Hukum-hukum Terkait Shalat Dan Hari ‘Id
(Ringkas) I
بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum-hukum Terkait Shalat Dan Hari ‘Id (Ringkas)
Hari ‘id ada dua
yaitu hari ‘id al-fithr yang terkjadi pada 1 Syawal setelah selesai dari
menunaikan puasa Ramadhan dan ‘id al-adhha yang terjadi pada tanggal 10 Dzul
Hijjah.
Kenapa
disebut dengan kata ‘id?
Dan hari ‘id
disebut dengan kata ‘id karena dia selalu burlang pada tiap tahun, kembali
terulang dengan kegembiraan da kebahagiaan, dan Allah Ta’ala kembali mengulang
padanya dengan kebaikan yang tercurah pada hamba-Nya pada selepas penunaian
ketaatan mereka yaitu puasa dan haji.
Apa hukum
dua shalat ‘id?
Dua shalat ‘id
yaitu ‘id al-fithr dan ‘id al-adhha disyari’atkan berdasarkan al-kitab,
as-sunnah dan ijam’ muslimin. Secara tegasnya dikatakan hukumnya wajib.
Adapun dari al-kitab adalah firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka shalatlah
dan (menyembelihlah berkorbanlah).” (Al-Kautsar: 2)
Dan firman Allah
Ta’ala,
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى * وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
“Telah
beruntung orang yang mensucikannya. Dan mengingat nama Rabbnya lalu menegakkan
shalat.” (Al-A’la: 14-15)
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para khulafa’ terus-menerus menunaikan hal ini.
Adapun dari
as-sunnah, maka sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan
untuk menunaikan shalat ‘id, sampaipun para wanita. Hal ini berdasarkan hadits
Ummu ‘Athiyah radhiyallahu anha yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan
Muslim,
كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ
“Kami
diperintahkan untuk keluar pada hari ‘id, sampai kami mengeluarkan gadis dari
pingitannya sampaipun kami mengeluarkan wanita haidh (menghadiri ‘id). Maka
mereka berada di belakang manusia, mereka bertakbir seperti takbir mereka dan
berdoa seperti doa mereka dan mengharap barakah hari itu dan kesuciannya.”
Dan kata perintah
itu maknanya adalah wajib untuk dilakukan, sebagaimana ini kaidah dalam ushul
fiqh.
Demikian juga
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah,
حَقٌّ عَلَى كُلِّ ذَاتِ نِطَاقٍ الْخُرُوجُ إِلَى الْعِيدَيْنِ
“Hak (wajib)
atas setiap yang mampu, keluar menghadiri dua shalat ‘id.”
Dan juga hadits
dari jalan Abu ‘Umair bin Anas,
أَنَّ قَوْمًا رَأَوَا الْهِلاَلَ فَأَتَوَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا بَعْدَمَا ارْتَفَعَ النَّهَارُ ، وَأَنْ يَخْرُجُوا إِلَى الْعِيدِ مِنَ الْغَدِ
“Bahwa suatu
kaum telah melihat hilal, lalu mereka mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu beliau memerintahkan mereka untuk berbuka setelah meningginya siang
(matahari), dan (memerintahkan) untuk keluar shalat ‘id esok harinya.”
Maka praktek beliau
menggantinya (mengqadha’) shalat ‘id keesokan harinya menunjukkan bahwa
kewajiban ‘id itu tidak terlepas.
Dan yang menguatkan
hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Mu’awiyah bin Abi
Sufyan bertanya kepada Zaid bin Al-Arqam radhiyallahu ‘anhum,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قَالَ : فَكَيْفَ صَنَعَ ؟ قَالَ : صَلَّى الْعِيدَ ، ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ
“Apakah engkau
pernah menyaksikan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada dua ‘id
berkumpul pada satu hari?” Dia berkata: “Iya”, Mu’awiyah berkata: “Bagaimana
beliau berbuat?” Dia berkata: “Beliau shalat ‘id kemudian memberi rukshah
terkait shalat jum’ah.”
Shalat jum’ah
hukumnya wajib dan tidak mungkin perkara yang wajib diberi rukshah padanya
kecuali karena sesuatu yang wajib. Karena sesuatu yang mustahab (sunnah) tidak
bisa menggugurkan sesuatu yang wajib.
Pendapat akan
wajibnya shalat ‘id ini adalah pendapat Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad
rahimahumullah.
Kalau
wanita juga diwajibkan keluar, adakah di sana batasan-batasannya?
Wanita yang akan
mengahdiri shalat ‘id di syaratkan oleh ulama’ bahwa:
-
Mereka tidak memakai wewangian.
-
Jauh dari tempat laki-laki.
-
Wanita haidh tetap menghadiri dan mendengarkan khutbah namun harus menjauhi tempat shalat (tidak ikut shalat).
-
Tidak memakai pakaian yang penuh hiasan dan mengundang perhatian.
-
Tidak memakai pakaian yang ada unsur tasyabuh.
Hal ini berdasarkan
hadits yang diriwyatkan oleh Abu Dawud dalan Ash-Shalah (565), Ahmad (2/438) dan
Ad-Darimy dalam Ash-Shalah (1279),
وَلْيَخْرُجْنَ تَفِلاتٍ وَيَعْتَزِلْنَ الرِّجَالَ وَيَعْتَزِلْ الحُيَّضُ المُصَلَّى
“Dan hendaknya
mereka keluar (mengahadiri ‘id) dalam keadaan tidak memakai wewangian, menjauhi
laki-laki dan wanita haidh menjauhi tempat shalat.”
Dimana
tempat shalat ‘id ditunaikan?
Hendaknya shalat
‘id ditunaikan di tanah lapang yang dekat dengan tempat tinggal penduduk. Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat ‘id di tanah lapang di
kawasan pintu masuk kota Madinah. Diriwayatkan dari Abu Sa’id oleh Al-Bukhary
dam Muslim dia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
“Adalah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari ‘id al-fithr dan ‘id al-adhha ke
tanah lapang.”
Dan tidak
dinukilkan bahwa beliau menunaikan shalat ‘id di masjid tanpa udzur.
Dan karena
keluarnya kaum muslimin shalat di tanah lapang akan menunjukkan wibawa kaum
muslimin dan islam, lebih menampakkan syi’ar-syi’ar islam, dan tidak ada
kesulitan untuk melakukan hal itu.
Kecuali di Makkah
maka ditunaikan di masjid karena sulit diketemukannya tempat lapang di sekitar
Makkah, karena sekitar Makkah berupa gunung dan gunung.
Kapan waktu
penunaian shalat ‘id?
Waktu shalat ‘id
diawali dengan meningginya matahari sebatas tombak, karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menunaikan shlat ‘id pada waktu ini. Dan waktunya terbentang
sampai tergelincirnya matahari.
Bagaimana
kalau tahu bahwa hari sudah ‘id ketika telah tergelincir matahari?
Maka hendaknya
melakukan shalat ‘id di keesokan harinya. Hal ini berdasarkan yang diriwayatkan
dari jalan Abu ‘Umair bin Anas pada hadits yang telah lewat,
أَنَّ قَوْمًا رَأَوَا الْهِلاَلَ فَأَتَوَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا بَعْدَمَا ارْتَفَعَ النَّهَارُ ، وَأَنْ يَخْرُجُوا إِلَى الْعِيدِ مِنَ الْغَدِ
“Bahwa suatu
kaum telah melihat hilal, lalu mereka mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu beliau memerintahkan mereka untuk berbuka setelah meningginya siang
(matahari), dan (memerintahkan) untuk keluar shalat ‘id esok harinya.”
Jadi bukan
ditunaikan setelah tergelincirnya matahari pada hari itu, namun beliau
mengakhirkannya sampai esok hari. Karena shalat ‘id itu disyari’atkan dengan
berkumpulnya manusia oleh karenanya harus ada waktu yang memungkinkan semua
orang untuk bersiap-siap.
Apakah ada
perbedaan antara waktu shalat ‘id al-fithr dan ‘id al-adhha?
Disunnahkan untuk
agak mengakhirkan shalat ‘id al-fithr dan menyegerakan shalat ‘id al-adhha. Hal
ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Syafi’i secara mursal,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَتَبَ إِلَى عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ وَهُوَ بِنَجْرَانَ أَنْ : عَجِّلِ الأَضْحَى ، وَأَخِّرِ الْفِطْرَ ، وَذَكِّرِ النَّاسَ
“Bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis kepada ‘Amr bin Hazm dan dia di
Najran untuk menyegerakan (shalat ‘id) al-adhha dan agak mengakhirkan (shalat
‘id) al-fithr dan mengingatkan manusia.”
Dan datang dalam
hadits Junub dengan sanad yang lemah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menunaikan shalat ‘id al-fithr dan matahari setinggi dua tombak. Ulama
mengatakan meskipun hadits ini lemah tapi maknanya shahih.
Disegerakannya
al-adhha agar waktu untuk menyembelih kurban lebih luas, dan diakhirkannya
al-fithr agar waktu pembagian zakat lebih luas.
Apa saja
yang dianjurkan dan perlu diperhatikan sebelum mendatangi shalat
‘id?
Yang dianjurkan dan
perlu diperhatikan diantaranya:
-
Disunnahkan makan beberapa kurma lebih dahulu sebelum keluar shalat ‘id al-fithr dan memakan dalam hitungan ganjil sebagaimana datang dalam sebuah riawayat, dan tidak makan dahulu sebelum shalat pada hari ‘id al-adhha. Dan yang menyembelih kurban disunnahkan yang pertama dia makan adalah daging hewan kurbannya. Hal ini beradasarkan ucapan Buraidah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ahmad,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ ، وَلاَ يَطْعَمُ يَوْمَ النَّحْرِ حَتَّى يُصَلِّي
“Adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar pada hari (shalat ‘id)
al-fithr kecuali (setelah) makan. Dan tidaklah makan pada hari (shalat ‘id)
al-adhha kecuali (setelah) shalat.”
Dan dalam
riwayat,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ لاَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ تَمَرَاتٍ
“Adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar pada hari (shalat ‘id)
al-fithr kecuali (setelah) makan beberapa kurma.”
-
Dan disunnahkan untuk bersegera menuju ke tempat shalat ‘id, agar bisa mendapatkan tempat yang dekat dengan imam (bagi laki-laki), dan mendapaatkan keutamaan menunggu saat ditunaikannya shalat. Sehingga dengan demikian makin banyaklah pahalanya.
-
Disunnahkan datang ke tempat shalat dengan berjalan kaki. Hal ini berdasarkan hadits Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al-Albany,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ كَانَ يَأْتِي الْعِيدَ مَاشِيًا ، وَيَرْجِعُ فِي غَيْرِ الطَّرِيقِ الَّذِي ابْتَدَأَ فِيهِ
“Bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke tempat ‘id dengan berjalan kaki, dan
beliau kembali melalui jalan selain jalan yang beliau lewati (saat
berangkat).”
Hal inilah yang
dilakukan oleh para shahabat sebagaimana diriwayatkan dari ‘Ali oleh At-Tirmidzy
dengan sanad yang shahih, juga dari ‘Umar, Sa’id bin AL-Musayyab, ‘Umar bin
Abdul ‘Aziz dan jama’ah dari shahabat dan tabi’in radhiyallahu ‘anhum wa
rahimahumullah.
Dan jika kesulitan
untuk berjalan kaki maka baginya untuk berkendara, namun jalan kaki lebih
sempurna dan lebih utama.
-
Disunnahkan membedakan jalan antara pergi dan pulangnya. Jika berangkat melalui suatu jalan maka pulangnya melalui jalan yang lain. Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary,
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Adalah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari ‘id membedakan jalan (antara berangkat dan
pulangnya).”
Dan juga
berdasarkan hadits Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu di atas.
-
Dan disunnahkan agar seorang muslim menyempurnakan penampilan untuk menghadiri shalat ‘id. Yaitu dengan memakai pakaiannya yang terbaik dan terindah. Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah,
كَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُبَّةٌ يَلْبَسُهَا فِي الْعِيدَيْنِ ، وَيَوْمِ الْجُمُعَةِ
“Adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah yang beliau kenakan pada
dua hari ‘id dan hari jum’ah.”
Dan dalam riwayat
Al-Baihaqy dengan sanad yang jayyid bahwa Ibnu ‘Umar,
كَانَ يَلْبَسُ فِى الْعِيدَيْنِ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ
“Adalah (Ibnu
‘Umar) mengenakan pada dua hari ‘id pakaiannya yang paling bagus.”
Tapi perlu diingat
bahwa bukanlah makna dari menyempurnakan penampilan di sini seseorang melakukan
perkara yang haram. Dalam hal ini tidak boleh kaum lelaki memakai perhiasan dari
emas, sutra, dan yang padanya ada unsur tasyabuh dan pemborosan. Bahkan tidak
boleh menghias diri dengan mencukur jenggot. Perkara mencukur jenggot inilah
kemunkaran yang kerap terjadi pada hari ‘id. Padanya ada tasyabuh dengan kufar
dari kalangan yahudi.
-
Jika berhias itu dituntut maka mandi untuk menghadiri shalat ‘id lebih ditutut lagi. Diriwayatkan dari Ibnu Al-Musayyab rahimahullah yang diriwayatkan oleh Al-Firyaby dengan sanad yang shahih bahwa ia berkata: “Sunnah ‘id al-fithr ada tiga yaitu: Berangkat dengan berjalan kaki menuju tempat shalat (tanah lapang), makan dahulu sebelum berangkat, dan mandi.”
-
Dan juga melakukan pembersihan badan seperti yang dilakukan ketika akan menghadiri shalat jum’ah. Yaitu dengan memotong kuku, merapikan kumis, mencabut bulu ketiak dan selainnya yang dituntut kebersihan dan kerapiannya.
Shalat ‘id
ada berapa raka’at?
Shalat ‘id itu dua
raka’at. Hal ini berdasarkan hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan
oleh Ahmad dan Al-Baihaqy secara mauquf dan memiliki hukum marfu’,
صَلاَةُ الأَضْحَى رَكْعَتَانِ ، وَصَلاَةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ ، وَصَلاَةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ ، وَهِيَ تَمَامٌ لَيْسَ بِقَصْرٍ عَلَى لِسَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Shalat ‘id
al-adhha itu dua raka’at, shalat ‘id al-fithr itu dua raka’at, dan shalat jum’ah
itu dua raka’at. Itu semua sempurna bukan qashr berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dan hadits Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam “Ash-Shahihain”,
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا ، وَلاَ بَعْدَهَا
“Bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari shalat ‘id al-fithr, maka beliau
shalat dua raka’at, beliau tidak shalat sebelumnya tidak pula
setelahnya.”
Hadits terkait
shalat ‘id beliau sebanyak dua raka’at adalah hadits yang banyak.
Bagaimana
cara shalatnya?
Shalat dengan
melakukan takbir tambahan sebanyak tujuh kali setelah takbiratul ihram dan doa
istiftah pada raka’at pertama sebelum ta’awudz dan membaca surat. Dan pada
raka’at kedua melakukan takbir tambahan sebanyak lima kali selain takbir ketika
berdiri dan takbir ruku’.
Hal ini berdasarkan
hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakekya,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي عِيدٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيرَةً ، سَبْعًا فِي الأُولَى ، وَخَمْسًا فِي الآخِرَةِ
“Bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan takbir pada shalat ‘id dua belas takbir,
tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada rak’at kedua.”
Diriwayatkanoleh
Ahmad dan Ibnu Majah dan sanadnya hasan dengan semua jalannya.
Dan semakna dengan
ini hadits Abu Hurairah, ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzany, Abdurrahman bin ‘Auf dan
‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى ، فِي الأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ ، وَفِي الثَّانِيَةِ خَمْسًا سِوَى تَكْبِيرَتَيِ الرُّكُوعِ
“Bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan takbir pada shalat ‘id
al-fithr dan al-adhha pada raka’at pertama tujuh kali takbir dan pada raka’at
kedua lima kali takbir, selain dua takbir ruku’.”
Kalau ada
yang mengatakan telah datang pada beberapa riwayat bahwa shahabat melakukan
takbir tambahan ini berbeda-beda jumlahnya?
Jawabannya: Imam Ahmad mengatakan: “Para shahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbeda dalam maslah takbir ini dan semuanya
boleh.”
Apa hukum
takbir tambahan ini, dan jika kelupaan atau ketinggalan bagaimana?
Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam “Majmu’ Fatawa wa Rasa’il” (16/147): “Hukum
takbir tambahan ini sunnah mu’akaddah. Dan jika seseorang terlupa atau
tertinggal sebagiannya atau seluruhnya maka tidak dituntut untuk
mendatangkannya. Kecuali jika dia tertinggal satu raka’at penuh maka dalam
menyempurnakan raka’at shalatnya dia mendatangkan takbir tambahan juga.”
Kalau
kelupaan jumlah takbir tambahannya bagaimana?
Maka dia mengambil
hitungan yang sedikit. Misal, dia lupa ini ketiga atau keempat, maka dia
mengambil yang sedikit yaitu menganggap bahwa ini yang ketiga.
Doa
istiftah harus setelah takbiratul ihrah atau setelah takbirat
tambahan?
Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam “Majmu’ Fatawa wa Rasa’il” (16/147): “Doa
istiftah dilakukan setelah takbiratul ihram, menurut para ulama, dan jika dibaca
setelah semua takbir tambahan maka tidak mengapa. Perkaranya luas.
Apakah
disyari’atkan mengangkat tangan saat melakukan takbir?
Para ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan tidak mengangkat tangan, karena
tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
mengangkat tangan saat takbir tambahan ini.
Ulama yang lain
mengatakan disyari’atkan mengangkat tangan saat takbir ini. Hal ini berdasarkan
atsar beberapa shahabat diantaranya Ibnu ‘Umar, dan ini adalah yang masyhur dari
madzhab hanabilah (hanbaly). Demikian disebutkan oleh Ibnu ‘Utsaimin dalam
“Majmu’ Fatawa wa Rasa’il” (16/148). Dan Ibnu Qudamah menyebutkan dalam
“Al-Mughny” (2/234): “Telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengangkat tangannya bersama takbir dalam shalat, Ahmad berkata: “Adapun
aku memandang bahwa takbir tambahan juga masuk pada keumuman hadits ini. Dan
diriwayatkan dari ‘Umar bahwa dia mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir
dalam shalat janazah dan shalat ‘id. Diriwayatkan oleh Al-Atsram. Dan tidak
dikatahui ada yang menyelisihinya dari kalangan shahabat.”
Permasalahan
masalah khilafiyah, masing-masing berusaha mengamalkan yang menurutnya lebih
dekat pada kebenaran sesuai dengan batas keilmuannya, tanpa harus mencela yang
mengambil pendapat yang lain.
Apakah ada
dzikir tertentu antara takbir-takbir tambahan ini?
Sebagian ulama
mengatakan hendaknya berdzikir dengan memuji Allah Ta’ala. Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin mengatakan bahwa tidak ada dzikir yang warid dalam hal ini, dan
perkaranya luas. Ibnul Qayyim berkata: “Beliau diam sebentar antara dua takbir,
dan tidak dihafal dari beliau dzikir tertentu antara takbir-takbir ini.”
Bacaan
surat dibaca dengan jahr (keras) atau dengan sir (pelan)?
Bacaan surat
dijahrkan. Hal ini berdasarkan ucapan Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh
Ad-Daruquthny,
كَانَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَجْهَرُ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْعِيدَيْنِ وَالاِسْتِسْقَاءِ
“Adalah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan bacaannya pada shalat ‘id dan
istisqa’.”
Dan para ulama
telah ijma’ akan hal ini, dan kaum muslimin terus menerus beramal seperti
ini.
Surat apa
yang dibaca setelah membaca Al-Fatihah?
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam membaca surat Al’A'la pada raka’at pertama dan surat
Al-Ghasyiyah pada raka’at kedua. Hal ini berdasarkan hadits Samurah yang
diriwayatkan oleh Ahmad.
Atau membaca surat
Qaf pada raka’at pertama dan surat Al-Qamar pada raka’at kedua. Hal ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.
Syaikhul Islam
berkata: “Apapun surat yang dibaca maka itu boleh, sebagaimana hal itu
diperbolehkan dalam shalat-shalat yang lain. Akan tetapi jika membaca yang
diriwayatkan dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka itu lebih baik….”
Bagaimana
jika ketinggalan shalat ‘id?
-
Orang yang ketinggalan shalat ‘id disunnahkan mengqadha’nya sesuai dengan tata caranya, yaitu shalat dua raka’at dengan tambahan dua belas takbir. Karena qadha’ itu ibarat dari penunaian. Hal ini berdasarkan keumuman hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim,
فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Apa
yang kalian dapatkan, shalatlah. Dan yang kalian tertinggal darinya
sempurnakanlah.”
-
Jika ketinggalan satu rak’at bersama imam, maka dia menyempurnakan kekurangannya.
-
Jika dia datang dan imam sudah khutbah (selesai shalat) maka dia duduk mendengarkan khutbah dahulu lalu mengqadha’ shalatnya
Dan qadha’ ini bisa
dilakukan sendirian ataupun berjama’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar