Ditulis oleh:
Al-Ustadz Hariyadi, Lc
Shalat tarawih
termasuk ibadah utama di bulan Ramadhan. Sering kita jumpai kaum muslimin
memiliki perbedaan dalam praktik shalat tarawih ini, utamanya dalam jumlah
rakaat. Uraian berikut insya Allah akan memperjelas mana di antara perbedaan
tersebut yang lebih kuat.
“Tarawih” dalam
bahasa Arab adalah bentuk jamak dari تَرْوِيحَةٌ, yang berarti waktu sesaat
untuk istirahat. (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)
Dan تَرْوِيحَةٌ
pada bulan Ramadhan dinamakan demikian karena para jamaah beristirahat setelah
melaksanakan shalat tiap-tiap empat rakaat. (Lisanul ‘Arab, 2/462)
Shalat yang
dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan dinamakan tarawih.
(Syarh Shahih Muslim, 6/39 dan Fathul Bari, 4/294)
Karena para jamaah
yang pertama kali berkumpul untuk shalat tarawih beristirahat setelah dua kali
salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat ditutup dengan salam kemudian
mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup dengan salam). (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan
Fathul Bari, 4/294)
Hukum Shalat
Tarawih
Hukum shalat
tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam
an-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa
menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah
subhanahu wata'ala, niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun
‘alaih)
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282).
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Beliau menyatakan
pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini
dalam Syarh Shahih Muslim (5/140) dan al-Majmu’ (3/526).
Ketika al-Imam an-Nawawi rahimahullah menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memperjelas kembali tentang hal tersebut, “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih, dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)
Ketika al-Imam an-Nawawi rahimahullah menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memperjelas kembali tentang hal tersebut, “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih, dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)
Mana yang lebih
utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau sendiri-sendiri di rumah?
Dalam masalah ini
ada dua pendapat:
Pendapat pertama,
yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.
Ini adalah pendapat
al-Imam asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan
al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hlm. 90), serta disebutkan pula oleh Ibnu
Qudamah dalam al-Mughni (2/605) dan al-Mirdawi dalam al-Inshaf (2/181) serta
sebagian pengikut al-Imam Malik dan lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan
al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (6/282) rahimahumullah.
Pendapat ini
merupakan pendapat jumhur ulama (al-Fath, 4/297). Pendapat ini pula yang
dipegang asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani rahimahullah. Beliau berkata,
“Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan dia (shalat
tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian…”
(Qiyamu Ramadhan, hlm.19—20).
Pendapat kedua,
yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.
Pendapat kedua ini
adalah pendapat al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut al-Imam
asy-Syafi’i. Hal ini disebutkan pula oleh al-Imam an-Nawawi. Rahimahumullah
(Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Adapun dasar
masing-masing pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Dasar pendapat
pertama:
1. Hadits
‘Aisyah radhiyallahu 'anha beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي
الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ
النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ
فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللهِ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ
رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ
إِلاَّ أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
“Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu
para sahabat mengikuti shalatnya, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua)
beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau
malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak keluar kepada
mereka, lalu ketika pagi harinya beliau n bersabda, ‘Sungguh aku telah melihat
apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada
kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian.’ Dan
(peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)
q Al-Imam an-Nawawi
rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah
(sunnah) secara berjamaah, akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri
kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus seperti shalat ‘Ied dan shalat
gerhana serta shalat istisqa’. Demikian pula shalat tarawih, menurut jumhur
ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan lihat pula al-Majmu’, 3/499, 528)
q Tidak adanya
pengingkaran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terhadap para sahabat yang shalat
bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam bulan Ramadhan. (al-Fath,
4/297 dan al-Iqtidha’, 1/592)
2. Hadits Abu
Dzar radhiyallahu 'anhu beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى
يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya
seseorang apabila shalat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya
(makmum) qiyam satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan
Ibnu Majah)
Hadits ini
disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud
(1/380). Berkenaan dengan hadits di atas, al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
mengatakan, “Hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan (tarawih).”
(al-Mughni, 2/606)
Asy-Syaikh
al-Albani rahimahullah berkata, “Apabila permasalahan seputar antara shalat
(tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara berjamaah dengan shalat
(yang dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-sendiri, maka shalat
(tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul lail
yang sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hlm. 26)
3. Perbuatan
‘Umar bin al-Khaththab dan para sahabat lainnya (Syarh Shahih Muslim, 6/282),
ketika ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu melihat manusia shalat di
masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian
dan ada pula yang shalat secara berjamaah. Kemudian beliau mengumpulkan manusia
dalam satu jamaah, dan dipilihlah Ubai bin Ka’b radhiyallahu 'anhu sebagai imam
(lihat Shahih al-Bukhari pada Kitab Shalat Tarawih).
4. Karena shalat
tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied.
(Syarh Shahih Muslim, 6/282)
5. Karena shalat
berjamaah yang dipimpin seorang imam lebih menyemangati bagi keumuman
orang-orang yang shalat. (Fathul Bari, 4/297)
Dalil pendapat
kedua:
Hadits dari sahabat
Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya
shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya
kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dengan hadits
inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di
rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjamaah. (Nashbur
Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282)
Pendapat yang rajih
(kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena hujjah-hujjah yang telah
tersebut di atas. Adapun jawaban pemegang pendapat pertama terhadap dasar yang
digunakan oleh pemegang pendapat kedua adalah:
q Bahwasanya
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan para sahabat untuk mengerjakan
shalat malam pada bulan Ramadhan di rumah mereka (setelah para sahabat sempat
beberapa malam mengikuti shalat malam secara berjamaah bersama Nabi shallallahu
'alaihi wasallam), karena kekhawatiran beliau shallallahu 'alaihi wasallam akan
diwajibkannya shalat malam secara berjamaah (Fathul Bari, 3/18). Kalau bukan
karena kekhawatiran ini niscaya beliau akan keluar menjumpai para sahabat (untuk
shalat tarawih secara berjamaah). (al-Iqtidha’, 1/594). Dan sebab ini
(kekhawatiran beliau n akan menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam (al-‘Aun, 4/248 dan al-Iqtidha’, 1/595). Karena
dengan wafatnya beliau shallallahu 'alaihi wasallam maka tidak ada kewajiban
yang baru dalam agama ini.
Dengan demikian
maka pemegang pendapat pertama telah memberikan jawaban terhadap dalil yang
digunakan pemegang pendapat kedua. Wallahu a’lam.
Waktu Shalat
Tarawih
Waktu shalat
tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلَاةً وَهِيَ الْوِتْرُ
فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Allah
telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat witir. Maka lakukanlah
shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar.” (HR. Ahmad.
Asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata, “[Hadits] ini sanadnya sahih,”
sebagaimana dalam ash-Shahihah, 1/221 no.108)
Jumlah Rakaat
Shalat Tarawih
Jumlah rakaat dalam
shalat tarawih adalah 11 rakaat, berdasarkan:
1. Hadits yang
diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah
radhiyallahu 'anha tentang sifat shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ
عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Tidaklah
(Rasulullah n) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula
pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. al-Imam al-Bukhari)
‘Aisyah
radhiyallahu 'anha dalam hadits di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat
malam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang telah beliau saksikan sendiri
yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan maupun bulan lainnya. “Beliaulah yang
paling mengetahui tentang keadaan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di malam
hari daripada lainnya.” (Fathul Bari, 4/299)
Asy-Syaikh
Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “(Jumlah) rakaat (shalat tarawih)
adalah 11 rakaat. Kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka sesungguhnya beliau shallallahu
'alaihi wasallam tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau shallallahu 'alaihi
wasallam wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hlm. 22)
2. Dari Sa’ib
bin Yazid beliau berkata,
أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ
وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً
“’Umar bin
al-Khaththab radhiyallahu 'anhu memerintahkan pada Ubai bin Ka’b dan Tamim
ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. al-Imam Malik,
lihat al-Muwaththa Ma’a Syarh az-Zarqani, 1/361 no. 249)
Asy-Syaikh
Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata dalam al-Irwa’ (2/192) tentang hadits
ini, “(Hadits) ini isnadnya sangat sahih.”
Asy-Syaikh Muhammad
al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “(Hadits) ini merupakan nash yang jelas dan
perintah dari ‘Umar radhiyallahu 'anhu, dan (perintah itu) sesuai dengannya
karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh
dengan As-Sunnah. Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak
melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa ‘Umar
radhiyallahu 'anhu akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).”
(asy-Syarhul Mumti’)
Adapun pendapat
yang menyatakan bahwa shalat tarawih itu jumlahnya 23 rakaat adalah pendapat
yang lemah karena dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat ini hadits-hadits
yang lemah. Di antara hadits-hadits tersebut:
1. Dari Yazid
bin Ruman beliau berkata,
كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً
“Manusia menegakkan
(shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu
'anhu 23 rakaat.” (HR. al-Imam Malik, lihat al-Muwaththa Ma’a Syarh az-Zarqani,
1/362 no. 250)
Al-Imam al-Baihaqi
rahimahullah berkata, “Yazid bin Ruman tidak menemui masa ‘Umar radhiyallahu
'anhu.” (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (sehingga sanadnya
munqathi’/terputus, red.).
Asy-Syaikh
Nashiruddin al-Albani rahimahullah mendha’ifkan hadits ini sebagaimana dalam
al-Irwa’ (2/192 no. 446).
2. Dari Abu
Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman, dari Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu 'anhuma:
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ
عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ
“Sesungguhnya Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR.
ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Ausath, 5/324 no. 5440 dan 1/243 no. 798, serta
dalam al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)
Al-Imam
ath-Thabarani rahimahullah berkata, “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari
Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali
dengan sanad ini saja.” (al-Mu’jamul Ausath, 1/244)
Dalam kitab Nashbur
Rayah (2/153) dijelaskan, “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang
lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadits yang shahih riwayat
Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu 'anha,
‘Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di bulan Ramadhan?
(yaitu dalil pertama dari pendapat yang pertama).’ Asy-Syaikh Nashiruddin
al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu).
(adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan al-Irwa’, 2/191 no. 445)
Sebagai penutup
kami mengingatkan tentang kesalahan yang terjadi pada pelaksanaan shalat tarawih
yaitu dengan membaca zikir-zikir atau doa-doa tertentu yang dibaca secara
berjamaah pada tiap-tiap dua rakaat setelah salam. Amalan ini adalah amalan yang
bid’ah (tidak diajarkan oleh Nabi n).
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar