Radio Muwahiddin

Selasa, 24 Januari 2012

Sutrah dalam Shalat bag. 3



Sutrah dalam Shalat bag. 3
---------------------------------------------------------------------------------------------



Lewat di Depan Makmum


Ada dua pendapat ahlul ilmu tentang hal ini.
Pendapat pertama: tidak boleh lewat di depan orang shalat, berdalilkan keumuman hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan sahabat beliau, Abu Juhaim ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah lalu. Mereka mengatakan hadits ini hukumnya bersifat umum sehingga makmum pun termasuk di dalamnya. Mereka beralasan bahwa lewat di depan imam dan orang yang shalat sendiri akan menyibukkan dan mengganggu shalat mereka. Demikian pula yang terjadi pada makmum. Namun terkadang bila sering orang lewat di hadapannya, si makmum akan merasa terpisah dari imamnya.
Pendapat kedua: tidak apa-apa lewat di depan makmum, berdalilkan perbuatan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang pernah lewat bersama keledai betinanya di hadapan sebagian makmum yang sedang shalat bershaf di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ada seorang pun yang mengingkari perbuatannya. Dengan begitu hadits ini merupakan pengkhususan hadits yang umum:
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَا ذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui besarnya dosa yang ditanggungnya, niscaya ia akan memilih berhenti selama 40, itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.”
Yang benar, orang yang lewat di hadapan makmum tersebut tidaklah berdosa. Namun bila ia mendapatkan jalan lain untuk lewat maka itu lebih utama, karena jelas lewatnya orang ini akan mengganggu orang yang sedang shalat, sementara menjaga diri agar tidak sampai mengganggu orang lain adalah perkara yang dituntut. Sebagaimana kita tidak suka terganggu oleh orang lain dalam shalat yang kita tegakkan, maka sepantasnya kita juga tidak mengganggu yang lainnya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) [Asy-Syarhul Mumti’, 1/730]
Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullahu menyatakan, hadits ini khusus untuk imam dan orang yang shalat sendiri. Adapun makmum, maka tidaklah bermudarat baginya orang yang lewat di hadapannya. Sebagaimana orang yang lewat di belakang sutrah tidak bermudarat bagi imam dan orang yang shalat sendirian, karena sutrah imam merupakan sutrah bagi makmum yang shalat di belakangnya. (Al-Istidzkar, 6/162)

Yang Memutuskan Shalat Seseorang
Bila orang yang shalat tidak ada sutrah di hadapannya maka shalatnya bisa terputus, apabila lewat di hadapannya keledai, wanita yang sudah baligh, dan anjing hitam. Inilah pendapat yang rajih –wallahu a’lam– berdasarkan hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ. قُلْتُ: يَا أَباَ ذَرٍّ، مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْكَلْبِ الْأَحْمَرِ مِنَ الْكَلْبِ الْأَصْفَرِ؟ قَالَ: يَا ابْنَ أَخِي، سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَمَا سَأَلْتَنِي، فَقَالَ: الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ
“Apabila salah seorang dari kalian berdiri shalat maka akan menutupinya bila di hadapannya ada semisal mu’khiratur rahl. Namun bila tidak ada di hadapannya semisal mu’khiratur rahl shalatnya akan putus bila lewat di hadapannya keledai, wanita1, dan anjing hitam.” Aku berkata (Abdullah ibnush Shamit, rawi yang meriwayatkan dari Abu Dzar), “Wahai Abu Dzar, ada apa dengan anjing hitam bila dibandingkan dengan anjing merah atau anjing kuning?” Abu Dzar menjawab, “Wahai anak saudaraku, aku pernah menanyakan tentang hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana engkau menanyakannya kepadaku. Beliau berkata, ‘Anjing hitam itu setan’.” (HR. Muslim no. 1137)
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata, “Hadits ini merupakan nash tentang terputus dan rusaknya shalat. Dan aku berhujjah dengannya.” (Al-Muhadzdzab lis Sunanil Kabir, 2/713)
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, antara yang berpendapat tidak ada sesuatu yang dapat membatalkan shalat seseorang bila lewat di hadapannya, dengan pendapat yang menyatakan wanita, keledai, dan anjing hitam dapat membatalkan shalat seseorang.
Jumhur ulama –termasuk di dalamnya imam yang tiga: Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i rahimahumullah– berpendapat bahwa lewat di depan orang yang shalat tidaklah membatalkan shalat walaupun yang lewat adalah wanita, keledai, atau anjing hitam. (Al-Muhalla 2/324, Tanqihut Tahqiq, 3/209, Adz-Dzakhirah, 2/159, Subulus Salam, 1/228)
Mereka berdalil dengan riwayat Abu Dawud (no. 719) dari hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْطَعُ الصَّلاَةَ شَيْءٌ، وَادْرَؤُوْا مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
“Tidak ada sesuatu yang dapat membatalkan shalat dan tolaklah orang yang ingin lewat di hadapan kalian semampu kalian, karena dia (yang memaksa untuk lewat di depan orang shalat) adalah setan.”
Namun sanad hadits ini dhaif karena ada Mujalid bin Sa’id yang didhaifkan oleh jumhur ahlul hadits, Al-Hafizh rahimahullahu dalam Taqrib (hal. 453) berkata tentangnya: “Ia bukan dari kalangan orang yang kokoh, dan di pengujung usianya hafalannya berubah (kacau).”
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu dalam At-Tahqiq berkata, “Semua hadits yang menyebutkan tentang tidak terputusnya shalat dengan sesuatu pun adalah dhaif. Adapun riwayat Abu Sa’id dalam sanadnya ada Mujalid. Dia ini didhaifkan oleh Yahya bin Ma’in, An-Nasa’i, Ad-Daraquthni. Ahmad berkata, “Laisa bi syai`in (tidak dianggap periwayatannya).” (At-Tahqiq, 3/215)
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata, “Mujalid layyin (lemah).” (Tanqihut Tahqiq, 3/213, Al-Muhadzdzab lis Sunanil Kabir, 2/717).
Demikan juga yang dikatakan Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullahu dalam Al-Muhalla (2/326).
Hadits lain yang dijadikan dalil adalah hadits tentang lewatnya Zainab bintu Abi Salamah radhiyallahu ‘anha di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak membatalkan shalat beliau. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Musnad-nya (6/294) dan yang lainnya, namun pada sanad hadits ini juga ada kelemahan. Ibnul Qaththan mendhaifkannya, sebagaimana ucapannya disebutkan oleh Az-Zaila’i dalam Nashbur Rayah (2/85).
Mereka yang berpendapat tidak ada sesuatu yang dapat membatalkan shalat ini membawa makna hadits:
فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الأَسْوَدُ
“Maka sesungguhnya, keledai, wanita dan anjing hitam memutuskan shalatnya.”
kepada pengertian kurang shalatnya (pahalanya) karena tersibukkannya hati dengan perkara-perkara tersebut, bukan pengertian batalnya shalat yang sedang ditunaikan. (Al-Minhaj 4/450-451, Subulus Salam, 1/228)
Adapun sebagian ulama lain berpandangan batalnya shalat dengan ketiga perkara tersebut sebagaimana dzahir hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Membawa makna hadits tersebut kepada makna kurang shalatnya (pahalanya) karena tersibukkannya hati dengan perkara-perkara tersebut atau hilang kekhusyukan shalatnya, merupakan pemaknaan yang tidak tepat. Karena pemaknaan seperti ini akan mengantarkan kepada pembatalan manthuq hadits, di mana perkara yang memutus kekhusyukan hanya dibatasi dengan bilangan tiga yang disebutkan. Sementara kalau kita memerhatikan makna yang disebutkan oleh jumhur, justru pembatasan bukanlah hal yang diinginkan, karena tidak ada bedanya yang lewat itu laki-laki ataupun perempuan. Tidak ada bedanya antara yang lewat itu wanita yang sudah haid ataupun belum. Demikian pula apakah yang lewat itu keledai, atau kuda, unta dan seterusnya. Sebagaimana tidak ada bedanya yang lewat itu anjing hitam atau anjing merah.
Sementara dalam hadits ini, penetap syariat membedakannya. Dengan demikian, pendapat yang benar adalah bahwa wanita yang sudah haid, keledai, dan anjing hitam membatalkan shalat, bukan sekadar menghilangkan kekhusyukan. (Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1/139-140)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata, “Hadits-hadits dalam bab ini menunjukkan bahwa anjing, wanita, dan keledai dapat memutus shalat, dan yang dimaksud memutus shalat adalah membatalkannya. Sekelompok sahabat berpendapat demikian. Di antaranya Abu Hurairah, Anas, dan Ibnu ‘Abbas g dalam satu riwayat darinya. Dihikayatkan pula dari Abu Dzar dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Telah datang kabar dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berpendapat demikian pada anjing. Sementara Al-Hakam bin ‘Amr Al-Ghifari berpendapat demikian pada keledai. Di antara tabi’in yang berpendapat bahwa tiga perkara yang disebutkan dalam hadits dapat memutuskan shalat adalah Al-Hasan Al-Bashri dan Abul Ahwash rahimahumallah, murid Ibnu Mas`ud radhiyallahu ‘anhu. Dari kalangan imam adalah Ahmad bin Hambal t, sebagaimana penghikayatan Ibnu Hazm Azh-Zhahiri rahimahullahu dalam Al-Muhalla. Sedangkan At-Tirmidzi rahimahullahu menghikayatkan dari Ahmad bahwa beliau hanya mengkhususkan anjing hitam. Sementara tentang keledai dan wanita, beliau tawaqquf (mendiamkan, tidak memberikan pendapat, apakah membatalkan ataukah tidak, pent.).” (Nailul Authar, 3/14)
Memang dalam masalah ini didapatkan dua riwayat dari Al-Imam Ahmad t. Kedua riwayat tersebut bersepakat bahwa anjing hitam dapat memutuskan shalat seseorang, namun kedua riwayat ini berselisih dalam masalah wanita dan keledai. Dalam satu riwayat beliau memastikan bahwa wanita dan keledai tidak memutus shalat. Dalam riwayat lain, beliau ragu.
Riwayat yang pertama yaitu riwayat putra beliau bernama Abdullah dalam Masa`il-nya (1/340). Abdullah berkata, “Aku pernah bertanya kepada ayahku, ‘Apa saja yang dapat memutus shalat?’ Jawab beliau, ‘Anjing hitam, Anas radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan bahwa yang dapat memutus shalat adalah anjing, wanita, dan keledai. Adapun tentang wanita, maka aku berpendapat dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَأَنَا مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيِهِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sementara aku tidur melintang di hadapannya.”
Sedangkan keledai dengan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
مَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا عَلى أَتَانٍ
“Aku lewat di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam2 sementara aku sedang menunggang seekor keledai betina.”
Aku juga bertanya, “Apabila lewat seekor anjing hitam di hadapan orang yang shalat, apakah shalatnya batal?” Beliau menjawab, “Iya.” Aku bertanya lagi, “Berarti ia harus mengulang shalatnya?” Jawab beliau “Iya, bila anjingnya berwarna hitam.”
Demikian pula Ibnu Hani meriwayatkan dari Al-Imam Ahmad di dalam Masa`il-nya (1/65-67).
Riwayat kedua, merupakan riwayat Ishaq bin Manshur Al-Marwazi dalam Masa`il-nya (hal. 381) dari Al-Imam Ahmad dan Ishaq. Ia berkata, “Aku bertanya kepada Al-Imam Ahmad, ‘Apa yang dapat membatalkan shalat?’ ‘Tidak ada yang dapat membatalkannya kecuali anjing hitam, yang aku tidak meragukannya. Adapun untuk keledai dan wanita dalam hatiku ada suatu keraguan’, jawab beliau. Ishaq berkata, ‘Tidak ada yang dapat memutus shalat kecuali anjing hitam.’
Ahmad berkata, “Di antara manusia ada yang menyatakan ucapan Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Aku tidur di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang shalat)” bukanlah hujjah untuk membantah hadits tentang tiga perkara yang dapat membatalkan shalat. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat bahwa wanita, keledai, dan anjing hitam dapat memutus shalat. Alasannya, karena orang yang tidur tidaklah sama dengan orang yang lewat. Adapun ucapan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang keledai yang ditungganginya melewati sebagian shaf makmum yang shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga bukan hujjah, karena sutrah imam merupakan sutrah orang yang shalat di belakangnya. (Tanqihut Tahqiq, 3/208-209, Al-Masa`ilul Fiqhiyah allati lam Yakhtalif fiha Qaulul Imam Ahmad, 1/240)

Lewatnya Wanita di depan Wanita yang Shalat
Ibnu Hazm rahimahullahu berkata, “Lewatnya wanita di depan wanita yang shalat tidak memutuskan shalatnya. Adapun tentang wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa sebaik-baik shaf mereka adalah yang paling akhir. Maka shalat mereka tidak akan terputus oleh sebagian mereka.” (Al-Muhalla, 2/320, 330)
Demikian pula yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq rahimahullahu dalam Al-Mushannaf (2/28 no. 2356) dari Ma’mar, dari Qatadah, beliau berkata, “Wanita tidak memutuskan shalat wanita yang lain.”
Ditanyakan pula pada Qatadah tentang anak perempuan yang belum haid, apakah memutuskan shalat. Beliau berkata, “Tidak.”

Lewatnya Wanita di sisi Kanan atau Kiri Seseorang Tidaklah Membatalkan Shalat
Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu pernah shalat sementara ada wanita yang lewat di sisi kanan maupun kiri beliau, maka beliau memandang yang demikian itu tidak mengapa. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 2949 dengan sanad yang shahih)
Mush’ab bin Sa’d mengatakan, “Di arah kiblat Sa’d ada tabut3, sementara pembantu wanita beliau datang menunaikan keperluannya di sebelah kanan dan kiri beliau, dan tidak memutuskan shalat beliau.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 2953 dengan sanad yang shahih)
‘Utsman bin Ghiyats berkata, “Aku pernah bertanya kepada Al-Hasan tentang wanita yang melewati laki-laki yang sedang shalat. Beliau mengatakan, tidak mengapa, kecuali bila wanita itu berdiri di depannya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 2954 dengan sanad yang shahih)

Wanita di Samping Laki-laki yang sedang Shalat, Tidak Membatalkan Shalatnya
Maimunah radhiyallahu ‘anha berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَأَنَا إِلَى جَنْبِهِ نَائِمَةً، فَإِذَا سَجَدَ أَصَابَنِي ثَوْبُهُ وَأَنَا حَائِضٌ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dan aku tidur di samping beliau. Apabila beliau sujud, pakaian beliau mengenaiku, sementara waktu itu aku sedang haid.” (HR. Al-Bukhari no. 518)

Wanita yang Berbaring Melintang di Hadapan Seorang yang Shalat Tidaklah Membatalkan Shalatnya
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ وَأَنَا مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ كَاعْتِرَاضِ الْجَنَازَةِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat malam, sementara aku melintang di antara beliau dengan kiblat, seperti melintangnya jenazah.” (HR. Muslim no. 512)

Faedah Sutrah
Sebagai penutup, kita bawakan beberapa faedah atau manfaat sutrah yang disebutkan dalam kitab-kitab para ulama. Di antaranya:
1. Shalat dengan memakai sutrah berarti menjalankan dan menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara menghidupkan As-Sunnah dan mengikutinya adalah jalan yang lurus.
2. Sutrah menjaga shalat dari hal-hal yang dapat memutuskannya.
3. Sutrah akan menutupi pandangan mata orang yang shalat dari apa yang ada di sekitarnya, karena pandangan matanya terbatas pada sutrahnya. Dengan terbatasnya pandangan berarti membatasi pikiran-pikiran yang dapat mengganggu kekhusyukan di dalam shalat.
4. Orang yang memakai sutrah berarti memberi tempat berlalu bagi orang-orang yang ingin lewat, sehingga mereka tidak harus berhenti menunggu selesainya orang yang shalat tersebut.
5. Dengan adanya sutrah, orang yang ingin lewat bisa melewati daerah bagian belakang sutrah.
6. Sutrah akan menjaga orang yang lewat dari berbuat dosa.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 As-Sindi rahimahullahu berkata, “Dimungkinkan wanita yang dimaksudkan dalam hadits adalah yang telah mencapai usia haid, yaitu telah baligh. Berdasarkan hal ini perempuan yang masih kecil tidaklah memutuskan shalat seseorang. Wallahu a’lam.” (Hasyiyah As-Sindi ‘ala Ibni Majah, 1/303)
2 Maksudnya lewat pada sebagian shaf makmum di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi imam dalam shalat tersebut.
3 Semacam kotak atau peti untuk menyimpan barang-barang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."