Hukum-hukum Terkait Shalat Dan Hari ‘Id
(Ringkas) II
Kapan
khutbah dilakukan?
Melakukan khutbah
setelah dua raka’at dan tidak mendahulukan khutbah sebelum shalat. Hal ini
berdasarkan ucapan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhary dan Muslim,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma menunaikan shalat dua ‘id sebelum melakukan khutbah.”
Inilah sunnah dan
amalan keumuman para ulama. At-Tirmidzy rahimahullah berkata: “Padanya amalan
ahlul ilmi dari shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka,
bahwa shalat dua ‘id itu sebelum khutbah.”
Ada
berapakah khutbah ‘id itu?
Para ulama berbeda
pendapat dalam hal ini dan yang benar adalah hanya satu khutbah. Karena tidak
ada dalil yang shahih yang jelas yang marfu’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang menunjukkan bahwa khutbah ‘id dua khutbah. Hal ini berdasarkan dua
alasan:
-
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan banyak ‘id dan tidak teriwayatkan dalam hadits yang shahih yang jelas bahwa beliau khutbah dua kali. Kalau seandainya itu dilakukan beliau niscaya akan teriwayatkan meskipun hanya dalam satu hadits.
-
Disebutkan dalam hadits Jabir bahwa khutbah jum’ah itu dua khutbah. Maka yang terpahami dari hadits ini bahwa di sana ada suatu shalat yang memiliki satu khutbah saja.
Adapun yang
dinukilkan dari Ibnu Hazm bahwa dia mengatakan ijma’ ulama khutbah ‘id itu ada
dua khutbah tidaklah benar, karena Al-Mardawy menyebutkan adanya khilaf yang
terdahulu terjadi. Maka ini menunjukkan bahwa masalah ini khilafiyah dan yang
benar satu khutbah saja.
Apakah
diwajibkan menghadiri dan mendengarkan khutbah?
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dan pilihan, bagi yang mau
mendengarkan khutbah dipersilahkan duduk dan bagi yang mau meninggalkan khutbah
dipersilahkan pergi. Sebagaimana dalam hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhary,
فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ ، أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
“Jika ingin
mengutus suatu pasukan yang ia siapkan atau memerintahkan dengan sesuatu,
silahkan dia memerintahkan kemudian silahkan berpaling.”
Dan dalam hadits
Abdullah bin Sa’ib radhiyallahu ‘anhu haditsnya hasan diriwayatkan Abu Dawud dan
dihukumi shahih oleh Al-Albany,
إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Kami akan
berkhutbah, maka siapa yang ingin duduk mendengarkan khutbah hendaknya duduk,
dan siapa yang ingin pergi silahkan pergi.”
Dengan
kehadiran wanita apakah ada khutbah khusus untuk wanita?
Hendakya ada materi
khusus dalam khutbah yang ditujukan kepada wanita. Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika melihat bahwa suara beliau tidak terdengar oleh kaum
wanita maka beliau mendekati mereka dan memberi wejangan pada mereka, serta
menganjurkan untuk bershadaqah. Hal ini sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma dalam “Ash-Shahihain”.
Apakah
disyari’atkan adzan dan iqamah pada shalat ‘id?
Tidak disyari’atkan
adzan dan tidak pula iqamah pada shalat ‘id. Hal ini berasarkan hadits riwayat
Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ
“Aku shalat dua
‘id bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali,
(beliau shalat) tanpa adzan dan tanpa iqamah.”
Demikian pula tidak
disyari’atkan panggilan tertentu seperti pada shalat gerhana dengan mengatakan
“Ash-Shalah Al-Jami’ah”.
Masalah
takbir pada dua hari ‘id.
Disunnahkan takbir
mutlak yang tidak terikat dengan waktu, disunnahkan mengangkat suaranya kecuali
kaum wanita maka tidak mengangkat suaranya.
Terkait dengan ‘id
al-fithr diperbincangkan kapan mulainya. Sebagian ulama seperti Asy-Syafi’i,
Lajnah Ad-Da’imah dan Ibnu ‘Utsaimin mengatakan dimulai sejak malam ‘id
al-fithr, hal ini berdasarkan ayat,
وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
“Dan agar
kalian menyempurnakan hitungannya dan agar kalian bertakbir membesarkan Allah
sesuai dengan yang Allah tunjukkan pada kalian.”
Sebagian yang lain
dan ini dinisbatkan sebagai pendapat jumhur mengatakan bahwa dimulai ketika
keluar menuju tempat shalat.
Sebagian ulama
menegaskan bahwa perkara kapan takbir ini bisa dikatakan luas, tidak perlu
menyempitkan permasalahan yang memang ada kelonggaran.
Terus melakukan
takbir ketika jalan menuju tempat shalat dan ketika menunggu datangnya atau
ditegakkannya shalat, dengan mengangkat suara bagi laki-laki. Dan bertakbir
meskipun orang-orang yang lain bertakbir. Walaupun kelihatan bersamaan namun
tidak ada diniatkan takbir jama’i. Dan berakhir takbir pada hari ‘id al-fithr
ketika mulai ditunaikan shalat.
Adapun takbir ‘id
al-adhha dimulai sejak fajr hari ‘Arafah dan berakhir pada akhir hari tasyriq.
Ini teruntuk bagi yang tidah muhrim (melakukan ihram manasik haji). Adapun yang
sedang muhrim maka dia memulai takbirnya setelah zhuhur pada hari penyembelihan
sampai akhir hari tasyriq. Karena dia sebelum itu sibuk dengan talbiyah,
sebagaimana diterangkan dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam.
Dan disyari’atkan
takbir ini setiap selesai shalat, maka sang imam setelah salam menghadap ke
ma’mum lalu bertakbir.
Hal ini berdasarkan
hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthny,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُكَبِّرُ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ حِينَ يُسَلِّمُ مِنَ الْمَكْتُوبَاتِ
“Adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir waktu shalat fajr hari
‘Arafah sampai waktu shalat ‘Ashr akhir hari tasyriq, setiap salam dari shalat
wajib.”
Bagaimana
lafazh takbir tersebut?
Ada beberapa takbir
yang diriwayatkan dari para shahabat, yang masyhur adalah takbir Ibnu Mas’ud
yaitu,
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Dan takbir Ibnu
‘Abbas yaitu
الله أكبر كبيراً ، الله أكبر كبيراً ، الله أكبر ، ولله الحمد ، الله أكبر وأجل ، الله أكبر على ما هدانا
Namun bersamaan
dengan ini ulama menjelaskan bahwa masalah takbir adalah masalah yang luas.
Selama dia adalah lafazh takbir mengangungkan Allah Ta’ala maka tidak mengapa.
Takbir dua kali, atau tiga kali, atau tujuh kali tidaklah mengapa. Bahkan
praktek Syaikh Muhammad Al-Imam beliau bertakbir sampai tujuh atau sepuluh kali,
contohnya:
الله أكبر 7 مرات أو 10 مرات، الله أكبر كبيراً
Apa hukum
memberi selamat pada hari ‘id?
Ulama menerangkan
bahwa tidak mengapa saling memberi selamat pada hari ‘id. Syaikhul Islam
mengatakan dalam “Al-Fatawa” (24/253): “Telah diriwayatkan dari beberapa orang
dari shahabat bahwa mereka melakukan hal itu, dan para imam telah memberi
keringanan untuk melakukan hal itu, seperti Imam Ahmad.”
Diriwayatkan bahwa
sebagian shahabat mengatakan,
تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُم
“Semoga Allah
menerima dari kami dan dari kalian.”
Asy-Syikha Ibnu Baz
dalam “Fatawa” beliau (13/25) menegaskan: “Tidak mengapa seorang muslim
mengatakan pada saudaranya sesama muslim pada hari ‘id atau selainnya:
تقبل الله منا ومنك أعمالنا الصالحة
“Semoga Allah
menerima dari kami dan dari engkau amalan shalih kita.”
Dan aku tidak
mengetahui ucapan yang manshush, hanya saja seorang mukmin mendoakan saudaranya
dengan doa yang baik.”
Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin berkata dalam “Majmu’ Fatawa wa Rasa’il” (18/128): “Ucapan selamat
pada hari ‘id telah terjadi pada sebagian shahabat, kalaupun dikatakan ia tidak
benar datang dari shahabat maka kita katakan hal ini adalah perkara yang menjadi
adat manusia, memberi selamat antara satu dengan yang lain setelah selesainya
puasa.”
Pada
halaman yang sama beliau ditanya: “Apa hukum bersalaman, berpelukan dan ucapan
selamat setelah shalat ‘id?”
Maka beliau
mengatakan: “Semua perkara ini tidaklah mengapa, karena orang-orang tidak
melakukannya sebagai bentuk ibadah dan mendekatkan diri pada Allah Ta’ala. Hanya
saja mereka melakukannya sebagai suatu adat, pemuliaan dan penghormatan (yang
wajar tentunya).”
Bagaimana
masalah mencium tangan atau mencium yang lain saat ‘id?
Beliau mengatakan:
“Sebagian orang jika memberi selamat pada hari ‘id disertai dengan mencium. Dan
ini tidak ada tuntunannya, dan tidak perlu dilakukan maka cukup dengan salaman
dan ucapan selamat.”
Ulama menjelaskan
kenapa mencium ini perlu dihindari, karena padanya ada unsur ta’zhim terhadap
yang dicium, yang terkadang akan bersifat berlebihan. Dan ta’zhim yang
berlebihan hanya diperkenankan kepada Allah Ta’ala semata.
Bentuk ucapan
selamat yang kami temukan sebagai kebiasaan orang Yaman diantaranya,
تقبل الله منا ومنك صالح أعمال كل عام أنت في خير إن شاء الله
“Semoga Allah
menerima dari kami dan engkau amalan shalih, setiap tahun insyaallah engkau
dalam kebaikan.”
Atau mereka
mengucapkan,
عيد مبارك أو عيد كريم
“‘Id yang
berbarakah.” Atau “‘Id yang mulia.”
Dan balasannya
sesuai dengan yang diucapakan ada kita, kalau doa kita mengaminkan, kalau bukan
doa kita ucapan yang semisal. Demikian praktek mereka.
Namun hal ini, bagi
yang menganggap ini suatu adat yang sah-sah saja sebagaimana penegasan Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin silahkan diamalkan. Bagi yang memandang lain maka baginya hal
itu. Tidak perlu terjadi di sini khilaf yang mendatangkan kerusakan.
Ada riwayat dari
Imam Ahmad bahwa beliau mengatakan: “Aku tidak akan mengawalinya, namun jika ada
yang mengucapkannya padaku aku akan menjawabnya.”
Hikmah dakwah pada
hari-hari seperti ini perlu diperhatikan, kerasnya perangai dan uslub kita pada
moment seperti ini terkadang dijadikan sebagian orang sebagai tolok ukur apa dan
siapa kita. Jadi hendaknya tidak serampangan dan sembarangan dalam
bertindak.
Terkait
dengan puasa enam hari di bulan Syawal.
Diriwayatkan dari
Abu Ayyub Al-Anshary berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ، ثُمَ أتْبَعَهُ سِتًا مَنْ شَوَّاَل ، كَانَ كَصِيَام الدَهْرِ
“Barangsiapa
puasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, hal itu
seperti puasa zaman.”
Diriwayatkan oleh
Muslim no. 1164.
Dan para ulama
telah membahas, apakah mendahulukan puasa sunnah ini atau mendahulukan qadha’?
Jika dia memiliki kewajiban qadha’.
Orang yang
terbebani qadha’ apakah boleh berpuasa 6 hari bulan Syawal?
Jawab: Jumhur
berkata bahwa boleh bagi seseorang untuk berpuasa 6 hari bulan Syawal meskipun
dia memilki kewajiban qadha’ puasa. Namun yang utama adalah dia mengqadha’
dahulu baru berpuasa 6 hari bulan Syawal.
Sebagaimana hal ini
telah kami sebutkan pada artikel yang telah lewat.
Wallahu a’lam bi
shawab.
Disadur dari
“Al-Mulakhash Al-Fiqhy” karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah dan
Pelajaran “Ad-Durar Al-Bahiyah” oleh Asy-Syaikh Abdullah Mar’i hafizhahullah.
Disertai dengan rujukan-rujukan yang lain.
Disadur oleh:
‘Umar
Al-Indunisy
Darul Hadits –
Ma’bar, Yaman.
sumber: www.thalibmakbar.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar