-Tirmidzy rahimahullah berkata: “Padanya amalan ahlul ilmi dari shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka, bahwa shalat dua ‘id itu sebelum khutbah.”
Ada berapakah khutbah ‘id itu?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini dan yang benar adalah hanya satu khutbah. Karena tidak ada dalil yang shahih yang jelas yang marfu’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa khutbah ‘id dua khutbah. Hal ini berdasarkan dua alasan:
  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan banyak ‘id dan tidak teriwayatkan dalam hadits yang shahih yang jelas bahwa beliau khutbah dua kali. Kalau seandainya itu dilakukan beliau niscaya akan teriwayatkan meskipun hanya dalam satu hadits.
  • Disebutkan dalam hadits Jabir bahwa khutbah jum’ah itu dua khutbah. Maka yang terpahami dari hadits ini bahwa di sana ada suatu shalat yang memiliki satu khutbah saja.
Adapun yang dinukilkan dari Ibnu Hazm bahwa dia mengatakan ijma’ ulama khutbah ‘id itu ada dua khutbah tidaklah benar, karena Al-Mardawy menyebutkan adanya khilaf yang terdahulu terjadi. Maka ini menunjukkan bahwa masalah ini khilafiyah dan yang benar satu khutbah saja.
Apakah diwajibkan menghadiri dan mendengarkan khutbah?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dan pilihan, bagi yang mau mendengarkan khutbah dipersilahkan duduk dan bagi yang mau meninggalkan khutbah dipersilahkan pergi. Sebagaimana dalam hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary,

فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ ، أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

“Jika ingin mengutus suatu pasukan yang ia siapkan atau memerintahkan dengan sesuatu, silahkan dia memerintahkan kemudian silahkan berpaling.”
Dan dalam hadits Abdullah bin Sa’ib radhiyallahu ‘anhu haditsnya hasan diriwayatkan Abu Dawud dan dihukumi shahih oleh Al-Albany,

إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

“Kami akan berkhutbah, maka siapa yang ingin duduk mendengarkan khutbah hendaknya duduk, dan siapa yang ingin pergi silahkan pergi.”
Dengan kehadiran wanita apakah ada khutbah khusus untuk wanita?
Hendakya ada materi khusus dalam khutbah yang ditujukan kepada wanita. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat bahwa suara beliau tidak terdengar oleh kaum wanita maka beliau mendekati mereka dan memberi wejangan pada mereka, serta menganjurkan untuk bershadaqah. Hal ini sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam “Ash-Shahihain”.
Apakah disyari’atkan adzan dan iqamah pada shalat ‘id?
Tidak disyari’atkan adzan dan tidak pula iqamah pada shalat ‘id. Hal ini berasarkan hadits riwayat Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu,

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ

“Aku shalat dua ‘id bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, (beliau shalat) tanpa adzan dan tanpa iqamah.”
Demikian pula tidak disyari’atkan panggilan tertentu seperti pada shalat gerhana dengan mengatakan “Ash-Shalah Al-Jami’ah”.
Masalah takbir pada dua hari ‘id.
Disunnahkan takbir mutlak yang tidak terikat dengan waktu, disunnahkan mengangkat suaranya kecuali kaum wanita maka tidak mengangkat suaranya.
Terkait dengan ‘id al-fithr diperbincangkan kapan mulainya. Sebagian ulama seperti Asy-Syafi’i, Lajnah Ad-Da’imah dan Ibnu ‘Utsaimin mengatakan dimulai sejak malam ‘id al-fithr, hal ini berdasarkan ayat,

وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ

“Dan agar kalian menyempurnakan hitungannya dan agar kalian bertakbir membesarkan Allah sesuai dengan yang Allah tunjukkan pada kalian.”
Sebagian yang lain dan ini dinisbatkan sebagai pendapat jumhur mengatakan bahwa dimulai ketika keluar menuju tempat shalat.
Sebagian ulama menegaskan bahwa perkara kapan takbir ini bisa dikatakan luas, tidak perlu menyempitkan permasalahan yang memang ada kelonggaran.
Terus melakukan takbir ketika jalan menuju tempat shalat dan ketika menunggu datangnya atau ditegakkannya shalat, dengan mengangkat suara bagi laki-laki. Dan bertakbir meskipun orang-orang yang lain bertakbir. Walaupun kelihatan bersamaan namun tidak ada diniatkan takbir jama’i. Dan berakhir takbir pada hari ‘id al-fithr ketika mulai ditunaikan shalat.
Adapun takbir ‘id al-adhha dimulai sejak fajr hari ‘Arafah dan berakhir pada akhir hari tasyriq. Ini teruntuk bagi yang tidah muhrim (melakukan ihram manasik haji). Adapun yang sedang muhrim maka dia memulai takbirnya setelah zhuhur pada hari penyembelihan sampai akhir hari tasyriq. Karena dia sebelum itu sibuk dengan talbiyah, sebagaimana diterangkan dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam.
Dan disyari’atkan takbir ini setiap selesai shalat, maka sang imam setelah salam menghadap ke ma’mum lalu bertakbir.
Hal ini berdasarkan hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthny,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُكَبِّرُ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ حِينَ يُسَلِّمُ مِنَ الْمَكْتُوبَاتِ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir waktu shalat fajr hari ‘Arafah sampai waktu shalat ‘Ashr akhir hari tasyriq, setiap salam dari shalat wajib.”
Bagaimana lafazh takbir tersebut?
Ada beberapa takbir yang diriwayatkan dari para shahabat, yang masyhur adalah takbir Ibnu Mas’ud yaitu,

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Dan takbir Ibnu ‘Abbas yaitu

الله أكبر كبيراً ، الله أكبر كبيراً ، الله أكبر ، ولله الحمد ، الله أكبر وأجل ، الله أكبر على ما هدانا

Namun bersamaan dengan ini ulama menjelaskan bahwa masalah takbir adalah masalah yang luas. Selama dia adalah lafazh takbir mengangungkan Allah Ta’ala maka tidak mengapa. Takbir dua kali, atau tiga kali, atau tujuh kali tidaklah mengapa. Bahkan praktek Syaikh Muhammad Al-Imam beliau bertakbir sampai tujuh atau sepuluh kali, contohnya:

الله أكبر 7 مرات أو 10 مرات، الله أكبر كبيراً

Apa hukum memberi selamat pada hari ‘id?
Ulama menerangkan bahwa tidak mengapa saling memberi selamat pada hari ‘id. Syaikhul Islam mengatakan dalam “Al-Fatawa” (24/253): “Telah diriwayatkan dari beberapa orang dari shahabat bahwa mereka melakukan hal itu, dan para imam telah memberi keringanan untuk melakukan hal itu, seperti Imam Ahmad.”
Diriwayatkan bahwa sebagian shahabat mengatakan,

تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُم

“Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian.”
Asy-Syikha Ibnu Baz dalam “Fatawa” beliau (13/25) menegaskan: “Tidak mengapa seorang muslim mengatakan pada saudaranya sesama muslim pada hari ‘id atau selainnya:

تقبل الله منا ومنك أعمالنا الصالحة

“Semoga Allah menerima dari kami dan dari engkau amalan shalih kita.”
Dan aku tidak mengetahui ucapan yang manshush, hanya saja seorang mukmin mendoakan saudaranya dengan doa yang baik.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam “Majmu’ Fatawa wa Rasa’il” (18/128): “Ucapan selamat pada hari ‘id telah terjadi pada sebagian shahabat, kalaupun dikatakan ia tidak benar datang dari shahabat maka kita katakan hal ini adalah perkara yang menjadi adat manusia, memberi selamat antara satu dengan yang lain setelah selesainya puasa.”
Pada halaman yang sama beliau ditanya: “Apa hukum bersalaman, berpelukan dan ucapan selamat setelah shalat ‘id?”
Maka beliau mengatakan: “Semua perkara ini tidaklah mengapa, karena orang-orang tidak melakukannya sebagai bentuk ibadah dan mendekatkan diri pada Allah Ta’ala. Hanya saja mereka melakukannya sebagai suatu adat, pemuliaan dan penghormatan (yang wajar tentunya).”
Bagaimana masalah mencium tangan atau mencium yang lain saat ‘id?
Beliau mengatakan: “Sebagian orang jika memberi selamat pada hari ‘id disertai dengan mencium. Dan ini tidak ada tuntunannya, dan tidak perlu dilakukan maka cukup dengan salaman dan ucapan selamat.”
Ulama menjelaskan kenapa mencium ini perlu dihindari, karena padanya ada unsur ta’zhim terhadap yang dicium, yang terkadang akan bersifat berlebihan. Dan ta’zhim yang berlebihan hanya diperkenankan kepada Allah Ta’ala semata.
Bentuk ucapan selamat yang kami temukan sebagai kebiasaan orang Yaman diantaranya,

تقبل الله منا ومنك صالح أعمال كل عام أنت في خير إن شاء الله

“Semoga Allah menerima dari kami dan engkau amalan shalih, setiap tahun insyaallah engkau dalam kebaikan.”
Atau mereka mengucapkan,

عيد مبارك أو عيد كريم

“‘Id yang berbarakah.” Atau “‘Id yang mulia.”
Dan balasannya sesuai dengan yang diucapakan ada kita, kalau doa kita mengaminkan, kalau bukan doa kita ucapan yang semisal. Demikian praktek mereka.
Namun hal ini, bagi yang menganggap ini suatu adat yang sah-sah saja sebagaimana penegasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin silahkan diamalkan. Bagi yang memandang lain maka baginya hal itu. Tidak perlu terjadi di sini khilaf yang mendatangkan kerusakan.
Ada riwayat dari Imam Ahmad bahwa beliau mengatakan: “Aku tidak akan mengawalinya, namun jika ada yang mengucapkannya padaku aku akan menjawabnya.”
Hikmah dakwah pada hari-hari seperti ini perlu diperhatikan, kerasnya perangai dan uslub kita pada moment seperti ini terkadang dijadikan sebagian orang sebagai tolok ukur apa dan siapa kita. Jadi hendaknya tidak serampangan dan sembarangan dalam bertindak.
Terkait dengan puasa enam hari di bulan Syawal.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshary berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ، ثُمَ أتْبَعَهُ سِتًا مَنْ شَوَّاَل ، كَانَ كَصِيَام الدَهْرِ

“Barangsiapa puasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, hal itu seperti puasa zaman.”
Diriwayatkan oleh Muslim no. 1164.
Dan para ulama telah membahas, apakah mendahulukan puasa sunnah ini atau mendahulukan qadha’? Jika dia memiliki kewajiban qadha’.
Orang yang terbebani qadha’ apakah boleh berpuasa 6 hari bulan Syawal?
Jawab: Jumhur berkata bahwa boleh bagi seseorang untuk berpuasa 6 hari bulan Syawal meskipun dia memilki kewajiban qadha’ puasa. Namun yang utama adalah dia mengqadha’ dahulu baru berpuasa 6 hari bulan Syawal.
Sebagaimana hal ini telah kami sebutkan pada artikel yang telah lewat.
Wallahu a’lam bi shawab.
Disadur dari “Al-Mulakhash Al-Fiqhy” karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah dan Pelajaran “Ad-Durar Al-Bahiyah” oleh Asy-Syaikh Abdullah Mar’i hafizhahullah. Disertai dengan rujukan-rujukan yang lain.
Disadur oleh:
‘Umar Al-Indunisy
Darul Hadits – Ma’bar, Yaman.

sumber: www.thalibmakbar.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."