Seputar
Berbuka Puasa
Menyegerakan
Berbuka
Disunnahkan untuk
menyegerakan buka puasa setelah yakin kalau matahari telah terbenam. Dari hadits
Sahl bin Sa’ad t bahwa Nabi r bersabda:
لَا يَزَالُ اَلنَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا
اَلْفِطْرَ
“Terus-menerus
manusia berada dalama kebaikan selama mereka masih menyegerakan buka puasa.”
(HR. Al-Bukhari no. 1757 dan Muslim no. 1098)
Dan dari Abu
Hurairah secara marfu’, “Terus-menerus agama ini akan nampak selama manusia
masih menyegerakan berbuka. Karena orang-orang Yahudi dan Nashrani
mengakhirkannya.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam
Al-Jami’ Ash-Shahih: 2/420)
Al-Hafizh berkata
dalam Al-Fath (1957), “Para ulama bersepakat bahwa waktu berbuka puasa adalah
setelah pastinya matahari terbenam, baik dengan rukyat maupun dengan pengabaran
dari dua orang yang adil, demikian halnya satu orang berdasarkan pendapat yang
kuat.”
Ibnu Abdil Barr
berkata dalam At-Tamhid (7/181), “Penyegeraan berbuka hanya dilakukan setelah
diyakini terbenamnya matahari. Tidak boleh ada seorang pun yang berbuka dalam
keadaan dia ragu apakah matahari sudah terbenam atau belum, karena sebuah
kewajiban, jika dia wajib dengan keyakinan maka tidak boleh keluar darinya
kecuali dengan keyakinan pula.”
Doa Berbuka
Puasa
Sebelum berbuka
puasa maka diwajibkan seseorang untuk membaca basmalah, berdasarkan keumuman
hadits Umar bin Salamah riwayat Muslim tatkala Nabi r bersabda kepadanya:
يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ
مِمَّا يَلِيْكَ
“Wahai anak
kecil, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari
makanan yang terdekat denganmu.”
Adapun hadits:
اللَّهُمَّ
لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Ya Allah hanya
untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezki-Mu aku berbuka.” (HR. Abu Daud no.
2358)
Maka dia
diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dan dalam sanadnya ada Abdul Malik bin Harun bin
Antarah yang dia meriwayatkan dari ayahnya. Sedangkan dia adalah matrukul hadits
sementara ayahnya adalah rawi yang dhaif.
Diriwayatkan pula
oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dan Ash-Shaghir, sedang dalam sanadnya ada
Ismail bin Amr -dhaif- dan Daud bin Az-Zibriqan -rawi yang matruk-.
Adapun hadits Ibnu
Umar secara marfu’:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ
الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Telah sirna
dahaga, urat-urat telah basah dan pahala telah tetap insya Allah Ta’ala.”
(HR. Abu Daud no. 2357)
Maka ada perbedaan
di kalangan ulama belakangan dalam hukumnya. Asy-Syaikh Al-Albani
menshahihkannya, sementara Asy-Syaikh Muqbil melemahkannya karena di dalam
sanadnya ada Marwan bin Salim Al-Muqfi’. Al-Hafizh dalam At-Taqrib berkata
tentangnya, “Maqbul,” dan istilah ini biasa beliau gunakan untul rawi yang
majhul al-hal, wallahu a’lam.
Ala kulli hal,
kalaupun haditsnya shahih, maka lahiriah hadits menunjukkan doa ini dibaca
setelah menyantap buka puasa, bukan sebelumnya. Karena doa ini datang dalam
bentuk fi’il madhi (keta kerja lampau), “Telah hilang dahaga, urat-urat telah
basah,” sementara dahaga tidak mungkin hilang kecuali setelah minum, wallahu
a’lam.
Disunnahkan memberi ifthar
(buka puasa)
Berdasarkan hadits
Zaid bin Khalid Al-Juhani bahwa Nabi r bersabda:
“Barangsiapa
yang memberi makan buka puasa kepada orang yang berpuasa maka akan dituliskan
untuknya pahala seperti pahalanya, hanya saja tidak dikurangi sedikit pun dari
pahala orang yang berpuasa.” (HR. At-Tirmizi no. 807, An-Nasai dalam
Al-Kubra: 2/256 dan Ibnu Majah no. 1746)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar