Radio Muwahiddin

Selasa, 20 Maret 2012

Thoghut Demokrasi Berbuah Penyakit Jiwa (Bagian 1)


Thoghut Demokrasi Berbuah Penyakit Jiwa (Bagian 1)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada beberapa edisi sebelumnya telah kami sampaikan artikel Thoghut Demokrasi Berlumuran Darah. Maka insya Allah pada kali ini kami sampaikan artikel Thoghut Demokrasi Berbuah Penyakit Jiwa. Memang produk kafir Yunani dan Yahudi yang satu ini betul-betul membuahkan penyakit jiwa bagi penyembahnya.
Selalu ada hal-hal yang kacau setiap kali selesai Pemilu, baik Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Anggota Dewan maupun Pemilihan Presiden. Mereka menjadi marah karena tidak lolos sebagai pemenang atau mendapatkan jatah kursi padahal uang sudah mereka keluarkan dalam jumlah yang banyak ketika kampanye. Mereka menjadi emosi lantaran kandidat yang diusungnya kalah mendapatkan suara terbanyak. Di antara mereka ada yang stress, ada yang hilang ingatan (gila), ada yang selalu melamun memikirkan nasib, bahkan ada yang bunuh diri. Di antara mereka ada yang menyumbang karpet ke masjid atau sarana umum untuk warga, lantaran kalah ia menarik kembali sumbangan yang diberikan, keikhlasannya menjadi hilang karena ternyata warga tetap tidak memilihnya memenangkan pemilu.
Ini menunjukkan demokrasi betul-betul thoghut yang harus dihancurkan, dialah (demokrasi) biang kerok ini semua terjadi. Dialah (demokrasi) yang membuat kaum muslimin semakin jauh dari agamanya semula. Dialah (demokrasi) yang membuat kaum muslimin menyibukkan diri kepadanya daripada menyibukkan diri kepada ilmu Islam. Dialah (demorasi) yang membuat beberapa ikhwan yang sudah paham agama menjadi bermudah-mudahan melakukan bid'ah, kesyirikan, perbuatan maksiat, dan tasyabbuh dalam keadaan paham bahwa itu menyelisihi agama Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam, tapi bagaimana lagi demi meraih suara terbanyak, beberapa ikhwan menjadi munafiqin. 

Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi

(Bagian 1)

Pembahasan ini termasuk yang paling penting di antara keenam landasan yang ada dalam buku ini, karena pembahasan ini bertujuan menjelaskan dasar atau landasan dari amalan kita yang perlu dilakukan dengan giat dan sungguh-sungguh.

Sebagian orang Islam takut dengan kekuatan orang-orang kafir dan orang-orang yang sesat yang begitu hebat. Karena itu mereka berpandangan bahwa kemuliaan akan bisa mereka rebut kembali dengan menghadapi kekuatan orang-orang kafir dan sesat tefsebut dengan kekuatan yang lebih kuat lagi.

Merekapun memanfaatkan setiap sarana-sarana yang mereka miliki untuk menyaingi kekuatan itu hingga mereka meremehkan ilmu syar'i tanpa mempedulikan sama sekali. Akan tetapi, walaupun mereka berusaha menata organisasinya dan memperbaiki manajemennya serta memperkuat kekuatan dan mempelajari tipu- daya musuh, tetap saja tidak akan dikaruniai kemuliaan dan kejayaan kalau mereka tidak membangun amal perbuatan dan seluruh kegiatan mereka dengan ilmu (ilmu syar'i), serta menjunjung kedudukan dan martabat ilmu dan ahli ilmu. Allah Ta'ala berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
"Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang- orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujaadalah: 11)
Allah juga berfirman:
نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ
"Kami tinggikan derajat orang-orang yang Kami kehendaki." (QS. Yusuf: 76)

Imam Malik rahimahullah berkata (mengomentari ayat di atas), "Maksudnya, (Kami tinggikan derajat mereka) dengan ilmu." [Syarhus Sunnah karya Imam Al Baghawi (1/672)]


Tafsir Imam Malik ini beliau dapatkan dari guru beliau Zaid bin Aslam rahimahullah yang berkata: "Aku mendengar Zaid bin Aslam berkata mengenai ayat ini (ayat kesebelas dari surat Al Mujaadalah yang telah disebutkan di atas): 'Sesungguhnya yang dimaksud adalah 'dengan ilmu'. Allah akan mengangkat (derajat) siapa saja yang dikehendaki-Nya di dunia ini dengan ilmu tersebut.'" [1]

Ketinggian derajat dan kemuliaan ini pun bisa didapatkan di dunia, tidak hanya di akhirat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Subhanahu waTa'ala ketika memilih Thalut untuk memimpin para pemuka dan tokoh Bani Isra'il lewat firman-Nya:
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
"Nabi mereka mengatakan kepada mereka: 'Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut sebagai rajamu.' Mereka menjawab: 'Bagaimana Thalut memerintah kami padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?' (Nabi mereka) berkata: 'Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.'Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya dan Maha Mengetahui." (QS. Al Baqarah: 247)

Dalam Shahih Muslim disebutkan dari 'Amir bin Watsilah bahwa Nafi' bin Abdul Harits pernah bertemu 'Umardi 'Usfan. Dan 'Umar bin Khathab waktu itu mengangkatnya menjadi gubernur Mekkah. 'Umar lalu bertanya: "Siapa yang engkau tugaskan memangku jabatan wali bagi penduduk yang bertempat tinggal di lembah- lembah (atau gurun)?" "Ibnu Abza," jawab Nafi.
"Siapa Ibnu Abza itu?" tanya Umar selanjutnya. "Seorang dari hamba-sahaya kami," jawab Nafi.
"Anda mempercayakan mereka kepada seorang hamba sahaya?!" tanya Umar.
Dia menjawab, "la seorang yang suka membaca dan paham Al Qur'an. Di samping itu, dia juga 'alim tentang ilmu fara'idh."

Umar kemudian berkata "Adapun Nabi kalian Shallallahu'alaihi wasallam pernah bersabda: 'Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan Kitab ini (Al Qur'an) dan merendahkan yang lain dengan Kitab ini (pula).'" (Shahih Muslim nomor 817. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah nomor 218)

Oleh karena itu, Allah Subhanahu waTa'ala mengabarkan bahwa Dia mengangkat derajat orang-orang rabbani (Ahli ibadah dan berilmu), dari Bani Isra'il hingga Allah menjadikan mereka sebagai hakim untuk melaksanakan perintah Allah. Allah berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat yang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi). Dengan kitab itu diputuskan perkara orang- orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerahkan diri kepada Allah, oleh orang-orang 'alim mereka (Rabbani) dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya." (QS. Al Maidah: 44)

Merekalah orang-orang yang diangkat menjadi pemimpin oleh Allah dan temyata mereka adalah orang-orang yang berilmu dan yang mau mengajarkannya. Allah Subhanahu waTa'ala berfirman:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
"Tidak layak bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: 'Hendaknya kamu menjadi penyembah-penyembahku dan bukan penyembah Allah.' Akan tetapi hendaknya mereka berkata: 'Hendaknya kalian menjadi orang-orang yang Rabbani (orang-orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah) karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu telah mempelajarinya." (QS. Al 'Imran: 79)

Dalam Al Qur'an terdapat dua ayat yang lafadznya sama, yang menerangkan bahwa Allah Subhanahu waTa'ala meninggikan derajat seseorang dari hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.

Dalam ayat yang pertama Allah menceritakan tentang Ibrahim Alaihis salam
وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ:
"Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabb-mu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui." (QS. Al An'am: 83)

Dan ayat kedua Allah berfirman tentang Yusuf Alaihis salam:
نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
"Kami tinggikan derajat orang-orang yang Kami kehendaki dan di atas tiap-tiap orang yang berilmu itu ada yang Maha Mengetahui." (QS. Yusuf: 76)

Dalam dua ayat ini terkandung rahasia yang agung di antara rahasia-rahasia Al Qur'an Al 'Aziz. Dengan bahasa yang indah sekali Ibnu Taimiyah berkata: "Allah menyebutkan bahwa Dia mengangkat orang-orang yang Dia kehendaki beberapa derajat dalam kisah perdebatan Ibrahim dengan Namrud dan dalam kisah siasat Nabi Yusuf yang menginginkan agar saudaranya, Bunyamin, tetap tinggal bersama beliau di Mesir dan tidak pulang bersama saudara-saudaranya yang lain ke negeri asal mereka.

Oleh karena itu, para salafush shalih berkata: "Allah Subhanahu waTa'ala meninggikan derajat mereka". Jadi, konteks ayat ini jelas menunjukkan hal itu. Kisah Ibrahim berkaitan dengan hujjah untuk mematahkan dan menolak bahaya dan mudharat dari para penentang agama. Sedangkan kisah Yusuf tentang politik (siyaasah) dan strategi untuk meraih manfaat yang ingin dicapai. Jadi ilmu dalam ayat pertama adalah hujjah untuk menolak usaha-usaha yang mengancam agama. Dan ayat kedua adalah ilmu bagaimana cara menolak kerugian dunia dan meraih maslahatnya.
Atau dengan kata lain: kisah Nabi Ibrahim Alaihis salam adalah mengenai ilmu tentang retorika lisan di saat yang tepat yang bertujuan menarik manfaat, sedangkan kisah Nabi Yusuf Alaihis salam adalah mengenai ilmu tentang praktek atau tindakan nyata di saat yang tepat. Jadi, menarik manfaat dan menolak bahaya adakalanya dengan lisan (teori) dan terkadang pula dengan perbuatari (praktek)." [Bayadhu bil Ashl]

Beliau melanjutkan: "Oleh karena itu, orang-orang yang kurang memahami ilmu tentang debat dan dialog,' ilmu tentang siyaasah (politik; siasat) dan pemerintahan selalu kalah jika berhadapan dengan kedua golongan tersebut. Ini dilihat dengan ketergantungan mereka kepada kedua golongan tersebut.llmu-ilmu seperti itu sangat diperlukan tatkala musuh datang menyerang dan ingin merusak agama dengan senjata retorika (jidal) misalnya, atau merusak dunia mereka dengan menganiaya dan menzalimi atau melakukan penyerangan fisik. Ini sangat diperlukan ketika mereka menghadapi musuh dari dalam sendiri, atau untuk menghadapi kejahatan dari luar mereka baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Bahkan ketika mereka hidup dalam kondisi tidak ada seorang pelaku bid'ah pun yang merongrong atau mengganggu mereka; juga tidak ada penguasa yang menzalimi mereka, mereka tetap membutuhkan adanya ulama-ulama yang ahli dalam bidang ini; ulama yang bisa memperingatkan para pelaku bid'ah dengan hujjah dan dalil serta mencegah kezaliman dengan siyaasah (kecerdasan dalam bidang politik)." [Majmu' Fatawa (14/493-494)]

Perkara kepemimpinan agama dan dunia itu tergantung atau tidak terlepas dari ilmu, karena ilmu adalah dasar dan landasan dari keduanya. Karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullah iuga berkata: "Demikianlah bahwa Allah Subhanahu waTa'ala telah berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ
"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya." (QS. Al Hadiid: 25)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu waTa'ala mengabarkan kepada kita bahwa Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) dan Al Mizaan (neraca keadilan) agar manusia bisa menegakkan keadilan tersebut, serta menurunkan besi (yang didalamnya ada kekuatan) sebagaimana yang telah disebutkan oleh-Nya. Jadi, menegakkan agama haruslah dengan Kitabullah Al Haadii (Kitabullah yang menunjuki) dan as saifun naashir (pedang untuk berjaga diri).
وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
"Dan cukuplah bagi Rabb-mu sebagai pemberi hidayah dan sebagai penolong." (QS. Al Furqan: 31)

Al Qur'an adalah dasar atau azas yang utama. Karena itu, ketika Allah mengutus Rasul-Nya pertama kali adalah menurunkan Al Qur'an kepada beliau, dan selama menetap di Mekkah beliau tidak diperintahkan mengangkat pedang. Beliau baru dibolehkan mengangkat pedang setelah beliau hijrah dan menetap di Madinah serta telah memiliki banyak sahabat yang menolong beliau dalam berjihad. [Majmu' Fatawa (28/234)]

Kalau begitu, maka orang-orang yang membayangkan bahwa mendirikan Daulah Islamiyah (negara Islam) bisa dengan hanya mengandalkan semangat keislaman dan pemikiran yang tidak memiliki hujjah syari'i yang mereka namakan sebagai fikr Islami (pemikiran Islam) atau dengan sedikit ilmu yang mereka sebut sebagai tsaqafah islamiyah dan bahwa (menurut mereka) pengajaran ilmu syar'i itu adalah marhalah atau tahapan yang kemudian atau belakangan sesudah ini semua (dan bukan sesuatu yang harus diprioritaskan terlebih dahulu), maka mereka itu adalah orang yang mengejar fatamorgana, karena sesungguhnya mereka mengkhayalkan sesuatu dengan tanpa kekuatan usaha dan sarana pendukung. Padahal kekuatan yang paling utama adalah kekuatan agama yang telah dijanjikan oleh Allah akan mendatangkan kemenangan kepada orang-orang beriman. Allah berfirman:
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
"Dan adalah hak atas Kami untuk menolong orang-orang yang beriman." (QS. Ar Ruum: 47)

Karena itu, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Jihad terhadap musuh-musuh Allah dari luar menjadi cabang dari jihad seorang hamba terhadap jiwanya sendiri dalam mengagungkan Dzat Allah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam: "Mujahid (orang yang berjihad) itu adalah yang berjihad terhadap jiwanya sendiri dalam menaati Allah dan muhajir (orang yang berhijrah) adalah yang hijrah dari sesuatu yang dilarang oleh Allah." [Riwayat Ahmad (3/21) dan selainnya dan riwayat ini Shahih]

Jadi, jihad terhadap jiwa sendiri haruslah didahulukan daripada jihad terhadap musuh dari luar, dan ia juga merupakan dasar dari jihad tersebut. Seseorang yang tidak berjihad terhadap jiwanya sendiri terlebih dahulu agar jiwanya itu melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya dan meninggalkan sesuatu yang dilarang baginya serta memerangi nafsunya, maka ia tidak akan mampu berjihad melawan musuhnya yang datang dari luar. Bagaimana mungkin ia mampu mengobarkan jihad terhadap musuhnya sekaligus mengambil kembali haknya yang telah dirampas oleh musuh-nya tersebut sedangkan musuh yang berada di dalam dirinya sendiri tidak mampu dikalahkan dan dikuasai. Jadi, ia tidak akan sanggup keluar menghadapi musuhnya sebelum ia berjihad meiawan jiwa atau dirinya sendiri terlebih dahulu."

Beliau melanjutkan: "Inilah dua musuh dimana seorang hamba diuji untuk berjihad melawannya. Akan tetapi masih ada musuh ketiga yang harus dikuasai sebelum berjihad melawan kedua musuh sebelumnya. Musuh ketiga ini senantiasa berada di hadapannya, merintangi dan menghalangi serta melemahkannya, dan membuatnya lalai, takut dan gentar untuk berjihad melawan kedua musuh sebelumnya. Musuh ketiga ini senantiasa mengganggunya, sehingga ia selalu membayangkan bahwa berjihad melawan kedua musuh sebelumnya akan menyebabkannya menemui banyak kesulitan hidup serta kehilangan kesenangan dan kebahagiaan hidup (baca: kenikmatan duniawi) yang telah dinikmatinya selama ini. la tidak akan bisa berjihad melawan kedua musuh sebelumnya jika ia tidak berjihad melawan musuh ketiga ini.

Jihad melawan musuh ketiga ini adalah juga menjadi dasar dari jihad melawan kedua musuh sebelumnya. Musuh ketiga ini adalah syaitan la'natullaahi 'alaihi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagi kalian maka jadikanlah dia sebagai musuh." (QS. Al Fathir: 6)

Perintah untuk menjadikan syaitan sebagai musuh merupakan peringatan agar kita mengerahkan seluruh kemampuan untuk memeranginya dan melawannya. Seakan- akan dia musuh yang tak akan letih dan tidak akan berkurang dalam memerangi hamba sebanyak apapun." [Zaadul Ma'ad (3/6)]

Inilah penjelasan yang sangat cermat dan jelas, yang merupakan upaya untuk meluruskan manhaj yang ditempuh oleh orang-orang yang mencela saudara- saudaranya, sedang rumah mereka sendiri terbuat dari kaca (sangat rapuh), yang mengagung-agungkan sarana-sarana yang bersifat fisik dan materi sehingga beranggapan bahwa musuh mereka sudah sedemikian kuatnya. Padahal sebenarnya musuh-musuh bisa memasuki rumah mereka karena rumah mereka terbuat dari kaca yang rapuh atau rumah mereka sendiri yang terbuka untuk sang musuh. Artinya: kaum muslimin tidak akan mengalami kekalahan hanya karena musuh mereka yang kuat, akan tetapi mereka kalah dikarenakan iman mereka yang lemah. Sebenarnya kalau iman mereka kuat, kalaupun mereka tidak memiliki sarana-sarana fisik atau kekuatan materi niscaya Allah akan cukupi mereka sebagai pengganti bagi mereka (dari seluruh sarana-sarana tersebut).

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Di antara sunnatullah adalah jika orang-orang yang beriman tidak mampu melindungi diri [2] dari orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya maka Allah Subhanahu waTa'ala tetap akan membalas orang- orang  yang menyakiti tersebut dan melindungi orang-orang beriman tadi dari gangguannya, dan Allah-lah yang mencukupinya. Hal ini sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam kisah seorang penulis dusta dan seperti yang telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu waTa'ala lewat firman-Nya:
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ. إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ
"Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokan (kamu)." (QS. Al Hijr: 94-95) [Ashaarim Al Maslul]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Demi Allah! Sekali-kali tidak ada satu pun musuh yang akan menyakiti kaliankecuali bila Allah Al Wali (Yang melindungi-mu) telah berpaling darimu. Dan jangan kamu kira setan itu menang (atas kamu) akan tetapi Al Hafizh (Yang Maha Menjaga) telah berpaling (darimu)." [Al Fawaid (hal.79)]

Anda pun sudah mengetahui bahwa Anda tidak akanmendapatkan pertolongan dan pengawasan dari Allah Subhanahu waTa'ala jika Anda meninggalkan perintah dan melanggar larangan. Begitu pula, Anda akan ditolong jika Anda menaati Allah Subhanahu waTa'ala dalam semua perintah dan larangan-Nya. Jadi, semua urusan kembali kepada ilmu, karena perintah dan larangan tidak akan diketahui kecuali dengan ilmu.

Kandungan pelajaran yang berharga Diriwayatkan dari Zubair bin Adiy bahwa beliau berkata: Kami pernah masuk menemui Anas bin Malik dan mengadu kepada beliau tentang apa yang kami dapatkan dari Hajjaj. Beliau pun berkata: "Tidak datang suatu zaman melainkan orang-orang yang sesudahnya lebih jelek dari sebelumnya hingga kalian menemui Rabb kalian. Dan aku dengar hal ini dari Nabi kalian." (HR. Ahmad 3/117, Bukhari no 7068, dan At Tirmidzi no. 2206)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: Pernyataan Anas di atas bisa saja menimbulkan pertanyaan (isykaal) bagi sebagian orang, karena kenyataannya ada suatu masa atau rentang waktu yang keburukannya lebih sedikit dari masa sebelumnya, seperti pada zaman Umar bin Abdul Aziz. Pada zaman beliau ini (yang terjadi setelah zaman Al Hajjaj yang tidak seberapa jauh jaraknya), sudah masyhur bahwa kebaikan dan kesejahteraan hidup tersebar dan merata dimana-mana. Maka bagaimana menjawab kenyataan ini sehubungan dengan pernyataan Anas bin Malik di atas? Sebagian ulama menanggapi bahwa zaman dalam pernyataan beliau adalah generasi. Artinya, ada suatu generasi yang lebih baik dari generasi lain. Dalam hal ini, zaman Al Hajjaj adalah zaman dimana masih banyak sahabat yang masih hidup, sedang zaman Umar bin Abdul Aziz adalah zaman dimana para sahabat sudah tiada. Dan zaman ketika para sahabat masih hidup lebih baik daripada zaman sesudahnya berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam yang telah dikemukakan sebelumnya:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم
"Sebaik-baik generasi adalah generasiku...." (HR. Bukhari dan Muslim) [3]

Kemudian beliau melanjutkan: "Kemudian saya mendapatkan kejelasan dari Abdullah bin Mas'ud Radhiallahu'anhu tentang maksud dari pernyataan Anas di atas. Penjelasan beliau ini lebih layak untuk diikuti. Diriwayatkan oleh Ya'qub bin Syaibah dari jalan Al Harits bin Hushairah, dari Zaid bin Wahab bahwa beliau berkata: "Saya mendengar Abdullah bin Mas' ud berkata: "Tidaklah datang kepada kalian suatu hari (zaman) kecuali ia lebih buruk dari hari (zaman) sebelumnya (dan hal ini berlangsung terus) sampai datang hari kiamat kelak. Saya tidak mengatakan bahwa zaman yang telah lewat itu menggambarkan kesejahteraan hidup dan banyaknya harta yang dirasakan oleh orang-orang yang hidup pada zaman itu. Yang saya maksudkan adalah bahwa tidaklah datang kepada kalian suatu hari (zaman) kecuali hari (zaman) itu lebih sedikit ulamanya dibanding hari (zaman) sebelumnya. Ketika para ulama telah pergi meninggalkan kita maka manusia semuanya menjadi sama kemampuannya. Mereka pun tidak lagi memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang munkar, maka pada saat itulah mereka binasa."

Beliau melanjutkan: "Dan dari jalan Asy Sya'bi, dari Masruq bahwa beliau berkata: "Tidaklah datang kepada kalian suatu zaman kecuali ia lebih jelek dari zaman sebelumnya. Saya tidak mengatakan bahwa seorang pemimpin yang memimpin pada zaman yang telah lewat lebih baik dari seorang pemimpin (sesudahnya) dan tidak mengatakan bahwa suatu tahun lebih baik dari tahun yang lain, akan tetapi yang saya maksudkan adalah para ulama dan fuqaha' kalian pergi meninggalkan kalian (wafat) dan kalian pun tidak mendapatkan pengganti mereka lagi, kemudian datang suatu kaum yang mengeluarkan fatwa menurut pendapat mereka sendiri." [4]

Saya berkata: "Menghilangkan kesimpang-siuran (dalam memahami suatu dalil atau nas) dengan bantuan atsar adalah penyejuk mata ahlul hadits, apalagi berkenaan dengan dasar-dasar agama karena manusia pada umumnya gila harta dan kekuasaan. Bukankah Anda mendengar firman Allah Subhanahu waTa'ala tentang penyesalan ahlu syimal (orang-orang yang celaka yang diberikan kitab mereka dari sebelah kiri di akhirat kelak), mereka berseru:
مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ. هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
"Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku (dan) telah hilang kekuasaanku dariku." (QS. Al Haaqqah: 28-29)

Andaikan anda merenungi dan melihat dengan seksama fitnah yang ditimbulkan oleh apa yang mereka sebut sebagai Harokah Islamiyah (pergerakan Islam) -sebagai contoh yang paling dekat dan tak usah dulu melirik kepada yang lain- niscaya Anda akan mendapati penyebabnya terangkum dan tidak jauh dari dua asumsi di bawah ini:

1. Mereka mengukur kebaikan umat ini dengan kebaikan pemimpinnya.
2. Mereka mengukur kesejahteraan dan kemajuan dari sisi ekonominya.


Tidakkah Anda melihat bahwa kebanyakan mereka tidak menolak tangan-tangan yang menjamah kekuasaannya, walaupun melalui sistim demokrasi yang konyol..!!! Sebagian dari mereka menganggap bahwa kembalinya kewibawaan kaum muslimin dipertaruhkan dengan mengangkat tinggi-tinggi kemodernan (kemajuan peradaban), oleh karena itu mereka terus mempertahankannya. Hal ini membukakan mata Anda akan perhatian yang sangat besar dari seorang Ibnu Mas'ud Radhiallahu'anhu dalam mengobati kedua asumsi di atas. Demi Allah, ini merupakan karunia pemahaman yang Allah Subhanahu waTa'ala berikan kepada seorang hamba-Nya. Oleh karena itu, wahai saudaraku sesama muslim, pahamilah keutamaan para salafush shalih dan peganglah perintah dan larangan mereka serta cermati tabiat dan watak  mereka, niscaya anda akan terlepas dari perkara-perkara yang membingungkan dan menyesatkan yang ditimbulkan oleh banyaknya "cabang-cabang jalan" yang ada.

Dan nasehat saya yang terakhir: Kembalilah kalian kepada ilmu, wahai otang-orang yang senantiasa mendendangkan kemuliaan Islam! Dari Tamim Ad Daari dia berkata: "Di zaman Umar bin Khathab Radhiallahu'anhu orang-orang berlomba- lomba membangun (kehidupan dunia mereka), maka berkatalah Umar bin Khathab Radhiallahu'anhu, 'Wahai seluruh penghuni rumah, jagalah tanah air kalian! Jagalah tanah air kalian! (Ingatlah) bahwa tidak akan ada Islam kecuali dengan jama'ah, dan tidak akan ada jama'ah kecuali dengan pemerintahan, dan tidak akan ada pemerintahan kecuali dengan ketaatan. Oleh karena itu, barangsiapa yang oleh kaumnya diangkat menjadi pemimpin karena paham dalam agama, maka itu berarti pertanda "kehidupan" baginya dan bagi kaumnya. Dan barangsiapa yang diangkat bukan karena paham agama oleh kaumnya, niscaya hal itu adalah pertanda kebinasaan baginya dan bagi mereka." (HR. Riwayat Ad-Darimi no. 241)

Al Hasan berkata: "Mereka (para sahabat) berkata: 'Kematian seorang ulama adalah retaknya Islam; tidak akan ada yang bisa menambalnya selama malam dan siang masih silih berganti."' [5]
Dari Hilal bin Khabbab berkata: "Aku bertanya kepadaSa'id Ibnu Jubair, 'Wahai Abu 'Abdillah, Apa tanda kehancuran manusia?" Dia menjawab: "Ketika ulama-ulama mereka wafat." [6]

[Diambil dari kitab Sittu Duror min Ushuul Ahlil Atsar, Penulis Asy Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi, Penerbit Maktabah Al Ilmiyah, Judul Asli: Landasan keempat - Kemuliaan Hanya Dapat Dicapai Dengan limu]
_________
Footnote

[1] Riwayat Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya (4/1335) dan (7/2176), Abu Fadhl Az Zuhri dalam Haditsnya (545) dan Ibnu 'Abdil Bar dalam Jami' Bayanil 'llmi wa Fadhlihi (1901). Riwayat ini Shahih.
[2] Ada kekeliruan pada cetakan sebelumnya, karena di sana tertulis, "Mereka hendak mengadzabnya.. "Kalimat ini tidak tepat. Yang saya tetapkan disini dialah yang sesuai dengan kaidah penulisan, sebagaimana bisa dilihat dalam cetakan yang terbaru. (2/357)
[3] Sebenarnya lafadz Bukhari dan Muslim adalah, "Sebaik-baik manusia adalah generasiku...." Syaikh Al Albani mengisyaratkan dalam ta'lifnya terhadap kitab At Tankilu karya Al Mu'allimi (2/223) bahwa sesungguhnya lafadz yang disebutkan oleh Al Hafidz di atas tidak ada asalnya.
[4] Al Fath (13/21). Ibnu Hajar menghasankan atsar tersebut. Fasawi meriwayatkannya sebagaimana tersebut dalam Kitab Dziilul Ma'rifat dan At Tarikh (3/393) dan Ibnu 'Abdil Baar dalam Jami' Bayanil 'llmi wa Fadhlihi (2/136) dan lainnya.
[5] Ad Darimi nomor (324), Ahmad dalam Az Zuhd (hal. 262), Ibnu 'Abdil Bar dalam Jami'ul Bayan (1/153). Riwayat ini Shahih. Hisyam bin Hasan yang didukung oleh Abul Asyhab Ja'far bin Hayan Al 'Athari di dalam riwayat Ad Darimi (324). Dan di dalam Syarhus Sunnah Al Baghawi disebutkan bahwa atsarnya berasal dari ucapan Ibnu Mas'ud.
[6] Riwayat Ibnu Sa'ad (6/262), Ibnu Abi Syaibah (15/40), Ad Darimi (251), Abu Nu'aim (4/276), Al Khatib dalam Al Faqih wal Mutafaqqih (48), Ibnu 'Abdil Bar dalam Jami-nya. Riwayat ini Hasan sekalipun di dalamnya ada Hilal bin Khabab, karena sesungguhnya Hilal hanyalah yang bertanya. Riwayat yang semisal dengan ini biasanya dinilai shahih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."