Jima' Saat Puasa
Ramadhan
Ditulis oleh:
Al-Ustadz Usamah Mahri
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا
رَسُولَ اللهِ. قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي فِي
رَمَضَانَ. قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ
تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَينِ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ
تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟ قَالَ: لاَ. قَال: ثُمَّ جَلَسَ، فَأَتَى
النَّبِيُّ بِعِرْقٍ فِيْهِ تَمْرٌ فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا. قَالَ: عَلَى
أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَمَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ
مِنَّا. فَضَحِكَ النَّبِيُّ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: اذْهَبْ
فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Datang seseorang
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku
telah binasa!” Rasulullah bertanya, “Apa yang membinasakanmu?” Orang itu
menjawab, “Aku telah menggauli (berjima’, pen.) istriku di siang Ramadhan.”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian mengatakan, “Mampukah engkau
untuk memerdekakan budak?” Ia menjawab, “Tidak.” Kemudian kata beliau, “Mampukah
engkau berpuasa selama dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab, “Tidak.” Kemudian
kata beliau, “Mampukah engkau memberi makan 60 orang miskin?” Ia menjawab,
“Tidak.” Kemudian ia pun duduk dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memberi satu wadah kurma (sebanyak 60 mud, pen.) dan beliau berkata,
“Shadaqahkan ini.” Orang itu bertanya, “Kepada yang lebih fakir dari kami?
Sungguh di Kota Madinah ini tiada yang lebih membutuhkan kurma ini daripada
kami.” Mendengar itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tertawa hingga
terlihat gigi taringnya, kemudian beliau shallallahu 'alaihi wasallam berkata,
“Pulanglah dan berikan ini kepada keluargamu.”
Hadits di atas
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dalam Kutubus Sittah selain
an-Nasa’i (al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah), dari
jalan az-Zuhri Muhammad bin Muslim, dari Humaid bin Abdurrahman, dari Abu
Hurairah rahimahullah.
Dari az-Zuhri
diriwayatkan dari sembilan jalan:
1. Ibrahim bin Sa’d
diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan Musa bin Ismail (lihat Fathul Bari,
10/519) dan Ahmad bin Yunus (al-Fath, 9/423).
2. Sufyan bin
‘Uyainah diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan Ali bin Abdullah (al-Fath,
11/604) dan al-Qa’nabi (al-Fath, 11/605). Muslim dari jalan Yahya bin Yahya, Abu
Bakr bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan Ibnu Numair (7/224). Abu Dawud dari
jalan Musaddad dan Muhammad bin ‘Isa (‘Aunul Ma’bud, 7/15), sementara
at-Tirmidzi dari jalan Nasr bin ‘Ali dan Abu ‘Ammar al-Husain bin Huraits dan
beliau menyatakan, “Hasan sahih.” (al-‘Aridhah, 3/198). Juga Ibnu Majah dari
jalan Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah (2/312).
3. Syu’aib bin Abi
Hamzah diriwayatkan Bukhari dari jalan Abul Yaman (al-Fath, 4/193).
4. Manshur
diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan ‘Utsman dari Jarir (al-Fath, 4/204),
sementara Muslim dari jalan Ishaq bin Ibrahim dari Jarir (7/226).
5. Al-Laits
diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan Qutaibah (al-Fath, 5/264), sementara
Muslim dari jalan Yahya bin Yahya, Qutaibah, dan Muhammad bin Rumh (7/226).
6. Ma’mar
diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan Muhammad bin Mahbub dari Abdul Wahid
(11/604), sementara Muslim dari jalan ‘Abd bin Humaid dari Abdurrazzaq (7/227),
sementara Abu Dawud dari jalan al-Hasan bin ‘Ali dari Abdurrazzaq (‘Aunul
Ma’bud, 7/16)
7. Al-Auza’i
diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan Muhammad bin Muqatil dari Abdullah
(10/568).
8. Ibnu Juraij
diriwayatkan Muslim dari jalan Muhammad bin Rafi’ dari Abdurrazzaq (7/227).
9. Malik
diriwayatkan Abu Dawud dari jalan al-Qa’nabi (‘Aunul Ma’bud, 7/18).
Hadits ‘Aisyah
Ummul Mukminin radhiyallahu 'anha
Hadits ‘Aisyah
radhiyallahu 'anha semakna dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu di
atas, dan dalam Kutubus Sittah selain an-Nasa’i, diriwayatkan dari jalan
Muhammad bin Ja’far bin az-Zubair dari ‘Abad bin Abdullah bin az-Zubair dari
‘Aisyah radhiyallahu 'anha.
Dari Muhammad bin
Ja’far bin az-Zubair diriwayatkan dari dua jalan:
1. Abdurrahman bin
Harits, diriwayatkan oleh Abu Dawud dari jalan Muhammad bin Auf dari Sa’id bin
Abi Maryam dari Abdurrahman bin Abi Zinad dari Abdurrahman bin al-Harits. Dia
berkata,
فَيَأْتِي بِعِرْقٍ فِيْهِ عِشْرُونَ صَاعًا
“Beliau membawa
satu wadah berisi 20 sha’.” (al-‘Aun, 7/20)
2. Abdurrahman bin
Qasim dan darinya diriwayatkan dari dua jalan:
a). ‘Amr bin
Harits, diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq dari al-Laits (al-Fath,
12/134) dan disebutkan secara maushul oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taghliqut
Ta’liq (5/237). Sementara Muslim dari jalan Abu Thahir bin Sarh dari Ibn Wahb
(7/229), dan Abu Dawud dari jalan Sulaiman bin Dawud al-Mahri dari Ibn Wahb
(al-‘Aun, 7/20)
b). Yahya bin Sa’id
diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan Abdullah bin Numair dari Yazid bin Harun
(al-Fath, 4/190), sementara Muslim dari jalan Muhammad bin Rumh dari al-Laits
(7/228) dan dari Muhammad bin Mutsanna dari Abdul Wahhab ats-Tsaqafi
(7/228).
Fiqhul
(Kandungan) Hadits
1. Orang yang
disebut dalam riwayat di atas adalah Salamah bin Shakhr al-Bayadhi, sebagaimana
dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam al-Ishabah, juga oleh Ibnu Abdil Bar dalam
at-Tamhid, dan Ibnu Mulaqqin dalam al-I’lam.
2. Hadits ‘Aisyah
radhiyallahu 'anha di atas dikeluarkan al-Bukhari dalam Shahih-nya pada bab Idza
Jama’a fi Ramadhan.
Menurut al-Hafizh,
yang dimaksud adalah orang tersebut telah melakukan jima’ di siang hari pada
bulan Ramadhan dengan sengaja dan tahu keharamannya sehingga ia wajib membayar
kaffarah.
Al-Imam al-Bukhari
dalam bab yang sama juga membawakan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu
dengan sighah tamridh:
وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ: مَنْ
أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ
صِيَامُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ. وَبِهِ قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ
Disebutkan dari Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu secara marfu’, “Barang siapa yang berbuka di bulan
Ramadhan tanpa sebab dan bukan karena sakit maka ia tidak bisa membayarnya
dengan puasa selamanya kalaupun ia lakukan.” Demikian pula yang dikatakan Ibnu
Mas’ud.
Al-Hafizh berkata,
“Riwayat di atas disebutkan secara maushul oleh Abu Dawud, an-Nasa’i,
at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dalam Sunan mereka serta disahihkan Ibnu Hazm dari
jalan Sufyan ats-Tsauri dan Syu’bah, keduanya dari Habib bin Abi Tsabit dari
‘Ammarah bin Umair dari Abul Muthawwas dari ayahnya dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, mirip dengan riwayat di atas. Dalam riwayat Syu’bah dengan
lafadz:
فِي غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ تَعَالَى لَهُ
لَمْ يُقْضَ عَنْهُ وَإِنْ صَامَّ الدَّهْرَ كُلَّهُ
“… Tanpa rukhshah
yang Allah berikan baginya maka ia tidak akan bisa membayarnya walaupun ia puasa
sepanjang masa.”
3. Lafadz yang
dimaksud adalah “Aku terjatuh pada dosa”, karena melakukan hal terlarang yang
diharamkan ketika puasa yaitu jima’. Dalam riwayat Muslim dari ‘Aisyah
radhiyallahu 'anha dengan lafadz, “Aku telah terbakar”, maka Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Mengapa?” Jawabnya, “Karena aku menggauli
istriku di siang hari bulan Ramadhan.”
4. Hadits ini
menunjukkan wajibnya bertanya tentang hukum syariat dari apa yang dilakukan
orang ketika menyelisihi syariat serta kekhawatiran akan dampak/bahayanya
dosa.
5. Juga menunjukkan
bolehnya mengungkap maksiat bagi orang yang ingin membersihkan dirinya dari dosa
dan akibat dosa tersebut.
6. Pelajaran adab
agar seseorang menggunakan kata kiasan dalam hal-hal yang tidak pantas
disampaikan seperti penggunaan kata muwaqa’ah atau ishabah sebagai isyarat dari
jima’.
7. Hadits ini pula
menunjukkan wajibnya membayar kaffarah bagi orang yang berjima’ dengan sengaja.
Ini merupakan mazhab seluruh ulama kecuali yang menyelisihinya dengan
pernyataannya tidak wajib membayar kaffarah, demikian diriwayatkan dari
asy-Sya’bi dan beberapa ulama lainnya. Hal ini mereka kiaskan dengan shalat
karena tidak ada kaffarah bagi yang merusaknya. Namun kias ini tidak berguna
dengan adanya nash, selain juga karena perbedaan yang jelas yang tidak ada celah
bagi harta untuk mengganti shalat. Berbeda dengan puasa, buktinya orang tua yang
lemah dan lainnya yang tidak mampu puasa (menggantinya dengan harta, red.).
Mungkin mereka akan
mengatakan, bila kaffarah itu memang wajib maka tidak akan gugur karena
ketidakmampuan. Pernyataan ini pun lemah. Karena justru gugurnya kewajiban
membayar kaffarah menunjukkan bahwa kaffarah itu wajib. Karena kalau tidak
demikian (yaitu tidak wajib, red.) tidak akan dinyatakan gugur hukumnya.
8. Jika seseorang
melakukan jima’ di siang hari Ramadhan karena lupa, apakah puasanya batal
sekaligus berkewajiban bayar kaffarah? Dalam masalah ini ada tiga pendapat
ulama. Yang benar adalah dalam mazhab asy-Syafi’i bahwa puasanya tidak batal dan
tidak wajib pula membayar kaffarah.
9. Urutan/tingkatan
pembayaran kaffarah dalam hadits yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan
berturut-turut, dan memberi makan enam puluh orang miskin. Susunan ini dilakukan
secara berurutan, tidak dengan pilihan secara bebas. Demikian menurut pendapat
mayoritas ulama.
10. Hadits ini juga
menunjukkan bahwa jima’ antara suami istri hanya terkena satu kaffarah, di mana
tidak disebutkan dalam riwayat di atas kewajiban kaffarah atas si istri.
Demikian pendapat terbenar bagi al-Imam asy-Syafi’i, juga mazhab Dawud dan
Dzahiri. Sementara ulama lain membedakan antara istri yang dipaksa melakukan
jima’—dia tidak berkewajiban bayar kaffarah—dengan istri yang melakukan jima’
dengan kesadaran—wajib membayar kaffarah—. Demikian mazhab Malik, al-Imam Ahmad,
dan Hanafiyyah. Ada pula di kalangan ulama yang menyamakan antara istri yang
dipaksa maupun tidak, tetap berkewajiban bayar kaffarah, yaitu al-Imam al-Auza’i
rahimahullah.
11. Mazhab jumhur
ulama menyebutkan bahwa puasa kaffarah ini dilakukan dua bulan dengan syarat
berturut-turut.
12. Sabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
“Pergi dan berikan
ini kepada keluargamu.”
Artinya yang paling
benar menurut Ibnul ‘Arabi, al-Baghawi, Ibnu Abdil Bar, dan Ibnu Daqiqil ‘Ied
rahimahumullah adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberikan
shadaqah itu kepada orang tersebut untuk dibagikan kepada keluarganya karena
kefakirannya, sementara kewajiban kaffarah tetap dalam tanggungannya dan harus
ia bayar ketika mampu. Ini adalah mazhab Malik bin Anas radhiyallahu 'anhu.
Oleh sebab itu
al-Bukhari memberi judul bab:
إِذَا جَامَعَ وَلَـمْ يَكُنْ لَهُ شَيْءٌ فَتَصَدَّقْ
عَلَيْهِ فَلْيُكَفِّر
Jika berjima’ dan
tidak memiliki sesuatu kemudian mendapat shadaqah maka hendaknya ia membayar
kaffarah.
Kata al-Hafizh
rahimahullah, ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan seseorang tidaklah
menggugurkan kewajiban membayar kaffarah, namun hal itu tetap menjadi
tanggungannya. (al-Fath, 4/204)
13. Hadits di atas
juga mengajarkan berlemah-lembut kepada orang yang belajar dan memberi
pengajaran dengan cara lunak. Juga mengambil simpati orang dalam agama.
14. Hadits itu juga
mengajarkan penyesalan dari perbuatan maksiat dan merasa takut dari akibat
buruknya.
15. Bolehnya duduk
di masjid untuk selain shalat tapi untuk kemaslahatan lainnya seperti belajar
dan mengajar.
16. Bolehnya
tertawa ketika ada sebabnya.
17. Diterimanya
berita dari seseorang berkaitan dengan hal pribadinya yang tidak diketahui
kecuali dari dirinya.
18. Ta’awun dalam
ibadah dan membantu seorang muslim dalam hajatnya.
19. Orang yang
mudhthar (sangat butuh pada apa yang ia miliki) tidak berkewajiban untuk
memberikan itu atau sebagiannya pada orang mudhthar lainnya.
20. Jumhur ulama
berpendapat wajibnya membayar puasa (mengqadha) bagi yang merusak puasanya
dengan jima’, dengan alasan puasa yang diwajibkan atasnya belum ia tunaikan
(karena batal disebabkan jima’), maka (puasa itu masih) menjadi tanggungannya.
Sama dengan shalat dan lainnya ketika belum ia lakukan dengan
syarat-syaratnya.
Namun sebagian
ulama menyatakan tidak wajib lagi puasa atasnya karena telah tertutupi dengan
kaffarah. Juga karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diam dan tidak
memerintahkan puasa kepadanya.
Ada pula yang
menyatakan bila dia tunaikan kaffarah dengan puasa maka telah terbayar utang
puasanya. Tetapi bila tidak, tetap harus dia bayar karena jenis amalannya
berbeda. Demikian pendapat al-Auza’i.
Termasuk yang
menguatkan pendapat yang mewajibkan membayar puasa bersama dengan kaffarah
adalah lafadz, “Dan puasalah sehari sebagai gantinya” dalam riwayat Amr bin
Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya. Juga disebutkan pada hadits Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu dari jalan Abu Uwais, Abdul Jabbar, dan Hisyam bin Sa’d,
semuanya dari az-Zuhri, juga dalam mursal Sa’id bin Musayyib, Nafi bin Jubair,
Hasan, dan Muhammad bin Ka’b. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dari keseluruhan
jalan di atas diketahui bahwa tambahan perintah untuk membayar puasa memiliki
asal (ada benarnya).” (al-Fath, 4/204)
21. Hadits dan
atsar ini menurut Ibnu Hajar radhiyallahu 'anhu sengaja dibawakan oleh al-Imam
al-Bukhari rahimahullah untuk menunjukkan bahwa kewajiban membayar kaffarah
diperselisihkan oleh salaf, dan bahwa yang membatalkan puasa dengan jima’, wajib
membayar kaffarah. Sementara, beliau mengisyaratkan kelemahan hadits Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu dengan sighah tamridh (bentuk pasif). Kalaupun
sahih, maka isinya menguatkan pendapat yang tidak mewajibkan qadha (membayar
puasa) bagi yang membatalkan puasanya dengan makan. Tetapi tetap hal itu menjadi
tanggungannya sebagai tambahan balasan baginya. Karena dengan diqadha berarti
terhapus dosa darinya, namun bukan berarti dengan tidak bisa diqadha berarti
gugur pula kewajiban membayar kaffarah pada sebab yang disebutkan yaitu jima’.
Pembatalan karena jima’ jelas berbeda dengan pembatalan karena makan.
22. Hadits ini juga
menunjukkan bahwa orang yang menyampaikan udzur yang dengannya gugur suatu hukum
atau berhak dengannya mengambil sesuatu, maka keterangannya diterima dan tidak
dibebani untuk mendatangkan bukti. Karena orang ini mengaku bahwa dirinya fakir
dan mengaku telah merusak puasanya.
23. Hadits ini
ditulis sebagai sebuah karya tersendiri tentang penjelasan dan keterangannya
oleh al-Imam Abdurrahim bin Husain al-‘Iraqi rahimahullah, yang beliau membahas
dan meng-istimbath (mengambil kesimpulan hukum) 1.001 masalah dari satu hadits
ini. Ini cukup sebagai bantahan terhadap ahlul bid’ah yang menuduh bahwa ulama
hadits hanya tersibukkan dengan periwayatan, pembicaraan tentang sanad, al-jarh
wat-ta’dil, dan sejenisnya, serta tidak mengerti tentang fiqih hadits.
Sumber
Bacaan:
1. al-I’lam bi
Fawa’id ‘Umdatil Ahkam, Ibnul Mulaqqin
2. Tuhfatul
Ahwadzi, Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfury
3. Sunan Ibnu
Majah
4. ‘Aridhatul
Ahwadzi, Ibnul ‘Arabi al-Maliki
5. ‘Aunul Ma’bud,
Muhammad Syamsul Haq al-Adzimi Abadi
6. Fathul Bari,
Ibnu Hajar al-’Asqalani
7. Syarah Shahih
Muslim, an-Nawawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar