Ditulis oleh:
Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
Islam adalah agama
yang sempurna dan mudah. Meski puasa Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap
muslim, namun dalam keadaan tertentu seseorang diperbolehkan untuk tidak
berpuasa. Berikut penjelasan tentang siapa saja yang dibolehkan untuk tidak
berpuasa dalam bulan Ramadhan.
Musafir
Musafir adalah
orang yang melakukan perjalanan sejauh jarak (yang dianggap) safar. Jarak safar
menurut mazhab yang paling kuat adalah jarak yang dianggap oleh adat atau
masyarakat setempat sebagai safar atau bepergian. (Majmu’ Fatawa, 34/40—50,
19/243)
Orang yang
melakukan perjalanan semacam ini diperkenankan untuk tidak melakukan puasa,
sebagaimana yang Allah subhanahu wata'ala firmankan:
“Barang siapa di
antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia
wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain.”
(al-Baqarah: 184)
Hamzah bin ‘Amr
al-Aslami radhiyallahu 'anhu yang dia adalah orang yang banyak melakukan puasa,
bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, “Apakah saya berpuasa
di waktu safar?” Beliau menjawab
:
إِنْ شِئْتَ فَصُمْْ وَإِنْ شِئْتَ
فَأَفْطِرْ
“Puasalah jika kamu
mau dan berbukalah jika kamu mau.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dari Anas bin Malik
radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Saya melakukan safar bersama Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di bulan Ramadhan. Orang yang berpuasa tidak
mencela yang tidak berpuasa dan yang tidak berpuasa juga tidak mencela yang
puasa.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits-hadits itu
menunjukkan dibolehkannya tidak berpuasa bagi orang yang melakukan safar. Namun
jika ia ingin berpuasa juga boleh, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pernah berpuasa dalam keadaan safar sebagaimana kata Abu ad-Darda
radhiyallahu 'anhu:
“Kami keluar
bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di bulan Ramadhan dalam keadaan
sangat panas, sampai-sampai salah seorang dari kami meletakkan tangannya di atas
kepalanya karena panasnya. Tidak ada yang berpuasa di antara kami kecuali
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Abdullah bin Rawahah.” (Sahih, HR.
al-Bukhari no. 2687 dan Muslim no. 2687)
Puasa itu dilakukan
jika memang mampu dan tidak bermudarat bagi dirinya, sebagaimana ucapan Abu Said
al-Khudri radhiyallahu 'anhu:
“Dan mereka
berpendapat, bagi yang mempunyai kekuatan lalu puasa maka itu baik. Bagi yang
mendapati kelemahan lalu tidak puasa maka itu baik.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi
dalam Sunan-nya 3/92 no. 712 dan beliau katakan, “Hasan sahih.” Lihat juga Sifat
Shaum an-Nabi hlm. 58)
Jadi, siapa saja
yang fisiknya lemah dengan berpuasa saat safar, maka lebih baik ia tidak
berpuasa. Lebih-lebih jika membawa kerugian pada dirinya, sebagaimana
diriwayatkan Jabir radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam berada pada sebuah safar. Beliau melihat orang
dalam jumlah banyak dan ada seorang laki-laki yang dinaungi.
Beliau berkata,
“Apa ini?”
Mereka menjawab,
“Orang berpuasa.”
Beliau berkata,
“Bukan termasuk kebaikan berpuasa di waktu safar.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Kemudian bagaimana
dengan safar di masa ini, di mana jarak yang begitu jauh dapat ditempuh dalam
waktu sangat singkat, dengan pesawat terbang misalnya, apakah yang demikian
menggugurkan keringanan untuk tidak berpuasa?
Jawabnya, tidak!
Rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa tetap ada selama itu disebut safar.
Hal ini disebabkan Allah subhanahu wata'ala telah mengaitkan hukum ini dengan
safar. Sehingga selama itu disebut safar, bagaimanapun ringannya, maka rukhshah
itu tetap ada.
“Dan tidaklah
Rabb-Mu lupa.” (Maryam: 64)
Orang yang tidak
berpuasa di waktu safar memiliki kewajiban untuk mengqadha (mengganti) di bulan
lain sebagaimana firman Allah subhanahu wata'ala di atas.
Orang
Sakit
Sakit yang
menjadikan dibolehkannya seseorang berbuka adalah keadaan yang jika ia berpuasa
dalam keadaan tersebut akan membahayakan dirinya, menambah sakitnya, atau
dikhawatirkan memperlambat kesembuhan. (Lihat Fathul Bari, 8/179, Syarhul ‘Umdah
Kitab Shiyam karya Ibnu Taimiyah rahimahullah 1/208-209, Shifat Shaum an-Nabi,
hlm. 59)
Orang yang sakit
mendapat keringanan untuk tidak berpuasa sebagaimana firman Allah subhanahu
wata'ala:
“Barang siapa di
antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia
wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain. Allah
menginginkan kemudahan atas kalian dan tidak menginginkan kesusahan.”
(al-Baqarah: 185)
Bagi yang tidak
puasa karena sakit, ia berkewajiban mengganti di selain bulan Ramadhan sesuai
dengan jumlah hari yang ia tinggalkan.
Wanita Haid atau
Nifas
Wanita haid tidak
boleh atau haram berpuasa di bulan Ramadhan sebagaimana perkataan ‘Aisyah x
ketika ditanya Mu’adzah bintu Abdurrahman:
“Mengapa orang yang haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?”
“Mengapa orang yang haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?”
‘Aisyah mengatakan,
“Apakah kamu seorang Khawarij? (karena orang-orang Khawarij mewajibkan mengqadha
shalat, red). Dahulu kami mengalami haid lalu kami diperintahkan untuk mengqadha
puasa dan tidak diperintah mengqadha shalat.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Riwayat ini
menunjukkan bahwa wanita haid di zaman Nabi n tidak berpuasa. Bahkan para ulama
mengatakan haram berpuasa dan jika berpuasa puasanya tidak sah. (Shifat Shaum
hlm. 59)
Sementara orang
yang nifas, para ulama menjelaskan bahwa hukum nifas sama dengan hukum haid.
Ibnu Rajab berkata, “Darah nifas hukumnya sama dengan darah haid pada apa yang
diharamkan dan apa yang digugurkan (karenanya). Telah terjadi ijma’/kesepakatan
(dalam masalah ini). Bukan hanya satu saja dari kalangan ulama yang menyebutkan
ijma, di antaranya Ibnu Jarir rahimahullah dan yang lainnya.” (Fathul Bari Syarh
al-Bukhari karya Ibnu Rajab,1/332)
Ibnu Qudamah
rahimahullah juga mengatakan, “Hukum wanita nifas sama dengan wanita haid pada
segala yang diharamkan atasnya dan pada kewajiban yang gugur darinya. Kami tidak
mengetahui ada khilaf (perbedaan pendapat) dalam masalah ini. Demikian pula
dalam masalah diharamkan menjima’inya, dihalalkan bersebadan (tanpa jima’), dan
menikmatinya pada selain kemaluan.” (al-Mughni, 1/432)
Bagi yang tidak
puasa karena haid atau nifas memiliki kewajiban meng-qadha pada selain bulan
Ramadhan sebagaimana dalam hadits di atas.
Orang yang Telah
Renta
Yang dimaksud di
sini adalah orang yang sudah lanjut usia, baik laki-laki maupun perempuan
sehingga ia tidak mampu lagi berpuasa. Orang yang keadaannya demikian mendapat
keringanan untuk tidak berpuasa. Hal itu berdasarkan firman Allah subhanahu
wata'ala:
“…Siapa yang sakit
di antara kalian atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (ia wajib
mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain, dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah
yaitu memberi makan seorang miskin.” (al-Baqarah: 184)
Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu 'anhuma mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang yang sudah tua
yang tidak sanggup lagi berpuasa. Maka sebagai gantinya adalah memberi makan
setiap harinya satu orang miskin setengah sha’ (kurang lebih 1,5 kg) dari
hinthah (gandum). (HR. ad-Daruquthni dalam Sunan-nya, 2/207 dan disahihkan
olehnya)
Jadi, orang yang tidak mampu berpuasa karena usia lanjut berkewajiban membayar fidyah untuk orang miskin sebagai ganti hari yang ia tinggalkan. Adapun fidyah insya Allah akan dijelaskan kemudian.
Jadi, orang yang tidak mampu berpuasa karena usia lanjut berkewajiban membayar fidyah untuk orang miskin sebagai ganti hari yang ia tinggalkan. Adapun fidyah insya Allah akan dijelaskan kemudian.
Orang Sakit yang
Tidak Diharapkan Kesembuhannya
Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu 'anhuma mengatakan, “…Tidak diberi keringanan dalam masalah ini
(tidak puasa lalu membayar fidyah) kecuali yang tidak mampu berpuasa atau orang
sakit yang tidak sembuh.” (HR. ath-Thabari dalam tafsirnya 2/138, an-Nasa’i,
1/318—319, dan al-Albani rahimahullah berkata sanadnya shahih)
Wanita Hamil dan
Menyusui
Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata tentang wanita yang menyusui, hukumnya adalah seperti
wanita hamil dalam segala urusannya seperti dalam penjelasan yang telah lalu.
(Syarhul ‘Umdah, 1/252)
Wanita hamil atau
menyusui mendapat keringanan untuk tidak berpuasa, sebagaimana terdapat dalam
riwayat Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiyallahu 'anhu:
Datang kepada kami
kuda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu aku dapati beliau sedang makan
siang, lalu beliau mengatakan, “Mendekatlah kemudian makanlah!”
Saya katakan,
“Sesungguhnya aku berpuasa.”
Beliau berkata
lagi:
أُدْنُ أُحَدِّثُكَ عَنِ الصَّوْمِ –أَوْ الصِّيَامِ-،
إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ
وَعَنِ الْحَامِلِ وَالمُرْضِعِ شَطْرَ الصَّوْمِ
“Mendekatlah, aku
beri tahu kamu tentang puasa, sesungguhnya Allah meletakkan dari seorang musafir
setengah shalat serta meletakkan puasa dari wanita yang hamil dan menyusui….”
(HR. Abu Dawud no. 2408. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan hasan
sahih dan diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi no. 715, an-Nasai no. 2273, serta
Ibnu Majah no. 1667)
Apa yang mesti
dilakukan oleh wanita yang meninggalkan puasa karena hamil atau menyusui? Para
ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Di antara pendapat yang ada:
1. Tidak wajib
mengqadha dan tidak membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ibnu Hazm (al-Muhalla,
6/262). Secara ringkas, alasan beliau adalah tidak adanya dalil yang mewajibkan
mengqadha atau membayar fidyah.
2. Wajib membayar
fidyah dan qadha jika ia meninggalkan puasa karena khawatir terhadap anak atau
janinnya, dan meng-qadha saja ketika khawatir atas dirinya sendiri. Ini adalah
pendapat al-Imam Ahmad yang masyhur (Fatawal Mar’ah, 1335). Alasan bagi yang
mengkhawatirkan dirinya, karena ia serupa dengan orang yang sakit atau seperti
orang yang khawatir akan mengalami sakit. Adapun yang khawatir atas janinnya, ia
juga wajib membayar fidyah sebab ia berbuka karena khawatir atas orang lain. Ini
lebih berat dari yang berbuka karena khawatir atas dirinya sendiri. Maka
diberatkan gantinya dengan diwajibkan juga membayar fidyah. Alasan lainnya
adalah hadits Anas bin Malik al-Ka’bi radhiyallahu 'anhu yang lalu dan tidak ada
(keterangan dalam hadits itu) kecuali digugurkannya pelaksanaan puasa pada
waktunya, bukan digugurkan qadhanya karena dalam hadits itu disebut musafir dan
musafir diletakkan darinya pelaksanaan pada waktunya saja (bukan qadhanya). Juga
karena dia berharap adanya kemampuan untuk mengqadha, maka hukumnya seperti
orang yang sakit. (Syarhul Umdah, 1/249]
3. Kewajibannya
hanya mengqadha. Ini adalah pendapat al-Auza’i , ats-Tsauri, al-Hasan, Abu
Hanifah, dan lainnya (al-Muhalla, 6/263, Jami’ Ahkamin Nisa’, 2/395). Dalilnya
adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu juga.
4. Kewajiban mereka
hanya membayar fidyah, tidak mengqadha. Ini adalah pendapat Abdullah Ibnu ‘Umar,
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, Qatadah rahimahullah, dan yang lainnya.
Pendapat terakhir
inilah yang saya cenderungi dengan beberapa alasan sebagai berikut:
1. Hadits Anas bin
Malik al-Ka’bi radhiyallahu 'anhu
Telah dijelaskan di
atas bahwa terdapat hadits dari Anas bin Malik al-Ka’bi bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah subhanahu wata'ala meletakkan
puasa dari seorang musafir—dalam sebuah riwayat—dan dari wanita hamil dan
menyusui. Sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan keduanya atau
salah satunya.”
Maksud dari
meletakkan puasa dari wanita hamil atau menyusui di sini, adalah tidak
diwajibkannya mengqadha, namun hanya wajib membayar fidyah. Dengan ini Ibnu
‘Abbas z berfatwa sebagaimana akan dibahas kemudian.
Yang menunjukkan
makna ini adalah bahwa Allah l telah menerangkan makna meletakkan puasa dari
seorang musafir dengan firman-Nya, “…maka barang siapa sakit atau safar maka
hendaknya menggantinya dengan hari yang lain…”
Lalu Allah
subhanahu wata'ala juga terangkan makna meletakkan puasa dari wanita hamil atau
menyusui dengan firman-Nya “…maka bagi yang mampu dengan kepayahan hendaknya
membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin…”
Ayat ini kemudian
berlaku pada orang yang sudah tua yang tidak mampu. Dan wanita hamil atau
menyusui digolongkan dengan mereka sehingga berkewajiban membayar fidyah saja
sebagaimana kata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma kepada seorang budak wanita
yang hamil atau menyusui:
“Engkau,
kedudukanmu seperti yang tidak mampu. Kewajibanmu memberi makan satu orang
miskin untuk setiap harinya dan tidak ada kewajiban qadha atasmu.” (HR.
ath-Thabari dengan sanad yang dikatakan asy-Syaikh al-Albani shahih sesuai
dengan syarat Muslim, al-Irwa’ [4/19]. Juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam
al-Mushannaf [4/219 no. 7567] tapi tanpa kata-kata “tidak ada kewajiban qadha”
dan Ibnu Hazm [al-Muhalla 6/263])
Juga Sa’id bin
Jubair berkata bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan kepada budaknya
yang hamil atau menyusui, “Engkau termasuk yang tidak mampu, kewajibanmu memberi
makan bukan mengqadha.” (HR. ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2/206 no. 8 dan ia
berkata sanadnya sahih)
2. Fatwa Ibnu ‘Umar
radhiyallahu 'anhuma
Terdapat beberapa
fatwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma dalam masalah ini, di antaranya:
- Beliau
mengatakan, wanita hamil dan menyusui berbuka serta tidak meng-qadha. (HR.
ad-Daruquthni 1/207 dan disahihkan olehnya)
- Seorang wanita
hamil bertanya kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma dan dijawab, “Berbukalah
dan berilah makan satu orang miskin sebagai ganti setiap harinya dan jangan kamu
mengqadha.” (HR. ad-Daruquthni dalam Sunan-nya, 2/207, dan Ibnu Hazm dalam
al-Muhalla, 6/263. asy-Syaikh al-Albani mengatakan sanadnya bagus, dalam Irwa’ul
Ghalil 4/20)
- Nafi’ bercerita
bahwa anak wanita Ibnu ‘Umar adalah istri orang Quraisy dan dia hamil lalu ia
haus di bulan Ramadhan. Maka beliau perintahkan untuk berbuka dan mengganti dari
hari (yang ditinggalkan) dengan memberi makan seorang miskin. (HR. ad-Daruquthni
dalam as-Sunan, 2/207 no.14. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan sanadnya sahih,
Irwa’ul Ghalil, 4/20)
- Abdullah bin
‘Umar radhiyallahu 'anhuma ditanya tentang wanita hamil jika khawatir pada
anaknya, beliau menjawab, “Hendaknya berbuka dan memberi makan untuk setiap
harinya satu orang miskin satu mud (sekitar 7,5 ons) dari gandum.” (HR.
asy-Syafi’i, al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra [4/230] dari Malik dan
Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [4/218 no. 7561] dan Ayyub, keduanya dari Nafi’
dari Ibnu ‘Umar z). Dalam lafadz Ayyub, “Jika khawatir atas dirinya.” (Shifat
Shaum an-Nabi, hlm. 84)
3. Fatwa Ibnu
‘Abbas radhiyallahu 'anhuma
Didapati beberapa
fatwa dari beliau, juga penjelasan ayat yang menunjukkan dengan jelas bahwa
beliau berpendapat hanya membayar fidyah dan tidak qadha. Di antaranya:
- Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu 'anhuma melihat budak wanitanya hamil atau menyusui maka beliau
mengatakan, “Kamu termasuk dari orang yang tidak mampu melakukan puasa, wajib
atas kamu jaza’ (memberi makan), dan tidak ada qadha atas dirimu.” (HR.
ad-Daruquthni dengan sanad yang disahihkannya [1/207], Shifat Shaum an-Nabi hlm.
85)
- Diriwayatkan
Ikrimah rahimahullah dari ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa
beliau berkata, “Telah ditetapkan bagi wanita hamil dan yang menyusui, yakni
firman-Nya, “Dan atas orang-orang yang mampu dengan payah.” (HR. Abu Dawud
disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud,
no. 2317)
- Beliau juga
mengatakan, “Pada firman Allah subhanahu wata'ala tersebut ada rukhshah
(keringanan) bagi orang yang sudah tua (kakek dan nenek) walaupun keduanya mampu
untuk berpuasa. Keduanya diberi keringanan untuk berbuka jika mau dan memberi
makan seorang miskin sebagai gantinya. Lalu (hukum) itu dihapus dengan firman
Allah subhanahu wata'ala (yang artinya), “Maka barang siapa di antara kalian
menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.” Rukhshah itu tetap bagi kakek dan
nenek yang tidak mampu berpuasa, juga bagi wanita hamil dan menyusui. Jika
keduanya khawatir, maka berbuka dan memberi makan satu orang miskin sebagai
ganti tiap harinya.” (HR. Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya 2/135, Ibnul Jarud, no.
381, dan al-Baihaqi, 4/230. Sanadnya disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam
Irwa’ul Ghalil, 4/18)
- Beliau juga
berkata, “Jika wanita hamil khawatir atas dirinya dan wanita yang menyusui
khawatir atas anaknya di bulan Ramadhan, maka keduanya (wanita hamil dan wanita
menyusui) berbuka serta memberikan makan untuk setiap harinya satu orang miskin
dan tidak mengqadha.” (asy-Syaikh al-Albani mengatakan riwayat ath-Thabari dalam
tafsirnya, sanadnya sahih sesuai syarat Muslim, ibid:19)
Riwayat-riwayat
Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma kaitannya dengan hal ini, bisa
dilihat secara rinci beserta penjelasan dan takhrijnya dalam Irwa’ul Ghalil
(4/17—25) pada takhrij hadits no. 912.
Dari nukilan di
atas, baik dari penjelasan dan fatwa Ibnu ‘Abbas maupun Ibnu ‘Umar radhiyallahu
'anhuma, tampak jelas bahwa wanita yang hamil atau menyusui menurut beliau
berdua tidak wajib mengqadha. Yang wajib adalah membayar fidyah, sama saja baik
khawatir atas dirinya, janin, maupun anaknya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam
riwayat-riwayat di atas yang sebagian hanya menyebut kekhawatiran atas dirinya,
sebagian menyebut khawatir atas anaknya, sebagiannya lagi sekadar menyebut jika
khawatir, bahkan sebagiannya tidak menyebutkan kekhawatiran sama sekali.
Pada semua keadaan
itu mereka menghukumi dengan hukum yang sama tanpa ada perincian apa pun. Jika
hukum mereka berbeda pada keadaan-keadaan itu tentu akan mereka jelaskan,
terlebih ketika berfatwa. Sementara kita tahu bahwa mengakhirkan keterangan di
saat dibutuhkan itu tidak boleh.
Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata, “Telah tetap wajibnya fidyah dari tiga sahabat dan tidak
diketahui ada yang menyelisihi mereka, dan mereka khilaf dalam masalah
mengqadhanya.” (Syarhul ‘Umdah,1/249)
Adapun pendapat
yang mengatakan jika khawatir atas anaknya maka tidak ada fidyah atas dirinya,
maka itu menyelisihi perkataan al-Imam Ahmad rahimahullah dan ucapan-ucapan
salaf. (Syarhul Umdah,1/253)
Ibnu Qudamah
rahimahullah juga berkata bahwa tidak ada yang menyelisihi Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu 'anhuma dalam hal ini dari kalangan sahabat. (al-Mughni, 3/21)
Tafsir Ibnu ‘Abbas
dihukumi marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam) karena tafsir
itu berkaitan dengan asbabun nuzul. (Shifat Shaum an-Nabi, hlm. 84)
Jika pendapat itu
seperti yang dikatakan Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah bahwa tidak ada yang
menyelisihi fatwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma atau Ibnu ‘Umar radhiyallahu
'anhuma, maka mestinya kita mengutamakan pendapat mereka berdua dari pendapat
yang lain. Pendapat ini juga merupakan Pendapat Sa'id bin Jubair, Al-Qasim bin
Muhammad, dan Qatadah. (Al-Mushannaf,4/216-218)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar