بسم الله الرحمن الرحيم
Beberapa Hukum Terkait Zakat Al-Fithr (Fitri) -Ringkas-
Disebut dengan
zakat al-fithr karena zakat ini ditunaikan dikarenakan selesainya dan berbukanya
kita dari penunaian bulan Ramadhan.
Apa hikmah
disyari’atkannya zakat al-fithr ini?
Hikmah
disyari’atkannya zakat al-fithr ini adalah demi mensucikan orang yang puasa dari
kesia-siaan dan ucapan kotor, serta dalam rangka memberi makan kepada orang
miskin, dan juga bentuk syukur orang puasa karena telah menunaikan kewajiban
puasanya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat al-fithr sebagai pensuci bagi
orang yang puasa dari kesia-siaan dan ucapan kotor dan sebagai pemberi makan
pada orang-orang miskin.”
Apa hukum
zakat al-fithr?
Zakat al-fithr
hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan
Ijma’.
Adapun dari Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala,
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى
“Sungguh telah
beruntung orang-orang yang mensucikan.” (Al-A’la: 14)
Sebagian ulama
salaf mengatakan bahwa yang yang dimaksud dengan “mensucikan” adalah membayar
zakat al-fithr.
Dan juga masuk
dalam keumuman perintah Allah Ta’ala,
وَآتُواْ الزَّكَاةَ
“Dan
tunaikanlah zakat.” (Al-Baqarah: 43)
Dan ayat-ayat yang
lain.
Adapun dari
As-Sunnah adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat al-fithr
sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum. Wajib atas seorang budak dan
merdeka, atas laki-laki dan wanita, atas yang besar dan yang kecil dari kaum
muslimin.”
Hadits diriwayatkan
oleh Al-Bukhary dan Muslim. Dan hadits-hadits yang lain seperti hadits ‘Umar
(hadits jibril) dan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Adapun ijma’ maka
lebih dari satu ulama yang menyebutkan akan ijma’ ulama atas wajibnya zakat
al-fithr.
Siapa saja
yang diwajibkan membayar zakat al-fithr?
Zakat ini wajib
ditunaikan oleh setiap muslim, yang laki-laki dan wanita, yang besar dan kecil,
yang berstatus merdeka dan budak.
Hal ini berdasarkan
hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang telah lewat,
فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat al-fithr sebanyak satu sha’ kurma
atau satu sha’ gandum. Wajib atas seorang budak dan merdeka, atas
laki-laki dan wanita, atas yang besar dan yang kecil dari kaum
muslimin.”
Apakah
seorang muslim mengeluarkan zakat al-fithrnya orang yang dibawah
tanggungannya?
Seorang muslim
mengeluarkan zakat al-fithr untuk dirinya, dan juga mengeluarkan zakatnya orang
yang menjadi tanggungannya, seperti istri, anak-anaknya, dan semua kerabatnya
berupa ayah dan ibunya dan siapa yang berada di bawah tanggungannya. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أدوا الفطرة عمن تمولون
“Tunaikanlah
zakat al-fithr untuk orang yang kalian nafkahi.”
Hadits disebutkan
Asy-Syaikh As-Sa’dy rahimahullah dalam Syarh Minhaj As-Salikin.
Dan disunnahkan
untuk mengeluarkan zakatnya janin yang masih dalam kandungan. Hal ini
berdasarkan perbuatan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (10737),
أَنَّ عُثْمَانَ كَانَ يُعْطِي صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَنِ الْحَبَلِ
“Bahwa ‘Ustman
membayar zakat al-fithr untuk kandungan (janin).”
Dan banyak
atsar-atsar yang serupa dengan ini yang disebutkan dalam Mushannaf Abdurrazaq
(3/319).
Bagaimana
zakatnya orang yang mati sebelum tenggelam matahari, atau yang mati setelah
tenggelam matahari, atau bayi yang lahir sebelum tenggelam matahari, atau bayi
yang lahir setelah tenggelam matahri pada hari terakhir bulan Ramadhan?
Sebagian ulama
menjelaskan bahwa:
-
Orang yang mati sebelum tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan maka tidak wajib atasnya membayar zakat al-fithr, karena dia belum menyempurnakan hari terakhirnya.
-
Orang yang mati setelah tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan maka wajib atasnya membayar zakat al-fithr, karena dia telah menyempurnakan hari terakhirnya.
-
Bayi yang lahir sebelum tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan maka wajib untuk dibayarkan zakatnya.
-
Bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan maka tidak wajib dibayarkan zakatnya. Namun disunnahkan dibayarkan zakatnya sebagaimana perbuatan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu yang telah lewat penyebutannya terkait menzakati janin.
Orang yang
sudah ditanggung orang lain zakatnya apakah boleh jika ia ingin mengeluarkan
sendiri untuk dirinya?
Boleh baginya untuk
mengeluarkan zakat untuk dirinya sendiri tanpa izin dari orang yang
menanggungnya. Karena kewajiban zakat ini tentunya pertama kali mengenai dirinya
sendiri. Adapun yang akan menjadi penanggungnya bukan asal yang diwajibkan
atasnya.
Orang yang
mengeluarkan zakatnya orang yang tidak dalam tanggungannya apakah harus dengan
izin orang tersebut?
Jika orang
mengeluarkan zakatnya orang yang tidak dalam tanggungannya maka ssah jika dengan
izinnya. Dan jika tanpa izinnya maka tidak sah.
Apakah
zakat orang yang ditanggungnya harus dikeluarkan di mana dia berada atau boleh
dikeluarkan di mana orang yang menanggungnya berada?
Boleh zakat
tersebut dikeluarkan di tempat orang yang menanggungnya berada meskipun orang
yang ditanggung zakatnya berada di tempat yang berbeda.
Berapa
kadar ukuran zakat al-fithr?
Dalam hadits Ibnu
‘Umar di atas disebutkan bahwa kadar yang harus dikeluarkan adalah satu sha’.
Dan juga dalam hadits Abu Sa’id al-Khudry yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan
Muslim bahwa Rasulullah shallallhu alaihi wa sallam bersada,
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ…الحديث
“Adalah kami
mengeluarkan zakat al-fithr sebanyak satu sha’ dari jenis makanan, atau satu
sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, … al-hadits.”
Berapa
kilokah ukuran satu sha’ itu? Jika diukur dengan timbangan masa
kini?
Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb (Bab Zakat
Al-Fithr) bahwa satu sha’ adalah sekitar 2 kilo lebih 40 gram atau setara dengan
2,25 (dua seperempat) kilo beras. Dan dalam Majmu Rasa’il (18/189) beliau
menyatakan satu sha’ adalah 2 kilo lebih 40 gram, jika dikatakan satu sha’
adalah 2,5 (dua setengah) kilo maka tidak salah, dan jika dikatakan satu sha’
adalah 3 kilo maka tidak bertetangan. Karena kadar zakat al-fithr itu berpatokan
pada ukuran bukan timbangan. Karena terkadang suatu benda itu berat timbangannya
akan tetapi kecil ukurannya. Oleh karena itu timbangan kurma tidak sama dengan
timbangan biji gandum dan timbangan biji gandum tidak sama dengan timbangan
beras, dan timbangan beras sendiri antar satu dengan yang lain juga bisa berbeda
(satu kilo beras biasa akan berbeda dengan satu kilo beras rojo lele dalam
banyaknya misalnya, karena ukuran beras rojo lele adalah besar-besar
butirannya). Intinya zakat al-fithr itu kadarnya berpatokan dengan ukuran bukan
pada timbangan berat, kalau kita memberi patokan zakat ini dengan timbangan
berat samar rata pada semua jenis makanan pokok maka itu keliru.
Kalau
ditanyakan lalu bagaimana kita mengukur?
Jawabannya: Ukur
dengan ukuran sha’ nabawy lalu bikin pengukur dari kaleng atau apa yang memuat
jenis makanan yang telah kita ukur dengan sha’ nabawy. Setelah pengukur ini jadi
maka semua jenis makanan yang bisa untuk zakat diukur dengan pengukur ini. Entah
jenis makanan yang berat timbangannya ataupun ringan.
Bagaimana
jika kesulitan untuk mendapatkan pengukur patokan dengan sha’
nabawy?
Maka Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam beberapa tempat dalam fatawanya ketika ditanya
berapa kadar zakat al-Fithr? Maka beliau langsung menjawab dengan mengatakan
bahwa zakat al-fithr itu 3 kilo gram.
Jadi siapa yang
kesulitan mengeluarkan kadar dengan ukuran sha’ nabawy atau yang mendekatinya
maka baginya mengeluarkan seukuran 3 kilo gram makanan pokoknya untuk zakat
al-fithr.
Jenis
makanan yang bisa untuk zakat al-fithr itu apa saja?
Secara umum zakat
al-fithr itu dari jenis makanan pokok suatu negeri. Entah berupa butiran gandum,
atau gandum, atau kurma, atau zabib, atau beras, atau yang selainya dari
bahan-bahan yang biasa digunakan oleh manusia sebagai makanan pokok. Sebagian
jenis makanan yang bisa digunakan sebagai zakat adalah sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu di atas,
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ…الحديث
“Adalah kami
mengeluarkan zakat al-fithr sebanyak satu sha’ dari jenis makanan, atau
satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, … al-hadits.”
Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam fatawa beliau: “Sebagian ulama menfsirkan
kata “makanan” di sini adalah biji gandum. Dan ulama yang lain
menafsirkan bahwa kata “makanan” itu mencakup semua jenis makanan pokok
yang dikonsumsi oleh para penduduk suatu negeri, sama saja entah itu biji
gandum, biji-bijian, (beras) dan selain itu. Dan ini adalah yang benar. Dan jika
seseorang mengeluarkan zakatnya berupa beras atau yang lain yang merupakan
makanan pokok negerinya maka itu sah.”
Dari sini
kita simpulkan bahwa zakat al-fithr itu dikeluarkan dari semua jenis
makanan yang menjadi makanan pokok dari suatu negeri. Dan yang disebut makanan
pokok itu tentu sudah dikenal semua orang bahwa itu adalah makanan pokok. Maka
yang tidak masuk dalam kategori makanan pokok tidak sah digunakan sebagai
pembayar zakat al-fithr.
Apakah
boleh dikeluarkan dalam bentuk uang?
Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb (Bab Zakat
Al-Fithr) bahwa tidak boleh membayar zakat al-fithr dengan bentuk uang (tidak
boleh pula dalam bentuk pakaian) karena hal ini bukanlah makanan. Dan syari’at
telah menentukan bahwa zakat al-fithr itu berupa satu sha’ dari makanan. Dan
makanan yang disebutkan adalah berbeda-beda jenisnya. (Juga dikatakan “satu
sha’” dan ukuran ini bukanlah ukuran untuk mata uang).
Mengeluarkannya
dalam bentuk uang akan ada bentuk ketersembunyian disitu. Jika dikeluarkan dalam
bentuk makanan maka akan nyata terlihat dan diketahui yang lainnya dan tampak
jika tertunaikan pada yang berhak. Jika berbentuk uang maka terkadang ada
keersembunyian, terkadang yang mengeluarkan lupa, terkadang ukurannya tidak pas,
akan ada kekurangan yang banyak. Dan yang paling penting ini tidak di tunjuk
langsung dalam syari’at. Maka pendapat yang membolehkan untuk dibayar dengan
uang itu ucapan yang lemah.”
Sebagian ulama ada
yang memberi keringanan: Yaitu jika ia membayarkan uang pada wakilnya atau badan
/ lembaga tertentu dan wakil atau badan / lembaga tertentu tersebut ketika akan
menunaikannya kepada yang berhak membayarkan dalam bentuk makanan pokok (artinya
uangnya nanti ketika akan dibayarkan sebagai zakat dijadikan makanan pokok
dahulu) maka ini boleh. Yang perlu diperhatikan adalah amanah yang dijadikan
wakil atau badan / lembaga dia membayar zakat bahwa mereka akan menyampaikannya
kepada yang berhak dalam bentuk makanan pokok.
Sebagian
orang berkata: Aku telah membayarkan zakat dalam bentuk uang selama beberapa
tahun, jika membayar zakat dalam bentuk uang tidak sah apakah saya harus
mengulangi membayar zakat tersebut?
Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb (Bab Zakat
Al-Fithr) bahwa jika ia dahulu membayar dalam bentuk uang karena anggapan itu
sah-sah saja, maka wajib atasnya untuk membayar ulang dengan bentuk yang benar.
Karena waktu itu ia berbuat tanpa ilmu.
Adapun jika ia
melakukan hal itu saat itu karena bersandar pada fatwa seorang ‘alim yang pantas
dipegang fatwanya bahwa zakat dalam bentuk uang boleh, maka ia tidak perlu
mengulanginya dan sah zakatnya, namun dosanya terkena pada yang berfatwa.
Kapan zakat
al-fithr dikeluarkan?
Zakat al-fithr
dikeluarkan sebelum shalat ‘id, sebagaimana dalam hadist Ibnu ‘Umar dalam
“Ash-Shahihain”,
وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
“Dan beliau
memerintahkan untuk dibayarkan sebelum keluarnya manusia untuk shlat
‘id.”
Waktu yang paling
utama untuk membayarkan zakat ini dimulai dari tenggelamnya matahari pada malam
hari ‘id sampai menjelang ditunaikannya shalat ‘id. Dan pembayarannya pada hari
‘id sebelum shalat adalah lebih utama.
Apakah
boleh didahulukan satu atau dua hari sebelum hari ‘id?
Boleh didahulukan
pembayarannya satu atau dua hari sebelum hari ‘id sebagaimana ini adalah
perbuatan para shahabat. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shahih Al-Bukhary,
وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ ، أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan adalah
mereka (para shahabat) membayarkan (zakat) satu atau dua hari sebelum ‘id
al-fithr.”
Jika
terlambat sampai usai shalat bagaimana?
Sebagian ulama
berpendapat bahwa: Orang yang terlambat sampai selesai shalat dan belum membayar
zakat maka dia wajib membayarkannya dalam bentuk qadha’ (mengganti). Hal ini
berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
“Siapa yang
menunaikannya sebelum shalat (‘id) maka ia adalah zakat yang diterima, dan siapa
yang menunaikannya setelah shalat (‘id) maka ia adalah shadaqah seperti
shadaqah-shadaqah yang lain.”
Dan ia berdosa
karena mengakhirkannya karena ini menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kepada
siapa zakat ini dibayarkan?
Zakat ini
dibayarkan terkhusus kepada faqir miskin, sebagaimana disebutkan dalam hadits
yang telah lewat, hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan Ibnu Majah,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat al-fithr sebagai pensuci bagi
orang yang puasa dari kesia-siaan dan ucapan kotor dan sebagai pemberi
makan pada orang-orang miskin.“
Apakah
zakat boleh diberikan kapada orang kafir yang miskin?
Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam “Majmu’ Fatawa wa Rasa’il” (18/280): “Tidak
boleh diberikan zakat ini kecuali kepada orang miskin dari kaum muslimin.”
Jadi tidak boleh
diberikan kepada orang kafir meskipun beralasan untuk melunakkan kalbu mereka.
Penerima zakat al-fithr adalah satu jenis yaitu orang fakir dan miskin dari kaum
muslimin.
Apakah
hukum memindahkan pembayaran zakat ke luar tempat atau negerinya?
Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam “Majmu’ Fatawa wa Rasa’il” (18/207):
“Memindahkan pembayaran zakat ke luar daerah atau negerinya jika karena suatu
kebutuhan dan di negerinya tidak ada lagi yang pantas menerima zakat maka
diperbolehkan. Dan jika tanpa ada kebutuhan dalam keadaan negerinya masih
terdapat orang yang pantas menerimanya maka sebagian ulama tidak memperbolehkan
pemindahan tersebut.
Dan
Asy-Syaikh pernah ditanya bagaimana jika yang di tempat lain tersebut lebih
membutuhkan?
Maka Asy-Syaikh
menjawab: “Sebagian ulama memandang bolehnya membayrakan akat tersebut ke luar
daerahnya jika tempat yang dituju tersebut lebih sangat membutuhkan dibanding
tempatnya sendiri. Dan mereka mempersyaratkan untuk memulai negeri yang paling
dekat dulu lalu yang setelahnya. Akan tetapi sepertinya yang nampak bahwa yang
lebih benar adalah jika memang di negerinya tiada lagi yang pantas menerimanya
maka boleh mengirimkannya ke luar negerinya.”
Jika
seseorang diwakili untuk membayarkan zakat orang kepada orang yang ditunjuk lalu
dia melihat ada yang lebih butuh apakah boleh memberikan kepada selain yang
ditunjuk?
Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam “Majmu’ Fatawa wa Rasa’il” (18/280): “Jika
orang yang berzakat telah berkata: “Ambil zakat ini dan berikan kepada fulan”,
maka tidak boleh bagi yang diwakili untuk memberikannya kepada orang lain
meskipun ia kelihatannya lebih butuh. Namun jika yang ditunjuk si pembayar zakat
itu ternyat orang yang berkecukupan dan yang membayar zakat tidak tahu akan hal
itu, bolehkah tetap dibayarkan padanya? Jawabannya: Tidak boleh dibayarkan
padanya (karena tidak memenuhi sayarat sebagai penerima) dan jika yang diwakili
tahu bahwa orang yang ditunjuk itu tidak berhak menerima maka hendaknya
mengatakannya pada pembayar zakat, bahwa si fulan tidak berhak menerima
zakat.”
Bolehkah
orang yang berhak menerima zakat menunjuk orang untuk mewakilinya menerima zakat
dari pembayar zakat?
Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam “Majmu’ Fatawa wa Rasa’il” (18/290): “Hal
itu diperbolehkan.”
Wallahu a’lam bi
shawab.
Secara asal disadur
dari Al-Mulakhash Al-Fiqhy karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah.
Disertai beberapa rujukan seperti Fatawa An-Nur ‘Ala Ad-Darb (Al-’Utsaimin),
Majmu’ Fatawa wa Rasa’il (Al-’Utsaimin), beberapa kitab yang lain.
Disadur oleh
‘Umar
Al-Indunisy
Darul Hadits –
Ma’bar, Yaman
www.thalibmakbar.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar