Thoghut Demokrasi Berbuah Penyakit Jiwa (Bagian
1)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada
beberapa edisi sebelumnya telah kami sampaikan artikel Thoghut Demokrasi Berlumuran
Darah.
Maka insya Allah pada kali ini kami sampaikan artikel Thoghut Demokrasi Berbuah
Penyakit Jiwa. Memang produk kafir Yunani dan Yahudi yang satu ini betul-betul
membuahkan penyakit jiwa bagi penyembahnya.
Selalu ada hal-hal yang kacau setiap kali selesai
Pemilu, baik Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Anggota Dewan maupun Pemilihan
Presiden. Mereka menjadi marah karena tidak lolos sebagai pemenang atau
mendapatkan jatah kursi padahal uang sudah mereka keluarkan dalam jumlah yang
banyak ketika kampanye. Mereka menjadi emosi lantaran kandidat yang diusungnya
kalah mendapatkan suara terbanyak. Di antara mereka ada yang stress, ada yang
hilang ingatan (gila), ada yang selalu melamun memikirkan nasib, bahkan ada yang
bunuh diri. Di antara mereka ada yang menyumbang karpet ke masjid atau sarana
umum untuk warga, lantaran kalah ia menarik kembali sumbangan yang diberikan,
keikhlasannya menjadi hilang karena ternyata warga tetap tidak memilihnya
memenangkan pemilu.
Ini menunjukkan demokrasi betul-betul thoghut yang harus
dihancurkan, dialah (demokrasi) biang kerok ini semua terjadi. Dialah
(demokrasi) yang membuat kaum muslimin semakin jauh dari agamanya semula. Dialah
(demokrasi) yang membuat kaum muslimin menyibukkan diri kepadanya daripada
menyibukkan diri kepada ilmu Islam. Dialah (demorasi) yang membuat beberapa
ikhwan yang sudah paham agama menjadi bermudah-mudahan melakukan bid'ah,
kesyirikan, perbuatan maksiat, dan tasyabbuh dalam keadaan paham bahwa itu
menyelisihi agama Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam, tapi bagaimana lagi demi
meraih suara terbanyak, beberapa ikhwan menjadi munafiqin.
|
Syaikh Abdul
Malik Ramadhani Al Jazairi
(Bagian 1)
Pembahasan ini termasuk yang paling penting di antara
keenam landasan yang ada dalam buku ini, karena pembahasan ini bertujuan
menjelaskan dasar atau landasan dari amalan kita yang perlu dilakukan dengan
giat dan sungguh-sungguh.
Sebagian orang Islam takut dengan kekuatan orang-orang
kafir dan orang-orang yang sesat yang begitu hebat. Karena itu mereka
berpandangan bahwa kemuliaan akan bisa mereka rebut kembali dengan menghadapi
kekuatan orang-orang kafir dan sesat tefsebut dengan kekuatan yang lebih kuat
lagi.
Merekapun memanfaatkan setiap sarana-sarana yang mereka
miliki untuk menyaingi kekuatan itu hingga mereka meremehkan ilmu syar'i tanpa
mempedulikan sama sekali. Akan tetapi, walaupun mereka berusaha menata
organisasinya dan memperbaiki manajemennya serta memperkuat kekuatan dan
mempelajari tipu- daya musuh, tetap saja tidak akan dikaruniai kemuliaan dan
kejayaan kalau mereka tidak membangun amal perbuatan dan seluruh kegiatan mereka
dengan ilmu (ilmu syar'i), serta menjunjung kedudukan dan martabat ilmu dan ahli
ilmu. Allah Ta'ala berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
"Allah akan
meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang- orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujaadalah:
11)
Allah juga berfirman:
نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ
"Kami
tinggikan derajat orang-orang yang Kami kehendaki." (QS. Yusuf:
76)
Imam Malik rahimahullah berkata (mengomentari ayat di
atas), "Maksudnya, (Kami tinggikan derajat mereka) dengan ilmu." [Syarhus Sunnah
karya Imam Al Baghawi (1/672)]
Tafsir Imam Malik ini beliau dapatkan dari guru beliau
Zaid bin Aslam rahimahullah yang berkata: "Aku mendengar Zaid bin Aslam berkata
mengenai ayat ini (ayat kesebelas dari surat Al Mujaadalah yang telah disebutkan
di atas): 'Sesungguhnya yang dimaksud adalah 'dengan ilmu'. Allah akan
mengangkat (derajat) siapa saja yang dikehendaki-Nya di dunia ini dengan ilmu
tersebut.'" [1]
Ketinggian derajat dan kemuliaan ini pun bisa didapatkan
di dunia, tidak hanya di akhirat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah
Subhanahu waTa'ala ketika memilih Thalut untuk memimpin para pemuka dan tokoh
Bani Isra'il lewat firman-Nya:
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ
لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ
أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ
اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ
وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ
"Nabi mereka
mengatakan kepada mereka: 'Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut sebagai
rajamu.' Mereka menjawab: 'Bagaimana Thalut memerintah kami padahal kami lebih
berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya sedang diapun tidak diberi
kekayaan yang banyak?' (Nabi mereka) berkata: 'Sesungguhnya Allah telah
memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang
perkasa.'Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan
Allah Mahaluas pemberian-Nya dan Maha Mengetahui." (QS. Al Baqarah:
247)
Dalam Shahih Muslim disebutkan dari 'Amir bin Watsilah
bahwa Nafi' bin Abdul Harits pernah bertemu 'Umardi 'Usfan. Dan 'Umar bin
Khathab waktu itu mengangkatnya menjadi gubernur Mekkah. 'Umar lalu bertanya:
"Siapa yang engkau tugaskan memangku jabatan wali bagi penduduk yang bertempat
tinggal di lembah- lembah (atau gurun)?" "Ibnu Abza," jawab Nafi.
"Siapa Ibnu Abza itu?" tanya Umar selanjutnya. "Seorang dari hamba-sahaya kami," jawab Nafi.
"Anda mempercayakan mereka kepada seorang hamba sahaya?!" tanya Umar.
Dia menjawab, "la seorang yang suka membaca dan paham Al Qur'an. Di samping itu, dia juga 'alim tentang ilmu fara'idh."
"Siapa Ibnu Abza itu?" tanya Umar selanjutnya. "Seorang dari hamba-sahaya kami," jawab Nafi.
"Anda mempercayakan mereka kepada seorang hamba sahaya?!" tanya Umar.
Dia menjawab, "la seorang yang suka membaca dan paham Al Qur'an. Di samping itu, dia juga 'alim tentang ilmu fara'idh."
Umar kemudian berkata "Adapun
Nabi kalian Shallallahu'alaihi wasallam pernah bersabda: 'Sesungguhnya Allah
mengangkat derajat suatu kaum dengan Kitab ini (Al Qur'an) dan merendahkan yang
lain dengan Kitab ini (pula).'" (Shahih Muslim nomor 817. Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Ibnu Majah nomor 218)
Oleh karena itu, Allah Subhanahu waTa'ala mengabarkan
bahwa Dia mengangkat derajat orang-orang rabbani (Ahli ibadah dan berilmu), dari
Bani Isra'il hingga Allah menjadikan mereka sebagai hakim untuk melaksanakan
perintah Allah. Allah berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ
يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا
وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ
وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ
"Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab Taurat yang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya
(yang menerangi). Dengan kitab itu diputuskan perkara orang- orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerahkan diri kepada Allah, oleh orang-orang 'alim mereka
(Rabbani) dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara
kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya." (QS. Al Maidah:
44)
Merekalah orang-orang yang diangkat menjadi pemimpin
oleh Allah dan temyata mereka adalah orang-orang yang berilmu dan yang mau
mengajarkannya. Allah Subhanahu waTa'ala berfirman:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ
وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ
دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ
الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
"Tidak layak
bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian,
lalu dia berkata kepada manusia: 'Hendaknya kamu menjadi penyembah-penyembahku
dan bukan penyembah Allah.' Akan tetapi hendaknya mereka berkata: 'Hendaknya
kalian menjadi orang-orang yang Rabbani (orang-orang yang sempurna ilmu dan
takwanya kepada Allah) karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan
kamu telah mempelajarinya." (QS. Al 'Imran: 79)
Dalam Al Qur'an terdapat dua ayat yang lafadznya sama,
yang menerangkan bahwa Allah Subhanahu waTa'ala meninggikan derajat seseorang
dari hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.
Dalam ayat yang pertama Allah menceritakan tentang
Ibrahim Alaihis salam
وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى
قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ
عَلِيمٌ:
"Dan itulah
hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami
tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabb-mu Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui." (QS. Al An'am: 83)
Dan ayat kedua Allah berfirman tentang Yusuf Alaihis
salam:
نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي
عِلْمٍ عَلِيمٌ
"Kami
tinggikan derajat orang-orang yang Kami kehendaki dan di atas tiap-tiap orang
yang berilmu itu ada yang Maha Mengetahui." (QS. Yusuf: 76)
Dalam dua ayat ini terkandung rahasia yang agung di
antara rahasia-rahasia Al Qur'an Al 'Aziz. Dengan bahasa yang indah sekali Ibnu
Taimiyah berkata: "Allah menyebutkan bahwa Dia mengangkat orang-orang yang Dia
kehendaki beberapa derajat dalam kisah perdebatan Ibrahim dengan Namrud dan
dalam kisah siasat Nabi Yusuf yang menginginkan agar saudaranya, Bunyamin, tetap
tinggal bersama beliau di Mesir dan tidak pulang bersama saudara-saudaranya yang
lain ke negeri asal mereka.
Oleh karena itu, para salafush shalih berkata:
"Allah Subhanahu waTa'ala meninggikan derajat mereka". Jadi, konteks ayat ini
jelas menunjukkan hal itu. Kisah Ibrahim berkaitan dengan hujjah untuk
mematahkan dan menolak bahaya dan mudharat dari para penentang agama. Sedangkan
kisah Yusuf tentang politik (siyaasah) dan strategi untuk meraih manfaat yang
ingin dicapai. Jadi ilmu dalam ayat pertama adalah hujjah untuk menolak
usaha-usaha yang mengancam agama. Dan ayat kedua adalah ilmu bagaimana cara
menolak kerugian dunia dan meraih maslahatnya.
Atau dengan kata lain: kisah Nabi Ibrahim Alaihis salam
adalah mengenai ilmu tentang retorika lisan di saat yang tepat yang bertujuan
menarik manfaat, sedangkan kisah Nabi Yusuf Alaihis salam adalah mengenai ilmu
tentang praktek atau tindakan nyata di saat yang tepat. Jadi, menarik manfaat
dan menolak bahaya adakalanya dengan lisan (teori) dan terkadang pula dengan
perbuatari (praktek)." [Bayadhu bil Ashl]
Beliau melanjutkan: "Oleh karena itu, orang-orang yang
kurang memahami ilmu tentang debat dan dialog,' ilmu tentang siyaasah (politik;
siasat) dan pemerintahan selalu kalah jika berhadapan dengan kedua golongan
tersebut. Ini dilihat dengan ketergantungan mereka kepada kedua golongan
tersebut.llmu-ilmu seperti itu sangat diperlukan tatkala musuh datang menyerang
dan ingin merusak agama dengan senjata retorika (jidal) misalnya, atau merusak
dunia mereka dengan menganiaya dan menzalimi atau melakukan penyerangan fisik.
Ini sangat diperlukan ketika mereka menghadapi musuh dari dalam sendiri, atau
untuk menghadapi kejahatan dari luar mereka baik dalam urusan agama maupun
urusan dunia. Bahkan ketika mereka hidup dalam kondisi tidak ada seorang pelaku
bid'ah pun yang merongrong atau mengganggu mereka; juga tidak ada penguasa yang
menzalimi mereka, mereka tetap membutuhkan adanya ulama-ulama yang ahli dalam
bidang ini; ulama yang bisa memperingatkan para pelaku bid'ah dengan hujjah dan
dalil serta mencegah kezaliman dengan siyaasah (kecerdasan dalam bidang
politik)." [Majmu' Fatawa (14/493-494)]
Perkara kepemimpinan agama dan dunia itu tergantung atau
tidak terlepas dari ilmu, karena ilmu adalah dasar dan landasan dari keduanya.
Karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullah iuga berkata: "Demikianlah bahwa Allah
Subhanahu waTa'ala telah berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ
وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ
اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ
"Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong
(agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya." (QS. Al Hadiid:
25)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu waTa'ala mengabarkan
kepada kita bahwa Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) dan Al Mizaan (neraca
keadilan) agar manusia bisa menegakkan keadilan tersebut, serta menurunkan besi
(yang didalamnya ada kekuatan) sebagaimana yang telah disebutkan oleh-Nya. Jadi,
menegakkan agama haruslah dengan Kitabullah Al Haadii (Kitabullah yang
menunjuki) dan as saifun naashir (pedang untuk berjaga diri).
وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
"Dan cukuplah
bagi Rabb-mu sebagai pemberi hidayah dan sebagai penolong." (QS. Al Furqan:
31)
Al Qur'an adalah dasar atau azas yang utama. Karena itu,
ketika Allah mengutus Rasul-Nya pertama kali adalah menurunkan Al Qur'an kepada
beliau, dan selama menetap di Mekkah beliau tidak diperintahkan mengangkat
pedang. Beliau baru dibolehkan mengangkat pedang setelah beliau hijrah dan
menetap di Madinah serta telah memiliki banyak sahabat yang menolong beliau
dalam berjihad. [Majmu' Fatawa (28/234)]
Kalau begitu, maka orang-orang yang membayangkan bahwa
mendirikan Daulah Islamiyah (negara Islam) bisa dengan hanya mengandalkan
semangat keislaman dan pemikiran yang tidak memiliki hujjah syari'i yang mereka
namakan sebagai fikr Islami (pemikiran Islam) atau dengan sedikit ilmu yang
mereka sebut sebagai tsaqafah islamiyah dan bahwa (menurut mereka) pengajaran
ilmu syar'i itu adalah marhalah atau tahapan yang kemudian atau belakangan
sesudah ini semua (dan bukan sesuatu yang harus diprioritaskan terlebih dahulu),
maka mereka itu adalah orang yang mengejar fatamorgana, karena sesungguhnya
mereka mengkhayalkan sesuatu dengan tanpa kekuatan usaha dan sarana pendukung.
Padahal kekuatan yang paling utama adalah kekuatan agama yang telah dijanjikan
oleh Allah akan mendatangkan kemenangan kepada orang-orang beriman. Allah
berfirman:
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ
الْمُؤْمِنِينَ
"Dan adalah
hak atas Kami untuk menolong orang-orang yang beriman." (QS. Ar Ruum:
47)
Karena itu, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Jihad
terhadap musuh-musuh Allah dari luar menjadi cabang dari jihad seorang hamba
terhadap jiwanya sendiri dalam mengagungkan Dzat Allah sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam: "Mujahid (orang yang berjihad) itu
adalah yang berjihad terhadap jiwanya sendiri dalam menaati Allah dan muhajir
(orang yang berhijrah) adalah yang hijrah dari sesuatu yang dilarang oleh
Allah." [Riwayat Ahmad (3/21) dan selainnya dan riwayat ini
Shahih]
Jadi, jihad terhadap jiwa sendiri haruslah didahulukan
daripada jihad terhadap musuh dari luar, dan ia juga merupakan dasar dari jihad
tersebut. Seseorang yang tidak berjihad terhadap jiwanya sendiri terlebih dahulu
agar jiwanya itu melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya dan meninggalkan
sesuatu yang dilarang baginya serta memerangi nafsunya, maka ia tidak akan mampu
berjihad melawan musuhnya yang datang dari luar. Bagaimana mungkin ia mampu
mengobarkan jihad terhadap musuhnya sekaligus mengambil kembali haknya yang
telah dirampas oleh musuh-nya tersebut sedangkan musuh yang berada di dalam
dirinya sendiri tidak mampu dikalahkan dan dikuasai. Jadi, ia tidak akan sanggup
keluar menghadapi musuhnya sebelum ia berjihad meiawan jiwa atau dirinya sendiri
terlebih dahulu."
Beliau melanjutkan: "Inilah dua musuh dimana seorang
hamba diuji untuk berjihad melawannya. Akan tetapi masih ada musuh ketiga yang
harus dikuasai sebelum berjihad melawan kedua musuh sebelumnya. Musuh ketiga ini
senantiasa berada di hadapannya, merintangi dan menghalangi serta melemahkannya,
dan membuatnya lalai, takut dan gentar untuk berjihad melawan kedua musuh
sebelumnya. Musuh ketiga ini senantiasa mengganggunya, sehingga ia selalu
membayangkan bahwa berjihad melawan kedua musuh sebelumnya akan menyebabkannya
menemui banyak kesulitan hidup serta kehilangan kesenangan dan kebahagiaan hidup
(baca: kenikmatan duniawi) yang telah dinikmatinya selama ini. la tidak akan
bisa berjihad melawan kedua musuh sebelumnya jika ia tidak berjihad melawan
musuh ketiga ini.
Jihad melawan musuh ketiga ini adalah juga menjadi dasar
dari jihad melawan kedua musuh sebelumnya. Musuh ketiga ini adalah syaitan
la'natullaahi 'alaihi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
"Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh bagi kalian maka jadikanlah dia sebagai musuh." (QS. Al
Fathir: 6)
Perintah untuk menjadikan syaitan sebagai musuh
merupakan peringatan agar kita mengerahkan seluruh kemampuan untuk memeranginya
dan melawannya. Seakan- akan dia musuh yang tak akan letih dan tidak akan
berkurang dalam memerangi hamba sebanyak apapun." [Zaadul Ma'ad
(3/6)]
Inilah penjelasan yang sangat cermat dan jelas, yang
merupakan upaya untuk meluruskan manhaj yang ditempuh oleh orang-orang yang
mencela saudara- saudaranya, sedang rumah mereka sendiri terbuat dari kaca
(sangat rapuh), yang mengagung-agungkan sarana-sarana yang bersifat fisik dan
materi sehingga beranggapan bahwa musuh mereka sudah sedemikian kuatnya. Padahal
sebenarnya musuh-musuh bisa memasuki rumah mereka karena rumah mereka terbuat
dari kaca yang rapuh atau rumah mereka sendiri yang terbuka untuk sang musuh.
Artinya: kaum muslimin tidak akan mengalami kekalahan hanya karena musuh mereka
yang kuat, akan tetapi mereka kalah dikarenakan iman mereka yang lemah.
Sebenarnya kalau iman mereka kuat, kalaupun mereka tidak memiliki sarana-sarana
fisik atau kekuatan materi niscaya Allah akan cukupi mereka sebagai pengganti
bagi mereka (dari seluruh sarana-sarana tersebut).
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Di antara
sunnatullah adalah jika orang-orang yang beriman tidak mampu melindungi diri [2]
dari orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya maka Allah Subhanahu
waTa'ala tetap akan membalas orang- orang yang menyakiti tersebut dan
melindungi orang-orang beriman tadi dari gangguannya, dan Allah-lah yang
mencukupinya. Hal ini sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam kisah seorang
penulis dusta dan seperti yang telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu waTa'ala
lewat firman-Nya:
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ.
إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ
"Maka
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami
memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokan (kamu)."
(QS. Al Hijr: 94-95) [Ashaarim Al Maslul]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Demi Allah!
Sekali-kali tidak ada satu pun musuh yang akan menyakiti kaliankecuali bila
Allah Al Wali (Yang melindungi-mu) telah berpaling darimu. Dan jangan kamu kira
setan itu menang (atas kamu) akan tetapi Al Hafizh (Yang Maha Menjaga) telah
berpaling (darimu)." [Al Fawaid (hal.79)]
Anda pun sudah mengetahui bahwa Anda tidak
akanmendapatkan pertolongan dan pengawasan dari Allah Subhanahu waTa'ala jika
Anda meninggalkan perintah dan melanggar larangan. Begitu pula, Anda akan
ditolong jika Anda menaati Allah Subhanahu waTa'ala dalam semua perintah dan
larangan-Nya. Jadi, semua urusan kembali kepada ilmu, karena perintah dan
larangan tidak akan diketahui kecuali dengan ilmu.
Kandungan pelajaran yang berharga Diriwayatkan dari
Zubair bin Adiy bahwa beliau berkata: Kami pernah masuk menemui Anas bin Malik
dan mengadu kepada beliau tentang apa yang kami dapatkan dari Hajjaj. Beliau pun
berkata: "Tidak datang suatu zaman melainkan orang-orang yang sesudahnya lebih
jelek dari sebelumnya hingga kalian menemui Rabb kalian. Dan aku dengar hal ini
dari Nabi kalian." (HR. Ahmad 3/117, Bukhari no 7068, dan At Tirmidzi no.
2206)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: Pernyataan Anas di atas
bisa saja menimbulkan pertanyaan (isykaal) bagi sebagian orang, karena
kenyataannya ada suatu masa atau rentang waktu yang keburukannya lebih sedikit
dari masa sebelumnya, seperti pada zaman Umar bin Abdul Aziz. Pada zaman beliau
ini (yang terjadi setelah zaman Al Hajjaj yang tidak seberapa jauh jaraknya),
sudah masyhur bahwa kebaikan dan kesejahteraan hidup tersebar dan merata
dimana-mana. Maka bagaimana menjawab kenyataan ini sehubungan dengan pernyataan
Anas bin Malik di atas? Sebagian ulama menanggapi bahwa zaman dalam pernyataan
beliau adalah generasi. Artinya, ada suatu generasi yang lebih baik dari
generasi lain. Dalam hal ini, zaman Al Hajjaj adalah zaman dimana masih banyak
sahabat yang masih hidup, sedang zaman Umar bin Abdul Aziz adalah zaman dimana
para sahabat sudah tiada. Dan zaman ketika para sahabat masih hidup lebih baik
daripada zaman sesudahnya berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi
wasallam yang telah dikemukakan sebelumnya:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم
"Sebaik-baik
generasi adalah generasiku...." (HR. Bukhari dan Muslim) [3]
Kemudian beliau melanjutkan: "Kemudian saya mendapatkan
kejelasan dari Abdullah bin Mas'ud Radhiallahu'anhu tentang maksud dari
pernyataan Anas di atas. Penjelasan beliau ini lebih layak untuk diikuti.
Diriwayatkan oleh Ya'qub bin Syaibah dari jalan Al Harits bin Hushairah, dari
Zaid bin Wahab bahwa beliau berkata: "Saya mendengar Abdullah bin Mas' ud
berkata: "Tidaklah datang kepada kalian suatu hari (zaman) kecuali ia lebih
buruk dari hari (zaman) sebelumnya (dan hal ini berlangsung terus) sampai datang
hari kiamat kelak. Saya tidak mengatakan bahwa zaman yang telah lewat itu
menggambarkan kesejahteraan hidup dan banyaknya harta yang dirasakan oleh
orang-orang yang hidup pada zaman itu. Yang saya maksudkan adalah bahwa tidaklah
datang kepada kalian suatu hari (zaman) kecuali hari (zaman) itu lebih sedikit
ulamanya dibanding hari (zaman) sebelumnya. Ketika para ulama telah pergi
meninggalkan kita maka manusia semuanya menjadi sama kemampuannya. Mereka pun
tidak lagi memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang munkar, maka
pada saat itulah mereka binasa."
Beliau melanjutkan: "Dan dari jalan Asy Sya'bi, dari
Masruq bahwa beliau berkata: "Tidaklah datang kepada kalian suatu zaman kecuali
ia lebih jelek dari zaman sebelumnya. Saya tidak mengatakan bahwa seorang
pemimpin yang memimpin pada zaman yang telah lewat lebih baik dari seorang
pemimpin (sesudahnya) dan tidak mengatakan bahwa suatu tahun lebih baik dari
tahun yang lain, akan tetapi yang saya maksudkan adalah para ulama dan fuqaha'
kalian pergi meninggalkan kalian (wafat) dan kalian pun tidak mendapatkan
pengganti mereka lagi, kemudian datang suatu kaum yang mengeluarkan fatwa
menurut pendapat mereka sendiri." [4]
Saya berkata: "Menghilangkan kesimpang-siuran (dalam
memahami suatu dalil atau nas) dengan bantuan atsar adalah penyejuk mata ahlul
hadits, apalagi berkenaan dengan dasar-dasar agama karena manusia pada umumnya
gila harta dan kekuasaan. Bukankah Anda mendengar firman Allah Subhanahu
waTa'ala tentang penyesalan ahlu syimal (orang-orang yang celaka yang diberikan
kitab mereka dari sebelah kiri di akhirat kelak), mereka berseru:
مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ. هَلَكَ عَنِّي
سُلْطَانِيَهْ
"Hartaku
sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku (dan) telah hilang kekuasaanku
dariku." (QS. Al Haaqqah: 28-29)
Andaikan anda merenungi dan melihat dengan seksama
fitnah yang ditimbulkan oleh apa yang mereka sebut sebagai Harokah Islamiyah
(pergerakan Islam) -sebagai contoh yang paling dekat dan tak usah dulu melirik
kepada yang lain- niscaya Anda akan mendapati penyebabnya terangkum dan tidak
jauh dari dua asumsi di bawah ini:
1. Mereka mengukur kebaikan umat ini dengan kebaikan
pemimpinnya.
2. Mereka mengukur kesejahteraan dan kemajuan dari sisi ekonominya.
2. Mereka mengukur kesejahteraan dan kemajuan dari sisi ekonominya.
Tidakkah Anda melihat bahwa kebanyakan mereka tidak
menolak tangan-tangan yang menjamah kekuasaannya, walaupun melalui sistim
demokrasi yang konyol..!!! Sebagian dari mereka menganggap bahwa kembalinya
kewibawaan kaum muslimin dipertaruhkan dengan mengangkat tinggi-tinggi
kemodernan (kemajuan peradaban), oleh karena itu mereka terus mempertahankannya.
Hal ini membukakan mata Anda akan perhatian yang sangat besar dari seorang Ibnu
Mas'ud Radhiallahu'anhu dalam mengobati kedua asumsi di atas. Demi Allah, ini
merupakan karunia pemahaman yang Allah Subhanahu waTa'ala berikan kepada seorang
hamba-Nya. Oleh karena itu, wahai saudaraku sesama muslim, pahamilah keutamaan
para salafush shalih dan peganglah perintah dan larangan mereka serta cermati
tabiat dan watak mereka, niscaya anda akan terlepas dari perkara-perkara yang
membingungkan dan menyesatkan yang ditimbulkan oleh banyaknya "cabang-cabang
jalan" yang ada.
Dan nasehat saya yang terakhir: Kembalilah kalian kepada
ilmu, wahai otang-orang yang senantiasa mendendangkan kemuliaan Islam! Dari
Tamim Ad Daari dia berkata: "Di zaman Umar bin Khathab Radhiallahu'anhu
orang-orang berlomba- lomba membangun (kehidupan dunia mereka), maka berkatalah
Umar bin Khathab Radhiallahu'anhu, 'Wahai seluruh penghuni rumah, jagalah tanah
air kalian! Jagalah tanah air kalian! (Ingatlah) bahwa tidak akan ada Islam
kecuali dengan jama'ah, dan tidak akan ada jama'ah kecuali dengan pemerintahan,
dan tidak akan ada pemerintahan kecuali dengan ketaatan. Oleh karena itu,
barangsiapa yang oleh kaumnya diangkat menjadi pemimpin karena paham dalam
agama, maka itu berarti pertanda "kehidupan" baginya dan bagi kaumnya. Dan
barangsiapa yang diangkat bukan karena paham agama oleh kaumnya, niscaya hal itu
adalah pertanda kebinasaan baginya dan bagi mereka." (HR. Riwayat Ad-Darimi no.
241)
Al Hasan berkata: "Mereka (para sahabat) berkata:
'Kematian seorang ulama adalah retaknya Islam; tidak akan ada yang bisa
menambalnya selama malam dan siang masih silih berganti."'
[5]
Dari Hilal bin Khabbab berkata: "Aku bertanya
kepadaSa'id Ibnu Jubair, 'Wahai Abu 'Abdillah, Apa tanda kehancuran manusia?"
Dia menjawab: "Ketika ulama-ulama mereka wafat." [6]
[Diambil dari kitab Sittu Duror min Ushuul Ahlil Atsar,
Penulis Asy Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi, Penerbit Maktabah Al
Ilmiyah, Judul Asli: Landasan keempat - Kemuliaan Hanya Dapat Dicapai Dengan
limu]
_________
Footnote
Footnote
[1] Riwayat Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya (4/1335) dan
(7/2176), Abu Fadhl Az Zuhri dalam Haditsnya (545) dan Ibnu 'Abdil Bar dalam
Jami' Bayanil 'llmi wa Fadhlihi (1901). Riwayat ini Shahih.
[2] Ada kekeliruan pada cetakan sebelumnya, karena di sana tertulis, "Mereka hendak mengadzabnya.. "Kalimat ini tidak tepat. Yang saya tetapkan disini dialah yang sesuai dengan kaidah penulisan, sebagaimana bisa dilihat dalam cetakan yang terbaru. (2/357)
[3] Sebenarnya lafadz Bukhari dan Muslim adalah, "Sebaik-baik manusia adalah generasiku...." Syaikh Al Albani mengisyaratkan dalam ta'lifnya terhadap kitab At Tankilu karya Al Mu'allimi (2/223) bahwa sesungguhnya lafadz yang disebutkan oleh Al Hafidz di atas tidak ada asalnya.
[4] Al Fath (13/21). Ibnu Hajar menghasankan atsar tersebut. Fasawi meriwayatkannya sebagaimana tersebut dalam Kitab Dziilul Ma'rifat dan At Tarikh (3/393) dan Ibnu 'Abdil Baar dalam Jami' Bayanil 'llmi wa Fadhlihi (2/136) dan lainnya.
[5] Ad Darimi nomor (324), Ahmad dalam Az Zuhd (hal. 262), Ibnu 'Abdil Bar dalam Jami'ul Bayan (1/153). Riwayat ini Shahih. Hisyam bin Hasan yang didukung oleh Abul Asyhab Ja'far bin Hayan Al 'Athari di dalam riwayat Ad Darimi (324). Dan di dalam Syarhus Sunnah Al Baghawi disebutkan bahwa atsarnya berasal dari ucapan Ibnu Mas'ud.
[6] Riwayat Ibnu Sa'ad (6/262), Ibnu Abi Syaibah (15/40), Ad Darimi (251), Abu Nu'aim (4/276), Al Khatib dalam Al Faqih wal Mutafaqqih (48), Ibnu 'Abdil Bar dalam Jami-nya. Riwayat ini Hasan sekalipun di dalamnya ada Hilal bin Khabab, karena sesungguhnya Hilal hanyalah yang bertanya. Riwayat yang semisal dengan ini biasanya dinilai shahih.
[2] Ada kekeliruan pada cetakan sebelumnya, karena di sana tertulis, "Mereka hendak mengadzabnya.. "Kalimat ini tidak tepat. Yang saya tetapkan disini dialah yang sesuai dengan kaidah penulisan, sebagaimana bisa dilihat dalam cetakan yang terbaru. (2/357)
[3] Sebenarnya lafadz Bukhari dan Muslim adalah, "Sebaik-baik manusia adalah generasiku...." Syaikh Al Albani mengisyaratkan dalam ta'lifnya terhadap kitab At Tankilu karya Al Mu'allimi (2/223) bahwa sesungguhnya lafadz yang disebutkan oleh Al Hafidz di atas tidak ada asalnya.
[4] Al Fath (13/21). Ibnu Hajar menghasankan atsar tersebut. Fasawi meriwayatkannya sebagaimana tersebut dalam Kitab Dziilul Ma'rifat dan At Tarikh (3/393) dan Ibnu 'Abdil Baar dalam Jami' Bayanil 'llmi wa Fadhlihi (2/136) dan lainnya.
[5] Ad Darimi nomor (324), Ahmad dalam Az Zuhd (hal. 262), Ibnu 'Abdil Bar dalam Jami'ul Bayan (1/153). Riwayat ini Shahih. Hisyam bin Hasan yang didukung oleh Abul Asyhab Ja'far bin Hayan Al 'Athari di dalam riwayat Ad Darimi (324). Dan di dalam Syarhus Sunnah Al Baghawi disebutkan bahwa atsarnya berasal dari ucapan Ibnu Mas'ud.
[6] Riwayat Ibnu Sa'ad (6/262), Ibnu Abi Syaibah (15/40), Ad Darimi (251), Abu Nu'aim (4/276), Al Khatib dalam Al Faqih wal Mutafaqqih (48), Ibnu 'Abdil Bar dalam Jami-nya. Riwayat ini Hasan sekalipun di dalamnya ada Hilal bin Khabab, karena sesungguhnya Hilal hanyalah yang bertanya. Riwayat yang semisal dengan ini biasanya dinilai shahih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar