Bimbingan dan Nasehat Ulama
Dikala Fitnah Melanda
(Berikut Contoh-contohnya)
بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وآله من اتبع هداه؛ ثم أما بعد؛
Sesungguhnya sejak Hadadiyyah menyalakan
apinya dan semakin dahsyat kobarannya, para ulama -yang mereka itu
adalah orang-orang yang bijak- segera bangkit untuk berusaha
memadamkannya dengan mencabut habis sumber apinya dari para pengusungnya
-diantara mereka adalah Mahmud Al-Haddad, lalu Abdul Lathif Basymil,
kemudian Falih Al-Harby- dan para ulama itu pun berusaha membangun pagar
pelindung yang mencegah gejolak apinya agar jangan sampai mengenai
orang-orang yang istiqamah di atas al-haq dan mengikuti petunjuk.
Hanya saja fitnah yang paling dahsyat
adalah pada kasus Falih Al-Harby di mana belum lama ini dia menampakkan
sikap menempuh jalan di belakang rombongan para ulama yang karenanyalah
dia mendapatkan tazkiyah dan sanjungan. Kemudian tatkala dia telah
mengubah arah jalannya menuju rombongan Hadadiyyah, maka tidak ada
pilihan lain kecuali membatalkan sanjungan ini dan berbalik
memperingatkan bahaya fitnahnya yang buta. Ketika itu sebagian pemuda mengalami kegoncangan dalam kegelapan kebingungan dan keraguan serta menyatakan: “Kami
telah bosan terhadap manhaj ini -maksudnya manhaj membabat habis-, hari
ini diberi tazkiyah dan sanjungan, tetapi keesokan harinya tidak
tersisa lagi semua itu.”
Mereka juga mengatakan: “Manhaj ini
-yaitu yang tidak diikuti ulama lain- yang masuk padanya adalah
Asy-Syaikh Rabi’, Asy-Syaikh An-Najmy, Asy-Syaikh Zaid Al-Madkhaly,
Asy-Syaikh Ubaid, Asy-Syaikh Muhammad bin Hady serta Asy-Syaikh Falih.
Tetapi sekarang mereka telah mengubah sikap dan yang
tersisa hanya Falih, maka segala sesuatunya disandarkan kepadanya, dan
ini dengan persaksian ulama yang lain.”
Lisanul hal mereka mengatakan:
مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ إِلا غُرُورًا (١٢)
“Tidaklah yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya selain tipu daya.” (QS. Al-Ahzab: 12)
Pandangan mereka telah berubah arah dan mereka menyangka terhadap Allah dengan berbagai persangkaan yang buruk.
Maka saya katakan kepada pemuda yang bingung seperti ini:
Tidak diragukan lagi bahwa perkara ini
adalah fitnah, tetapi ini merupakan sunnatullah terhadap
hamba-hamba-Nya dengan menguji sebagian mereka dengan sebagian yang lain
untuk memisahkan yang buruk dari yang baik, dan agar hidup orang yang
hidup di atas hujjah yang jelas serta agar binasa orang yang binasa
setelah mengetahui hujjah yang jelas pula. Jadi kalau kita menghendaki
dunia tanpa ujian maka berarti kita menghendaki jannah di
kehidupan dunia. Ini tentunya menyelisihi sunnatullah, karena kedamaian
yang hakiki dan abadi adalah di sana di negeri kekekalan.
Adapun keadaan hamba-hamba Allah hanya
ada dua; orang yang beristirahat atau orang yang orang lain istirahat
darinya. Hal ini berdasarkan riwayat di dalam Ash-Shahihain dari Abu
Qatadah (Harits) bin Rib’iy Al-Anshary yang menceritakan bahwa suatu
hari ada jenazah yang lewat dibawa oleh manusia di hadapan Rasulullah
shallallahu alaihi was salam, maka beliau bersabda:
“Dia adalah orang yang beristirahat, atau orang lain istirahat darinya.”
Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa maksudnya orang yang beristirahat, atau orang lain istirahat darinya?”
Beliau menjelaskan:
“Seorang hamba mu’min beristirahat dari
keletihan dunia dan hal-hal yang menyakitinya menuju rahmat Allah,
sedangkan seorang hamba yang fajir maka hamba-hamba Allah yang lainnya,
negeri-negeri, pepohonan dan binatang-binatang beristirahat dari
kejahatannya.”[1]
Maka saya menasehatkan para pemuda
tersebut agar mereka jujur terhadap diri mereka sendiri di dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut agar kita bisa berhenti tepat di
tempat penyakitnya:
Pertama: Sudahkah kalian mempelajari
sedikit saja dari kitab-kitab akidah salafiyah dengan bimbingan para
ulama kibar dengan sikap mempelajari seorang yang penuh perhatian serta
semangat untuk mendapatkan pemahaman dan ilmu? Sudahkah kalian
mempelajari kitab-kitab seperti; Al-Ushul Ats-Tsalatsah, At-Tauhid,
Al-Wasithiyyah, Ath-Thahawiyyah, As-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad,
As-Sunnah karya Al-Barbahary, As-Sunnah karya Ibnu Abi Ashim, As-Sunnah
karya Al-Khalal, Asy-Syari’ah karya Al-Aajurry serta kitab-kitab akidah
lainnya? Pernahkah kalian mendengar penjelasan-penjelasan Ibnu Baz, Ibnu
Utsaimin, Al-Fauzan, An-Najmy, Al-Abbad, Rabi’ serta ulama besar yang
lainnya terhadap sebagian kitab-kitab tersebut?
Kedua: Sudahkah kalian mempelajari
sedikit saja kitab-kitab yang ditulis dalam rangka menjelaskan
prinsip-prinsip dasar dakwah salafiyah dalam membantah orang yang
menyelisihi al-haq serta memperingatkan agar menjauhi ahlul bida’ wal
ahwa’, yang mana termasuk yang paling besar dan paling lengkap di zaman
kita ini adalah apa yang ditulis oleh Fadhilatusy Syaikh Al-Allamah
Rabi’ bin Hady Al-Madkhaly hafizhahullah?
Ketiga: Pahamkah kalian kenapa para ulama mentahdzir Asy-Syaikh Falih padahal mereka belum lama ini menyanjungnya?
Dan saya meminta ijin kepada kalian untuk
menjawabnya mewakili kalian karena jawabannya sangat jelas dan terang
bagi siapa saja yang memiliki pandangan yang tajam.
Jawaban pertama: Yang nampak
kalian tidak meraih bagian yang cukup dari mempelajari kitab-kitab
tersebut, karena itulah kalian jatuh dalam kebingungan, keraguan dan
kebimbangan yang mana tidak akan terjatuh padanya kecuali orang yang
lemah ilmunya yang kakinya belum kokoh dalam memahami akidah salafiyyah.
Demikian juga jawaban pertanyaan kedua:
Seandainya kalian benar-benar telah mempelajari kaedah-kaedah
salafiyyah di dalam membantah orang yang menyelisihi al-haq, niscaya
kalian tidak akan bosan terhadap banyaknya bantahan-bantahan terhadap
orang-orang yang menyelisihi al-haq, dan niscaya kalian akan mengerti
bahwa ini adalah prinsip agung dari prinsip-prinsip manhaj yang benar
ini yang dengannyalah prinsip-prinsip pokok yang lain akan terjaga serta
dengan cara seperti itulah kita bisa membedakan seorang sunny salafy
dari seorang mubtadi’ yang suka melakukan atau memunculkan hal-hal yang
baru di dalam agama.
Maka apakah kalian merasa bosan terhadap manhaj salaf atau bagaimana jika kalian memang memahami?
Jika kalian mengatakan: Apakah wajib atas kami untuk mempelajari kitab-kitab ini?
Saya katakan: Apakah boleh bagi kalian untuk mengeluarkan vonis terhadap para ulama tanpa ilmu?
Jika kalian mengatakan: Tetapi apakah
prinsip-prinsip pokok salafiyyah ini membolehkan kekacauan ini dengan
cara meninggikan manusia di atas langit yang tinggi kemudian menjatuhkan
mereka dalam sekejap mata ke tempat yang paling rendah?!
Saya katakan: Ini merupakan sikap kalian
yang berlebihan yang kalian ditimpa olehnya karena kebodohan kalian yang
pertama yaitu terhadap prinsip-prinsip ini, dan yang kedua karena
kebodohan kalian terhadap hakekat perkara-perkara yang terjadi. Dan akan
datang kepada kalian tambahan rinciannya pada jawaban pertanyaan yang
ketiga.
Jawaban ketiga: Sesungguhnya kalian menimbang perkara-perkara dengan timbangan perasaan, karena
itulah kalian menganggap bahwa tahdzir para ulama terhadap Falih
Al-Harby -atau terhadap siapa saja yang kemarin masih di atas manhaj
salaf- muncul karena faktor-faktor dan kepentingan-kepentingan pribadi,
dan dengan khayalan-khayalan kalian yang rusak kalian membayangkan bahwa
manhaj salaf adalah wilayah yang dikuasai oleh para ulama sehingga
mereka bisa memasukkan siapa yang mereka inginkan ke dalam kerajaan
mereka dari orang-orang yang mereka cintai dengan hawa nafsu mereka,
dan mereka juga bisa mengeluarkan darinya siapa saja yang mereka
kehendaki dari orang-orang yang mereka benci. Demikian tanpa ada
dasarnya sama sekali.
Dan sesungguhnya hampir-hampir saya
memastikan bahwa orang-orang yang bingung itu tidak membaca sedikitpun
bantahan-bantahan para ulama terhadap Falih dan mereka tidak memahaminya
sedikit-pun. Tetapi mereka menjadikan telinga mereka sebagai
alat-alat untuk menangkap berbagai syubhat dari sana sini dan mereka
menutup mata mereka dari memperhatikan apa yang ditulis para ulama
berupa baris-baris tulisan yang terang dengan cahaya dalil-dalil.
Saudara-saudaraku -baarakallahu
fikum-: sesungguhnya para masayikh yaitu Rabi’ bin Hady, Ahmad An-Najmy,
Zaid Al-Madkhaly, Ubaid Al-Jabiry dan Muhammad bin Hady bukanlah
orang-orang yang memiliki manhaj yang terpisah dari masyayikh yang
lainnya seperti Al-Fauzan, Al-Abbad, Ar-Rajihy, Abdul Aziz Alus Syaikh
(mufti Saudi Arabia), Shalih Alus Syaikh (menteri agama Saudi Arabia)
serta para ulama yang lainnya.
Hanya saja kesibukan para ulama yang
disebutkan pertama terhadap ilmu jarh wa ta’dil lebih banyak
dibandingkan para ulama yang disebutkan kedua, mungkin ini adalah sebab
yang menjadikan orang-orang yang bingung itu seperti yang dikatakan di
atas, sehingga orang yang tidak bisa memahami dengan benar menyangka
bahwa para ulama yang disebutkan pertama itu menyendiri dengan manhaj
ini, dan dengan kebodohannya dia mengatakan: “Seandainya para ulama yang
disebutkan pertama itu di atas kebenaran, niscaya para ulama yang
disebutkan kedua itu akan ikut menempuh jalan mereka.”
Padahal di setiap zaman sekelompok ulama
ada yang menyibukkan diri dengan ilmu yang mulia ini yaitu jarh wa
ta’dil, sementara ulama yang lainnya tidak melakukannya. Namun kelompok
yang ini tidak mencela yang itu dan kelompok yang itu tidak mencela yang
ini.
Saudara-saudaraku, di zaman Al-Imam Ahmad
terdapat puluhan ulama besar, tetapi apakah sebab yang telah
meninggikan kedudukan Ahmad di atas para ulama besar yang lainnya itu
sehingga beliau digelari Imam Ahlus Sunnah? Sebabnya karena pembelaan
beliau yang besar terhadap salah satu dari prinsip-prinsip dasar akidah,
kemudian juga tahdzir beliau terhadap siapa saja yang menyelisihi
prinsip ini dan masuk ke dalam kelompoknya.
Tidak ada yang selamat dari pedang tajam
(sikap keras) Al-Imam Ahmad dari sekelompok ulama besar yang mengikuti
kemauan Al-Ma’mun ketika mereka diuji apakah mereka meyakini bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk karena takut disiksa. Dan diantara mereka ada
yang merupakan teman dekat beliau ketika menuntut ilmu yaitu Yahya bin
Ma’in, Ali bin Al-Ja’d, Siduya, Ubaidullah bin Umar Al-Qawariry, Ali bin
Al-Madiny, Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb, Abu Nashr At-Tammar serta
ulama lainnya yang disebutkan oleh Ibnul Jauzy di dalam kitab Manaqib
Ahmad hal. 519.
Dan Ibnul Jauzy menyebutkan di hal. 523
bahwa Abu Khaitsamah datang mengetuk pintu rumah Al-Imam Ahmad, ketika
beliau keluar lalu melihatnya maka beliau menutup pintu dan kembali
dalam keadaan marah sambil mengatakan kata-kata pedas yang didengar oleh
Abu Khaitsamah sehingga dia kembali lagi. Dan ketika Yahya bin Ma’in
menjenguk beliau sewaktu beliau sakit, beliau memalingkan punggungnya
dan tidak mau mengajaknya bicara hingga Yahya bin Ma’in bangkit
meninggalkan beliau sambil menggerutu dengan mengatakan: “Setelah
persahabatan yang lama, saya tidak diajak bicara lagi?!”
Al-Imam Ahmad tidak menganggap mereka
memiliki udzur, lalu apakah ada orang yang merasa bersikap adil akan
berani mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad telah membawa manhaj yang aneh dan
keras yang dengannya beliau berseberangan dengan para ulama di masa
beliau?!
Apakah ada yang berani mengatakan bahwa
Al-Imam Ahmad telah menggunakan manhaj yang tidak diikuti ulama lain
terhadap shahabat beliau di dalam menuntut ilmu. Setelah dahulu beliau
menganggapnya sebagai imam yang diutamakan, beliau babat habis dan
mentahdzirnya?!
Apakah ada yang berani mengatakan
bahwa Al-Imam Ahmad adalah orang yang melampaui batas di dalam melakukan
jarh karena beliau tidak berusaha mencarikan udzur untuk para ulama
besar itu?!
Ataukah seperti yang dikatakan oleh Ibnul Jauzy di hal. 525:
“Jika ada yang mengatakan: Kalau
dipastikan bahwa para ulama itu menuruti kemauan penguasa karena
terpaksa berarti mereka telah menggunakan perkara yang boleh, maka
kenapa Al-Imam Ahmad tetap menghajr mereka?
Jawabannya dari tiga sisi:
Pertama: Para ulama itu baru
sebatas diancam dan belum sampai dipukul, tetapi mereka menyatakan
sesuai kemauan Al-Ma’mun, padahal ancaman bukan paksaan.
Kedua: Hajr Al-Imam Ahmad terhadap
mereka adalah dalam rangka memberikan pelajaran agar orang-orang awam
mengetahui betapa besarnya kesesatan ucapan yang dikatakan oleh para
ulama itu karena takut terhadap ancaman Al-Ma’mun, sehingga sikap beliau
itu bisa menjadi penjagaan bagi mereka dari kesesatan.
Ketiga: Sebagian besar dari mereka
ketika menyatakan keyakinan mereka terhadap Al-Qur’an sesuai kemauan
Al-Ma’mun, mereka juga menerima harta dan bolak-balik ke istana serta
mendekat kepada penguasa. Jadi mereka telah melakukan hal-hal yang tidak
diperbolehkan.
Oleh karena inilah mereka layak dicela dan dihajr.
-selesai perkataan Ibnul Jauzy-
Saya katakan: dan yang tetap kokoh
bersama Al-Imam Ahmad dalam ujian itu adalah Ahmad bin Nashr
Al-Khuza’iy, Muhammad bin Nuh, Nu’aim bin Hammad, Abu Nu’aim Al-Fadhl
bin Dukain, Yahya Al-Himany serta yang lainnya.
Maka apakah ada yang akan berani
menyatakan bahwa Al-Imam Ahmad serta para ulama yang kokoh bersama
beliau telah bersikap ghuluw (ekstrim) di dalam membela al-haq?!
Di sana ada orang-orang yang membagi
para ulama Ahlus Sunnah di masa ini menjadi tiga macam: kelompok yang
ghuluw di dalam membela al-haq, kelompok yang meremehkan dan kelompok
yang pertengahan. Dan ini adalah pembagian yang batil yang dibangun di
atas pendapat dan hawa nafsu.
Seorang ulama yang membantah seseorang
yang menyimpang berdasarkan dalil dan hujjah tidak boleh dikatakan
bahwa dia ghuluw di dalam membela kebenaran. Jadi siapa pun yang sesuai
dengan al-haq tidak boleh disifati ghuluw.
Tatkala seorang ulama dia termasuk yang
mendapatkan persaksian dalam ilmu dan manhajnya yang benar serta
memiliki kaki yang kokoh dalam ilmu jarh wa ta’dil, kemudian beliau
salah di dalam memvonis seseorang, tidak boleh menuduhnya ghuluw
semata-mata karena kesalahannya.
Ibnu Abi Hatim berkata di dalam kitab
Al-Jarh wa At-Ta’dil (3/193): “Telah menceritakan kepada kami Muslim bin
Hajjaj An-Naisabury dia berkata, telah menceritakan kepada kami Ishaq
bin Rahuya dia berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam
dia berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris dia berkata: Saya
berada di sisi Malik bin Anas ketika ada seseorang berkata kepada
beliau: “Wahai Abu Abdillah, ketika saya di daerah Ray di sisi Abu
Ubaidillah dan di sana terdapat Muhammad bin Ishaq maka Muhammad bin
Ishaq berkata, ‘Tunjukkan ilmu Malik kepadaku, karena saya menelitinya.”
Maka Malik berkata: “Salah seorang dajjal mengatakan tunjukkan kepadaku
ilmuku.”
Namun tidak ada seorang ulama pun yang
mensifati Malik sebagai salah seorang yang ghuluw di dalam menjarh,
walaupun beliau tidak benar dalam ucapan yang keras terhadap Ibnu Ishaq
ini. Kecuali apa yang dikatakan oleh Al-Khathib di dalam Tarikh Baghdad
(1/223): “Sebagian ulama telah menyebutkan bahwa beberapa ulama di
zamannya telah mencela Malik karena kebablasan lisan beliau terhadap
beberapa ulama yang dikenal shalih, baik agamanya, terpercaya dan
amanah.” Tetapi Adz-Dzahaby membantah pernyataan ini di dalam As-Siyar
(7/38): “Tidak demikian, beliau (Malik) tidak mencela orang-orang
tersebut kecuali mereka menurut beliau keadaannya tidak seperti yang
diceritakan tadi.
Dan beliau tetap mendapatkan pahala atasnya walaupun
ijtihad beliau keliru. Semoga Allah merahmati beliau.”
Saya (Asy-Syaikh Khalid bin Muhammad
Al-Mishry) katakan: Hal itu karena Malik termasuk ahli ijtihad dan
termasuk salah satu imam Ahlus Sunnah.
Demikian jugalah ketika An-Najmy atau
Rabi’ atau Zaid atau para imam jarh wa ta’dil selain mereka di zaman ini
membantah si fulan atau si alan, maka mereka benar atau pun keliru
insya Allah mereka mendapatkan pahala atas ijtihad mereka dan tidak
boleh mencela mereka atau menyifati mereka dengan ghuluw atau dengan
mengatakan: kita tidak butuh lagi terhadap perkataan mereka karena
terlalu banyaknya bantahan mereka terhadap manusia.
Para ulama jika membantah seorang
penuntut ilmu salafy, bukanlah tujuan utama mereka untuk menjatuhkannya
sebagaimana anggapan kalian. Apa faedahnya untuk mereka dengan
menjatuhkannya?! Tujuan mereka -sebagaimana itu mereka tujuan para imam
jarh wa ta’dil sepanjang zaman- hanyalah dalam rangka menasehati umat
serta menjaga mereka dari bid’ah dan hawa nafsu.
Dan ini sebagai contoh Ibnu Taimiyyah
yang selalu diutamakan atas seluruh ulama di zaman beliau karena
banyaknya bantahan beliau terhadap orang-orang yang menyimpang dan
tahdzir beliau terhadap mereka dengan menyebutkan nama-nama mereka, yang
hal ini termasuk perkara yang menyebabkan semua pihak menembakkan anak
panahnya dari satu busur. Sampai-sampai sebagian pengikut dan murid
beliau bersembunyi dan menyembunyikan loyalitas mereka terhadap manhaj
Ibnu Taimiyyah agar mereka tidak disakiti.
Maka apakah ada yang berani mengatakan
bahwa Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Abdil Hady telah membawa
manhaj baru yang aneh yang menyelisihi para ulama lain di zaman mereka?!
Atau dikatakan bahwa mereka ghuluw di dalam membela al-haq serta
meremehkan sikap menyayangi hamba-hamba Allah?!
Juga contoh yang lain yaitu Al-Amir
Ash-Shan’any yang berani menampakkan diri di lingkungan Syi’ah Zaidiyyah
yang terkenal fanatik, beliau terang-terangan menyampaikan As-Sunnah
dan mentahdzir siapa saja yang menyelisihinya. Padahal di zaman beliau
juga ada para ulama besar. Tetapi mereka tidak melakukan apa yang
dilakukan oleh Ash-Shan’any berupa sikap terang-terangan menyampaikan
al-haq dan mentahdzir orang-orang yang lancang menyelisihi As-Sunnah
serta membabat syubhat-syubhat mereka dan membantahnya. Oleh sebab
inilah para ulama itu tidak dimusuhi seperti permusuhan terhadap
Ash-Shan’any.
Adapun tentang ucapan kalian: “Manhaj ini
-yaitu yang tidak diikuti ulama lain- yang masuk padanya adalah
Asy-Syaikh Rabi’, Asy-Syaikh An-Najmy, Asy-Syaikh Zaid Al-Madkhaly,
Asy-Syaikh Ubaid, Asy-Syaikh Muhammad bin Hady serta Asy-Syaikh Falih.
Tetapi sekarang mereka telah mengubah sikap dan yang tersisa hanya
Falih, maka semuanya disandarkan kepadanya, dan ini dengan persaksian
ulama yang lain.”
Maka saya katakan: Tunjukkan bukti kalian jika kalian memang orang-orang yang benar?!
Para ulama yang mulia itu tidaklah membantah seorang pun kecuali dengan hujjah dan bukti. Lihatlah bantahan-bantahan mereka terhadap Salman, Safar, Aidh, lalu Al-Maghrawy kemudian Abul Hasan Al-Ma’riby!
Tunjukkan kepada kami satu bukti saja yang jelas bahwa mereka telah
mengada-adakan kedustaan terhadap orang-orang yang dibantah itu! Ataukah
para ulama itu menurut kalian telah meninggalkan manhaj salaf dengan
sikap mereka yang tidak diikuti ulama lain seperti ini tanpa sebab atau
hanya mengikuti hawa nafsu?!
Kemudian para ulama yang lain yang diam
tidak membantah Abul Hasan Al-Mishry, lalu Falih Al-Harby, apakah
diamnya mereka itu saja cukup sebagai hujjah yang dengannya para ulama
yang lain yang membantah dituduh bahwa mereka di atas manhaj yang ghuluw
di dalam melakukan jarh?!
Dan telah berlalu tentang indahnya ujian
yang menimpa Al-Imam Ahmad dan terbaginya para ulama di masa beliau
seperti yang telah kami jelaskan.
Orang yang menuduh para ulama itu bahwa
mereka dahulu sejalan dengan sikap Falih sekarang ini, kemudian mereka
mengubahnya dan meninggalkannya sendirian sehingga segala sesuatunya
disandarkan kepadanya, dia ini harus membuktikan tuduhannya dengan
bukti-bukti yang jelas hingga ucapannya bisa diterima. Dan kebenaran
itulah yang paling berhak untuk diikuti.
Adapun ucapan kalian bahwa para ulama
tidak punya pendirian, belum lama ini mereka mengatakan tentang Falih
bahwa dia salah seorang imam di atas As-Sunnah, namun kemudian hari ini
mereka mengatakan bahwa dia termasuk musuh As-Sunnah yang paling
berbahaya.
Saya katakan: Baarakallahu fiikum, para
ulama bukanlah nabi dan mereka tidak mengetahui perkara ghaib. Jadi
mereka memuji si fulan atau mencelanya adalah berdasarkan apa yang
mereka ketahui dari keadaannya. Maka jika dahulu dia seorang pembela
As-Sunnah dan nampak perjuangannya yang jelas di dalam membela Ahlus
Sunnah, para ulama memujinya dan memuliakannya pada kedudukan yang layak
untuknya sesuai ijtihad mereka. Kemudian jika dia telah mengganti dan
mengubah serta telah berada di sisi yang lain dan tidak mau menerima
nasehat, maka tidak ada pilihan lain bagi para ulama kecuali
mentahdzirnya setelah dahulu mereka memujinya.
Dahulu Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim serta
para imam jarh wa ta’dil yang lainnya terkadang berubah penilaian
mereka terhadap seseorang. Atau terdapat lebih dari satu riwayat di
dalam menilainya sesuai dengan keadannya.
Gambar 1. Screenshot Syubhat si Hizbi
lokal..Kasus yang sama dengan Fauzi Al-Bahrainiy terjadi pada Falih
Al-Harbiy. Dan ini yang paling lucu..Ilmu hadits yang beliau kuasai (dan
pernah mereka akui) menjadi ‘hilang’ karena adanya fitnah (-red.)
Kalian juga mengetahui bahwa Ibnu Baz,
Al-Albany, Ibnu Utsaimin, Muqbil dan Al-Abbad dahulu memuji Safar,
Salman dan Aidh, lalu kemudian para ulama itu mentahdzir mereka.
Maka apakah ada yang berani mengatakan bahwa para ulama besar itu tidak punya pendirian?!
Sesungguhnya hal ini -demi Allah-
benar-benar merupakan kedustaan besar yang diada-adakan yang muncul
karena kebodohan terhadap ilmu-ilmu As-Sunnah serta jalan yang ditempuh
oleh para ulamanya.
Maka ketahuilah -baarakallahu fiikum-
bahwasanya menjatuhkan para ulama besar seperti Al-Allamah Rabi’ bin
Hady, An-Najmy, Al-Jabiry dan Zaid Al-Madkhaly bukan perkara yang
sepele. Kecuali jika para ulama itu secara pasti telah melakukan
perbuatan yang bisa menjatuhkan diri mereka dan terbukti di dalam
kitab-kitab atau di majelis-majelis mereka.
Adapun melemparkan tuduhan
ngawur seperti ini tanpa bukti, maka itu hanya akan menebarkan fitnah
yang lebih besar dan akan menjadikan kalian terus-menerus dalam
kebingungan.
Maka wajib atas kalian untuk mengeluarkan
diri kalian dari kubangan qila wa qola (berita yang tidak jelas dan
tidak bisa dipertanggung jawabkan), jangan banyak bertanya tentang
hal-hal yang tidak bermanfaat buat kalian. Sibukkanlah dengan mendidik
diri kalian serta keluarga kalian di atas akidah yang benar dan manhaj
yang lurus.
Gambar 2. Screenshot salah satu dai hizbi
(yang ceramahnya disebarluaskan secara resmi oleh kajian.net) pamerkan
pada umat seorang gembong besar Sururi, Salman Al-Audah (-red.).
Dan jika kalian tidak memahami
sebab-sebab tahdzir para ulama terhadap Falih atau terhadap selainnya,
hendaklah kalian diam dan jangan berbicara ke sana ke mari dengan hawa
nafsu dan pendapat kalian sendiri dengan menodai kehormatan para ulama
tanpa ilmu dan tanpa hujjah. Karena dengan perbuatan kalian seperti ini
sesungguhnya kalian hanya akan merugikan diri kalian sendiri dan kalian
tidak akan merugikan para ulama itu. Dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwasanya Allah menghalangi seseorang dengan hatinya.
Kita memohon kepada Allah agar
menampakkan al-haq kepada kita sebagai kebenaran dan memberi kita
kekuatan untuk mengikutinya, dan agar menampakkan kebatilan kepada kita
sebagai kebatilan serta memberi kita kekuatan untuk menjauhinya.
وصلى الله على محمد وآله وأصحابه وسلَّم.
Ditulis oleh:
Abu Abdil A’la Khalid bin Muhammad bin Utsman Al-Mishry
Rabu 26 Rajab 1426 H
[1] HR. Al-Bukhary no. 6512 dan Muslim no. 950. (pent)
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=60480
Faedah-faedah yang bisa diambil (namun tidak terbatas) dari nasehat Asy-Syaikh Khalid di atas:
1) Semangat Ahlus Sunnah yang
dipimpin para ulama dalam membantah kesalahan serta memperingatkan
bahayanya dan bahaya pelakunya dalam rangka menjaga agama Allah dan
melindungi kaum muslimin dari kesesatan.
2) Tazkiyah atau pujian ulama terhadap seseorang berlaku selama orang tersebut tetap istiqamah di atas kebenaran.
3) Orang-orang yang sekarang di atas As-Sunnah tidak ada jaminan selamat dari penyimpangan.
4) Tidak bisa menerima kenyataan
dengan sikap dewasa berupa berjatuhannya orang-orang yang dahulu di atas
kebenaran, terkhusus orang yang dia cintai dan dia kagumi, menunjukkan
tidak ikhlashnya seseorang karena hakekatnya dia tidak mencintai dan
membenci karena Allah. Hal itu bertentangan dengan sunnatullah berupa
terus menerusnya ujian hingga seorang hamba berpisah dengan dunia ini.
5) Baik buruknya seseorang secara lahiriyah dinilai pada akhir hayatnya.
6) Kebenaran tidak dinilai oleh individu tertentu, tetapi orang tersebutlah yang dinilai dengan kebenaran.
7) Pentingnya mempelajari
kitab-kitab akidah salafiyah dengan bimbingan para ulama kibar dengan
penuh perhatian serta semangat untuk mendapatkan pemahaman dan ilmu-ilmu
yang benar.
8) Meremehkan atau merasa bosan
mengulang-ulang dalam mempelajari kitab-kitab akidah salafiyah -walaupun
yang ringkas seperti Al-Ushul Ats-Tsalatsah- dengan bimbingan ulama
bisa menyebabkan penyimpangan.
9) Merasa bosan terhadap banyaknya
bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyelisihi al-haq
disebabkan karena tidak memahami kaedah-kaedah salafiyyah di dalam
membantah orang yang menyelisihi al-haq.
10) Manhaj salaf bukanlah wilayah yang
dikuasai oleh para ulama sehingga tidak benar jika mereka bisa
memasukkan siapa yang mereka inginkan ke dalam kerajaan mereka dari
orang-orang yang mereka cintai dengan hawa nafsu mereka, dan tidak benar
jika mereka juga bisa mengeluarkan darinya siapa saja yang mereka
kehendaki dari orang-orang yang mereka benci.
11) Sebagian orang yang membela
seseorang yang telah menyimpang yang dibantah oleh Ahlus Sunnah, tidak
membaca bantahan-bantahan tersebut dan tidak memahaminya. Mereka hanya
mendengar berbagai syubhat dari sana sini dan mereka menutup mata dari
memperhatikan bantahan Ahlus Sunnah yang ditulis dengan ilmiah.
12) Di setiap zaman ada sekelompok ulama
yang menyibukkan diri dengan jarh wa ta’dil, sementara ulama yang
lainnya tidak melakukannya. Namun kelompok yang ini tidak mencela yang
itu dan kelompok yang itu tidak mencela yang ini.
13) Ingkarul munkar hukumnya fardhu
kifayah, sehingga orang yang tidak mampu melakukannya tidak boleh
mengingkari orang lain yang melakukannya, seperti tidak bolehnya
mengingkari shalat jenazah. Justru harus mensyukurinya karena orang yang
melakukannya berarti telah menggugurkan kewajiban tersebut dari orang
lain.
14) Sebagian manusia mengingkari sebuah masalah hanya dengan timbangan perasaan dan tidak dengan timbangan ilmiah.
15) Sebagian manusia yang mengingkari
bantahan Ahlus Sunnah terhadap orang yang menyimpang karena dengan
perasaannya dia menganggap bahwa orang yang dibantah tersebut
terzhalimi, sebagaimana orang yang dibantah tersebut mengesankan kepada
para pembelanya bahwa dia adalah orang yang terzhalimi.
16) Membagi para ulama Ahlus Sunnah di
masa ini menjadi tiga macam: kelompok yang ghuluw di dalam membela
al-haq, kelompok yang meremehkan dan kelompok yang pertengahan, adalah
pembagian yang batil yang dibangun di atas pendapat dan hawa nafsu.
17) Seorang ulama yang mendapatkan
persaksian dalam ilmu dan manhajnya yang benar serta memiliki kaki yang
kokoh dalam ilmu jarh wa ta’dil, kemudian salah di dalam memvonis
seseorang, tidak boleh menuduhnya ghuluw semata-mata karena
kesalahannya.
18) Ahlus Sunnah jika membantah Ahlus Sunnah yang keliru dalam sebuah masalah, bukanlah tujuan utamanya untuk menjatuhkannya.
19) Ahlus Sunnah yang berani
terang-terangan menyampaikan al-haq dan mentahdzir orang-orang yang
menyelisihi As-Sunnah serta membabat syubhat-syubhat mereka dan
membantahnya akan menyebabkan dia dimusuhi lebih besar dibandingkan
permusuhan terhadap Ahlus Sunnah yang lainnya.
20) Ahlus Sunnah tidak boleh membantah seorang pun kecuali dengan hujjah dan bukti.
21) Sikap diam sebagian ulama yang tidak
membantah seseorang yang menyimpang bukan hujjah yang dengannya para
ulama yang lain yang membantah dituduh bahwa mereka di atas manhaj yang
ghuluw di dalam melakukan jarh!?
22) Sikap diam sebagian Ahlus Sunnah
yang tidak membantah seseorang yang menyimpang bukan hujjah yang
menunjukkan bahwa orang yang menyimpang tersebut di atas kebenaran, jika
telah ada Ahlus Sunnah yang lain yang membantahnya secara ilmiah.
23) Tazkiyah para ulama berdasarkan apa
yang mereka ketahui secara lahiriyah, jika kemudian orang yang
ditazkiyah menyimpang, yang tercela adalah orang yang menyimpang
tersebut dan bukan ulama yang mentazkiyahnya, karena mereka tidak
mengetahui perkara yang ghaib dan ketika itu tazkiyah tersebut sudah
tidak berlaku lagi.
24) Jika seorang secara pasti telah
melakukan perbuatan yang bisa menjatuhkan dirinya sendiri dan terbukti
di dalam kitab-kitab atau di majelis-majelisnya, dia boleh disalahkan,
atau ditahdzir, atau bahkan divonis mubtadi, sesuai dengan keadaannya
walaupun dia dahulu diakui sebagai ulama, seperti; Safar, Salman dan
Aidh, Abul Hasan Al-Ma’riby, Falih Al-Harby, Al-Maghrawy, Ibnu Jibrin,
Ibrahim Ar-Ruhaily, Ali Al-Halaby dan yang lainnya.
25) Hendaklah Ahlus Sunnah mendidik diri mereka dan keluarga mereka di atas akidah yang benar dan manhaj yang lurus.
26) Wajibnya diam dan haram berbicara ke
sana ke mari dengan hawa nafsu dan pendapat sendiri, seperti (namun
tidak terbatas) dengan cara menodai kehormatan para ulama tanpa ilmu dan
tanpa hujjah. Sebagaimana tuduhan hizbiyyun terhadap ulama Ahlus
Sunnah.
27) Besarnya terkabulnya harapan &
kebutuhan kita kepada Allah Ta’ala agar menampakkan al-haq kepada kita
sebagai kebenaran dan memberi kita kekuatan untuk mengikutinya serta
agar menampakkan kebatilan kepada kita sebagai kebatilan serta memberi
kita kekuatan untuk menjauhinya. (wallahu a’alam)
sumber: http://tukpencarialhaq.wordpress.com/2012/12/06/bimbingan-ulama-dikala-fitnah-melanda/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar