Radio Muwahiddin

Kamis, 26 Januari 2012

Kedustaan Wasiat Ghadir Khum Rasulullah Tidak Pernah Berwasiat dengan apa pun Kecuali dengan Al-Quran (Bantahan Syubhat ke- 4)


Kedustaan Wasiat Ghadir Khum Rasulullah Tidak Pernah Berwasiat dengan apa pun Kecuali dengan Al-Quran (Bantahan Syubhat ke- 4)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Di antara alasan kaum Syi’ah menganggap Ali radhiallahu 'anhu lebih berhak menjadi khalifah adalah riwayat-riwayat tentang wasiat. Padahal Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat dengan tidak memberikan wasiat apapun, kepada siapapun, kecuali dengan al-Qur’an.

Diriwayatkan di dalam dua kitab shahih Bukhari dan Muslim dari Thalhah ibnu Musharif, bahwa dia bertanya kepada Abdullah ibnu Abi Aufa radhiallahu 'anhuma:

سَأَلْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا هَلْ أَوْصَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لاَ قُلْتُ فَلِمَ كُتِبَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ الْوَصِيَّةُ أَوْ فَلِمَ أُمِرُوا بِالْوَصِيَّةِ قَالَ أَوْصَى بِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Aku bertanya kepada Abdullah ibnu Abi Aufa: “Apakah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam memberikan wasiat? Beliau menjawab: “Tidak”. Maka saya katakan: “Kalau begitu bagaimana dia menuliskan buat manusia pesan-pesannya atau memerintahkan wasiatnya?” Dia menjawab: “Beliau mewasiatkan dengan kitabullah azza wa jalla”. (HR. Bukhari Fathul Bary juz 5 hal. 356, hadits 2340 dan Muslim dalam Kitabul Wasiat juz 3 hal. 1256, hadits ke 16).

Demikian pula diriwayatkan dari ummul mukminin Aisyah radhiallahu 'anha yang tentunya sebagai istri Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang beliau meninggal di pangkuannya, tentunya lebih tahu apakah Rasulullah berwasiat atau tidak. Dia berkata dalam riwayat Muslim:

مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَلاَ شَاةً وَلاَ بَعِيرًا وَلاَ أَوْصَى بِشَيْءٍ

(رواه مسلم)

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak meninggalkan dirham tidak pula dinar, tidak seekor kambing, tidak pula seekor unta dan tidak mewasiatkan dengan apa pun. (HR. Muslim, dalam Kitabul Wasiat, juz 3, hal. 256, hadits ke 18)

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim lainnya dari Aswad bin Yazid berkata:

ذَكَرُوا عِنْدَ عَائِشَةَ أَنَّ عَلِيًّا كَانَ وَصِيًّا فَقَالَتْ مَتَى أَوْصَى إِلَيْهِ فَقْدُ كُنْتُ مُسْنِدَتُهُ إِلَى صَدْرِي أَوْ قَالَتْ حِجْرِي فَدَعَا بِالطَّسْتِ فَلَقَدِ انْخَنَثَ فِي حِجْرِي وَمَا شَعَرَتْ أَنَّهُ مَاتَ فَمَتَى أَوْصَى إِلَيْهِ

(رواه البخاري ومسلم)

Mereka menyebutkan di sisi Aisyah bahwa Ali adalah seorang yang mendapatkan wasiat. Maka beliau (Aisyah) berkata: “Kapan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berwasiat kepadanya, padahal aku adalah sandaran beliau ketika beliau bersandar di dadaku -atau ia berkata: pangkuanku—kemudian beliau meminta segelas air, tiba-tiba beliau terkulai di pangkuanku, dan aku tidak merasa ternyata beliau sudah meninggal, maka kapan dia berwasiat kepadanya?”. (HR. Bukhari Muslim)

Demikianlah riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak berwasiat ketika wafat sangat banyak, sehingga mereka para shahabat seluruhnya memahami bahwa wasiat beliau secara umum adalah al-Qur’an.

Diriwayatkan pula bahwa di antara keluarga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yaitu Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma menyatakan pula kekecewaannya, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak sempat berwasiat disebabkan silang pendapat di antara ahlul bait. Sebagian menyatakan cukup al-Qur’an karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sedang dalam keadaan sakit yang parah. Sedangkan sebagian yang lain, mengharapkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menulis wasiat, hingga datanglah ajal beliau dalam keadaan belum sempat memberikan wasiat. Maka Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma berkata:

إِنَّ الرَزِيَةَ كُلَّ الرَّزِيَةِ مَاحَالَ بَيْنَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَبَيْنَ أَنْ يَكْتُبَ لَهُمْ ذَلِكَ الْكِتَابَ مِنِ اخْتِلاَفِهِمْ وَلِغْطِهِمْ

(رواه البخار ومسلم)

Sesungguhnya kerugian segala kerugian adalah terhalangnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam untuk menulis wasiat kepada mereka, karena perselisihan dan silang pendapat mereka. (HR. Bukhari dalam Kitabul Maghazi, bab Maradlun Nabi Fathul Bari, juz 8, hal. 132 no. hadits 4432; Muslim dalam Kitabul Wasiat, bab Tarkul Wasiat liman laisa lahu Syaiun Yuushi bihi, juz 3 hal. 1259, no. 22)

Dalam memandang kejadian ini, ahlus sunnah wal jama’ah tidak berburuk sangka kepada para shahabat, apalagi kepada ahlu bait dan keluarga dekat nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Karena kedua belah pihak mengharapkan kebaikan. Sebagian mengharapkan ditulisnya wasiat untuk kebaikan umat, dan sebagian keluarga beliau merasa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan sedang merasakan sakit yang berat, maka tidak perlu diganggu, sedangkan kita sudah memiliki al-Qur’an sebagai wasiat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.

Yang dimaksud oleh mereka adalah ucapan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:

Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat setelahnya, kitabullah dan Sebaliknya kaum Syi’ah Rafidlah menjadikan riwayat ini sebagai ajang pencacimakian terhadap para shahabat. Mereka mengira bahwa perbuatan para shahabat itu yang sesungguhnya masih keluarga dekat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah untuk menghalangi wasiat kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu dan untuk merebut tampuk kepemimpinan dan diberikannya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu 'anhu.

Ucapan mereka jelas batil dan dusta, karena Abu Bakar sendiri ketika itu tidak ada di sana, beliau berada di daerah Sunh -di pinggiran kota Madinah- yaitu di rumah salah satu istrinya yang lain. Bahkan ucapan mereka ini justru mencerca dan mencela ahlul bait sendiri, maka mereka tidak pantas disebut pecinta ahlul bait. Lihatlah dalam riwayat yang lebih lengkap sebagai berikut:

عَنْ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عَنْهُ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجْعِهِ الَّذِي تُوُفِّىَ فِيْهِ فَقَالَ النَّاسُ: يَا أَبَا الْحَسَنِ كَيْفَ أَصْبَحَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللهِ بَرِيْئًا فَأَخَذَ بِيَدِهِ الْعَبَّاسُ فَقَالَ لَهُ أَلاَ تَرَاهُ أَنْتَ وَاللهِ بَعْدَ ثَلاَثٍ عَبْدُ الْعَصَا وَاللهِ إِنِّي َلأَرَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْفَ تُوُفِّىَ فِي وَجْعِهِ وَإِنِّي َلأَعْرِفُ فِي وُجُوْهِ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ الْمَوْتَ فَاذْهَبْ بِنَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَسْأَلُهُ فِيْمَنْ هَذَا اْلأمْرُ؟ فَإِنْ كَانَ فِيْنَا عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإْنْ كَانَ فِي غَيْرِنَاعَلِمْنَا ذَلِكَ فَأَوْصَى بِنَا. قَالَ عَلِيُّ وَاللهِ لَئِنْ سَأَلْنَاهَا رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنَعْنَاهَا لاَ يُعْطِيْنَاهَا النَّاسُ بَعْدَهُ وَإِنِّي وَاللهِ لاَ أَسْأَلُهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

(رواه البخاري)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, bahwasanya Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ketika sakitnya beliau menjelang wafatnya. Maka manusia berkata: “Wahai Abal Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam?” Beliau menjawab: “Alhamdulillah baik”. Maka Abbas bin Abdil Muthalib (paman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam) memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya: “Engkau demi Allah setelah tiga hari akan memegang tongkat kepemimpinan, sungguh aku mengerti bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam akan wafat dalam sakitnya ini, karena aku mengenali wajah-wajah anak cucu Abdul Muthalib ketika akan wafatnya. Mari kita menemui Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam untuk menanyakannya, kepada siapa urusan ini dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun untuk selain kita maka kitapun mengetahuinya dan beliau akan memberikan wasiatnya”. Maka Ali bin Abi Thalib menjawab: “Demi Allah, sungguh kalau kita menanyakannya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kemudian dan tidak diberikannya kepada kita, maka tidak akan diberikan oleh manusia kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan memintanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. (HR. Bukhari, kitabul Maghazi, bab Maradlun Nabiyyi wa wafatihi fathlul bari 8/142, no. 4447)

Berkata Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi: “Tidakkah cukup nash ini untuk membantah Rafidlah yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan khilafah? Kedustaan mereka jelas dengan hadits ini dari beberapa sisi:

1. Penolakan Ali radhiallahu 'anhu untuk meminta khilafah atau menanyakannya.

2. Bahwa kejadian tersebut pada waktu wafatnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam (yang membuktikan beliau tidak berwasiat).

3. Kalau saja ada nash (wasiat) sebelum itu untuk Ali radhiallahu 'anhu tentu dia akan menjawab kepada Abbas, “Bagaimana kita menanyakan untuk siapa urusan ini padahal dia telah mewasiatkannya kepadaku?”. (Kitab Al-Imamah war Radd ‘Ala Rafidlah, Abu Nu’aim al-Asbahani dengant ahqiq Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi dalam foot notnya hal. 237-238; Lihat Badzlul Majhuud Fi Musyabahatir Rafidlah bil Yahuudi, juz I hal. 191, Abdullah bin Jumaili)

Sungguh sangat jelas sekali dengan riwayat ini, bahwasanya yang menolak untuk menolak meminta wasiat justru Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu sendiri. Tentunya banyak riwayat-riwayat lain tentang kejadian ini dan memang ketika itu beberapa hadirin ikut berbicara sehingga suasana menjadi ramai dan berakhir dengan wafatnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dengan tidak memberikan wasiat apapun tentang khilafah kepada siapa pun.

Terus bagaimana mereka -kaum syi’ah tersebut- menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib mendapatkan wasiat untuk menjadi khalifah setelahnya, ketika di Ghadir Khum. Mengapa mereka tidak menanyakannya kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu sendiri, padahal mereka mengaku pecinta ahlul bait?!

Kalau mereka benar-benar cinta kepada ahlul bait dan mengaku pengikut setia ahlul bait khususnya Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu, maka dengarkanlah riwayat-riwayat dari beliau dengan sanad yang shahih sebagai berikut:

عَنْ أَبِي الطًُّفَيْلِ قَالَ سُئِلَ عَلِيٌّ أَخَصَّكُمْ رُسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَمَ بِشَيْءٍ فَقَالَ مَا خَصَّنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَيْءٍ لَمْ يَعُمْ بِهِ النَّاسَ كَافَّةً إِلاَّ مَا كَانَ فِي قُرَابِ سَيْفِي هَذَا قَالَ فَأَخْرَجَ صَحِيْفَةً مَكْتُوْبٌ فِيْهَا لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ

(رواه مسلم)

Diriwayatkan dari Abu Thufail bahwa Ali radhiallahu 'anhu berkata: “Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak menghususkan aku dengan sesuatu pun yang beliau tidak menyebarkannya kepada manusia, kecuali apa yang ada di sarung pedangku ini. Kemudian beliau mengeluarkan lembaran dari sarung pedangnya yang tertulis padanya: Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah… “ (HR. Muslim)

Demikianlah, tidak akan diterima sebuah pengakuan tanpa bukti.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."