Sutrah dalam Shalat bag. 3 |
|
|
---------------------------------------------------------------------------------------------
Lewat di Depan Makmum
Ada dua pendapat ahlul ilmu tentang hal
ini. Pendapat pertama: tidak boleh lewat di depan orang shalat, berdalilkan
keumuman hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan
sahabat beliau, Abu Juhaim ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang
telah lalu. Mereka mengatakan hadits ini hukumnya bersifat umum sehingga makmum
pun termasuk di dalamnya. Mereka beralasan bahwa lewat di depan imam dan orang
yang shalat sendiri akan menyibukkan dan mengganggu shalat mereka. Demikian pula
yang terjadi pada makmum. Namun terkadang bila sering orang lewat di hadapannya,
si makmum akan merasa terpisah dari imamnya. Pendapat kedua: tidak apa-apa
lewat di depan makmum, berdalilkan perbuatan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
yang pernah lewat bersama keledai betinanya di hadapan sebagian makmum yang
sedang shalat bershaf di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tanpa ada seorang pun yang mengingkari perbuatannya. Dengan begitu hadits ini
merupakan pengkhususan hadits yang umum: لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ
يَدَيِ الْمُصَلِّي مَا ذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا
لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ “Seandainya orang yang lewat di depan
orang yang shalat mengetahui besarnya dosa yang ditanggungnya, niscaya ia akan
memilih berhenti selama 40, itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang
yang shalat.” Yang benar, orang yang lewat di hadapan makmum tersebut
tidaklah berdosa. Namun bila ia mendapatkan jalan lain untuk lewat maka itu
lebih utama, karena jelas lewatnya orang ini akan mengganggu orang yang sedang
shalat, sementara menjaga diri agar tidak sampai mengganggu orang lain adalah
perkara yang dituntut. Sebagaimana kita tidak suka terganggu oleh orang lain
dalam shalat yang kita tegakkan, maka sepantasnya kita juga tidak mengganggu
yang lainnya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ
لِنَفْسِهِ “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai bagi
saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
[Asy-Syarhul Mumti’, 1/730] Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullahu menyatakan,
hadits ini khusus untuk imam dan orang yang shalat sendiri. Adapun makmum, maka
tidaklah bermudarat baginya orang yang lewat di hadapannya. Sebagaimana orang
yang lewat di belakang sutrah tidak bermudarat bagi imam dan orang yang shalat
sendirian, karena sutrah imam merupakan sutrah bagi makmum yang shalat di
belakangnya. (Al-Istidzkar, 6/162)
Yang Memutuskan Shalat Seseorang
Bila orang yang shalat tidak ada sutrah di hadapannya maka shalatnya bisa
terputus, apabila lewat di hadapannya keledai, wanita yang sudah baligh, dan
anjing hitam. Inilah pendapat yang rajih –wallahu a’lam– berdasarkan hadits Abu
Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ
بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ
مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ
وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ. قُلْتُ: يَا أَباَ ذَرٍّ، مَا بَالُ الْكَلْبِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْكَلْبِ الْأَحْمَرِ مِنَ الْكَلْبِ الْأَصْفَرِ؟ قَالَ: يَا
ابْنَ أَخِي، سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَمَا سَأَلْتَنِي،
فَقَالَ: الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ “Apabila salah seorang dari kalian
berdiri shalat maka akan menutupinya bila di hadapannya ada semisal mu’khiratur
rahl. Namun bila tidak ada di hadapannya semisal mu’khiratur rahl shalatnya akan
putus bila lewat di hadapannya keledai, wanita1, dan anjing hitam.” Aku berkata
(Abdullah ibnush Shamit, rawi yang meriwayatkan dari Abu Dzar), “Wahai Abu Dzar,
ada apa dengan anjing hitam bila dibandingkan dengan anjing merah atau anjing
kuning?” Abu Dzar menjawab, “Wahai anak saudaraku, aku pernah menanyakan tentang
hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana engkau
menanyakannya kepadaku. Beliau berkata, ‘Anjing hitam itu setan’.” (HR. Muslim
no. 1137) Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata, “Hadits ini merupakan
nash tentang terputus dan rusaknya shalat. Dan aku berhujjah dengannya.”
(Al-Muhadzdzab lis Sunanil Kabir, 2/713) Dalam masalah ini ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama, antara yang berpendapat tidak ada sesuatu yang dapat
membatalkan shalat seseorang bila lewat di hadapannya, dengan pendapat yang
menyatakan wanita, keledai, dan anjing hitam dapat membatalkan shalat seseorang.
Jumhur ulama –termasuk di dalamnya imam yang tiga: Abu Hanifah, Malik, dan
Asy-Syafi’i rahimahumullah– berpendapat bahwa lewat di depan orang yang shalat
tidaklah membatalkan shalat walaupun yang lewat adalah wanita, keledai, atau
anjing hitam. (Al-Muhalla 2/324, Tanqihut Tahqiq, 3/209, Adz-Dzakhirah, 2/159,
Subulus Salam, 1/228) Mereka berdalil dengan riwayat Abu Dawud (no. 719)
dari hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: لاَ يَقْطَعُ الصَّلاَةَ شَيْءٌ، وَادْرَؤُوْا مَا اسْتَطَعْتُمْ
فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ “Tidak ada sesuatu yang dapat membatalkan shalat
dan tolaklah orang yang ingin lewat di hadapan kalian semampu kalian, karena dia
(yang memaksa untuk lewat di depan orang shalat) adalah setan.” Namun sanad
hadits ini dhaif karena ada Mujalid bin Sa’id yang didhaifkan oleh jumhur ahlul
hadits, Al-Hafizh rahimahullahu dalam Taqrib (hal. 453) berkata tentangnya: “Ia
bukan dari kalangan orang yang kokoh, dan di pengujung usianya hafalannya
berubah (kacau).” Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu dalam At-Tahqiq berkata,
“Semua hadits yang menyebutkan tentang tidak terputusnya shalat dengan sesuatu
pun adalah dhaif. Adapun riwayat Abu Sa’id dalam sanadnya ada Mujalid. Dia ini
didhaifkan oleh Yahya bin Ma’in, An-Nasa’i, Ad-Daraquthni. Ahmad berkata, “Laisa
bi syai`in (tidak dianggap periwayatannya).” (At-Tahqiq, 3/215) Al-Imam
Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata, “Mujalid layyin (lemah).” (Tanqihut Tahqiq,
3/213, Al-Muhadzdzab lis Sunanil Kabir, 2/717). Demikan juga yang dikatakan
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullahu dalam Al-Muhalla (2/326). Hadits lain yang
dijadikan dalil adalah hadits tentang lewatnya Zainab bintu Abi Salamah
radhiyallahu ‘anha di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak
membatalkan shalat beliau. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad
rahimahullahu dalam Musnad-nya (6/294) dan yang lainnya, namun pada sanad hadits
ini juga ada kelemahan. Ibnul Qaththan mendhaifkannya, sebagaimana ucapannya
disebutkan oleh Az-Zaila’i dalam Nashbur Rayah (2/85). Mereka yang
berpendapat tidak ada sesuatu yang dapat membatalkan shalat ini membawa makna
hadits: فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ
الأَسْوَدُ “Maka sesungguhnya, keledai, wanita dan anjing hitam memutuskan
shalatnya.” kepada pengertian kurang shalatnya (pahalanya) karena
tersibukkannya hati dengan perkara-perkara tersebut, bukan pengertian batalnya
shalat yang sedang ditunaikan. (Al-Minhaj 4/450-451, Subulus Salam, 1/228)
Adapun sebagian ulama lain berpandangan batalnya shalat dengan ketiga
perkara tersebut sebagaimana dzahir hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Membawa
makna hadits tersebut kepada makna kurang shalatnya (pahalanya) karena
tersibukkannya hati dengan perkara-perkara tersebut atau hilang kekhusyukan
shalatnya, merupakan pemaknaan yang tidak tepat. Karena pemaknaan seperti ini
akan mengantarkan kepada pembatalan manthuq hadits, di mana perkara yang memutus
kekhusyukan hanya dibatasi dengan bilangan tiga yang disebutkan. Sementara kalau
kita memerhatikan makna yang disebutkan oleh jumhur, justru pembatasan bukanlah
hal yang diinginkan, karena tidak ada bedanya yang lewat itu laki-laki ataupun
perempuan. Tidak ada bedanya antara yang lewat itu wanita yang sudah haid
ataupun belum. Demikian pula apakah yang lewat itu keledai, atau kuda, unta dan
seterusnya. Sebagaimana tidak ada bedanya yang lewat itu anjing hitam atau
anjing merah. Sementara dalam hadits ini, penetap syariat membedakannya.
Dengan demikian, pendapat yang benar adalah bahwa wanita yang sudah haid,
keledai, dan anjing hitam membatalkan shalat, bukan sekadar menghilangkan
kekhusyukan. (Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
1/139-140) Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata, “Hadits-hadits dalam
bab ini menunjukkan bahwa anjing, wanita, dan keledai dapat memutus shalat, dan
yang dimaksud memutus shalat adalah membatalkannya. Sekelompok sahabat
berpendapat demikian. Di antaranya Abu Hurairah, Anas, dan Ibnu ‘Abbas g dalam
satu riwayat darinya. Dihikayatkan pula dari Abu Dzar dan Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma. Telah datang kabar dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu
bahwa ia berpendapat demikian pada anjing. Sementara Al-Hakam bin ‘Amr
Al-Ghifari berpendapat demikian pada keledai. Di antara tabi’in yang berpendapat
bahwa tiga perkara yang disebutkan dalam hadits dapat memutuskan shalat adalah
Al-Hasan Al-Bashri dan Abul Ahwash rahimahumallah, murid Ibnu Mas`ud
radhiyallahu ‘anhu. Dari kalangan imam adalah Ahmad bin Hambal t, sebagaimana
penghikayatan Ibnu Hazm Azh-Zhahiri rahimahullahu dalam Al-Muhalla. Sedangkan
At-Tirmidzi rahimahullahu menghikayatkan dari Ahmad bahwa beliau hanya
mengkhususkan anjing hitam. Sementara tentang keledai dan wanita, beliau
tawaqquf (mendiamkan, tidak memberikan pendapat, apakah membatalkan ataukah
tidak, pent.).” (Nailul Authar, 3/14) Memang dalam masalah ini didapatkan dua
riwayat dari Al-Imam Ahmad t. Kedua riwayat tersebut bersepakat bahwa anjing
hitam dapat memutuskan shalat seseorang, namun kedua riwayat ini berselisih
dalam masalah wanita dan keledai. Dalam satu riwayat beliau memastikan bahwa
wanita dan keledai tidak memutus shalat. Dalam riwayat lain, beliau ragu.
Riwayat yang pertama yaitu riwayat putra beliau bernama Abdullah dalam
Masa`il-nya (1/340). Abdullah berkata, “Aku pernah bertanya kepada ayahku, ‘Apa
saja yang dapat memutus shalat?’ Jawab beliau, ‘Anjing hitam, Anas radhiyallahu
‘anhu telah meriwayatkan bahwa yang dapat memutus shalat adalah anjing, wanita,
dan keledai. Adapun tentang wanita, maka aku berpendapat dengan hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَأَنَا
مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيِهِ “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengerjakan shalat sementara aku tidur melintang di hadapannya.” Sedangkan
keledai dengan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma: مَرَرْتُ بَيْنَ
يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا عَلى أَتَانٍ “Aku lewat di
hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam2 sementara aku sedang
menunggang seekor keledai betina.” Aku juga bertanya, “Apabila lewat seekor
anjing hitam di hadapan orang yang shalat, apakah shalatnya batal?” Beliau
menjawab, “Iya.” Aku bertanya lagi, “Berarti ia harus mengulang shalatnya?”
Jawab beliau “Iya, bila anjingnya berwarna hitam.” Demikian pula Ibnu Hani
meriwayatkan dari Al-Imam Ahmad di dalam Masa`il-nya (1/65-67). Riwayat
kedua, merupakan riwayat Ishaq bin Manshur Al-Marwazi dalam Masa`il-nya (hal.
381) dari Al-Imam Ahmad dan Ishaq. Ia berkata, “Aku bertanya kepada Al-Imam
Ahmad, ‘Apa yang dapat membatalkan shalat?’ ‘Tidak ada yang dapat membatalkannya
kecuali anjing hitam, yang aku tidak meragukannya. Adapun untuk keledai dan
wanita dalam hatiku ada suatu keraguan’, jawab beliau. Ishaq berkata, ‘Tidak ada
yang dapat memutus shalat kecuali anjing hitam.’ Ahmad berkata, “Di antara
manusia ada yang menyatakan ucapan Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Aku tidur di
hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang shalat)” bukanlah hujjah
untuk membantah hadits tentang tiga perkara yang dapat membatalkan shalat.
Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat bahwa wanita, keledai, dan anjing
hitam dapat memutus shalat. Alasannya, karena orang yang tidur tidaklah sama
dengan orang yang lewat. Adapun ucapan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang
keledai yang ditungganginya melewati sebagian shaf makmum yang shalat di
belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga bukan hujjah, karena
sutrah imam merupakan sutrah orang yang shalat di belakangnya. (Tanqihut Tahqiq,
3/208-209, Al-Masa`ilul Fiqhiyah allati lam Yakhtalif fiha Qaulul Imam Ahmad,
1/240)
Lewatnya Wanita di depan Wanita yang Shalat Ibnu Hazm
rahimahullahu berkata, “Lewatnya wanita di depan wanita yang shalat tidak
memutuskan shalatnya. Adapun tentang wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mengabarkan bahwa sebaik-baik shaf mereka adalah yang paling akhir.
Maka shalat mereka tidak akan terputus oleh sebagian mereka.” (Al-Muhalla,
2/320, 330) Demikian pula yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq rahimahullahu
dalam Al-Mushannaf (2/28 no. 2356) dari Ma’mar, dari Qatadah, beliau berkata,
“Wanita tidak memutuskan shalat wanita yang lain.” Ditanyakan pula pada
Qatadah tentang anak perempuan yang belum haid, apakah memutuskan shalat. Beliau
berkata, “Tidak.”
Lewatnya Wanita di sisi Kanan atau Kiri Seseorang
Tidaklah Membatalkan Shalat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu pernah
shalat sementara ada wanita yang lewat di sisi kanan maupun kiri beliau, maka
beliau memandang yang demikian itu tidak mengapa. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah
dalam Al-Mushannaf no. 2949 dengan sanad yang shahih) Mush’ab bin Sa’d
mengatakan, “Di arah kiblat Sa’d ada tabut3, sementara pembantu wanita beliau
datang menunaikan keperluannya di sebelah kanan dan kiri beliau, dan tidak
memutuskan shalat beliau.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 2953
dengan sanad yang shahih) ‘Utsman bin Ghiyats berkata, “Aku pernah bertanya
kepada Al-Hasan tentang wanita yang melewati laki-laki yang sedang shalat.
Beliau mengatakan, tidak mengapa, kecuali bila wanita itu berdiri di depannya.”
(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 2954 dengan sanad yang
shahih)
Wanita di Samping Laki-laki yang sedang Shalat, Tidak Membatalkan
Shalatnya Maimunah radhiyallahu ‘anha berkata: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله
عليه وسلم يُصَلِّي وَأَنَا إِلَى جَنْبِهِ نَائِمَةً، فَإِذَا سَجَدَ أَصَابَنِي
ثَوْبُهُ وَأَنَا حَائِضٌ “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat
dan aku tidur di samping beliau. Apabila beliau sujud, pakaian beliau
mengenaiku, sementara waktu itu aku sedang haid.” (HR. Al-Bukhari no.
518)
Wanita yang Berbaring Melintang di Hadapan Seorang yang Shalat
Tidaklah Membatalkan Shalatnya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
mengabarkan: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي مِنَ
اللَّيْلِ وَأَنَا مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ كَاعْتِرَاضِ
الْجَنَازَةِ “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat malam,
sementara aku melintang di antara beliau dengan kiblat, seperti melintangnya
jenazah.” (HR. Muslim no. 512)
Faedah Sutrah Sebagai penutup, kita
bawakan beberapa faedah atau manfaat sutrah yang disebutkan dalam kitab-kitab
para ulama. Di antaranya: 1. Shalat dengan memakai sutrah berarti
menjalankan dan menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sementara menghidupkan As-Sunnah dan mengikutinya adalah jalan yang lurus.
2. Sutrah menjaga shalat dari hal-hal yang dapat memutuskannya. 3. Sutrah
akan menutupi pandangan mata orang yang shalat dari apa yang ada di sekitarnya,
karena pandangan matanya terbatas pada sutrahnya. Dengan terbatasnya pandangan
berarti membatasi pikiran-pikiran yang dapat mengganggu kekhusyukan di dalam
shalat. 4. Orang yang memakai sutrah berarti memberi tempat berlalu bagi
orang-orang yang ingin lewat, sehingga mereka tidak harus berhenti menunggu
selesainya orang yang shalat tersebut. 5. Dengan adanya sutrah, orang yang
ingin lewat bisa melewati daerah bagian belakang sutrah. 6. Sutrah akan
menjaga orang yang lewat dari berbuat dosa. Wallahu ta’ala a’lam
bish-shawab.
1 As-Sindi rahimahullahu berkata, “Dimungkinkan wanita yang
dimaksudkan dalam hadits adalah yang telah mencapai usia haid, yaitu telah
baligh. Berdasarkan hal ini perempuan yang masih kecil tidaklah memutuskan
shalat seseorang. Wallahu a’lam.” (Hasyiyah As-Sindi ‘ala Ibni Majah,
1/303) 2 Maksudnya lewat pada sebagian shaf makmum di mana Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi imam dalam shalat tersebut. 3 Semacam
kotak atau peti untuk menyimpan barang-barang. |
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar