Sutrah dalam Shalat bag. 2
|
|
|
Sutrah Tidak Wajib bagi Makmum
Kewajiban sutrah ini secara
khusus bagi imam dan orang yang shalat sendiri, baik dalam keadaan mukim (tidak
bepergian) ataupun dalam keadaan bepergian (safar), shalat wajib ataupun shalat
nafilah (sunnah), serta shalatnya dilakukan di tanah lapang ataupun dalam
bangunan. Adapun makmum, tidak perlu memasang sutrah karena sutrah imam
sekaligus merupakan sutrah makmum. Dalilnya: 1. Hadits Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma yang telah lewat penyebutannya dalam edisi yang lalu
(tentang shalat di Mina). 2. Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ
بِالْـحَربَةِ، فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ
وَرَاءَهُ، وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bila keluar ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat Id,
beliau memerintahkan (pelayannya) untuk membawa tombak lalu ditancapkan di
hadapan beliau. Kemudian beliau shalat menghadapnya sementara manusia menjadi
makmum di belakang beliau. Beliau juga melakukan hal tersebut (menjadikan tombak
sebagai sutrah) dalam safarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 494 dan Muslim no.
1115) 3. Hadits ‘Aun bin Abi Juhaifah, ia berkata: سَمِعْتُ أَبِي أَنَّ
النَّبِيَ صلى الله عليه وسلم صَلَّى بِهِمْ بِالْبَطْحَاءِ –وَبَيْنَ يَدَيْهِ
عَنَزَةٌ– الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنَ، تَـمُرُّ بَيْنَ
يَدَيْهِ الـْمَرْأَةُ وَ الْـحِمَارُ “Aku mendengar ayahku menyatakan bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Zhuhur dua rakaat dan Ashar dua
rakaat mengimami mereka di Bathha' –di hadapan beliau ada tombak- lewat di
belakang sutrah beliau wanita dan keledai.” (HR. Al-Bukhari no. 495 dan Muslim
no. 1120, 1122) Hadits-hadits di atas dimasukkan dalam satu bab khusus oleh
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahih-nya dengan judul “Sutratul
Imam Sutratu Man Khalfahu” artinya sutrah imam juga menjadi sutrah orang yang
shalat di belakangnya. Al-Imam Malik rahimahullahu mengatakan, “Aku tidak
membenci adanya orang yang lewat di depan shaf makmum, sementara imam sedang
memimpin shalat mereka, karena imam merupakan sutrah bagi mereka. Dan Sa’d bin
Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu pernah masuk masjid, lalu berjalan melintasi
manusia di antara shaf-shaf orang yang shalat, sampai dia berdiri di tempat
shalatnya.” (Al-Mudawwanatul Kubra, 1/202) Al-Imam Syafi’i rahimahullahu
mengatakan, “Sutrah imam merupakan sutrah bagi makmum. Oleh karena itu,
melintasnya keledai di depan shalat makmum tidak memutuskan shalat.”
(Al-Muhadzdzab lis Sunanil Kabir, 2/716) Tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama bahwa makmum tidak termudaratkan dengan orang yang lewat di
hadapannya. Sebagaimana imam dan orang yang shalat sendiri tidak termudaratkan
dengan apa yang lewat di belakang sutrahnya. (At-Tamhid,
5/32)
Sutrah di Ka'bah dan Masjidil Haram
Ketika seseorang
shalat di Ka’bah atau Masjidil Haram, ia tetap harus memerhatikan masalah
sutrahnya dan tidak membiarkan seorang pun lewat di hadapannya. Adapun hadits
yang menyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di Ka’bah,
sementara tidak ada sutrah antara beliau dengan Ka’bah padahal manusia lalu
lalang di depan beliau adalah hadits yang dhaif. Karena dalam sanadnya ada rawi
yang majhul (tidak dikenal) bahkan mubham (tidak disebutkan namanya) antara
Katsir ibnu Katsir ibni Muththalibi dengan kakeknya Muththalibi ibnu Abi
Wada’ah. (Lihat Adh-Dha’ifah hadits no. 928) Sebagian orang menjadikan hadits
ini sebagai dalil untuk membolehkan lewat di hadapan orang yang shalat di Masjid
Makkah secara khusus. Sebagian lagi memutlakkannya. Akan tetapi pendalilan
tersebut tidak bisa diterima dari beberapa sisi: Pertama: Lemahnya hadits
yang dijadikan sebagai dalil. Kedua: Menyelisihi keumuman hadits-hadits yang
mewajibkan orang yang shalat agar menghadap sutrah dan hadits-haditsnya ma’ruf.
Demikian pula hadits yang melarang lewat di hadapan orang yang sedang shalat,
seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: لَوْ يَعْلَمُ
الـْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الـْمُصَلِّي مَا ذَا عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ، لَكَانَ
أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ
يَدَيْهِ “Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui
besarnya dosa yang ditanggungnya, niscaya ia akan memilih berhenti selama 401,
itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.” (HR.
Al-Bukhari no. 510 dan Muslim no. 1132) Ketiga: Hadits ini tidaklah secara
tashrih (jelas) menunjukkan bahwa orang-orang lewat dalam jarak antara beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tempat sujudnya. Karena yang dimaksud
larangan lewat di hadapan orang yang sedang shalat adalah lewat dalam jarak
sujudnya. Demikian yang rajih dari pendapat ulama. Karena itulah Al-Imam
As-Sindi rahimahullahu dalam Hasyiyah Sunan An-Nasa`i (2/67) mengatakan: “Hadits
ini tidak bisa menjadi dalil bagi yang berpendapat bahwa di Makkah tidak
membutuhkan sutrah.” Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu memberi judul satu bab
dalam kitab Shahih-nya, bab As-Sutrah bi Makkah wa Ghairiha, artinya “Sutrah itu
di Makkah dan selainnya”. Lalu beliau membawakan hadits Abu Juhaifah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
بِالْـهَاجِرَةِ فَصَلىَّ بِالْبَطْحَاءِ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنَ،
وَنَصَبَ بَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةً... “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam keluar di tengah hari, lalu beliau shalat Zhuhur dan Ashar dua rakaat di
Bathha2 dan dipancangkan di hadapan beliau sebuah tombak yang pendek….” (HR.
Al-Bukhari no. 501 dan Muslim no. 1122) Al-Hafizh rahimahullahu menyatakan
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu sengaja mengkhususkan penyebutan kota Makkah
untuk menampik anggapan bahwa tidak perlu memakai sutrah di Makkah karena tidak
ada sesuatu yang dapat memutus shalat yang dikerjakan di Makkah, berdalil dengan
hadits yang dhaif (yang sedang menjadi pembicaraan kita di atas). Beliau hendak
memberikan peringatan akan lemahnya hadits tersebut dan menyatakan tidak ada
bedanya kota Makkah dan selainnya dalam pensyariatan sutrah. (Fathul Bari,
1/745)
Faedah Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata: “Aku merasakan
pengaruh hadits yang dhaif ini di Makkah tatkala aku berhaji pertama kali pada
tahun 1369 Hijriyah. Aku masuk ke kota Makkah pada malam hari lalu thawaf
sebanyak tujuh kali, kemudian aku mendatangi maqam Ibrahim lalu memulai shalat.
Hampir-hampir aku baru memulai shalat namun aku telah dapati diriku terus
menerus berupaya dengan sekuat tenaga mencegah orang yang lewat di antara aku
dengan tempat sujudku. Hampir-hampir aku tidak berhenti mencegah seorang dari
mereka dalam rangka mengamalkan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam hingga datang orang yang lain, aku pun menolaknya. Terus demikian! Salah
seorang dari mereka yang aku tolak marah, ia berdiri di dekatku hingga aku
selesai shalat. Kemudian ia menghadap kepadaku dengan mengingkari apa yang
kulakukan. Tatkala aku berargumen dengan hadits-hadits yang datang dalam
masalah larangan melewati orang yang shalat dan perintah untuk mencegah orang
yang lewat, ia menjawab bahwa Makkah dikecualikan dalam hal tersebut. Aku
membantahnya hingga pertikaianku dengannya bertambah sengit. Aku mengajaknya
bertanya kepada ahlul ilmi guna menyelesaikan permasalahan yang ada. Ketika kami
telah sampai di hadapan para ulama ternyata mereka berbeda pendapat. Sebagian
mereka berargumen dengan hadits ini. Aku meminta kepada mereka penetapan
keshahihan hadits tersebut namun mereka tidak mampu. Maka peristiwa itulah
termasuk yang melatarbelakangi aku mentakhrij hadits tersebut (dalam kitab
beliau Adh-Dha’ifah, pent.) dan keterangan tentang illat-nya (sebab cacatnya).
Dan perhatikanlah apa yang aku sebutkan niscaya akan jelas bagimu bahayanya
hadits-hadits dhaif dan pengaruhnya yang jelek terhadap umat ini. Kemudian
setelah itu aku mendapati beberapa atsar shahih tidak hanya dari satu sahabat
bahkan lebih, yang menguatkan apa yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang
shahihah. Atsar tersebut mencakup masalah lewat di depan orang yang shalat di
Masjid Makkah. Beberapa atsar tersebut adalah: 1. Dari Shalih bin Kisan, ia
berkata, “Aku melihat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma shalat di hadapan Ka’bah
dan ia tidak membiarkan seorang pun lewat di hadapannya.” Diriwayatkan oleh Abu
Zur’ah dalam Tarikh Dimasyq (91/1) dan Ibnu ‘Asakir (8/106/2) dengan sanad yang
shahih. 2. Dari Yahya bin Abi Katsir, ia menyatakan, “Aku melihat Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu masuk ke Masjidil Haram, lalu ia menancapkan sesuatu
atau menyiapkan sesuatu yang bisa digunakannya untuk shalat ke arahnya (sebagai
sutrahnya).” Diriwayatkan Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat (7/18) dengan sanad
shahih. (Lihat Adh-Dha’ifah ketika membicarakan hadits no. 928). Wallahu
a’lam.
Ukuran Sutrah
Ibnu Qudamah rahimahullahu menyatakan,
“Adapun kadar lebar/tebalnya sutrah, setahu kami tidak ada batasannya. Maka
boleh menjadikan sesuatu yang tipis/tidak lebar sebagai sutrah seperti anak
panah dan tombak, sebagaimana boleh menjadikan sesuatu yang tebal/lebar sebagai
sutrah seperti tembok. Dan sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersutrah dengan tombak. Abu Sa’id berkata, “Kami pernah bersutrah dengan anak
panah dan batu ketika shalat.” Diriwayatkan dari Sabrah bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersutrahlah kalian di dalam shalat walaupun hanya
dengan sebuah anak panah.”1 Diriwayatkan oleh Al-Atsram. Al-Auza’i berkata,
“Mencukupi bagi seseorang anak panah dan cambuk (sebagai sutrah).” Ahmad
berkata, “Sesuatu yang lebar lebih menyenangkan bagiku, karena dari ucapan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘walaupun hanya dengan sebuah anak panah’
menunjukkan yang selain anak panah lebih utama dijadikan sutrah.” (Al-Mughni,
kitabus Shalah, bab Imamah fashl Qadrus Sutrah) Demikian pula dinyatakan oleh
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu bahwa dalam perkara ini tidak ada ketentuan yang
paten sehingga diperkenankan bersutrah dengan sesuatu yang tebal/lebar ataupun
yang tipis. (Al-Majmu’, 3/227)
Shalat Menghadap Wajah
Manusia Al-Mirdawi berkata, “Dibenci seseorang shalat menghadap wajah
manusia.” (Al-Masail Fiqhiyah 1/239). Demikian pula pendapat Malikiyah dan
Syafi’iyah (Al-Majmu’, 3/230-231, Adz-Dzakhirah, 2/157). Dalam hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha disebutkan: لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ وَأَنَا مُضْطَجِعَةٌ عَلَى
السَّرِيْرِ، فَتَكُوْنُ لِي الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَسْتَقْبِلَهُ
فَأَنْسَلُّ انْسِلاَلاً . “Sungguh aku pernah melihat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam shalat dan aku berada di antara beliau dengan kiblat dalam
keadaan berbaring di atas tempat tidur. Kemudian aku mempunyai keperluan,
sementara aku tidak suka menghadap ke arah beliau, maka aku pun beringsut
pelan-pelan.” (HR. Al-Bukhari no. 511) Ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci
bila seseorang menghadapkan wajahnya kepada beliau sementara beliau sedang
shalat. Kejadian ini terjadi di malam hari dan tidak ada penerangan di
rumah-rumah pada waktu itu sebagaimana dinyatakan secara jelas dalam haditsnya
yang lain. Sehingga dibencinya seorang yang shalat menghadap wajah manusia bukan
semata-mata karena tersibukkannya orang yang shalat dari shalatnya disebabkan
melihat pada orang yang di hadapannya, namun karena dalam hal ini ada keserupaan
dengan peribadatan kepada makhluk. Maka perkara ini dibenci sebagaimana
dibencinya shalat menghadap gambar yang terpancang. (Al-Mughni, Kitabush Shalat,
fashl Ash-Shalatu Mustaqbilan Wajha Insan ilan Nar, Fathul Bari li Ibni Rajab,
Kitabush Shalah, bab Istiqbalur Rajul Ar-Rajul wa Huwa Yusalli) Sebagai
kesimpulan, sebab dibencinya shalat menghadap wajah manusia ada dua: Pertama,
tersibukkannya hati orang yang shalat dari shalatnya, sebagaimana jika ia
melihat pada sesuatu yang melalaikannya. Kedua, keadaan ini menyerupai sujud
atau peribadatan kepada orang yang berada di hadapannya.
Tidak Membiarkan
Sesuatu Lewat di Depannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan
sesuatu pun lewat antara dirinya dengan sutrahnya, hingga pernah suatu
ketika: كَانَ مَرَّةً يُصَلِّي، إِذْ جَاءَتْ شَاةٌ تَسْعَى بَيْنَ يَدَيْهِ،
فَسَاعَاهَا حَتَّى أَلْزَقَ بَطْنَهُ بِالْحَائِطِ وَمَرَّتْ مِنْ
وَرَائِهِ “Suatu kali beliau sedang shalat, tiba-tiba datang seekor kambing
bersegera hendak lewat di hadapan beliau, maka beliau pun mendahuluinya dengan
maju hingga perut beliau menempel ke dinding dan hewan tersebut lewat di
belakang beliau.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, Al-Hakim 1/254, dan beliau
berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat Al-Imam Al-Bukhari”, dan disepakati
oleh Al-Imam Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini shahih
sebagaimana ucapan keduanya.” Lafadz hadits ini dari Ath-Thabarani. Dan tambahan
(مَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ ) sanadnya hasan dari jalan ‘Amr bin Syu’aib dari
ayahnya dari kakeknya.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, 1/122-123) Pada kali lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam: صَلَّى صَلاَةً مَكْتُوْبَةً فَضَمَّ يَدَهُ. فَلَمَّا صَلَّى،
قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَحَدَثَ فِي الصَّلاَةِ شَيْءٌ؟ قَالَ: لاَ، إِلاَّ
أَنَّ الشَّيْطَانَ أَرَادَ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيَّ، فَخَنَقْتُهُ حَتَّى
وَجَدْتُ بَرْدَ لِسَانِهِ عَلَى يَدِي، وَأَيْمُ اللهِ، لَوْلاَ مَا سَبَقَنِي
إِلَيْهِ أَخِي سُلَيْمَانُ، لَأَرْتَبِطُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي
الْمَسْجِدِ حَتَّى يَطِيْفَ بِهِ وِلْدَانُ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ، فَمَنِ
اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَحُوْلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ أَحَدٌ
فَلْيَفْعَلْ Beliau shalat wajib, lalu beliau menggabungkan tangan beliau
(mencekik). Tatkala selesai shalat, mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah
terjadi sesuatu dalam shalat tadi?” Beliau menjawab, “Tidak, hanya saja setan
hendak lewat di hadapanku, maka aku mencekiknya hingga aku dapati dinginnya
lidahnya di atas tanganku. Demi Allah, seandainya saudaraku Sulaiman tidak
mendahuluiku dalam penguasaan terhadap setan niscaya aku akan mengikat setan
tersebut di salah satu tiang masjid hingga dapat dipermainkan oleh anak-anak
penduduk Madinah. Siapa di antara kalian yang mampu agar jangan ada seorang pun
yang menghalangi antara dia dengan kiblatnya (dengan lewat di hadapannya, pent.)
maka hendaklah ia lakukan.” (HR. Ad-Daraquthni 140, Ahmad 5/104-105, dan
Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Berkata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu, “Sanadnya
shahih dengan syarat Muslim. Lafadz hadits ini dari Ad-Daraquthni. Dan
tambahan: فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَحُوْلَ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الْقِبْلَةِ
أَحَدٌ فَلْيَفْعَلْ dikeluarkan oleh Ahmad dengan sanad yang hasan dari Abu
Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, 1/124)
Mencegah Orang yang Hendak Lewat Hendaklah
orang yang shalat menolak/mencegah apa pun yang lewat di depannya, baik orang
dewasa maupun anak-anak, baik manusia maupun hewan. (Al-Mughni, Kitabush Shalat
fashl Raddu Man Yamurru baina Yadail Mushalli) Abu Said Al-Khudri
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ
النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْ فِي
نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنّمّا هُوَ شَيْطَانٌ “Apabila
salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang menutupinya dari manusia
(menghadap sutrah), lalu ada seseorang ingin melintas di hadapannya, hendaklah
ia menolaknya pada lehernya. Kalau orang itu enggan untuk minggir (tetap memaksa
lewat) perangilah (tahanlah dengan kuat) karena ia hanyalah setan.” (HR.
Al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129) Ibnul Arabi rahimahullahu menyatakan
yang dimaksud dengan muqatalah dari lafadz: فَلْيُقَاتِلْهُ adalah
menolak/mendorong bukan maknanya al-qatl (membunuh). (Al-Qabas fi Syarhi
Muwaththa’ Malik, 1/344). Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullahu berkata,
“Kami memandang pernyataan mudafa’ah ini diinginkan dengannya penekanan untuk
betul-betul mendorong orang yang lewat dan tentunya segala sesuatu ada
batasnya.” (Al-Istidzkar 6/163) Orang yang shalat mencegah orang yang hendak
lewat pertama kali dengan cara yang halus, dengan menggunakan isyarat. Namun
bila tetap memaksa ingin lewat, didorong lebih kuat dibandingkan dorongan
sebelumnya. (Syarhus Sunnah 2/456, Subulus Salam, 1/230) Bila hal itu sampai
mengakibatkan kematian orang yang lewat tersebut tanpa kesengajaan orang yang
shalat itu untuk membunuhnya, maka tidak ada tanggungan apa-apa dan tidak ada
kewajiban yang dibebankan atas orang yang shalat tersebut2. (Al-Muhalla, 2/130,
Al-Majmu’ 3/228, Fathul Bari, 1/754) Ulama sepakat ia tidak boleh
memerangi/melawan orang yang lewat tersebut dengan menggunakan senjata.
(Al-Istidzkar 6/163, Subulus Salam 1/230, Nailul Authar, 3/8) Untuk mencegah
orang yang ingin lewat, ia tidak boleh sampai berjalan ke depannya, tapi ia
hanya mencegah dalam batas yang bisa dijangkau oleh tangannya dari tempat
berdirinya. (Fathul Bari, 1/754, Al-Minhaj 4/446,447) Apabila seseorang telah
telanjur lewat di depan orang yang shalat, apakah dia ditarik kembali ke
tempatnya semula? Dalam hal ini didapati dua pandangan ahlul ilmi. Pendapat
jumhur, di antaranya Asy-Sya’bi, Ats-Tsauri, Ishaq, dan Ibnul Mundzir,
mengatakan, tidak disukai menariknya kembali ke tempat semula. Adapun ahlul ilmi
yang lainnya memandang untuk mengembalikannya. Dan yang rajih adalah pendapat
jumhur, karena dengan mengembalikannya akan membuat dia lewat dua kali. (Fathul
Bari li Ibni Rajab, bab Yaruddul Mushalli Man Marra baina Yadaihi, Al-Mughni,
Kitabush Shalat fashl in Marra baina Yadaihi Insaan fa ‘Abara, lam Yustahabba
Radduhu, Fathul Bari, 1/754)
Besarnya Dosa Lewat di Hadapan Orang
Shalat Abu Juhaim ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَي
الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ، خَيْرًا لَهُ مِنْ
أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ “Seandainya orang yang lewat di depan orang yang
shalat (dalam jarak yang dekat dengan orang yang shalat, pent.) mengetahui apa
yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40, itu lebih baik
baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 510 dan
Muslim no. 1132) Hadits ini menunjukkan haramnya lewat di hadapan orang yang
shalat dalam jarak yang dekat karena makna hadits ini adalah larangan yang
ditekankan dan ancaman yang keras dari perbuatan demikian. Dengan begitu
melewati orang yang shalat terhitung dosa besar. (Fathul Bari, 1/757) Al-Imam
Ibnu Hazm rahimahullahu menyatakan adanya kesepakatan ahlul ilmi tentang
dibencinya lewat di antara orang shalat dengan sutrahnya dan berdosa siapa yang
melakukan perbuatan tersebut. (Maratibul Ijma’ hal 54 ) Dalam hadits di atas
kita dapatkan keterangan bahwa dosa yang disebutkan dalam hadits di atas
diberikan kepada orang yang tahu adanya larangan lewat di depan orang shalat
tapi ia tetap lewat. Dzahir hadits ini juga menunjukkan bahwa ancaman yang
disebutkan khusus bagi orang yang lewat, bukan orang yang hanya diam berdiri
dengan sengaja di depan orang shalat atau duduk ataupun tidur, akan tetapi bila
alasan pelarangan adalah karena mengganggu/mengacaukan konsentrasi orang yang
shalat maka sekadar diam di depan orang shalat pun bisa masuk ke dalam makna
melewati.
Faedah Adapun tambahan lafadz مِنَ الْإِثْمِ dalam hadits
yang didapatkan di sebagian kitab, di antaranya dalam Ahkam lil Bukhari oleh
Al-Muhibb Ath-Thabari, ‘Umdatul Ahkam oleh ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi, dinyatakan
oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu, “Lafadz ini ghairu mahfuzh (tidak
terjaga/tidak shahih).” Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullahu menyebutkan bahwa
tambahan lafadz ini dari riwayat Ats-Tsauri dari Salim Abun Nadhar, dan telah
didapati pada kitab Ibnu Abi Syaibah riwayat Ats-Tsauri mudrajah (sisipan dari
periwayat) dengan lafadz ini. Dengan demikian, keterangan yang ada menunjukkan
lafadz tersebut mudrajah dari sebagian perkataan perawi dan merupakan tafsir
dari makna (مَاذَا عَلَيْهِ). (Fathul Bari li Ibni Rajab, bab Al-Maarru baina
yadail Mushalli) Al-Imam Ibnu Shalah rahimahullahu berkata, “Lafadz tersebut
tidak disebutkan dalam hadits secara sharih (jelas).” (Fathul Bari,
1/756)
Faedah Ulama berselisih pandang tentang jarak yang diharamkan
dan dibenci untuk dilewati oleh orang yang ingin lewat bila di hadapan orang
yang shalat tanpa ada sutrah. Al-Hanafiyyah dan Al-Malikiyyah mengatakan, “Haram
dilewati antara tempat telapak kaki orang yang shalat sampai ke tempat
sujudnya.” Adapun Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah berpendapat yang diharamkan
adalah sejarak tiga hasta dari telapak kaki orang yang shalat. (Al-Fatawal
Hindiyah 1/128, Bada`i’ush Shana’i 2/83-84 Taudhihul Ahkam, 2/62) Asy-Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, “Pendapat yang paling dekat dengan
kebenaran adalah antara kedua kakinya dan tempat sujudnya, karena seorang yang
shalat tidak berhak mendapatkan tempat lebih dari apa yang ia butuhkan dalam
shalatnya sehingga ia tidak punya hak menahan orang yang lewat di tempat yang
tidak dibutuhkannya. Adapun bila ia meletakkan sutrah maka tidak boleh dilewati
antara dia dan sutrahnya. Namun kami katakan, “Bila engkau meletakkan sutrah
maka jangan engkau berdiri jauh darinya tapi mendekatlah di mana nantinya
sujudmu dekat dengan sutrah tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’,
1/709) (bersambung, insya Allah)
1 Dishahihkan hadits ini oleh Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 2783 2 Adapun Malikiyah dalam
masalah qishash mereka berpandangan tidak dibebankan kepadanya, akan tetapi
dalam masalah diyat mereka terbagi menjadi dua antara dibebankan dan tidaknya.
(Al-Ikmal lil Qadhi Iyadh 2/419) |
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar