MENYINGKAP SYUBHAT SEPUTAR TARAWIH
Penulis Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman
Syubhat ke-4: Jumlah rokaat 11 berdasarkan hadits ‘Aisyah tidak bisa diamalkan karena menyelisihi perintah Umar. Sedangkan Umar lebih tahu dari ‘Aisyah.
Disebutkan dalam blog penentang Ahlussunnah:
“Dalam perbahasan Sholat Tarawih ini, jika benar hadith Sayyidatuna ‘Aisyah di atas tentang Sholat Tarawih, ia tetap tidak boleh dijadikan dalil untuk menolak pendapt Sayyiduna Umar dan para sahabat lain yang mereka ijma’ (sepakat) melaksanakannya dengan 20 rakaat. Dalam perkara ini, Sayyidatuna ‘Aisyah melihat Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bersembahyang 11 rakaat, sedangkan Sayyiduna Umar dan para sahabat lain yang utama juga melihat Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bersembahyang dengan 23 rakaat. Maka, mengikut kaedah ini, orang yang banyak ilmunya didahulukan dari orang yang kurang ilmu pengetahuannya”
Bantahan:
Dalam masalah jumlah rokaat sholat yang dilakukan Nabi, ‘Aisyah lebih tahu dibandingkan yang selain beliau. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany:
وَأَمَّا مَا رَوَاهُ اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ مِنْ حَدِيث اِبْن عَبَّاسٍ ” كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَان عِشْرِينَ رَكْعَة وَالْوِتْرَ ” فَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ ، وَقَدْ عَارَضَهُ حَدِيثُ عَائِشَة هَذَا الَّذِي فِي الصَّحِيحَيْنِ مَعَ كَوْنِهَا أَعْلَمَ بِحَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلًا مِنْ غَيْرِهَا
“Adapun apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas : Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sholat pada bulan Ramadlan 20 rokaat dan witir, sanadnya lemah. Hal ini bertentangan dengan hadits ‘Aisyah ini dalam Shahihain, bersamaan dengan keadaan beliau (‘Aisyah) yang lebih mengetahui keadaan Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam pada waktu malam dibandingkan selainnya” (Lihat Fathul Baari juz 6 halaman 295).
Syubhat ke-5: Umar hanya memerintahkan 20 rokaat sholat tarawih.
Bantahan:
Terdapat beberapa riwayat yang shahih tentang jumlah rokaat tarawih dan witir yang diperintahkan Umar bin al-Khottob, yaitu 11, 13 dan 23 rokaat. Riwayat yang menunjukkan 11 rokaat:
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ
Dari Muhammad bin Yusuf dari as-Saa-ib bin Yaziid bahwa dia berkata: Umar bin al-Khottob memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamiim ad-Daari untuk mengimami manusia dengan 11 rokaat. Imam pada waktu itu membaca 200 ayat sampai kami bersandar pada tongkat karena demikian lamanya berdiri. Dan tidaklah kami berpaling kecuali menjelang fajar (diriwayatkan oleh Malik dalam alMuwattho’).
Sanad riwayat ini shahih, karena para perawi dalam riwayat ini adalah rijaal (perawi) dalam Shahih alBukhari dan Muslim. Malik meriwayatkan dari Muhammad bin Yusuf dari as-Saaib bin Yaziid.
Dalam riwayat lain dinyatakan bahwa di masa Umar dilakukan sholat 13 rokaat:
عن السائب بن يزيد قال كنا نصلي في زمن عمر رضي الله عنه في رمضان ثلاث عشرة ركعة
Dari as-Saa-ib bin Yaziid beliau berkata: ‘Kami sholat di zaman Umar radliyallaahu ‘anhu pada Ramadlan 13 rokaat (diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr alMaruuzi dari jalur Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin Yusuf dari as-Saa-ib bin Yaziid).
Sedangkan riwayat 23 rokaat, ada yang dalam bentuk penyebutan 20 rokaat selain witir seperti yang diriwayatkan oleh Malik dari Yaziid bin Khosiifah dari as-Saa-ib bin Yaziid. Bisa juga dalam bentuk penyebutan langsung 23 rokaat:
عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً
Dari Yazid bin Ruumaan bahwasanya dia berkata: Manusia melakukan sholat malam di zaman Umar bin al-Khottob pada Ramadlan sebanyak 23 rokaat (diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwattho’).
Muhammad bin Nashr juga meriwayatkan dari jalur ‘Atho’ jumlah 23 rokaat di masa Umar.
AlHafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyatakan:
وَالْجَمْعُ بَيْن هَذِهِ الرِّوَايَات مُمْكِنٌ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَال ، وَيَحْتَمِل أَنَّ ذَلِكَ الِاخْتِلَافَ بِحَسَبِ تَطْوِيلِ الْقِرَاءَة وَتَخْفِيفِهَا فَحَيْثُ يُطِيلُ الْقِرَاءَة تَقِلُّ الرَّكَعَات وَبِالْعَكْسِ وَبِذَلِكَ جَزَمَ الدَّاوُدِيُّ وَغَيْره ، وَالْعَدَد الْأَوَّل مُوَافِق لِحَدِيثِ عَائِشَة الْمَذْكُور بَعْد هَذَا الْحَدِيث فِي الْبَاب ، وَالثَّانِي قَرِيب مِنْهُ ، وَالِاخْتِلَاف فِيمَا زَادَ عَنْ الْعِشْرِينَ رَاجِعٌ إِلَى الِاخْتِلَاف فِي الْوِتْر وَكَأَنَّهُ كَانَ تَارَة يُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ وَتَارَة بِثَلَاثٍ
“Penggabungan riwayat-riwayat ini mungkin dilakukan karena adanya perbedaan keadaan. Bisa juga yang demikian itu disebabkan perbedaan (kadangkala) bacaan yang panjang dan (kadangkala) pendek. Maka jika bacaannya panjang, jumlah rokaatnya sedikit. Demikian sebaliknya. Ini adalah pendapat ad-Daawudi dan selainnya. Jumlah (rokaat) yang pertama (11) sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang akan disebutkan setelah hadits ini pada bab yang sama, sedangkan jumlah rokaat yang kedua (13) dekat dengannya. Perbedaan riwayat untuk jumlah rokaat yang lebih dari 20 dikembalikan pada perbedaan witir. Kadangkala witir dengan 1 rokaat, kadangkala 3 rokaat (Lihat Fathul Baari juz 6 halaman 292).
Dari penjelasan tersebut jelaslah bahwa pada masa Umar bin al-Khottob sendiri jumlah rokaat tarawih dan witirnya tidak hanya dilakukan 23 rokaat saja, namun juga pernah 11 rokaat dan 13 rokaat.
Syubhat ke-6: Sholat tarawih dan witir 23 rokaat lebih utama dibandingkan 11 rokaat karena lebih banyak jumlah rokaatnya
Disebutkan dalam blog penentang dakwah Ahlussunnah:
“ Oleh itu, dari segi bilangan sahaja umpamanya, tentulah 20 rakaat Sholat Tarawih lebih baik dari 8 rakaat dan pahalanya tentu sekali lebih banyak. Ini tidak termasuk pahala berapa kali qiyam, ruku’, sujud…., bacaan Surah Al-Fatihah, bacaan surah dan bacaan-bacaan lain ketika sembahyang, pahala mendengar orang membaca Al-Quran di dalam sembahyang, pahala sabar ketika qiyam yang mungkin agak lama dan panjang…jika dilakukan sebanyak 20 rakaat itu. Bolehlah diqiyaskan kepada perlakuan dan pembacaan yang lain yang ada kaitan dengan Sholat Tarawih ini”
Bantahan:
Perlu dipahami bahwa tidak selalu jumlah rokaat yang lebih banyak akan lebih utama dibandingkan dengan jumlah rokaat yang lebih sedikit. Hal itu tergantung juga dengan banyaknya jumlah ayat yang dibaca, kehusyukannya, benar dan tepatnya lafadz bacaan yang dibaca, dan banyak parameter yang lain.
Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri lebih cenderung menyukai sholat sunnah yang lebih lama berdirinya dan jumlah sujudnya sedikit dibandingkan berdirinya sebentar dan jumlah sujudnya banyak. Beliau menyatakan:
فإن أطالوا القيام وأقلوا السجود فحسن ، وهو أحب إلي ، وإن أكثروا الركوع والسجود فحسن
“ Jika mereka memanjangkan (masa) berdiri dan sedikit jumlah sujud maka itu baik, dan yang demikian ini lebih aku sukai. Jika mereka memperbanyak ruku’ dan sujud maka itu juga baik” (dinukil oleh Abu Nashr al-Maruuzi dalam Qiyaamu Ramadlan juz 1 halaman 21).
Telah disebutkan penjelasan al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany ketika menggabungkan perbedaan riwayat jumlah rokaat di masa Umar (11,13, dan 23 rokaat). Bahwa jika jumlah ayat yang dibaca banyak, jumlah rokaatnya sedikit, sebaliknya jika jumlah ayat yang dibaca sedikit, jumlah rokaat banyak. Meskipun 2 keadaan itu sama-sama baik, namun al-Imam Asy-Syafi’i lebih menyukai yang lama berdirinya (karena ayat yang dibaca banyak/panjang) meski jumlah sujudnya sedikit.
Sebelas rokaat atau 23 rokaat dua-duanya adalah baik. Namun yang terbaik adalah yang paling mendekati perbuatan Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau melakukan 11 rokaat atau 13 rokaat dengan memanjangkan bacaan dalam ayat. ‘Jangan kalian tanya bagusnya’, kata ‘Aisyah radliyallahu anha dalam mensifatkan sholat sunnah Nabi. Hudzaifah bin al-Yaman juga mengisahkan bahwa beliau shollallaahu ‘alaihi wasallam membaca AlBaqoroh, AnNisaa’, dan Ali Imran dalam satu rakaat. Luar biasa lama masa berdirinya. Bahkan, setiap sampai ayat tentang tasbih, beliau bertasbih, jika sampai pada ayat tentang permintaan, beliau meminta kepada Allah, dan ketika membaca ayat tentang adzab beliau mohon perlindungan kepadaNya. Tidak mengherankan jika kondisi lama berdiri menyebabkan kaki beliau bengkak dan pecah-pecah. Hal itu sebagai perwujudan keinginan beliau menjadi hamba yang bersyukur.
Namun, keadaan jumlah ayat yang dibaca maupun lama berdiri dalam sholat harus disesuaikan dengan keadaan makmum. Jika makmum suka dan tidak menyusahkan mereka jika itu dilakukan, maka panjangnya bacaan yang menyebabkan lamanya berdiri dalam sholat adalah yang terbaik dilakukan.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الصَّلَاةِ أَفْضَلُ قَالَ طُولُ الْقُنُوتِ
Dari Jabir beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang sholat manakah yang lebih utama? Beliau menjawab: ‘yang panjang (lama) masa berdirinya’ (H.R Muslim).
Apalagi, yang mayoritas terjadi adalah banyaknya jumlah rokaat pada sholat tarawih di bulan Ramadlan menyebabkan pelaksanaan sholat dilakukan secara cepat, bahkan sangat cepat. Tidaklah mengherankan jika suatu masjid yang melakukan sholat 23 rokaat masa berakhirnya justru mendahului masjid lain yang sholat 11 rokaat. Kita tidak mengingkari jumlah rokaatnya, namun yang kita ingkari adalah demikian cepatnya sholat dilakukan sampai-sampai makmum bahkan imam sendiri sulit mendapatkan kekhusyukan dengan bacaan yang cepat dan kondisi tergesa-gesa semacam itu. Ketika sujud yang dilakukan bagaikan ayam yang mematuk makanan, belum selesai sang makmum menyempurnakan kadar bacaan wajib dalam ruku’ ataupun sujudnya, imam sudah berpindah pada posisi gerakan yang lain. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan hidayahNya kepada segenap kaum muslimin…
Syubhat ke-7: Sholat tarawih dan witir memang disunnahkan dilakukan dalam keadaan cepat, lebih cepat dari sholat fardlu
Syubhat semacam ini bisa ditemui pada sebagian situs. Pada sebuah situs terdapat tanya jawab sebagai berikut (dinukil inti pertanyaan dan jawabannya):
…Bagaimana jika kita tarawih imannya membaca Al Fatihah atau surah sesudahnya (surah pendek) dalam satu nafas…sedang kita membaca Fatihah sesudah imam sehingga kita tidak bisa menyelesaikan fatihah kita tetapi menyebabkan kita tertinggal rukun … Apa kita tertinggal rukun walau tidak sampai 2 rukun panjang, atau membaca Al Fatihah bersama dengan imam saja?……Atau ikut mazhab lain yang menyatakan Fatihah sudah ditanggung imam?…bagaimana ya bib? atau ada cara yang lebih baik?
Jawaban dari situs tersebut:
mengenai shalat tarawih cepat, hal itu merupakan pengenalan sunnah pula, karena Rasul saw pernah melakukan shalat sunnah yg sangat cepat sebagaimana riwayat shahih Bukhari dan shahih Muslim, bahwa sedemikian cepatnya seakan beliau itu tidak shalat, namun beliau menyempurnakan tumaninahnya
Pada bagian lain di situs tersebut terdapat topik berjudul: Sholat Tarawih dengan cepat-kilat.
Terdapat pertanyaan sebagai berikut:
…Bagaimana hukum sholat tarawih dengan Imam membaca surat2 dengan cepatnya dan gerakan2 sholat yang kilat? padahal disitu ada jamaah orang2 tua yang kewalahan mengikuti gerakan imam…?
terimakasih…
Jawaban dari situs tersebut:
mengenai pelaksanaan Tarawih dg cepat adalah fatwa Madzhab Syafii, karena mesti dibuat lebih ringan dan cepat daripada shalat fardhu, karena tarawih adalah shalat sunnah yg dilakukan secara berjamaah, maka tidak boleh disamakan dengan shalat fardhu, Ihtiraaman wa ta’dhiiman lishalatilfardh (demi memuliakan shalat fardhu) diatas shalat sunnah.
melakukan shalat sunnah dg cepat adalah diperbolehkan bahkan pernah dilakukan oleh Rasul saw, dalilnya adalah bahwa riwayat Aisyah ra bahwa Rasul saw pernah melakukan shalat sunnah sedemikian cepatnya seakan beliau tidak shalat dari cepatnya. (Shahih Bukhari).
riwayat lainnya bahwa Rasul saw melakukan shalat sedemikian cepatnya seakan beliau saw tak membaca fatihah, akan tetapi beliau tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya (Shahih Bukhari)
demikian riwayat riwayat diatas memberikan kefahaman bagi kita bahwa shalat sunnah boleh cepat, dan pada madzhab Syafii bahwa shalat Tarawih berjamaah hendaknya dipercepat agar tak disamakan dengan shalat fardhu, juga sekaligus mengenalkan kembali sunnah Nabi saw, bahwa Nabi saw pun sering melakukan shalat sunnah dg cepat,
pengingkaran dimasa kini adalah karena muslimin sudah tidak lagi mengetahui bahwa shalat sunnah dg cepat itu adalah sunnah Nabi saw, maka perlu dihidupkan dan dimakmurkan agar muslimin tidak alergi dan kontra terhadap sunnah Nabinya saw.
mengenai orang tua yg tak mampu mengikuti cepatnya gerakan Imam sebaiknya duduk, shalatnya tetap sah karena shalat sunnah boleh dilakukan sambil duduk walaupun tidak udzur sekalipun, berbeda dg shalat fardhu yg tak boleh dilakukan sambil duduk kecuali ada udzur,
Bantahan:
Tidak benar bahwa sholat tarawih disunnahkan dilakukan lebih cepat dari sholat fardlu. Bahkan sholat sunnah qiyamul lail (sebagaimana tarawih dan witir yang merupakan qiyaamul lail di bulan Ramadlan) lebih diutamakan jika jumlah ayat yang dibaca banyak dan dibaca tartil (tidak tergesa-gesa).
مَنْ قَامَ بِعَشْرِ آيَاتٍ لَمْ يُكْتَبْ مِنْ الْغَافِلِينَ وَمَنْ قَامَ بِمِائَةِ آيَةٍ كُتِبَ مِنْ الْقَانِتِينَ وَمَنْ قَامَ بِأَلْفِ آيَةٍ كُتِبَ مِنْ الْمُقَنْطِرِينَ
“Barangsiapa yang qiyaamul lail dengan membaca 10 ayat dia tidak tercatat sebagai orang yang lalai, barangsiapa yang qiyamul lail dengan membaca 100 ayat tercatat sebagai orang yang taat, barangsiapa yang qiyaamul lail dengan 1000 ayat tercatat sebagai orang yang mendapat pahala berlimpah” (H.R Abu Dawud)
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا (3) أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan (tartil)”(Q.S alMuzzammil:1-4).
Pada masa Nabi sholat tarawih berjamaah bersama Sahabat Nabi, cukup lama sholat itu didirikan, sampai para Sahabat khawatir tidak bisa makan sahur.
Dikatakan oleh Sahabat Nabi Abu Dzar:
…فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ
…”maka Nabi melakukan qiyaamul lail (di bulan Ramadlan) bersama kami sampai-sampai kami khawatir akan terluput dari makan sahur”(H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaa-i, Ibnu Majah).
Sunnah ini dilanjutkan di masa Umar bin al-Khottob pada saat beliau memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamiim adDaari menjadi imam sholat, begitu lamanya sholat dilakukan sampai-sampai para Sahabat bersandar pada tongkat karena lama berdirinya.
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ
Dari Muhammad bin Yusuf dari as-Saa-ib bin Yaziid bahwa dia berkata: Umar bin al-Khottob memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamiim ad-Daari untuk mengimami manusia dengan 11 rokaat. Imam pada waktu itu membaca 200 ayat sampai kami bersandar pada tongkat karena demikian lamanya berdiri. Dan tidaklah kami berpaling kecuali menjelang fajar (diriwayatkan oleh Malik dalam alMuwattho’).
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam beberapa kali sholat malam bersama sebagian Sahabat. Beliau pernah sholat malam bersama Abdullah bin Mas’ud:
عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَطَالَ حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ قَالَ قِيلَ وَمَا هَمَمْتَ بِهِ قَالَ هَمَمْتُ أَنْ أَجْلِسَ وَأَدَعَهُ
Dari Abu Waa-il beliau berkata: Abdullah (bin Mas’ud) berkata: ‘Aku pernah sholat bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, beliau memanjangkan (masa berdiri) sampai aku berkehendak untuk melakukan perkara jelek. Ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud: apa perkara jelek tersebut? Ibnu Mas’ud berkata: ‘aku berkeinginan untuk duduk dan meninggalkan beliau (sholat)(H.R al-Bukhari dan Muslim, lafadz sesuai Muslim).
Dalam riwayat Muslim pula Nabi pernah sholat malam bersama Hudzaifah bin alYaman. Dalam satu rokaat beliau membaca AlBaqoroh, AnNisaa’, dan Ali Imraan. Bagaimana bisa dikatakan bahwa sholat sunnah seharusnya lebih cepat dari sholat wajib sebagai bentuk penghormatan terhadap sholat wajib? Bukankah dalam sholat wajib Nabi tidak pernah menyelesaikan bacaan alBaqoroh saja dalam satu rokaat?
Pada situs itu juga dinyatakan sebagai berikut:
melakukan shalat sunnah dg cepat adalah diperbolehkan bahkan pernah dilakukan oleh Rasul saw, dalilnya adalah bahwa riwayat Aisyah ra bahwa Rasul saw pernah melakukan shalat sunnah sedemikian cepatnya seakan beliau tidak shalat dari cepatnya. (Shahih Bukhari).
riwayat lainnya bahwa Rasul saw melakukan shalat sedemikian cepatnya seakan beliau saw tak membaca fatihah, akan tetapi beliau tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya (Shahih Bukhari)
Sesungguhnya yang dimaksudkan tersebut adalah sholat sunnah yang dilakukan Nabi berupa 2 rokaat sebelum sholat Subuh.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى إِنِّي لَأَقُولُ هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha beliau berkata: Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam meringankan sholat 2 rokaat sebelum sholat Subuh sampai aku berkata: Apakah beliau membaca alFatihah? (H.R alBukhari).
Untuk memahami makna hadits tersebut kita perlu menyimak penjelasan Imam al-Qurthuby:
وَإِنَّمَا مَعْنَاهُ أَنَّهُ كَانَ يُطِيل فِي النَّوَافِل ، فَلَمَّا خَفَّفَ فِي قِرَاءَة رَكْعَتَيْ الْفَجْر صَارَ كَأَنَّهُ لَمْ يَقْرَأ بِالنِّسْبَةِ إِلَى غَيْرهَا مِنْ الصَّلَوَات
“Sesungguhnya maknanya adalah : bahwa Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam biasa memanjangkan bacaan pada sholat Sunnah. Maka ketika beliau meringankan bacaan pada 2 rokaat (sebelum) Subuh, jadilah seakan-akan beliau tidak membaca (AlFatihah) jika dibandingkan dengan sholat-sholat beliau yang lain” (dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dalam Fathul Baari juz 4 halaman 161).
Sehingga hadits tersebut tidak bisa dijadikan sebagai patokan atau kaidah umum bahwa sholat Sunnah semestinya lebih cepat dari sholat wajib, karena menurut alQurthuby yang sering/biasa beliau lakukan adalah memanjangkan bacaan pada sholat sunnah. Hanya pada kondisi tertentu atau keadaan yang jarang, seperti sholat Sunnah sebelum Subuh, kadang beliau meringankannya. Penisbatan kaidah tersebut kepada madzhab Asy-Syafi’i juga perlu ditinjau ulang, karena justru al-Imam Asy-Syafi’i lebih menyukai masa berdiri yang lama meski jumlah sujudnya sedikit (silakan dilihat penjelasan bantahan terhadap syubhat ke-6 di atas).
Selain itu, ketika pada situs tersebut ditanyakan bagaimana jika imam membaca al-Fatihah dan bacaan surat dalam satu nafas, sehingga menyebabkan makmum ketinggalan rukun, bukannya pengasuh situs tersebut memberikan nasehat kepada imam agar lebih thuma’ninah dan memperhatikan keadaan makmum, namun justru mendukung perbuatan imam tersebut dan menganggapnya sesuai dengan Sunnah. Bukannya menganjurkan agar imam memperhatikan keadaan makmum karena adanya orang – orang yang lemah dan memiliki kebutuhan, tapi justru yang dianjurkan adalah makmum yang tua menyesuaikan ‘kecepatan’ imam dengan sebaiknya sholat duduk saja. Wallaahul musta’aan. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan hidayahNya kepada kita semua…
Nasehat untuk saudaraku para imam masjid, hendaknya bertaqwa kepada Allah. Bagaimana mungkin anda bermunajat kepada Allah dalam keadaan mempercepat bacaan, bahkan alfatihah dalam satu nafas. Penuhi pula hak makmum. Mereka perlu mendapatkan hidangan bacaan Qur’an untuk disimak. Karena jika mereka menyimak bacaan imam dengan baik maka insyaAllah mereka akan mendapatkan rahmat dari Allah.
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“ dan jika dibacakan alQur’an, maka simaklah dan diam agar kalian mendapatkan rahmat” (Q.S al-A’raaf:204)
Bertaqwalah kepada Allah, janganlah sholat dengan tergesa-gesa sehingga meninggalkan thuma’ninah yang merupakan rukun sholat. (Untuk mengetahui lebih lanjut nasehat tentang masalah ini, silakan menyimak artikel berjudul: “SAUDARAKU, JANGAN CEPAT-CEPAT SHOLATNYA!”).
Kesimpulan
1. Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam melakukan sholat malam, baik di dalam maupun di luar Ramadlan sebanyak 11 atau 13 rokaat berdasarkan riwayat yang shahih. Tidak ada riwayat shahih yang menunjukkan secara tegas beliau melakukan sholat malam lebih dari jumlah rokaat itu.
2. Secara ucapan, beliau tidak membatasi jumlah rokaat sholat malam. Ketika ditanya tentang sholat malam, beliau hanya menyatakan bahwa sholat malam dilakukan dua rokaat-dua rokaat. Sehingga, tidak mengapa bagi kaum muslimin untuk melakukan qiyaamul lail di dalam atau di luar Ramadlan dengan jumlah rokaat lebih dari 13.
3. Bukan jumlah rokaatnya yang kita ingkari, namun tata cara pelaksanaan sholatnya. Jika sholat tidak dilakukan dengan thuma’ninah, bisa menyebabkan batalnya sholat tersebut.
SUMBER : BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH
(BAGIAN IX)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar