Radio Muwahiddin

Kamis, 02 Februari 2012

Muhadharah Bersama Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman Lombok

Muhadharah Bersama Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman Lombok

--------------------------------------------------------------------------------------------------------


بسم الله الرحمن الرحيم

MUHADHARAH BERSAMA AL-USTADZ ABU USAMAH ABDURRAHMAN LOMBOK

Dalam Kunjungannya ke Ma’had As-Salafy Jember, 11 November 2008




————————————————————–

WASIAT RASULULLAH SHALALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM

KEPADA ABUL ABBAS ‘ABDULLAH BIN ABBAS RADHIALLAHU ‘ANHUMA:



عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ يَوْمًا، فَقَالَ « يَا غُلاَمُ إِنِّى أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ، احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ. وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَىْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَىْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَىْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَىْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ ». رواه أحمد والترمذي

Dari shahabat Ibnu ‘Abbas berkata : Dulu suatu hari aku pernah membonceng di belakang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau berkata : “Wahai anak, sungguh aku akan mengajarimu beberapa kata : Jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya berada di hadapanmu. Apabila engkau meminta maka memintalah kepada Allah, dan apabila engkau minta pertolongan, mintalah pertolongan dari Allah. Ketahuilah, bahwa kalau seandainya umat ini bersatu untuk memberimu manfaat dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu memberikan manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan untukmu. Dan kalau seandainya umat bersatu untuk memadharatkan kamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan bisa memberikan madharat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan atasmu. Telah terangkat pena dan telah telah kering lembaran.” Diriwayatkan oleh Ahmad (I/293) dan At-Tirmidzi no. 2516.





v Wasiat 1: “Jagalah Allah Azza wa Jalla niscaya Allah Azza wa Jalla akan menjagamu.”

Sebagian ulama berkata dalam menafsirkan hadits ini, bahwa makna “jagalah Allah” adalah jagalah perintah-perintah Allah untuk kemudian kita laksanakan, dan jagalah larangan-larangan Allah untuk selanjutnya kita tinggalkan. Dengan menjaga itu semua niscaya Allah Tabaraka wa Ta’ala akan memberikan balasan-Nya berupa penjagaan kepada kita dalam hal:
Penjagaan Allah Tabaraka wa Ta’ala dalam urusan dunianya.

Allah Tabaraka wa Ta’ala akan menjaga badannya dari sakit, juga harta bendanya, serta anak istrinya, dan segala hal yang berkaitan dengan dunianya. Semuanya Allah jaga dengan perlindungan-Nya yang Maha Sempurna yang merupakan bentuk jaza` (pahala) yang dipersiapkan oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala disebabkan hamba itu telah menjaga aturan-aturan Allah Azza wa Jalla. Sebaliknya, jika hamba itu tidak mau menjaga aturan-aturan yang telah Allah tetapkan dengan melakukan kemaksiatan, maka Allah tidak akan menjaga hamba tersebut. Karena kemaksiatan itu dapat berpengaruh kepada seorang hamba baik pada badannya, kendaraannya, maupun terhadap anak dan istrinya. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Jawabul Kafi Liman Sa’ala ‘anid Dawa`isy Syafi, telah menyebutkan bagaimana pengaruh maksiat terhadap kehidupan pribadi seorang muslim baik pada dirinya, harta bendanya, bahkan pengaruh maksiat tersebut tampak pada istrinya. Allah Tabaraka wa Ta’ala telah berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (97) [النحل/97]

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)

Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai syahid (penguat) dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu”, yaitu Allah Azza wa Jalla akan memberikan kehidupan yang baik apabila seorang hamba benar-benar menjaga bimbingan dan aturan Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Maka sungguh sangat keliru jika ada seorang hamba yang sedang mengalami suatu masalah, lalu berfikir untuk mengambil jalan pintas dengan melanggar aturan-aturan Allah, dengan tujuan agar problemnya cepat terselesaikan. Karena problem dan masalah itu semuanya datang dari Allah dan Allah-lah yang akan mengangkatnya jika kita mau melaksanakan segala yang diridhai dan dicintai oleh Allah. Inilah makna dari firman Allah Azza wa Jalla:

وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا (4) [الطلاق/4]

“Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath Thalaq: 4)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

« اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ … »

“Hendaklah engkau bertaqwa kepada Allah dimana saja engkau berada.” [HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ad-Darimi]


Penjagaan Allah terhadap agamanya

Meliputi dua hal:

a. Dijaga hatinya dari syubuhat (kerancuan berfikir dan memamahi agama)

Maksudnya yaitu Allah Tabaraka wa Ta’ala akan menjaga dan memelihara hatinya dari pengaruh kerusakan syubuhat yang akan menjatuhkan dirinya kepada kesesatan dan penyimpangan dari agama ini. Bukankah ketika seseorang memilih kesesatan atau cenderung kepada kesesatan Allah kemudian membalikkan hatinya dari kebenaran menuju kesesatan. Inilah balasan Allah Tabaraka wa Ta’ala kepada orang-orang yang mencoba melanggar larangan Allah. Allah Azza wa Jalla tegaskan dalam firman-Nya:

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ [الصف/5]

“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” (Ash Shaf: 5)

- Termasuk dari nikmat Allah Tabaraka wa Ta’ala yang sangat besar adalah penjagaan-Nya terhadap hati kita dari syubuhat. Kata para ulama;

القلوب ضعيفة، والشبهات خطافة

“Hati kita ini sungguh lemah, sementara syubuhat itu menyambar amat keras.”

- Sungguh tidak ada syubuhat yang paling dahsyat bagi seorang muwahhid (seseorang yang bertauhid) kecuali apa yang dilakukan oleh Iblis dalam mengkaburkan aqidah tauhidnya. Tidak ada kendaraan yang paling berbahaya bagi seorang muslim yang akan ditunggangi oleh Iblis dan bala tentaranya kecuali hawa nafsu yang selalu menyuruh kepada perbuatan maksiat.

- Kata Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah: “Kalaulah bukan karena kehendak Allah, niscaya kita akan termasuk dari orang-orang yang disesatkan oleh Allah.”

b. Dijaga jawarih-nya (anggota tubuhnya) dari segala keinginan syahawat (hawa nafsu)

Allah jaga telinga kita dari mendengar apa-apa yang dimurkai oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala, juga mata kita, tangan, dan kaki kita, yang semuanya itu adalah jaza` (balasan) dari Allah Tabaraka wa Ta’ala atas apa yang telah kita korbankan dalam ketaatan kepada-Nya.

v Wasiat 2: “Jagalah Allah niscaya engkau akan menjumpai-Nya di hadapanmu.”

- Kata sebagian ulama ketika men-syarh (menjelaskan) hadits ini, “yaitu pertolongan dan pembelaan Allah akan engkau dapatkan dan engkau jumpai tatkala engkau menjaga batasan-batasan Allah Tabaraka wa Ta’ala.”

- Sehingga tidak ada seorangpun yang taat kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala kemudian Allah lepaskan perlindungan dan pembelaan darinya. Allah tegaskan hal ini dalam sebuah hadits qudsi:

« مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ! »

“Barangsiapa yang menentang dan melawan wali-Ku, maka Aku akan umumkan peperangan dengannya!” [HR. Al-Bukhari]

Inilah bentuk pembelaan dan pertolongan Allah Tabaraka wa Ta’ala terhadap wali-wali-Nya. Mereka adalah sebagaimana yang Allah jelaskan sendiri dalam kalam-Nya:

أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63) [يونس/62، 63]

“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (Yunus: 62-63)



- Al-Imam Asy-Syafi’I rahimahullah berkata ketika ditanya tentang wali Allah: “Jikalau kalian melihat seseorang bisa berjalan di atas air atau bisa terbang di udara, maka jangan sekali-kali kalian mempercayainya bahwa dia wali Allah. Jangan sampai kalian tertipu dengannya sampai kalian mengetahui bagaimana ittiba’nya (mencontoh-nya) dia terhadap Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.“

- Allah Tabaraka wa Ta’ala tidak akan membiarkan hamba-Nya yang beriman dan taat mengalami kesulitan dan kesedihan walaupun dia berada di tempat yang paling berbahaya sekalipun. Allah Tabaraka wa Ta’ala tetap akan memberikan barakah-Nya kepada hamba tersebut. Pelajaran yang sangat berharga dapat kita peroleh dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan istrinya Hajar, di mana kisah ini telah dishahihkan oleh Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah, yaitu ketika Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk membawa istri dan anaknya yaitu Isma’il ‘alaihissalam (yang pada waktu itu masih dalam gendongan) ke sebuah kota yang gersang dan tandus tak berpenghuni. Ketika sudah sampai di kota tersebut, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan mereka dan kembali ke Palestina. Melihat hal itu, Hajar berteriak: “wahai Ibrahim..!!”, tetapi Nabi Ibrahim tidak menoleh dan terus berjalan. Kemudian Hajar berteriak lagi: “Allah-kah yang memerintahkan engkau berbuat demikian?”, mendengar itu, Nabi Ibrahim menoleh dan berkata: “iya benar”, setelah itu Nabi Ibrahim melanjutkan perjalanannya. Kemudian Hajar berkata: “kalau demikian Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.” Inilah dia wanita yang terdidik di atas aqidah yang shahih dan tauhid yang benar dari seorang Abul Muwahhidin (bapak orang-orang yang bertauhid), sehingga ia mempunyai sikap dan keyakinan bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan orang yang berbuat taat kepada-Nya.

- Ini adalah nasehat yang agung dari lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada shahabat ‘Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma dan bagi kita semuanya, terlebih lagi bagi orang-orang yang mengikuti dakwah yang benar ini sangat membutuhkan segalanya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. Tatkala dia mendapatkan caci makian, celaan, bahkan tahdzir (peringatan keras) dalam hidupnya, dia akan mengembalikan urusannya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.

- Tersebutlah suatu kisah dari Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dari penuturan putri beliau hafizhallah bahwa tatkala beliau duduk di majelisnya, datang sebagian ikhwan yang melaporkan bahwa orang-orang sedang membicarakan beliau. Tetapi beliau tidak terus marah atau mencoba bertanya tentang apa yang dibicarakan itu. Kata beliau: “Bahaya dosaku terhadap diriku itu lebih aku khawatirkan dari pada bahaya ucapan mereka tentang diriku.”

- Yakinlah di mana saja engkau berada, selama engkau beriman dan taat kepada Allah, maka Allah subhanahu wata’ala tidak akan menyia-nyiakan hidupmu. Sekecil apapun sumbangsihmu terhadap dakwah ini, selama engkau luruskan niatmu hanya untuk Allah maka Allah subhanahu wata’ala akan mengganti yang kecil tersebut menjadi besar, dan yang ringan akan menjadi berat di sisi Allah Tabaraka wa Ta’ala.

- Nasehat ini mengandung isyarat bahwa setiap hamba harus senantiasa berusaha memperbaiki hubungan dirinya dengan Allah Tabaraka wa Ta’ala untuk kemudian yakin apabila semuanya telah lurus dengan apa yang disyariatkan oleh Allah, jangan putus asa terhadap ujian yang menimpanya, semoga itu menjadi ladang amal shalih untuk mencari amal shalih yang berikutnya. Bukankah dengan ujian itu akan mendatangkan pahala dari sisi Allah Azza wa Jalla jika kita bersabar?

v Wasiat #3: Apabila engkau meminta maka mintalah kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, dan apabila engkau meminta tolong maka mintalah tolong kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.

- Kata para ‘ulama, bahwa bimbingan ini dimaksudkan agar seorang hamba selalu menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. Kita butuh segala-galanya pada-Nya, maka kita minta kepada Allah. Bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tetap meminta kepada Allah walaupun hanya dalam urusan yang sangat kecil yaitu ketika tali sandalnya putus. Tetapi bukan berarti kita tidak diperbolehkan meminta tolong kepada saudara kita. Selama dia memiliki kemampuan untuk melakukannya maka hal itu boleh dalam agama. Hal ini Allah Azza wa Jalla beritakan dalam kalam-Nya yang mulia:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ [المائدة/2]

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma`idah: 2)

- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menyebutkan kandungan ayat dalam firman Allah :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) [الفاتحة/5]

“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (Al Fatihah: 5)

Beliau berkata: “Aku mempelajari dan merenungi tentang do’a yang paling bermanfaat, ternyata do’a yang paling bermanfaat itu adalah meminta kepada Allah untuk memberikan bantuan dalam mewujudkan ketaatan kepada Allah. Aku kemudian menggali dan mempelajari permintaan yang paling bermanfaat bagi seorang hamba tersebut ternyata terdapat di dalam firman Allah Azza wa Jalla:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) [الفاتحة/5]

“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (Al Fatihah: 5)

- Wasiat ini mengingatkan kita semua agar selalu bertawakkal atas segala usaha yang kita tempuh kepada Allah Azza wa Jalla. Menyerahkan semua hasil dan nilainya kepada Allah. Terlebih kepada thullabul ilmi (penuntut ilmu agama), dan para huffazh (para penghafal Al Qur’an), untuk senantiasa meminta bantuan kepada Allah karena dia sedang berusaha melakukan suatu amalan yang sangat besar dalam agama, bahkan para ulama menyebutkan; “jihad yang paling besar di masa ini adalah mempelajari agama Allah.” hendaknya selalu meminta bantuan kepada Allah karena ini adalah suatu amalan ketaatan, agar Allah memberi keistiqomahan padanya.

- Semoga wasiat aqidah kepada Ibnu Abbas ini dapat menjadi renungan bagi diri kita bahwa semua yang kita harapkan dari sisi Allah tidak akan bisa didapatkan melainkan dengan usaha yang besar. Hal ini Allah tegaskan di dalam firman-Nya:

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (72) [الزخرف/72]

“Dan itulah al-jannah yang diwariskan kepada kalian disebabkan amal-amal yang dahulu kalian kerjakan.” (Az Zukhruf: 72)

Maka semuanya butuh pengorbanan dan perjuangan yang tidak kecil, ketika seseorang ingin meraih jannah Allah Tabaraka wa Ta’ala. Jembatan yang paling mudah dan memudahkan untuk menuju jannah tersebut adalah thalabul ‘ilmu (menuntut ilmu agama), sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :

« وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ ».

“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, niscaya Allah akan mudahkan baginya dengannya (ilmu tersebut) jalan menuju al-jannah.” [HR. Muslim]

Ilmu-lah jalan yang paling mudah dan memudahkan untuk mencapai jannah Allah Tabaraka wa Ta’ala. Inilah yang telah memudahkan jalan Abu Bakr Ash-Shiddiq, ‘Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, serta seluruh para shahabat yang lain radhiallahu ‘anhum untuk meraih kemuliaan di dunia dan di akhirat.



Wallahua’lam bish shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."