Radio Muwahiddin

Sabtu, 21 Juli 2012

Hal-Hal Yang Tidak Membatalkan Puasa



1. Bersiwak.
Dibolehkan seseorang untuk bersiwak baik dengan siwak yang basah maupun yang kering. Berdasarkan keumuman sabda Nabi r:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
“Seandainya aku tidak khawatir akan menyusahkan umatku niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Juga keumuman hadits Aisyah bahwa Nabi r bersabda:
السِّوَاكُ مُطَهِّرَةٌ لِلْفَمِ وَمَرْضَاةٌ لِلرَّبِ
“Siwak itu penyuci mulut dan keridhaan dari Ar-Rabb.” (HR. An-Nasai dengan sanad yang hasan)
Ini adalah pendapat Imam Malik dalam salah satu riwayat, Abu Hanifah, Ahmad dalam salah satu riwayat, Ats-Tsauri dan Al-Auzai. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar, Urwah dan Mujahid.
Sementara Imam Ahmad dalam riwayat yang lain, Asy-Syafi’i dan Ishaq berpendapat dimakruhkannya bersiwak setelah tergelincirnya matahari. Mereka berdalil dengan hadits Ali secara marfu’, “Bersiwaklah kalian di pagi hari dan janganlah kalian bersiwak di waktu sore.” (HR. Ad-Darquthni)

Akan tetapi ini adalah hadits yang lemah, di dalam sanadnya ada Kaisan Abu Umar Al-Qashshar, seorang rawi yang lemah dan juga ada rawi lain yang bernama Yazid bin Bilal, tidak diketahui siapa dia. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 67
Ada pendapat ketiga yang menyatakan dimakruhkannya bersiwak dengan siwak kering karena dikhawatirkan ada bagian siwak yang bisa tertelan. Ini adalah pendapat Asy-Sya’bi, Qatadah, al-Hakam, Ishaq, Malik dalam riwayat yang lain dan Ahmad dalam riwayat yang lain.
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Ibnu Hazm, serta pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah.
Adapun penggunaan pasta gigi, maka yang difatwakan oleh para masyaikh di antaranya: Ibnu Baz, Ibnu Al-Utsaimin dan Al-Fauzan adalah bahwa dia tidak mengapa menggunakannya selama tidak masuk ke dalam saluran pencernaannya. Walaupun Syaikh Ibnu Al-Utsaimin lebih menganjurkan untuk tidak menggunakannya. Lihat Fatawa Ramadhan beliau (2/494-497)

2. Istinsyaq (Menghirup Air Ke Dalam Hidung)
Hal ini dibolehkan walaupun di luar wudhu. Adapun di dalam wudhu maka hukumnya wajib -menurut pendapat yang paling kuat- sebagaimana bisa dilihat dalam pembahasan wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Laqith bin Saburah riwayat Abu Daud dan At-Tirmizi:
بَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq kecuali kalau kamu dalam keadaan berpuasa.”
Kalaupun airnya secara tidak sengaja tertelan, maka pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah puasanya tidak batal. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Al-Hasan, dan yang dikuatkan oleh Al-Bukhari, Ibnu Hazm, dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
[Ithaful Anam hal. 57, 65-66]

3. Menelan ludah.
Imam An-Nawawi menukil ijma’ bahwa hal itu tidak membatalkan puasa. Hal itu karena menelan ludah adalah hal yang tidak bisa dihindari dan sangat sering terjadi pada banyak orang. Seandainya dia adalah pembatal puasa niscaya akan diterangkan dalam syariat.
Sampai walaupun seseorang itu sengaja mengumpulkan ludahnya lantas menelannya, maka tetap hal itu tidak membatalkan puasanya. Walaupun pada kasus yang kedua ini ada perbedaan pendapat, hanya saja inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahumullah-.
Lihat Al-Majmu’ (6/317-318) dan Al-Mughni (3/16-17)

4. Mencicipi atau mengunyah makanan tanpa menelannya.
Misalnya dia ingin membeli makanan tapi dia butuh untuk mengetahui rasanya, demikian halnya seseorang yang memasak dalam keadaan berpuasa atau seseorang yang menghaluskan makanan -dengan mulutnya- untuk bayinya.
Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i berpendapat semua hal di atas tidak mengapa karena tidak adanya dalil yang menunjukkan bahwa itu adalah pembatal puasa. Hanya saja kalau tidak ada keperluan maka dimakruhkan melakukan hal tersebut.
[Ithaful Anam hal. 62-63]

5. Menelan lalat/nyamuk secara tidak sengaja atau mulutnya kemasukan debu dan semacamnya tidaklah membatalkan puasa. Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (4/184), “Ibnul Mundzir menukil kesepakatan ulama bahwa siapa yang mulutnya kemasukan lalat dalam keadaan dia berpuasa maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya.”

6. Ihtilam (mimpi basah)
Tidak membatalkan puasa berdasarkan ijma’. Ijma’ dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/192), An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (6/322), dan Ibnu Taimiah dalam Kitab Ash-Shiyam (1/307, 485)

7. Orang yang masuk di waktu subuh dalam keadaan sudah suci dari hadats akbar tapi dia belum mandi. Imam An-Nawawi menukil adanya ijma’ bahwa hal itu tidak bermasalah, hendaknya dia mandi lalu berpuasa dan puasanya syah.
Semisal dengan kasus ini adalah: Wanita yang baru suci dari haid atau nifas sebelum subuh tapi dia mandi setelah azan subuh, anak kecil yang balig dengan ihtilam sebelum subuh dan mandi junub setelah azan subuh, dan orang kafir yang masuk Islam sebelum dan mandinya setelah azan subuh. Semuanya boleh dan syah berpuasa dengan syarat dia telah berniat untuk puasa sebelum dikumandangkannya azan subuh, sebagaimana telah berlalu pada pembahasan niat.
Wallahu a’lam bishshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."